• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu. diragukan lagi. GBHN pun telah memberikan amanat bahwa prioritas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Peran sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu. diragukan lagi. GBHN pun telah memberikan amanat bahwa prioritas"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peran sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi. GBHN pun telah memberikan amanat bahwa prioritas

pembangunan diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja dan mendorong pemerataan kesempatan berusaha (Soekartawi,1995).

Indonesia memiliki potensi alamiah yang bagus untuk mengembangkan sektor pertanian termasuk tanaman perkebunan sebagai sektor pertanian yang terletak di daerah tropis sekitar khatulistiwa. Indonesia memiliki tanah yang mampu menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun, kondisi iklim yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman, dan curah hujan rata-rata/tahun yang cukup tinggi. Semua kondisi ini merupakan faktor-faktor ekologis yang cukup baik untuk membudidayakan tanaman perkebunan (Rahardi,1995).

Sub sektor perkebunan merupakan sub sektor pertanian yang secara tradisional merupakan salah satu penghasil devisa negara. Hasil-hasil perkebunan yang selama ini telah menjadi komoditi ekspor adalah karet, sawit, teh, kopi dan tembakau. Sebagian besar perkebunan tersebut merupakan perkebunan rakyat

(2)

sedangkan sisanya diusahakan oleh perkebunan besar baik milik pemerintah maupun swasta (Loekman, 1998).

Kelapa sawit di Indonesia dewasa ini merupakan komoditas primadona, luasnya terus berkembang dan tidak hanya merupakan monopoli perkebunan besar negara atau perkebunan besar swasta. Saat ini perkebunan rakyat sudah berkembang pesat. Perkebunan kelapa sawit yang semula hanya di Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Aceh saat ini sudah berkembang di beberapa propinsi antara lain : Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Riau,

Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Irian Jaya, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Jawa Barat (Syamsul, 1996).

Perusahaan adalah semua jenis kegiatan yang berbentuk usaha dengan atau tanpa badan hukum, yang menggunakan atau mempekerjakan buruh/pekerja untuk menghasilkan barang atau jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan. Skala usaha perusahaan dapat dikelompokkan sebagai usaha besar, menengah dan kecil (Nasution, 2005).

Karyawan atau sumber daya manusia (SDM) merupakan satu-satunya aset perusahaan yang bernafas atau hidup disamping aset-aset lain yang tidak bernafas atau bersifat kebendaan seperti modal, bangunan gedung, mesin, peralatan kantor, persediaan barang dan sebagainya. Keunikan aset SDM ini mensyaratkan

pengelolaan yang berbeda dengan aset lain, sebab aset ini memiliki pikiran, perasaan dan prilaku sehingga jika di kelola dengan baik mampu memberi sumbangan bagi kemajuan perusahaan secara aktif (Istijanto, 2005).

(3)

Sesuai dengan tujuan perusahaan perkebunan memperoleh kerja efisien, maka pola rekrutmen sistem kerja dan pengawasan dirancang sedemikian rupa untuk menghambat mobilitas sosial sehingga menciptakan kondisi ketergantungan yang tinggi kepada perusahaan perkebunan. Pengawasan yang otoriter-represif, pemukiman relatif terisolasi dari pusat peradaban dan permukiman tertutup dari pengaruh luar, menekan upah yang serendah-rendahnya agar mereka selalu berhutang merupakan paket kondisi kerja buruh yang menghambat mobilitas buruh (Situmorang, 2008).

Buruh/pekerja adalah orang yang bekerja dan secara formal mempunyai hubungan kerja sah dengan perusahaan dan menerima upah dari perusahaan. Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, pekerja/buruh diikat oleh suatu ikatan kerja yang disepakati bersama antara pekerja/buruh dan pengusaha, dimana kedua belah pihak berkewajiban untuk menaati dan mematuhi semua ketentuan yang telah disepakati. Buruh harus memiliki kesadaran yang objektif atas pekerjaannya. Dengan demikian kerja bukan hanya semata-mata objektivitas diri manusia untuk mengangkat harga diri dan martabatnya, tetapi juga kesadaran dan eksistensinya (Nasution, 2005).

Bermacam-macam kegiatan dalam proses produksi membedakan tenaga kerja/buruh berdasarkan jenis kelamin. Tenaga kerja pria mengerjakan pekerjaan lebih berat seperti pengolahan tanah dan mengangkut hasil panen, sebaliknya tenaga kerja wanita mengerjakan pekerjaan yang lebih ringan seperti penyiangan. Tingkat partisipasi kerja wanita lebih rendah bila dibandingkan dengan pria hal ini mencerminkan bahwa daya saing kaum wanita untuk bekerja diluar rumah masih

(4)

lebih rendah dibandingkan kaum pria. Hal ini juga dapat di lihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin di Seluruh Kebun PT SOCFINDO.

Kebun Buruh Jumlah

(Orang) Wanita Pria Matapao Bangun Bandar Tanah Gambus Aek Loba Padang Pulau Negri Lama Sei Liput Seunagan Seumayam Lae Butar Tanjung Maria Tanah Besih Lima puluh Aek Pamingke Halimbe PSBB 64 75 108 206 27 56 109 141 100 128 58 58 74 156 49 29 441 525 758 1446 196 398 766 993 704 901 406 409 519 1096 344 204 505 600 866 1652 223 454 875 1134 804 1029 464 467 593 1252 393 233 Jumlah 1438 10106 11544

Sumber : Kantor Besar PT SOCFINDO tahun 2010

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah tenaga kerja pria lebih besar dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja wanita. Atau perbandingan tingkat

(5)

partisipasi kerja antara pria dan wanita kurang lebih 1:8 dari jumlah keseluruhan tenaga kerja di setiap kebun.

Pengembangan profesionalisme tenaga kerja adalah merupakan syarat utama untuk menjawab tantangan pengembangan dunia usaha dan industri yang bersifat kompetitif dalam era globalisasi. Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui berbagai jalur, diantaranya melalui pendidikan, pelatihan serta

pengembangan di tempat kerja. Pendidikan merupakan jalur peningkatan kualitas SDM yang lebih menekankan pada pembentukan kualitas dasar, misalnya

keimanan ketaqwaan, kepribadian, kecerdasan, kedisiplinan, kreatifitas dan sebagainya. Sedang pelatihan lebih menekankan pada pembentukan dan

pengembangan profesionalisme dan kompetisi. Sementara itu pengembangan di tempat kerja merupakan jalur pemantapan aplikasi kompetisi SDM untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi (Sinuraya, 2001).

Namun, pengelolaan SDM yang tradisional biasanya terpusat pada pelaksanaan kegiatan perekrutan, seleksi dan pengujian, penempatan,

pengupahan, pelatihan transport, promosi serta berbagai tindakan kepegawaian yang lain. Pengorganisasian kerap kali juga menjadi tugas dari pengelola SDM. Bila dikaji secara seksama, maka fokus manajemen SDM yang tradisional adalah pada kepentingan perusahaan. Tugasnya adalah mengusahakan para pekerja agar dapat menjadi sember daya produksi yang efektif (Sinuraya, 2001).

Para ekonom kapitalistik memandang buruh yang bekerja dalam proses produksi sama dengan menyewakan dirinya secara utuh pada majikan. Dengan kata lain, yang dijual oleh buruh bukanlah sekedar tenaga kerjanya saja, namun

(6)

juga menjual atau menyewakan dirinya dalam jangka waktu tertentu. Nilai baru yang di tambahkan buruh terhadap barang tidak kemudian dikembalikan kepada buruh sebagai ganti kontribusi yang diberikan pada buruh adalah sebatas besaran biaya produksi dirinya. Biaya produksi buruh yang kemudian diberikan pemberi kerja merupakan nilai yang diberi perusahaan agar buruh sekedar dapat dan sanggup bekerja dan inilah yang kemudian dinamakan upah minimum seperti yang diberlakukan selama ini (Sudjana, 2002).

Dari uraian di atas tidak dapat dipungkiri bahwa buruh/tenaga kerja memang merupakan salah satu faktor produksi yang sangat dibutuhkan oleh perusahaan perkebunan disamping tanah, modal dan manajemen. Pengkajian mengenai upah buruh perkebunan di Indonesia menjadi sangat penting. Agar buruh mendapat penghidupan yang layak maka upah yang diterima oleh buruh dari perkebunan atau perusahaan dimana ia bekerja harus mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, tingkat upah buruh dewasa ini belum dapat memenuhi kehidupan yang layak, terlihat kesenjangan yang jauh berbeda antar kinerja buruh yang tinggi dengan upah yang rendah dan Apakah buruh juga mendapat kepuasan terhadap upah yang diterimanya. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis untuk melakukan riset tentang tingkat kepuasan buruh perkebunan terhadap sistem pengupahan. Dengan menetapkan buruh perkebunan PT SOCFINDO Kebun Matapao sebagai objek penelitian.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dirumuskan beberapa masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana sistem pengupahan buruh perkebunan

(7)

PT SOCFINDO Kebun Matapao, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat kepuasan buruh perkebunan di PT SOCFINDO Kebun Matapao, dan bagaimana tingkat kepuasan buruh perkebunan PT SOCFINDO Kebun Matapao.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah maka tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut untuk mengetahui sistem pengupahan buruh perkebunan PT SOCFINDO Kebun Matapao, mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan buruh perkebunan di PT SOCFINDO Kebun Matapao dan mengetahui tingkat kepuasan buruh perkebunan PT SOCFINDO Kebun Matapao.

Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan (policy maker) di PT SOCFINDO khususnya Kebun

Matapao dalam rangka memperhatikan tingkat Kepuasan buruh perkebunan khususnya dalam sistem pengupahan, dan sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin di Seluruh  Kebun PT SOCFINDO.

Referensi

Dokumen terkait

cahaya matahari pada wilayah kepulauan nusa tenggara barat sampai nusa tenggara timur dapat dengan jelas menyinari daerah tersebut karena sedikitnya polusi kendaraan dan

Tujuan artikel ini adalah untuk melihat kegunaan konseling kelompok melalui pendekatan cognitive behavior therapy (CBT) dalam upaya meningkatkan kesadaran melanjutkan

hubungan antara pengetahuan responden dengan perilaku pencarian pengobatan IVA positif.Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Heni, dkk (2013) yang mengatakan

tingkat pendidikan formal, pengetahuan dari tingkat pendidikan profesional berkelanjutan dan pengetahuan dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh ketika melakukan

takwa yang dulu pasti berwarna hijau tapi kini warnanya pudar menjadi putih. Bekas-bekas warna hijau masih kelihatan di baju itu. Kaus dalamnya berlubang di beberapa bagian

Dari hasil penelitian terhadap 37 responden, menunjukkan bahwa pengetahuan perawat tentang peran perawat UGD yang baik sejumlah 54%, sedangkan yang bersikap

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1) Untuk mengetahui pengaruh mekanisme tata kelola perusahaan melalui

Lampiran 17 Hasil pengujian formal dengan spesifikasi tren nilai rata-rata hasil evaluasi mata kuliah pada fakultas setiap tahun. Lampiran 18 Hasil pengujian non formal