• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII PEMBAHASAN UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VIII PEMBAHASAN UMUM"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VIII

PEMBAHASAN UMUM

Biodeteriorasi kayu mengakibatkan penurunan mutu dan tidak efisiennya penggunaan kayu. Selain itu umur pakai kayu menjadi lebih pendek dan berakibat konsumsi kayu menjadi meningkat, yang secara tidak langsung dapat mengganggu kelestarian hutan. Salah satu bentuk perhatian terhadap bahaya pelapukan ini seperti di Amerika, Australia, dan beberapa negara lainnya adalah telah dibuatnya peta kelas bahaya pelapukan. Peta bahaya pelapukan tersebut diperlukan sebagai pertimbangan bagi para arsitek, perusahaan konstruksi, instansi pemerintah terkait dan masyarakat umum dalam memilih jenis kayu dan tindakan pengawetan serta melakukan langkah-langkah penanggulangan serangan jamur pelapuk pada bangunan untuk memaksimumkan masa pakainya.

Dalam Bab IV diuraikan mengenai peta bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa berdasarkan indeks pelapukan Scheffer (1971) yang telah dihasilkan dalam penelitian ini. Pada umumnya kota dan kabupaten di Pulau Jawa termasuk kelas bahaya pelapukan sangat tinggi dan tinggi dengan persentase masing-masing 47% dan 40%, sisanya termasuk kelas bahaya pelapukan sedang. Banyak kota-kota penting di Pulau Jawa yang pada umumnya padat penduduk, berada dalam kelas bahaya pelapukan sangat tinggi. Rumah-rumah di DKI Jakarta yang merupakan daerah terpadat penduduknya yaitu 14.440 jiwa/km2 (BPS 2010a) juga berada dalam kelas bahaya pelapukan kayu sangat tinggi. Sebagai ibukota negara Republik Indonesia dan pusat bisnis, pada kenyataannya tidak hanya bangunan rumah penduduk yang terancaman pelapukan kayu, tapi juga berbagai gedung pemerintahan, perkantoran, pertokoan dan infrastruktur pendukung lainnya yang tidak terlepas dari penggunaan kayu. Demikian pula halnya di kota Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan berbagai kota besar dan penting lainnya, memiliki potensi pelapukan kayu sangat tinggi.

Indeks pelapukan Scheffer yang digunakan sebagai dasar klasifikasi bahaya pelapukan sendiri ternyata memiliki korelasi yang baik dengan degradasi kayu yang terjadi dalam uji lapang pelapukan kayu tidak menyentuh tanah di sejumlah

(2)

kota dan kabupaten di Pulau Jawa. Sementara itu di antara unsur-unsur iklim, faktor jumlah hari hujan bulanan memiliki korelasi yang paling baik dengan tingkat degradasi kayu di berbagai daerah percobaan. Dengan demikian peta bahaya pelapukan yang telah dibuat tersebut sangat layak untuk dipakai di lapangan.

Pelapukan kayu oleh jamur merupakan masalah bangunan yang menjadi beban masyarakat luas dan sangat merugikan. Rata-rata sekitar 87% rumah-rumah di kota dan kabupaten di Pulau Jawa mengalami masalah pelapukan. Nilai kerugian ekonomi akibat pelapukan bangunan rumah dalam skala daerah cukup besar yaitu dari Rp400 juta/tahun (di Tegal) hingga lebih dari Rp7 milyar/tahun (di Semarang). Dalam lingkup Pulau Jawa kerugian tersebut diperhitungkan tidak kurang dari Rp411,2 milyar/tahun. Berdasarkan laju pertumbuhan penduduknya, diperkirakan pada tahun 2025 Pulau Jawa akan dihuni oleh sekitar 163 juta penduduk yang menghuni sekitar 39,4 juta bangunan rumah. Volume kayu gergajian yang terpapar lingkungan sebagai komponen bangunan rumah pada tahun 2010 sekurang-kurangnya adalah 131,9 juta m3, maka pada tahun 2025 volume kayu gergajian tersebut sebanyak 157,6 juta m3. Bila tidak ada peningkatan manajemen dan teknik perlindungan bangunan rumah secara nyata oleh masyarakat maka kerugian ekonomi akibat pelapukan kayu pada bangunan rumah di Jawa pada tahun 2025 bisa lebih dari Rp492,5 milyar/tahun.

Selain faktor iklim, resiko pelapukan kayu pada bangunan rumah juga ditentukan oleh faktor posisi dan kondisi komponen kayu pada bangunan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 42. Lisplang dan rangka atap adalah komponen rumah yang paling banyak ditemukan mengalami serangan jamur pelapuk. Hal ini terjadi karena komponen rumah tersebut paling sering mengalami pembasahan dari air hujan baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti karena adanya rembesan atau kebocoran air dari atap rumah yang rusak atau karena tidak berfungsi dengan baik. Pembasahan komponen kayu bangunan rumah merupakan pemicu utama terjadinya pelapukan berbagai komponen kayu pada bangunan rumah. Sekitar 55% kasus pembasahan komponen kayu bangunan rumah disebabkan oleh kerusakan sistem atap, salah

(3)

satu contoh sederhananya adalah genting pecah atau bergeser. Selain itu pembasahan komponen bangunan banyak juga disebabkan oleh masalah desain dan kualitas pembangunan rumahnya terutama pada sistem atap, dinding dan lantainya. Atap dan talang harus dirancang agar efektif membuang air hujan jauh dari fondasi menuju saluran drainase sehingga tidak ada komponen kayu bangunan yang mengalami pembasahan secara terus menerus oleh air hujan.

Sambungan kayu pada lisplang, kusen jendela, dan rangka atap sering kali menjadi awal serangan jamur pelapuk, karena air lebih mudah masuk dan tertampung di dalamnya sehingga kadar air kayu disekitarnya menjadi lebih tinggi daripada di bagian lainnya. Serangan jamur pelapuk juga sering berawal pada ujung komponen yang merupakan bidang lintang kayu. Pada arah longitudinal air lebih cepat terserap dan masuk ke dalam kayu. Oleh karena itu bagian sambungan

Gambar 41 Diagram keterkaitan empat faktor resiko pelapukan kayu pada bangunan rumah.

(4)

dan ujung kayu harus diberi pendempulan yang sempurna disertai bahan penolak air dan coating (penutupan) dengan cat. Pada bagian eksterior lainnya, serangan jamur pelapuk diawali dengan rusaknya cat pelindung dan retakan kayu sehingga air hujan dapat membasahi kayu. Dengan demikian, aplikasi berkala perlindungan kayu pada komponen eksterior dengan cat perlu dilakukan sebelum cat mengalami kerusakan atau terkelupas.

Selain air hujan, sumber air pembasahan kayu juga terjadi dari air penggunaan rumah tangga, dari kondensasi uap dalam ruang yang ventilasinya kurang baik, ataupun dari tanah terutama jika komponen kayu menyentuh tanah. Oleh karena itu ventilasi udara di ruang yang banyak menghasilkan uap seperti di dapur, tempat mencuci dan kamar mandi harus diatur dengan baik. Drainase tapak bangunan yang tidak baik juga dapat menjadi sumber pembasahan pada komponen kayu bangunan. Air yang tergenang di bawah bangunan dapat naik membasahi lantai dan dinding secara kapiler sehingga kayu yang bersentuhan dengannya menjadi basah dan ruanganpun cenderung lembab. Menurut Community Development Department of Burbank (2004) tanah yang berhubungan langsung dengan bangunan harus miring minimal 2%. Jarak saluran air dari bangunan sebaiknya tidak kurang dari 1,5 m.

Fakta lapangan menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan kayu tidak awet oleh masyarakat juga menyebabkan serangan jamur pelapuk sangat tinggi. Pada kayu awet dan terlindung oleh cat, perkecambahan spora jamur agak tertahan sampai terjadinya kerusakan cat dan berkurangnya kandungan ekstraktif kayu awet karena pengaruh cuaca, tercuci oleh air hujan, dan terkena sinar matahari. Kayu tidak awet tersebut berasal dari pohon-pohon berumur muda yang berasal dari hutan rakyat dan hutan tanaman seperti sengon dan manii. Hal ini karena semakin tingginya harga kayu komersial yang awet yang sehingga penduduk lebih memilih kayu-kayu yang terjangkau harganya walaupun kurang awet.

Intensitas pelapukan kayu pada bangunan rumah juga ditentukan oleh perilaku manusia dalam teknik dan manajemen pemeliharaan bangunan. Kekurang-pedulian masyarakat dalam pemeliharaan bangunan banyak

(5)

dilatarbelakangi dengan masalah ekonomi. Selain itu juga banyak yang tidak memahami dampak luas pelapukan kayu pada bangunan. Dengan semakin tingginya jumlah dan kepadatan penduduk, maka masalah pelapukan bangunan rumah ini bisa semakin besar. Hal sederhana yang penting dilakukan dalam pemeliharaan bangunan diantaranya adalah inspeksi berkala yang dilakukan terutama pada awal musim hujan. Dengan demikian penetrasi air dan pembasahan komponen bangunan bisa terdeteksi dan ditanggulangi secara dini.

Potensi jamur pelapuk di berbagai daerah di Pulau Jawa juga menentukan resiko pelapukan kayu pada bangunan rumah. Perkecambahan spora jamur pelapuk pada kayu basah yaitu berkadar air lebih dari 20%, merupakan awal mekanisme serangan jamur pelapuk pada bangunan. Hifa-hifa yang terbentuk dapat mengeluarkan enzim pengurai kayu dan menyerap nutrisi dari substrat. Hifa mengalami pertumbuhan, pembelahan sel dan percabangan ke berbagai arah sehingga membentuk koloni yang kemudian diameternya cenderung bertambah yang disebut miselium. Pada kayu basah sering juga ditemukan jamur pewarna dan kapang yang bisa menginfeksi kayu lebih awal sebagai pengkoloni primer, sedangkan jamur pelapuk menjadi pengkoloni sekundernya. Meskipun pada kondisi tertentu jamur pelapuk juga dapat menjadi pengkoloni primer.

Bersamaan dengan kolonisasi jamur, kayu mengalami degradasi sebagai akibat reaksi enzimatik oleh jamur pelapuk dalam mendapatkan makanannya. Selama air cukup tersedia dan faktor lingkungan lainnya mendukung, biodeteriorasi kayu semakin masuk ke dalam kayu dan meluas, bahkan dapat terjadi invasi miselium ke komponen bangunan lainnya dan menurunkan daya dukung struktur komponen bangunan tersebut. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, jamur pelapuk juga bereproduksi dengan menghasilkan tubuh buah yang pada perkembangannya akan mengeluarkan spora-spora yang bisa terbawa angin, aliran air atau serangga ke tempat lain yang sesuai untuk berkecambah menjadi individu baru. Tahapan pembentukan struktur reproduksi jamur berupa tubuh buah pada umumnya terjadi setelah pelapukan kayu berlangsung dalam waktu berbulan-bulan.

(6)

G. applanatum dan S. commune adalah jamur pelapuk yang sering menyerang bangunan rumah-rumah di Pulau Jawa. Hasil uji pertumbuhan kedua jamur tersebut menunjukkan bahwa suhu optimum pertumbuhan jamur G. applantum dan S. commune adalah 37 oC dan 29 oC. Pertumbuhannya terhenti pada suhu 45 oC (S. commune) dan 50 oC (G. applanatum). Kedua jamur tersebut juga lebih menyukai kondisi media yang asam. Pertumbuhan optimumnya terjadi pada pH 4,8 (S. commune) dan 4,6 (G. applanatum). Pada pH 7 pertumbuhan S. commune sangat lambat, sedangkan G. applanatum tidak tumbuh. Data respon jamur terhadap suhu dan pH tersebut bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam pengendalian pertumbuhan kedua jamur kayu tersebut.

S. commune dan G. applanatum merupakan jamur pelapuk putih yang dapat mengakibatkan pelapukan simultan pada kayu. Hal ini ditunjang dengan fakta terjadinya kerusakan kayu oleh kedua jenis jamur tersebut, yaitu terbentuknya banyak lubang dan rongga-rongga dalam kayu. Indikasi pelapukan simultan juga terbukti dari hasil analisis kimia yang menunjukkan bahwa kedua jenis jamur menimbulkan degradasi komponen selulosa yang lebih tinggi daripada degradasi komponen lignin dan hemiselulosa. Gejala delignifikasi kayu oleh kedua jamur tersebut juga tampak dalam pemucatan warna media serbuk kayu dari coklat menjadi coklat muda.

Hasil analisis mikroskopik dan ultramikroskopik telah mengungkap mekanisme invasi jamur G. applanatum dan S. commune ke dalam kayu. Pada bidang lintang kayu, spora-spora jamur lebih mudah menempel karena pada umumnya lebih banyak rongga dan lebih kasar. Spora-spora berkecambah membentuk hifa-hifa yang dengan mudah masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal terutama melalui sel pembuluh (pada kayu daun lebar) atau saluran interseluler (pada kayu daun jarum). Hifa-hifa jamur juga dapat masuk ke dalam kayu dan bergerak pada arah radial melalui sel jari-jari. Pergerakan hifa secara lateral juga terjadi melalui noktah-noktah pada dinding sel pembuluh, sel jari-jari, dan sel parenkim lainnya. Untuk mendapatkan selulosa yang banyak terkandung dalam dinding sel kayu, hifa-hifa jamur harus melalui rintangan lamela tengah dan dinding primer yang kaya kandungan lignin. Jalur yang relatif mudah dilewati

(7)

terutama pada tahap awal serangan ke dalam sel kayu adalah melalui noktah dengan mendegradasi membran tipis secara enzimatik bahkan secara fisik oleh hifa-hifa jamur yang halus. Hifa-hifa yang masuk ke dalam lumen, tumbuh dan mendegradasi dinding sel dari dalam secara lebih mudah. Karena hifa jamur banyak yang masuk ke dalam jari-jari, sel pembuluh dan saluran interseluler, maka sel-sel kayu disekitarnya banyak terdegradasi sehingga terbentuk rongga-rongga dalam kayu yang menjadikan kayu keropos dan mengalami penurunan kekuatan.

Berdasarkan fakta degradasi sifat-sifat kayu yang terjadi, tampak bahwa G. applanatum lebih destruktif daripada S. commune. G. applanatum menyebabkan kehilangan masa kayu lebih banyak yaitu rata-rata untuk kayu pinus, kamper dan sengon selama 12 minggu adalah 5,4%, 7,9%, dan 12,6%, sedangkan S. commune mengakibatkan penurunan berat rata-rata 3,7%, 4,2%, dan 6,7%. Degradasi kayu juga terbukti dengan penurunan sifat mekanis kayu. G. applanatum dan S.

commune mengakibatkan penurunan sifat mekanis kayu yang cukup besar selama

12 minggu yaitu lebih dari 14% baik untuk modulus lentur maupun modulus patah. Walaupun degradasi kayu dalam pemakaian yang berukuran besar tidak secepat itu, tapi serangan jamur pelapuk ini dapat menurunkan fungsi struktural komponen bangunan rumah dan membahayakan bagi penghuninya.

Dengan mencermati mekanisme serangan jamur pelapuk tersebut serta dampaknya terhadap bangunan, maka pengendalian pelapukan kayu pada bangunan perlu mendapat perhatian yang serius. Upaya menghilangkan sumber infeksi jamur berupa kayu lapuk di dalam dan di sekitar bangunan adalah langkah preventif yang baik. Pertumbuhan kapang dan jamur pewarna pada kayu perlu diwaspadai karena menjadi indikasi lingkungan yang mendukung pertumbuhan jamur dan bisa disusul dengan pertumbuhan jamur pelapuk. Kemunculan tubuh buah jamur pelapuk menunjukkan serangan jamur sudah pada tahap lanjut. Pada kondisi tersebut, walaupun tidak terlihat dipermukaan, hifa jamur telah menjalar jauh dari sekitar tubuh buah, sehingga dalam perbaikannya, bagian kayu yang dibuang setidaknya berjarak 50 cm dari bagian yang lapuk. Selain itu kayu

(8)

pengganti harus diawetkan dan dikeringkan untuk mencegah infeksi baru dari hifa yang tertinggal dalam kayu yang masih utuh.

Penggunaan kayu dalam fungsi eksterior tanpa menyentuh tanah di Bogor, Serang, Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya dan kota atau kabupaten lainnya yang tergolong daerah kelas bahaya pelapukan tinggi dan sangat tinggi, harus mendapat perlakuan pengawetan dengan penetrasi dan retensi yang tinggi, misalnya dengan teknik tekanan sebagaimana yang juga direkomendasikan oleh FPL (2000). Hal ini diantaranya adalah untuk mempertahankan bahan pengawet agar tidak mudah tercuci oleh hujan dan bisa melindungi kayu dari serangan jamur pelapuk. Adapun di daerah kelas bahaya pelapukan sedang, pengawetan kayu untuk penggunaan eksterior yang tidak menyentuh tanah cukup dengan teknik rendaman. Alternatif lainnya agar umur pakai kayu cukup panjang adalah dengan menggunakan kayu yang awet alami (kelas awet I atau II). Demikian pula halnya dalam penggunaan kayu yang sering terkena air seperti pintu kamar mandi, maka kayu harus diawetkan, serta diberi bahan penolak air (water repellent) dan cat yang sesuai agar kayu relatif aman dari serangan jamur. Rangka atap yang jarang terperiksa, sebaiknya diawetkan juga terutama yang berpotensi mengalami pembasahan, seperti dekat talang air. Hal ini untuk mencegah pembasahan kayu. Walaupun rembesan air kecil ataupun air dari kondensasi, bila terakumulasi bisa cukup memicu pertumbuhan jamur pelapuk. Dengan demikian dapat menekan biaya perbaikan dan penggantian komponen bangunan yang lapuk terserang jamur.

Dalam bangunan sebaiknya digunakan kayu kering dan harus menjaganya tetap kering (kadar air < 20%) serta terhindar dari pembasahan. Komponen konstruksi dari kayu yang tidak dikeringkan sangat rawan dari serangan jamur. Selain itu cat pelindungnya akan lebih cepat terkelupas dan ukurannya bisa mengalami perubahan sehingga dapat menurunkan kualitas struktur bangunan.

Hal yang sangat penting juga adalah peraturan pemerintah tentang pengawetan kayu bahan konstruksi dengan teknik tekanan terutama di daerah-daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi dan sangat tinggi perlu dilaksanakan secara serius. Pengawetan tersebut diutamakan pada kayu yang

(9)

digunakan pada komponen bangunan yang terkena pengaruh cuaca (hujan dan sinar matahari) langsung, komponen yang sering terkena air dan komponen kayu yang menyentuh tanah. Pengontrolan lapangan pelaksanaan peraturan dapat diprioritaskan kepada para pengusaha bangunan perumahan. Pemerintah dan perusahaan swasta perlu mendorong kegiatan dan usaha pengawetan dan pengeringan kayu serta memasyarakatkan produk-produk bahan pengawet kayu yang sudah terstandarisasi dan murah terutama di kota ataupun kabupaten yang masih berkembang. Pemerintah perlu mengatur peredaran dan penggunaan bahan pengawet kayu yang memudahkan dan melindungi masyarakat.

Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi bahaya pelapukan kayu pada bangunan rumah dalam rangka meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya pengendalian pelapukan kayu terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Masyarakat perlu memahami cara bijaksana dalam menggunakan kayu bahan konstruksi, perlu menyadari pentingnya pengeringan dan pengawetan kayu bahan konstruksi serta lebih memperhatikan pemeliharaan bangunan. Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan dini pelapukan harus lebih diutamakan, selain biaya dapat lebih murah, juga bisa terhindar dari resiko kerusakan struktur bangunan. Pemerintah juga perlu mendorong tersedianya tenaga-tenaga terampil dan bersertifikat di bidang pengawetan dan pengeringan kayu.

Sudah saatnya peraturan konstruksi kayu diterapkan secara lebih serius terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Selain itu, pemerintah juga harus mendorong peningkatan teknologi pengawetan yang tepat guna dan ramah lingkungan. Sebagai contoh menurut Clausen dan Yang (2006) bahan pengawet kayu dalam ruangan harus tidak membahayakan bagi penghuni, tidak volatil, tidak berbau dan dapat memberikan perlindungan yang lama pada kayu walau dalam kondisi lembab. Diantara contohnya adalah biosida multi komponen berbahan dasar borat. Teknologi perlindungan kayu non kimia juga perlu dikembangkan, diantaranya seperti yang dilakukan Leithoff dan Peek (2001) yaitu dengan pemanasan diatas 200 oC yang terbukti meningkatkan ketahanan bambu dari jamur pelapuk Basidiomycetes dan jamur pelapuk lunak.

(10)

KESIMPULAN

Ancaman pelapukan kayu pada bangunan rumah di Pulau Jawa sangat tinggi. Hal ini tercermin dari 47% kota dan kabupaten tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi dan 40% tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Bogor, Serang, Semarang dan Malang adalah daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi, sedangkan Tangerang, Subang, Surakarta, dan Gresik tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Pelapukan kayu pada bangunan rumah merupakan masalah yang serius mengingat 87% rumah mengalami serangan jamur pelapuk. Tingginya ancaman pelapukan kayu di Jawa ini dipengaruhi oleh iklim terutama jumlah hari hujan bulanan, yaitu minimal 7 hari hujan per bulan.

Pelapukan kayu pada bangunan perumahan telah menjadi beban masyarakat banyak. Kerugian ekonomi akibat serangan jamur pelapuk kayu pada bangunan rumah di berbagai kota dan kabupaten yang diteliti berkisar antara Rp 0,4-7,7 milyar/tahun, bahkan di Pulau Jawa nilai kerugiannya menjadi sangat besar, yaitu lebih dari Rp411 milyar/tahun. Dampak ekonomi dari pelapukan kayu bangunan rumah ini akan semakin besar seiring dengan pertumbuhan penduduk dan diperkiran pada tahun 2025 akan bernilai Rp492,5 milyar/tahun.

Selain faktor iklim, keawetan dan kondisi kayu pada bangunan menentukan tingginya resiko pelapukan, karena hal tersebut berkaitan dengan keterbukaan komponen bangunan terhadap pengaruh iklim dan pembasahan. Selain itu, buruknya perawatan bangunan rumah di kalangan masyarakat luas menjadikan masalah pelapukan kayu ini cenderung semakin parah.

Resiko pelapukan kayu juga dipengaruhi oleh potensi jamur pelapuk yang ada. Ganoderma applanatum dan Schizophylum commune merupakan jamur terpenting yang banyak menyerang bangunan rumah di Pulau Jawa. Keduanya mengakibatkan pelapukan simultan sehingga kayu menjadi keropos dan hilang kekuatannya (lebih dari 14%). Hal ini dapat menjadikan struktur bangunan jadi tidak stabil dan berpotensi membahayakan penghuninya.

Peta kelas bahaya pelapukan kayu di Jawa dapat menjadi acuan bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perumahan berbasis

(11)

kondisi wilayah. Dengan demikian penggunaan kayu dapat lebih efisien karena umur pakai komponen kayu bangunan dapat ditingkatan.

Gambar

Gambar 41  Diagram keterkaitan empat faktor resiko pelapukan kayu  pada bangunan  rumah

Referensi

Dokumen terkait

Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Pada Pembelajaran Tanpa Menggunakan Pembelajaran Model Problem Based Learning Hasil analisis data nilai tes awal, tes akhir dan

Menurut American Society of Hyrpertension (ASH) hipertensi adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif sebagai akibat dari kondisi lain

kisi instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel stres kerja yang. diujicobakan dan juga sebagai kisi-kisi intrumen final yang

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Pengujian dan/atau Kalibrasi yang dilaksanakan oleh Balai Pengujian Fasilitas Kesehatan milik pemerintah

Sedangkan kamus lain, yaitu kamus Haag mendefinisikan persepuluhan dengan menekankan pada fungsinya dalam Alkitab Perjanjian Lama, yaitu sebagai pajak untuk Raja (1

Berangkat dari hal tersebut, muatan dokumen Renstra Jemaat GPM Rumdai Tahun Berangkat dari hal tersebut, muatan dokumen Renstra Jemaat GPM Rumdai Tahun 2016-2020

Penderita DM tipe 2 di Rumah Sakit Budi Agung Juwana periode Januari - Desember 2015 berjumlah 116 kasus, terbanyak perempuan, pekerjaan ibu rumah tangga, usia 51-60

dicerminkan terhadap garis Lingkaran dengan pusat dan melalui titik asal adalah.. 8 E-book ini hanya untuk kalangan sendiri tidak untuk dijualbelikan