5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Penelitian yang Relevan
Untuk membedakan penelitian yang berjudul “Gejala Bahasa dalam
Pembentukan Kata pada Bahasa Gaul Grup Chat LINE Remaja Perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung Bekasi” dengan penelitian yang telah ada sebelumnya,maka peneliti meninjau dua laporan penelitian, yaitu skripsi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto:
1. Kajian Pembentukan Kata Ragam Bahasa Alay dalam Status Jejaring Sosial
FACEBOOK oleh Achmad Harun Arrasyid, NIM 0901040034
Penelitian tersebut bertujuan mendeskripsikan proses pembentukan ragam bahasa alay dalam status jejaring Facebook. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dan penerapannya melalui tiga tahap; (a) tahap penyediaan data, dalam tahap ini digunakan metode simak dan metode catat, (b) tahap analis berisi data, dalam tahap ini digunakan metode agih, (c) tahap penyajian hasil analisis data, dalam tahap ini digunakanmetode penyajian informal dan formal.
6
Bekasi” datanya berupa kata gaul dalam tuturan (teks) dari remaja Perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung Bekasi. Sumber datanya screenshot chat grup Line dari handphone remaja perumahan Kartika Wanasari Indah Cibitung Bekasi tersebut.
2. Deskripsi Penggunaan Bahasa Gaul dalam Kajian Etnolinguistik oleh Hartini, NIM 0001540012
7
B. Pengertian Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandasan pada budaya yang mereka miliki bersama (Dardjowidjojo, 2010:16).Berkaitan dengan pengertian oleh pakar di atas, menurut Keraf (1984: 16), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.Depdiknas (2007: 116) mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbiter , yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Dari pengertian yang dikemukakan para pakar tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa bahasa sebuah sistem lambang bunyi yang arbiter yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, digunakan untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri berdasarkan pada budaya yang dimilikibersama.Bahasa dan manusia menjadi kesatuan yang utuh.
C. Pengertian Ragam Bahasa Gaul
8
ragam bahasa akrab. Ragam bahasa santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bicang dengan keluarga atau teman karib pada saat beristirhat, berolahraga, berekreasi dan sebagainya.Ragam bahasa akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh penutur yang hubunganya sudah akrab, seperti antara anggota keluarga atau antar teman yang sudah karib (Chaer dan Leoni Agustina, 2004: 71). Dalam hal ini bahasa gaul termasuk ragam bahasa akrab karena bahasa gaul itu sendiri digunakan oleh suatu komunitas atau grup tertentu yang anggotanya sudah mengenal satu sama lain namun dapat juga digunakan untuk perkenalan sesama remaja di lingkungannya. Penjelasan itu bisa dikaitkan dengan pendapat Mastuti (2008: 45), yaitu awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu, tetapi karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama kelamaan istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari.
Dari keseluruhan pendapat yang ada dapat disimpulkan bahasa bahasa gaultermasuk ragam bahasa tidak baku yaitu bahasa akrab. Ragam bahasa gaul digunakan oleh sekelompok remaja tertentuuntuk menjaga identitas perkataan juga untuk menunjang eksistensi mereka. Namun lama kelamaan bahasa digunakan untuk bahasa sehari-hari untuk menjalin keakraban atau pun perkenalan sesame remaja di sekitarnya.
D. Pengertian Pembentukan Kata
9
proses pertumbuhan dan perkembangan itu, sangat dimaklumi akan ada peristiwa perubahan, terutama perubahan bentuk kata. Pada umumnya, perubahan bentuk kata itu disebabkan oleh adanya beberapa perubahan bentuk kata asli karena pertumbuhan dalam bahasa itu sendiri, atau karena memang adanya perubahan bentuk dari kata-kata pinjaman (Muslich, 2008: 101).Menurut Keraf (1984: 132) perubahan bentuk kata adalah perubahan dari bentuk kata-kata asli suatu bahasa karena pertumbuhan dalam bahasa itu sendiri.Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa, perubahan pembentukan kata adalah perubahanbentuk suatu satuan gramatikal menjadi bentuk gramatikal baru yang disebut kata, perubahan bentuk tersebut dapat berbentuk asli dari bahasa yang biasa, bisa juga bentuk-bentuk pinjaman dari bahasa lain.
E. Proses Pembentukan Kata Ragam Bahasa Gaul
Menurut Mastuti (2008:56-58) proses pembentukan ragam bahasa gaul mempunyai 11 cara yaitu :
1) Proses nasalisasi “kata kerja aktif –in” untuk membentuk kata kerja transitif. Contoh : pikir →mikirin
cari →nyariin
2) Bentuk pasif 1 : “ di + kata dasar + in”. Contoh : dua →diduain
jalan→dijalanin 3) Bentuk pasif 2 : “ ke + kata dasar” Contoh : tangkep → ketangkep
timpa→ketimpa
4) Pengghilangan huruf (fonem) awal. Contoh : habis →abis
10
5) Penghilangan huruf “h” pada awal suku kata bentuk baku. Contoh : tahu →tau
habis→ abis
6) Pemendekan kata atau kontaksi dari dua kata yang berbeda. Contoh : bagaimana →gimana
terima kasih →makasih 7) Penggunaan istilah lain.
Contoh : cantik →kece mati→koit
8) Penggantian huruf “a” dan “e”. Contoh : benar →bener
pintar→pinter
9) Penggantian diftong „au‟ dengan „o‟ dan „ai‟ dengan „e‟. Contoh : kalau →kalo
sampai→sampe
10) Pengindonesiaan bahasa asing (Inggris). Contoh : sorry →sori
comment→komen
11) Penggunaan bahasa Inggris secara utuh. Contoh : what →apa
Selain itu, menurut Mastuti (2008 : 70) ragam bahasa gaul juga dapat dibentuk dari singkatan atau akronim, serta istilah-istilah baru yang sangat asing dan bahkan tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menurut Wijana (2010: 25-48 ) pembentukan kata bahasa gaul meliputi : 1) Proses perubahan bunyi
a) Proses perubahan vokal, misalnya vokal „e‟ menjadi „i‟ dan „o‟ menjadi „e‟. Contoh : benar →binar
11
b) Proses perubahan konsonan, misalnya konsonan „s‟ menjadi „c‟. Contoh : selamat →celamat
2) Proses penambahan bunyi, misalnya penambahan vokal “ok” disisipkan di tengah kata.
Contoh : bapak →bokap (bap+ok)
3) Proses penghilangan bunyi, penghilangan fonem di depan sehubungan dengan jatuhnya tekanan pada kata yang cenderung lebih banyak pada suku yang ke dua. Contoh : eyang Putri →eyang ti
4) Proses perpindahan bunyi,bantuk kata dipindahkan atau ditukarkan dengan fonem lainya.
Contoh : piye →yipe iyo→yoi
5) Proses pembalikan bunyi, pengucapan atau penulisan yang secara total membalik bunyi kata-kata.
Contoh : sego →oges pecah→hacep
6) Perulangan, bagian akhir kata diulang-ulang. Contoh : sayang →yayang
dingin →ninin 7) Perubahan ejaan.
a) Perubahan ejaan meniru ejaan asing, lambang vokal “i” yang harusnya ditulis “I” namun disini dilambangkan dengan “y”.
Contoh : sialan →syellen nikmat→ nykmat
b) Perubahan bentuk bahasa asing meniru bahasa Indonesia, proses pinjaman kata-kata yang masih dipertahankan ucapanya dan ejaannya sama atau hampir sama. Contoh : married →merit (kawin)
12
Selain itu, menurut Wijana (2010: 18- 21) pembentukan bahasa gaul terdapat bentuk pemendekan meliputi :
8) Singkatan yaitu proses abreviasi yang menggambil awal hurul. Contoh : bekas orang susah → BOS
blue film →BF
9) Akronim yaitu kata yang dibentuk dari gabungan suku pembentukan frasa sehingga memungkinkan diucapkan seperti kata biasa.
Contoh : anak basket →abas
anak desa irama dangdut sonata → adidas
Menurut Sumarsono (2014: 151-153), proses pembentukan kata meliputi: 1) Penyisipan konsonan v+vocal, di tempatkan di belakang setiap suku kata. Contoh : mata →ma+ta (ma+va)+(ta+va) mavatava
2) Penggantian suku kata akhir denga –sye, setiap kata diambil hanya suku pertama dan suku yang lain diganti dengan –sye.
Contoh : kunci →kunsye tambah →tamsye
3) Membalikan fonem-fonem dalam kata (ragam walikan), fonem-fonem dibaca menurut urutan fonem dari belakang, dibaca terbalik (Jawa= Walikan).
Contoh : tidak →kadit sari→iras
4) Variasi baru, Ragam walikan namun disisipi bunyi-bunyi tertentu. Contoh : tidak →kadit →kadodit
sehat→ tahes →tahohes
Menurut Kridalaksana (1992: 12-163) proses pembentukan katameliputi: 1) Derivasi zero yaitu dalam proses ini leksem menjadi kata tunggal tanpa perubahan
13
2) Afiksasi yaitu dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks. Afiksasi dibagi menjadi bebrapa jenis:
a) Prefiks, yaitu afik yang diletakan di muka dasar. Contoh : me-, di-, ber-, ke-, ter-, pe-, per-, se- b) Infiks, yaitu afik yang diletakan di dalam dasar. Contoh : -el-, -er-, -em- dan –in-
c) Sufiks, yaitu afik yang diletakan di belakang dasar. Contoh : -an, -kan, -i
d) Simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada dasar.
Contoh : kopi →ngopi sate→nyate
e) Konfiks, afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan satu di belakang bentuk dasar dan berfungsi sebagai satu morfem terbagi.
Contoh : ke-an, pe-an, per-an dan ber-an
f) Superfiks atau suprafiks yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental atau afik yang berhubungan dengan morfem suprasegmental. Contoh : suwe →lama
wedi→takut
g) Kombinasi afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar.
Contoh : pe-an
3) Reduplikasi yaitu dalam proses ini leksem berubah menjadi kata kompleks dengan beberapa macam proses pengulangan.
14
b) Repduplikasi morfemis, proses perubahan makna gramatikal atau leksem yang di ulang, sehingga terjadilah satuan kata.
Contoh : bongkar- bongkar
c) Repduplikasi sintaksis, proses yang terjadi atas leksem yang meng hasilkan satuan yang berstatus klausa.
Contoh : jauh- jauh
4) Abreviasi (bentuk pemendekan) yaitu proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata.
a) Singkatan, yaitu salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf.
Contoh : kuliah kerja nyata →KKN
b) Penggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian dari leksem.
Contoh : profesor →prof
c) Akronim, yaitu proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lainya yang di tulis atau di lafalkan selayaknya kata.
Contoh : mobile rak ono →moreno
d) Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem.
Contoh : tidak →tak
e) Lambang huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan atau unsur.
15
5) Komposisi (perpaduan) adalah proses dua leksem atau lebih berpadu yang membentuk kata.
a) Ketaktersisipan artinya di antara komponen-komponen kompositum tidak dapat disisipi apa pun.
Contoh : buta warna
b) Ketakterluaskan artinya komponen kompositum itu masing-masing tidak dapat
diafiksasikan atau di modifikasi. Contoh : kereta api
c) Keterbalikan artinya komponen kompositum tidak dapat di pertukarkan. Contoh : pulang pergi
6) Derivasi balik adalah proses pembentukan kata karena bahasawan membentuknya berdasarkan pola-pola yang ada tanpa mengaenal unsure-unsurnya.
Contoh : pinta →minta
Masih terkait dan proses pembentukan kata, berikut ini diuraikan proses pembentukan dalam bahasa Betawi,Sahara (2014: 120-121).
1) Orang Betawi menunjukkan kekhasan dengan banyak mengucapkankata berfonem /a/ menjadi /e/, fonem /u/ menjadi /o/, fonem /o/menjadi /u/.
Contoh : apa →ape rabu → rebo
2) Bahasa Betawi tidak mengenal vokal rangkap (diftong). Kata yangdalam bahasa Indonesia mengandung diftong /ai/ dan /au/diucapkan dengan bunyi /e/ dan /o/ dalam bahasa Betawi.
16
3) Kata-kata yang berakhiran maupun pertengahan konsonan “h” dalambahasa Indonesia, dalam bahasa Betawi diucapkan tanpa “h”. BahasaBetawi banyak menghilangkan konsonan “h” pada kata kerja,katasifat, kata bilangan, bahkan
nama orang.
Contoh: salah →sale
4) Bahasa Betawi memnggunakan awalan verba prenasal. Kata kerjadalam bahasa Betawi sering kali berupa nasal yang mengawali bentukdasar.
Contoh : pukul →mukul.
5) Awalan ber- hampir tidak pernah muncul utuh dalam bahasa Betawi. Contoh : berbisik → bebisik
6) Sufiks –i dan –kandalam bahasa Indonesia berubah menjadi akhiran–in dalam bahasa Betawi.
Contoh : ambilkan →ambilin
7) Dalam bahasa Betawi akhiran –an menyatakan lebih. Contoh : lebih baik→baikan
8) Bentuk kata ulang sebagian dalam bahasa Betawi mewakili maknaberkelanjutan dalam bahasa Indonesia.
Contoh : memberes-bereskan→bebenah.
9) Dalam bahasa Betawi terdapat verba maen dan keje yang produktifdigunakan sebagai awalan yang berarti “melakukan dengansembarangan” dan “menunjukkan
arti kausatif”.
Contoh : menyebabkan marah→keje mare
17
bahasa Jawa terdapat Tembung Owah, antara lain tembung owah saka linggane (kata-kata yang sudah mengalami perubahan dari dasarnya). Terdapat pula Tembung Andhahan (kata jadian). Proses pembentukan kata Tembung Andhahan ada beberapa cara :
1) Diberi ater-ater (awalan)
Macam-macam ater-ater : (n), (ny), (m), (ng) bisa di sebut ater-ater hanuswara atau swara irung (suara sengau); tak-, ko-, di-, ka-, ke,sa-, pa-, pi-, pra-, tar-, kuma-, kap-I, a, ma-, pan-, pam-, pang- dan sebagainya.
2) Diberi seselan (sisipan): um, in, ,er, el
3) Diberi penambang (akhiran): a, i, e, an, en, ana, ake, na, ne, ku, mu. Contoh : ro → paro
arsa →karsa
F. Gejala Bahasa dalam Pembentukan Kata
18
analogi, gejala kontaminasi, gejala Pleonasme, gejala hiperok, penambahan fonem (adisi), penghilangan fonem (reduksi), kontraksi, metatesis, adaptasi, varian, asimilasi, disimilasi, diftongisasi, monoftongisasi, anaptiksis dan hapologi
1. Gejala Analogi
Menurut Badudu (1985: 47),gejala analogi adalah peristiwa bentukan bahasa yang meniru contoh yang sudah ada.Menurut Muslich (2008: 101-108),gejala analogi adalah suatu bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah ada. Sedangkan menurut Kridalaksana (2008: 15) analogi merupakan proses atau hasil pembentukan unsur bahasa karena pengaruh pola lain dalam bahasa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala analogi bentukan bahasa dengan meniru contoh yang sudah ada sebelumnya. Contoh : saudara- saudari →dewa-dewi
2. Gejala Kontaminasi
Menurut Badudu (1985: 51) kontaminasi ialah gejala bahasa yang dalam bahasa Indonesia diistilahkan dengan kerancuan.Rancu artinya “kacau”, jadi kerancuan artinya “kekacauan”.Yang dirancukan ialah susunan, perserangkaian,
penggabungan kata. Dua kata yang harusnya berdiri masing-masing sendiri di satukan dalam satu perserangkaian baru yang tidak berpasangan atau berpandanan. Menurut Muslich (2008: 101-108) kontaminasi sama dengan kerancuan. Kata rancu berarti „campur aduk‟, „tumpang tindih‟, „kacau‟.Dalam bidang bahasa kata rancu (kerancuan
19
secara tidak sengaja atau tidak lazim dihubung-hubungkan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala kontaminasi adalah dua kata yang bida berdiri sendiri namun disatukan menjadi kata yang tidak wajar.
Contoh : berkali-kali berulang-ulang
3. Gejala Pleonasme
Kata ini berasal dari bahasa latin “pleonasmus” dalam bahasa Grika “pleonazein” artinya kata-kata berlebih-lebihan”.Menurut Badudu (1985: 55) gejala
pleonasme dalam bahasa berarti pemakaian kata yang berlebih-lebihan yang sebenarnya tidak diperlukan.Menurut Kridalaksana (2008: 195) pleonasme merupakan pemakaian kata-kata lebih dari pada yang diperlukan.Jadi, dapat disimpulkan gejala pleonasme merupakan pemakaian kata yang berlebihan atau pemakaian kata yang tak seharusnya dipakai.
Contoh : zaman dahulu kala sejak dari kecil\
4. Gejala Hiperkorek
Gejala hiperkorek atau dengan istilah lain “over elegant” banyak kita jumpai
20
Contoh : islam →isylam kabar →khabar pihak →fihak
5. Penambahan Fonem (Adisi)
Gejala adisi ialah perubahan yang terjadi dalam suatu tuturan yang ditandai oleh penambahan fonem. Gejala adisi dapat dibedakan menjadi tiga sabagai berikut: a. Protesis
Protesis adalah penambahan fonem di depan kata (Badudu, 1985: 63). MenurutMuslich (2008: 101-108) proses penambahan fonem pada awal kata. Depdiknas (2007: 1107) protesis adalah penambahan vokal atau konsonan di awal kata. Dapat disimpulkan protesis adalah penambahan fonem vokal atau konsonan di depan kata. Misalnya :
lo → elo
desa → ndes
b. Epentesis
Epentesis adalah penambahan fonem di tengah kata (Badudu, 1985: 63). Menurut Muslich (2008: 101-108) proses penambahan fonem di tengah kata. Depdiknas (2007: 377) epentesis adalah penambahan vokal atau konsonan di tengah kata.Dapat disimpulkan bahwa epentesis merupakan penambahan fonem vokal dan konsonan di tengah kata. Misalnya:
perih → peurih apa → apha
c. Paragog
21
(2007:1020) paragog adalah penambahan fonem atau bunyi di akhir kata.Dapat disimpulkan bahwa paragog merupakan penambahan fonem vokal dan konsonan di akhir kata. Misalmya:
aku → akuh
ini → inih
6. Penghilangan Fonem (Reduksi)
Gejala reduksi ialah peristiwa pengurangan fonem dalam suatu kata. Gejala reduksi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Afersis
Afersis adalah penghilangan fonem pada awal kata (Badudu, 1985: 63). Menurut Muslich (2008: 101-108) proses penghilangan fonem pada awal kata. Depdiknas (2007: 14) afersis adalah penanggalan huruf awal atau suku awal kata.Menurut Kridalaksana (1992: 161) afersis adalah penghilangan suku di awal kata termasuk dalam pemendekan atau penggalan.Dari ke tiga pakar tersebut dapat disimpulkan afersis adalah penghilangn fonem vokal dan konsonan di awal kata. Misalnya:
lagi → agi
sama → ama
b. Sinkop
22
bangun → banun mau → mu
c. Apokop
Apokop adalah proses penghilangan fonem pada akhir kata (Badudu, 1985: 63). Menurut Muslich (2008: 101-108) proses penghilangan fonem pada akhir kata.Depdiknas (2007: 82) apokop adalah hilangnya satu bunyi atau lebih pada akhir sebuah kata.Dapat disimpulkan bahwa apokop merupakan penghilangan fonem vokal dan konsonan di akhir kata. Misalnya:
ada → ad apa → ap
7. Kontraksi
Kontraksi yaitu proses pemendekan yang meringkas leksem dasar atau gabungan dari leksem (Kridalaksana, 1992: 162) atau gejala yang memperlihatkan adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan (Muslich, 2008: 101-109). Menurut Badudu (1985: 64) kontraksi memiliki gejala adanya satu atau lebih fonem yang dihilangkan kadang-kadang ada perubahan atau penggalan fonem. Kontraksi adalah proses atau hasil pembentukan suatu bentuk kebahasaan (Depdiknas, 2007: 729). Jadi dapat disimpulkan gejala kontraksi adalah pemendekan leksem dasar atau gabungan leksem dengan caramembuang satu atau lebih fonem yang ada.Misalkan:
tidak → tak tidak akan → takan tidak ada → tiada
8. Metatesis
23
tempat,Kridalaksana (2009: 153) perubahan letak huruf, bunyi, atau suku dalam kata.Dapat disimpulkan bahwa metatesis adalah pertukaran fonem-fonem dari kata yang sudah ada.Misalnya :
lekuk → keluk sapu → usap, apus
9. Adaptasi
Adaptasi artinya penyesuain.Kata-kata pungut yang diambil dari bahsa asing berubah bunyinya sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucap lidah orang Indonesia (Badudu, 1985: 67).Menurut Muslich (2008: 101-108) adaptasi ialah perubahan bunyi dan struktur bahasa asing menjadi bunyi dan struktur yang sesuai dengan penerimaan pendengaran atau ucap lidah bangsa pemakai bahasa yang dimasukinya.Jadi, dapat disimpulkan adaptasi adalah kata-kata pungut yang disesuaikan dengan pendengaran atau alat ucap seseorang dimana dia tinggal.Misalnya:
muwafakat → mupakat fardhu → perlu
10. Varian
24
direncanakan → direncanaken berdasarkan → berdasarken
11. Asimilasi
Menurut Muslich (2008: 101-108) gejala asimilasi berarti proses penyamaan atau penghampirsamaan bunyi yang tidak sama. Menurut Kridalaksana (2008: 20) asimilasi adalah proses perubahan bunyi yang mengakibatkannya mirip atau sama dengan bunyi lain di dekatnya.Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala asimilasi merupakan penghampir samaan bunyi dengan wujud kata yang berbeda dan arti yang berbeda.Missalnya :
mertua → mentua inmoral → immoral
12. Disimilasi
Menurut Muslich (2008: 101-108) disimilasi adalah proses berubahnya dua buah fonem yang sama menjadi tidak sama. Menurut Kridalaksana (2008: 51) disimilasi adalah perubahan yang terjadi bila dua bunyi yang sama berubah menjadi tidak sama. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gejala disimilasi merupakan suatu perubahan fonem yang mengubah arti yang sama menjadi berbeda. Misalnya:
citta → cipta sajjana → sarjana
13. Diftongisasi
25
diftongisasi merupakan proses perubahan vokal tunggal menjadi dua bunyi vokal rangkap. Misalnya:
sodara → saudara suro → surau
14. Monoftongisasi
Menurut Muslich (2008: 101-108), monoftongisasi adalah proses perubahan suatu diftong (gugus vokal) menjadi monoftong. Menurut Kridalaksana (2009:157), monoftongisasi merupakan proses perubahan dari sebuah diftong menjadi sebuah monoftong.Jadi, dapat disimpulkan bahwa monoftongisasi merupakan perubahan dua bunyi vokal rangkap menjadi vokal tunggal. Misalnya:
gurau → guro sungai → sunge
15. Anaptiksis
Menurut Muslich, 2008: 101-108), anaptiksis adalah proses penambahan suatu bunyi dalam suatu kata guna melancarkan ucapanya. Menurut Kridalaksana (2008: 15), anaptiksis merupakan penyisipan vokal pendek diantara dua konsonan atau lebih untuk mensderhanakan struktur suku kata.Jadi, dapat disimpulkan anaptiksis merupakan penyisipan fonem pada suatu suku kata. Misalnya:
putra → putera candra → candera
16. Haplologi
26
merupakan penghilangan satu atau dua bunyi yang sama dan berurutan. Jadi, dapat disimpulkan haplologi merupakan penghilangan suku kata pada suatu kata.Misalnya:
mahardhika → merdeka budhidaya → budaya
Pembentukan kata bahasa gaul tampaknya memiliki keterkaitan dengan teori gejala bahasa:
a. Dalam teori gejala bahasa terdapat gejala hiperkorek (Badudu, 1985: 57), yaitu gejala yang mengubah kata yang sudah betul menjadi salah dengan mengubah ejaan atau pun huruf. Gejala tersebut juga terdapat pada pembentukan kata dengan penggantian huruf (Mastuti, 2008: 56-58), dengan perubahan bunyi, atau denganperubahan ejaan yang meniru ejaan asing (Wijana, 2010: 25-39). Jadi, Dapat disimpulkan bahwa terdapat persamaan antara proses penggantian fonem dengan gejala hiperkorek.
Contoh : panas → fanas pihak → fihak
b. Wijana (2010: 25-48 )di dalam pembentukan bahasa gaul terdapat proses penambahan bunyi. Proses pembentukan ini sejalan dengan gejala bahasapenambahan fonem (protesis, epentesis, paragog) (Badudu, 1985: 63) atauterdapat gejala adisi dan anaptiksis(Muslich, 2008: 101-108). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat keterkaitanantara gejala penambahan fonem atau adisi dan anaptiksis dengan pembentukan kata bahasa gaul.
Contoh : rokok → ngrokok peduli → perduli
27
Proses ini sejalan dengan gejala bahasa, penghilangan fonem (aferisis, sinkop, apokop), (Badudu, 1985: 63)ataudengan gejala reduksi dan haplology (Muslich, 2008 : 101-108). Jadi, dapat disimpulkanbahwa terdapatketerkaitan antara proses pembentukan bahasa gaul dengan gejala penghilangan fonem atau gejala reduksi dan haplology.
Contoh : sebatang → sebat memang →emang
tahu → tau
d. Menurut Mastuti (2008:56-58), dalam proses pembentukan kata ragam gaul terdapat proses pemendekan kata atau kontraksi. Prosesnya tidak berbeda dengan pemendekan salah satunya kontraksi (Kridalaksana, 1992: 162). Proses pembentukan tersebut terdapat pula di dalam gejala bahasa(Badudu, 1985: 64) dan Muslich (2008: 101-108) di dalam gejala bahasa terdapat pula gejala kontraksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat relevansi antara proses pemendekan kata dengan gejala kontraksi dalam pembentukan kata.Meskipun demikian, proses pemendekan ini tidak hanya yang relevan dengan gejala kontraksi. Proses pemendekan tersebut, menyangkut penyingkatan, penggalan, dan akronimisasi (Wijana, 2010: 25-48; Mastuti, 2008: 70; Kridalaksana, 1992: 162). Semuanya tergabung dalam proses abreviasi. Dapat disimpulkan bahwa gejala kontraksi atau pemendekan termasuk gejala bahasa. Contoh : kurang pergaulan → kuper
gerak cepat → gercep
28
demikian, dapat disimpulkan bahwa proses perpindahan bunyi dengan gejala metatesis memiliki persamaan.
Contoh : piye → yipe
f. Dalam proses pembentukan kata bahasa gaul terdapat pengindonesiaan bahasa asing (Mastuti, 2008: 58) atau pembentukan katadengan perubahan meniru bahasa Indonesia (Wijana, 2010: 42). Pola pembentukan tersebut sejalan dengan gejala adaptasi (Badudu, 1985: 65), (Muslich, 2008 : 101-108). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan kata (yang di serap dari bahasa asing) dengan cara pegindonesiaan bahasa asing tersebut terdapat gejala adaptasi. Dalam hal ini kata-kata asing yang di serap, pengucapan dan penulisanya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Contoh : sorry → sori shock → siyok
g. Dalam pembentukan kata bahasa gaul terdapat penggantian diftong „au‟ dengan „o‟ dan „ai‟ dengan „e‟ (Mastuti, 2008: 56-58). Pembentukan ini sejalan dengan
gejala diftongisasi yang di kemukakan oleh Muslich (2008: 101-108). Dapat disimpulkan bahwaproses pembentukan kata bahasa gaul diftong memiliki persamaan dengan gejala diftongisasi yaitu vokal tunggalmenjadi perubahan dua bunyi vokal rangkap.
Contoh : pete → petai pulo →pulau
29
tertentu. Walaupun demikian ada beberapa proses pembentukan kata tertentu yang tidak dapat dikaitkan dengan gejala bahasa dalam teori.
G. LINE
LINEadalah suatu aplikasi yang digunakan untuk kegiatan berkirim pesan
30
Gejala Bahasa dalam Pembentukan Kata padaBahasa Gaul Grup Chat
LINE RemajaPerumahanKartikaWanasari Indah Cibitung Bekasi
GEJALA BAHASA
1. Penambahan fonem (adisi) (Protesis, Epentesis, Paragog) 2. Penghilangan fonem (reduksi) (Afaresis, Sinkop, Apokop)
Versi Mastuti (2008 : 56-58)
1. Proses nasalisasi “kata kerja aktif-in” 2. Bentuk pasif 1: “di+ kata dasar + in” 3. Bentuk pasif 2: “ke+ kata dasar” 4. Penghilangan huruf ( fonem) awal 5. Pengghilangan huruf “h” pada suku kata awal 6. Pemendekan kata atau kontraksi dari dua
suku kata yang berbeda 7. Penggunaan istilah lain 8. Penggantian huruf “a” dan “e”
9. Penggantian diftong „au‟ dengan „o‟ dan „ai‟
dengan „e‟
10. Pengindonesiaan bahasa asing (inggris) 11. Penggunaan bahasa inggris secara utuh
Versi Sumarsono (2014 : 151-153) 1. Penyisipan konsonan v+vocal 2. Penggantian suku kata akhir dengan –sye 3. Membalikan fonem-fonem dalam kata (ragam
walikan) 4. Variasi baru
Versi Wijana (2010: 25-48) 1. Proses perubahan bunyi 2. Proses penambahan bunyi 3. Proses penghilangan bunyi 4. Proses perpindahan bunyi 5. Proses pembalikan bunyi 6. Perulangan
4. Abreviasi (bentuk pemendekan) 5. Komposisi (perpaduan) 6. Derivasibalik
Versi Sahara (2014: 120-121)
1. Mengucap kata berfonem /a/ menjadi /e/, fonem /u/ menjadi /o/, fonem /o/ menjadi /u/ 2. Bahasa Betawi mengena lvokal rangkap
(diftong). Kata dalam bahasa Indonesia mengandung diftong /ai/ dan /au/ diucapkan dengan bunyi /e/ dan /o/ dalam bahasa Betawi 3. Kata akhiran maupun pertengahan „h‟ dalam
bahasa Indonesia dalam bahasa Betawi di
ucapkan „h‟
4. BahasaBetawi menggunakan awalan verbal prenasal.
5. Awalan ber- hamper tidak pernah muncul untuh dalam bahasa Betawi
6. Sufik –I dan –kan berubah menjadi –in 7. Akhiran –an menyatan lebih
8. Kata ulang sebagai mewakili berkelanjutan 9. Bahasa Betawi terdapat verba maen dan keje Versi Setiyanto (2007: 54)
Gejala Bahasa Dalam..., Kukuh Adi Atmoko, FKIP