SISTEM ELEKTRONIK DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
ARTIKEL
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Bank merupakan suatu lembaga yang sangat penting di dalam masyarakat, karena
bank sebagai salah satu sarana berjalannya perekonomian yang ada di masyarakat.
Sektor perbankan merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting
dalam pembangunan nasional, karena perbankan berfungsi sebagai perantara antara
sektor defisit dengan sektor surplus dalam masyarakat maupun sebagai agen
pembangunan Beranjak dari peran perbankan yang sangat strategis dalam mendorong
kelancaran pembangunan nasional, maka dalam menjalankan usahanya perlu
senantiasa mengembangkan profesionalisme yang kokoh agar lembaga perbankan
mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu menghadapi persaingan
global.
Berdasarkan Encyclopedia of Banking and Finance, sistem elektronik perbankan adalah segala macam transfer dan pemrosesan data dengan menggunakan sistem dan
peralatan elektronik yang meliputi transaksi intern dan ekstern suatu bank. Kegiatan
transfer dana dengan menggunakan sistem dan peralatan elektronik tersebut kita
kenaI dengan istilah Electronic Fund. Transfer atau Transfer Dana Elektronik. Sistem dan peralatan elektronik yang dipergunakan dalam transfer dana tersebut dapat berupa
telepon, komputer,pita magnetis, dan lain-lain.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi di perbankan nasional relatif lebih
maju dibandingkan sektor lainnya.
Seiring perkembangan teknologi perbankan, dimulai ketika nasabah melakukan
transaksi secara manual yaitu berhadapan dengan teller, hingga berkembangnya teknologi yang memberikan kemudahan bagi nasabah melakukan transaksi dimana
saja dan kapan saja, salah satunya menggunakan sistem elektronik yang lebih
terjangkau seperti melalui jasa mesin pembayaran yang disebut dengan ATM
(Automatic Teller Machine) atau umumnya disebut juga Anjungan Tunai Mandiri. Perkembangan teknologi telah memberikan pengaruhnya ke segala aspek,
termasuk perkembangan teknologi perbankan yang tujuannya memberikan pelayanan
yang baik kepada nasabah dan memberikan kemudahan dalam melakukan transaksi.
Seiring perkembangan waktu, dimana terjadi perkembangan transaksi ekonomi, maka
kebutuhan nasabah akan kemudahan melakukan transaksi semakin meningkat, untuk
menunjang kebutuhan nasabah tersebut maka pihak bank mengeluarkan
produk-produk perbankan kepada nasabah (baik nasabah dari bank tersebut maupun dari bank
lain) untuk melakukan transaksi perbankan melalui media elektronik. Media
elektronik yang digunakan adalah mesin ATM, internet banking, maupun handphone. Kemajuan zaman dan perkembangan teknologi merupakan dua hal yang saling
berbanding lurus. Artinya semakin maju suatu zaman, semakin berkembang pula
berbagai aspek kehidupan, disebutkan juga oleh pakar hukum pidana Andi Hamzah
(1992)1, bahwa perkembangan teknologi itu sangat berpengaruh terhadap sikap tindak
dan sikap mental setiap masyarakat. Kemajuan yang dicapai di bidang teknologi akan
mempengaruhi pula perubahan di dalam kehidupan masyarakat. Kemajuan teknologi
dan industri yang merupakan hasil dari budaya manusia di samping membawa
dampak positif, dalam arti dapat didayagunakan untuk kepentingan umat manusia
serta membawa dampak negatif terhadap perkembangan dari peradaban manusia itu
sendiri.
Dampak negatif yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan dunia kejahatan.
J.E Sahetapy menyatakan dalam tulisannya,bahwa kejahatan serta kaitannya dengan
perkembangan masyarakat. Semakin maju kehidupan masyarakat, maka kejahatan
juga ikut semakin maju. Kejahatan juga menjadi sebagian dari hasil budaya itu
sendiri. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan hasil semakin modern suatu
bangsa, semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk , sifat dan cara
pelaksanaannya.2
Belakangan ini banyak terungkap kasus-kasus kejahatan perbankan, Bank
Indonesia sudah mengidentifikasi sedikitnya tiga modus kejahatan perbankan yang
marak adalah kejahatan perbankan yang berbasis Teknolgi Informasi salah satunya
yang menyerang sistem perbankan Indonesia adalah Modus kejahatan perbankan
umumnya berupa skimming, phishing, dan malware.
Terkait dengan hal tersebut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Mabes Polri
Brigadir Jenderal Victor Panggabean menuturkan sejak 2012 hingga 2015 telah
1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta
terjadi kerugian sebesar Rp. 33 Miliar akibat kejahatan perbankan. Ia menyebutkan
modus terbesar yang digunakan ialah skimming3.
Secara khusus dosebutkan kejahatan tersbut merupakan kejahatan skimming
dimana skimming adalah aktivitas menggandakan informasi yang terdapat dalam pita
magnetik (magnetic stripe) yang terdapat pada kartu kredit maupun ATM/debit secara illegal. Berdasarkan hal tersebut, kasus skimming atau kejahatan penggunaan sistem
elektronik dengan modus operandi skimming melalui mesin skimmer menjadi hal
utama yang akan dilakukan pembahasan oleh penulis, kasus skimming tersebut
berdampak signifikan bagi para pengguna layanan bank maupun bagi banknya itu
sendiri.
Saat ini perkembangan penegakan hukum terkait dengan kasus tersebut masih
terdapat kekurangan, sejatinya penegakan hukum merupakan usaha untuk
mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi
kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.4
Dasar hukum atas kejahatan penggunaan sistem elektronik kejahatan perbankan
dapat mengacu kepada Kitab Undang undang Hukum Pidana dan/atau lebih khusus
diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Maka ditinjau dari modus
operandi yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan kejahatan penggunaan sistem
elektronik dengan modus operandi skimming menggunakan alat skimer tersebut juga
dapat dikategorikan dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
3 Tempo, Waspada Modus Kejahatan Perbankan yang Lagi Marak, https://bisnis.tempo.co/read/news/ 2015/04/29/087661869/waspada-modus-kejahatan-perbankan-yang-lagi-marak, diakses tanggal 21 Agustus 2016
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 36.
Namun apabila dianalisa lebih dalam lagi terkait dengan ketentuan-ketentuan
yang telah disebutkan diatas masih terdapat kekurangan-kekurangan dengan
ketidakjelasan rumuan unsur-unsur yang terdapat dalam beberapa pasal tersebut Serta
pelaksanaannya terkait dengan kasus skimming belum menjadi perhatian masyarakat,
pemerintah maupun pihak bank itu sendiri. Karena masih terdapat beberapa bank
yang menerima kasus tersebut menjadi kerugian bank itu sendiri, sedangkan apabila
dianalisa lebih lanjut seharusnya pelaku itu sendiri dapat diadili sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Indonesia.
2. Identifikasi Masalah
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kejahatan pengunaan
sistem elektronik berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
dihubungkan dengan praktek kasus yang terjadi di Indonesia ?
b. Apakah faktor penyebab meningkatnya kejahatan dalam penggunaan sistem
elektronik?
c. Bagaimanakah upaya dan langkah hukum dalam menanggulangi kejahatan
3. Metode Penelitian
a. Metode Pendekatan
Penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu metode yang menggunakan sumber-sumber data sekunder, yaitu peraturan
perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana, yang
kemudian dianalisis serta menarik kesimpulan dari masalah yang akan
digunakan untuk mengkaji dan menganalis data sekunder tersebut. Metode
pendekatan ini digunakan mengingat permasalahan yang diteliti berkisar pada
peraturan perundang-undangan serta kaitannya dengan penerapan dalam praktik.
b. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam tesis ini adalah termasuk penelitian
yang bersifat deskriptif analitis, yang artinya menggambarkan fakta-fakta berupa data sekunder (data yang sudah ada) yang terdiri dari bahan hukum primer
(perundang-undangan), bahan hukum sekunder (doktrin), dan bahan tersier,
kamus, ensiklopedia.5Peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif analitis
karena menggambarkan serta menganalisis fakta-fakta yang sesuai dengan
identifikasi masalah secara sistematis dan factual mengenai Penegakan Hukum
Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Penggunaan Sistem Elektronik dihubungkan
dengan undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta
dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia.
B. Tinjauan Teoritis dan Yuridis
1. Tinjauan Teori Penegakan Hukum Pidana Pelaku Kejahatan Penggunaan Sistem Elektronik
a. Pengertian Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan
secara rasional, memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka
menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat
diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum
pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana
pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan
politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang6.
Negara Indonesia adalah negara hukum (recht staats), maka setiap orang yang melakukan tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
melalui proses hukum. Penegakan hukum mengandung makna bahwa tindak
pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, di mana
larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
sebagai pertanggungjawabkannya. Dalam hal ini ada hubungannya dengan asas
legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah diatur
dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut
dan larangan tersebut sudah di atur dalam undang-undang, maka bagi para pelaku
dapat dikenai sanksi atau hukuman, sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula7.
Adapun penegakan hukum sebagaimana dirumuskan oleh Abdul Kadir
Muhamad adalah sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya,
mengawasi pelaksanaanya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi
pelanggaran, memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali.
Pengertian itu menunjukkan bahwa penegakan hukum itu terletak pada aktifitas
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Aktifitas penegak hukum ini terletak
pada upaya yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan norma-norma yuridis.
Mewujudkan norma berarti menerapkan aturan yang ada untuk menjerat atau
menjaring siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum
menjadi kata kunci yang menentukan berhasil tidaknya misi penegakan hukum
(law enforcement)8.
Penegakan hukum dapat dilakukan dengan berupa penindakan hukum.
Abdul Kadir Muhammad menjelaskan bahwa penindakan hukum dapat dilakukan
dengan urutan sebagai berikut9:
a) Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat lagi
(percobaan);
b) Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);
c) Penyisihan atau pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu);
d) Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati).
7 Op.Cit Hal 15
8Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, 2005, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi Ketidakberdayaan Hukum dan Penegakan HAM, Cet I, Jakarta: Edsa Mahkota, Hal 15-16.
Urutan tersebut lebih menunjukkan pada suatu tuntutan moral yuridis yang
berat terhadap aparat penegak hukum agar dalam menjalankan tugas,
kewenangan, dan kewajibannya dilakukan secara maksimal. Kesuksesan law
enforcement sangat ditentukan oleh peran yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum dalam mengimplementasikan sistem hukum. Kalau sistem hukum ini
gagal dijalankan, maka hukum akan kehilangan dalam sakralitas sosialnya10.
Berdasarkan pada pengertian diatas maka penegakan hukum pidana adalah
upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam rangka menanggulangi
kejahatan baik secara preventif maupun represif. Menurut Satjipto Raharjo
penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian
hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan
ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari penegakan hukum. Penegakan
hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan hukum oleh petugas penegakan
hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan sesuai kewenangannya
masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku11.
Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang
menyangkut suatu penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata
manusia. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi
perilaku atau tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap
tindak itu bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan
kedamaian.
10 Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, Op.Cit., Hal 17.
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola prilaku. Gangguan
tersebut timbul apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan,
yang menjelma dalam kaidah-kaidah yang simpangsiur dan pola perilaku yang
tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
Menurut Soerjono Soekanto penegakan hukum bukan semata-mata berarti
pelaksanaan perundang-undangan. Walaupun dalam kenyataan di Indonesia
kecenderungannya adalah demikian. Sehingga pengertian Law Enforcement
begitu populer. Bahkan ada kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum
sebagai pelaksana keputusan-keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini
jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan peundang-undangan atau
keputusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru mengganggu kedamaian dalam
pergaulan hidup masyarakat12.
Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya
bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang
dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi
masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dalam menangani
masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat
dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non penal (tanpa menggunakan
hukum pidana).
1) Upaya Non Penal (Preventif)
Upaya penanggulangan secara non penal ini lebih menitikberatkan pada
pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan
tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya Penanganan
objek kriminalitas dengan sarana fisik atau konkrit guna mencegah hubungan
antara pelaku dengan objeknya dengan sarana pengamanan, pemberian
pengawasan pada objek kriminalitas dan mengurangi atau menghilangkan
kesempatan berbuat criminal dengan perbaikan lingkungan, serta penyuluhan
kesadaran mengenai tanggung jawab bersama dalam terjadinya kriminalitas
yang akan mempunyai pengaruh baik dalam penanggulangan kejahatan;
2) Upaya Penal (Represif)
Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala
tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih
menitikberatkan pada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang
dilakukan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan
ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan
seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminil. Fungsionalisasi
hukum pidana adalah suatu usaha untuk menaggulangi kejahatan melalui
penegakan hukum pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan
daya guna13
b. Tahap Penegakan Hukum Pidana
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arif menegakkan hukum pidana
harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang
sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu yang merupakan suatu
jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan
bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah14: 1) Tahap Formulasi
Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan
situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan
legislatif;
2) Tahap Aplikasi
Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan
demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan
peraturanperaturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh
pembuat undangundang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum
harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini
disebut sebagai tahap yudikatif;
3) Tahap Eksekusi
Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat
pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas
menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat
undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam
putusan pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang
telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam
pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan
pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang
daya guna. Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai
suatu usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai
suatu tujuan tertentu. Jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktivitas yang
terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan
pemidanaan.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Pidana
Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup15.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral,
sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut16:
1) Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja;
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum;
15 Soerjono Soekanto, Op., Cit., hlm. 9.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut
akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-contoh yang diambil
dari kehidupan masyarakat Indonesia.
1) Undang-undang
Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku
umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang sah. Mengenai
berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya
adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Asas-asas tersebut antara lain17:
1) Undang-undang tidak berlaku surut;
2) Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi;
3) Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
4) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama;
5) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan berlaku terdahulu;
6) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat;
7) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian
ataupun pembaharuan (inovasi).
2) Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang
hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan
aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat
pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau
membawakan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa
halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya
dari golongan sasaran atau penegak hukum, Halangan-halangan tersebut,
adalah:
a) Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;
b) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi;
c) Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi;
d) Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material;
e) Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri dengan
a) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru;
b) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai kekurangan yang ada pada saat itu;
c) Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya;
d) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya;
e) Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
f) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya;
g) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib;
h) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia;
i) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain;
j) Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.
3) Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang
baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Sarana
atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam penegakan hukum.
hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran,
sebagai berikut18 :
a) Yang tidak ada-diadakan yang baru betul;
b) Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan;
c) Yang kurang-ditambah;
d) Yang macet-dilancarkan;
e) Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.
4) Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu,
maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.
Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk
mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas
(dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah,
bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola prilaku
penegak hukum tersebut.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap
buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum,
adalah sebagai berikut:
1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman;
2) Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan;
3) Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme. Di Indonesia masih berlaku hukum adat, hukum adat adalah merupakan
hukum kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
d. Pengertian Sistem Elektronik
Dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, telah menciptakan
jenis-jenis dan peluang-peluang bisnis yang baru di mana transaksi-transaksi
bisnis makin banyak dilakukan secara elektronika. Sehubungan dengan
perkembangan teknologi informasi tersebut memungkinkan setiap orang dengan
mudah melakukan perbuatan hukum seperti misalnya melakukan jual-beli.
Perkembangan internet memang cepat dan memberi pengaruh signifikan dalam
segala aspek kehidupan.
Penggunaan internet tidak hanya terbatas pada pemanfaatan informasi
yang dapat diakses melalui media ini, melainkan juga dapat digunakan sebagai
sarana untuk melakukan transaksi perbankan. Bank di Indonesia mulai memasuki
dunia maya yaitu internet banking atau yang lebih dikenal dengan E-Banking,
yang merupakan bentuk layanan perbankan secara elektronik melalui media
internet.
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut, dapat kita ketahui bersama
pengertian sistem elektronik menurut Undang-undang Infromasi dan Transaksi
Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi
Elektronik. Informasi elektronik yaitu satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), Surat Elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Dalam hal ini, sistem elektronik dimaksud merupakan sistem elektronik
kejahatan perbankan, dmana kejahatan perbakan melalui sistem elektroniknya
menjadi lebih luas dan lebih canggih, sehingga berpegaruh kepada potensi
kejahatan sistem elektronik perbankan yang lebih kompleks.
Pemanfaatan sistem elektronik bagi industri perbankan dalam inovasi
produk jasa bank juga dibayang-bayangi oleh potensi risiko kegagalan sistem dan/
atau risiko kejahatan elektronik yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggungjawab. Kegagalan sistem dapat disebabkan karena adanya kerusakan
sistem (seperti misalnya server down), dan dalam skala luas bisa disebabkan karena adanya bencana alam. Sementara itu, kejahatan elektronik yang terjadi pada industri perbankan di Indonesia cenderung meningkat di Indonesia seperti
2. Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Pidana Pelaku Kejahatan Penggunaan Sistem Elektronik
Penegakan hukum dalam mencapai kepastian dan keadilan hukum tersebut
harus ditinjau dengan berbagai macam faktor salah satunya terhadap peraturan
perundang-undangan. Terkait dengan hal tersebut, peraturannya mengenai dengan
kasus skimming tersebut, masih terdapat kekurangan dikarenakan masih terdapat
beberapa beberapa ketentuan dengan pasal yang kurang mengikat dalam hal mengatur
terkait dengan kasus tersebut.
Misalnya saja apabila penulis tinjau dari Kitab Undang-undang Hukum
Pidana terkait kejahatan penggunaan sistem elektronik dengan modus operandi
skimming bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah”
Ataupun dapat juga diterapkan dengan Pasal 363 ayat (1) angka 5 yaitu:
“Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau
untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu,
Dasar hukum atas kejahatan penggunaan sistem elektronik kejahatan
perbankan dapat mengacu kepada Kitab Undang undang Hukum Pidana dan/atau
lebih khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memuat ketentuan umum, hal-hal yang
diperbolehkan dan hal-hal yang dilarang dalam melaksanakan penggunaan sistem
elektronik.
Awalnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik disusun
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui ekonomi digital dan
perdagangan di dunia maya (e-commerce) di Indonesia serta menjaga stabilitas arus
internet Indonesia dari hal-hal yang dapat merusak serta melindungi hak-hak para
pengguna Internet. Namun dalam berbagai kajian yang membahas Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik secara mendalam, telah ditemukan beberapa
kejanggalan yang ada dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
serta dirasa perlu dilakukan sebuah revisi.
Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi akibat imbas dari Undang-undang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang banyak dipertanyakan oleh para ahli.
Sehingga akhirnya terjadilah revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik pada bulan oktober 2016. Perubahan Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik telah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Naskah
Undang-Undang tersebut tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Maka ditinjau dari modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku
kejahatan kejahatan penggunaan sistem elektronik dengan modus operandi skimming
menggunakan alat skimer tersebut juga dapat dikategorikan dalam Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang terdapat dalam:
Pasal 30 :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain
dengan cara apa pun;
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa
pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik;
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa
pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol
sistem pengamanan.
Pasal 32 :
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik Orang lain atau milik publik;
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik
Orang lain yang tidak berhak;
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses
oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak tau melawan hukum
melakukan tindakan apapun yang berakibat terganggunya sistem
elektronik dan/atau mengaibatkan sistem elektronik menjadi tidak
bekerja sebagaimana mestinya”
Pasal 36:
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa haka tau melawan hukum
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai
Namun apabila dianalisa lebih dalam lagi terkait dengan
ketentuan-ketentuan yang telah disebutkan diatas masih terdapat kekurangan-kekurangan
dengan ketidakjelasan rumuan unsur-unsur yang terdapat dalam beberapa pasal
tersebut.
Serta pelaksanaannya terkait dengan kasus skimming belum menjadi
perhatian masyarakat, pemerintah maupun pihak bank itu sendiri. Karena masih
terdapat beberapa bank yang menerima kasus tersebut menjadi kerugian bank itu
sendiri, sedangkan apabila dianalisa lebih lanjut seharusnya pelaku itu sendiri dapat
diadili sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia
C. Analisis Dan Pembahasan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Penggunaan Sistem Elektronik
1. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Penggunaan Sistem
Elektronik Berdasarkan Undang-undang No 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik dihubungkan dengan praktek kasus yang terjadi di Indonesia
Berdasarkan modus operandi kasus kejahatan sistem elektronik perbankan
menurut Bank Indonesia adalah kejahatan skimming, penulis berpendapat dari
sejumlah kasus skimming yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh individu,
kejahatan selaras dengan pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan dan
harus ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan kesalahan pidana keduanya
bisa dikatakan sebagai alat penentu seseorang bisa dikenakan pidana atau tidak. Hal
melalui beberapa tahapan. Berdasarkan hal tersebut penulis akan melakukan
pemaparan terkait pertanggungjawaban pidana melalui penjatuhan pidana terhadap
salah satu kasus skimming dimana pelaku diberikan hukuman yang dihubungkan
dengan praktek yang terjadi di Indonesia bahwa masih terdapat perbedaan dalam
melakukan penerapan/penjatuhan pidana sesuai dengan pertanggungjawabanya yaitu
pertanggungjawaban secara individu.
Terkait dengan penjatuhan pidana tersebut berikut beberapa contoh kasus
penjatuhan pidana oleh putusan hakim :
a. Pasal 362 KUHP junto pasal 56 ke 2e KUHP . Terdakwa terbukti bersalah
memberi bantuan terhadap tindak pindana kejahatan pembobolan ATM;
b. Pasal 363 ayat 1 ke-4 jo pasal 64 ayat 1 KUHP, tergolong sebagai pencurian
dengan pemberatan secara berlanjut;
c. Pelaku dikenai Pasal 363 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan;
d. Pasal 362, 363, 406 KUHP, Pasal 30 Jo Pasal 46 dan/atau Pasal 32 Jo Pasal 48
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta
Pasal 3, 4, 5, dan 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;
e. Pasal 30 Ayat 2 jo Pasal 46 Ayat 2 jo Pasal 52 Ayat 3 Undang-Undang
tentang informasi dan transaksi elektronik jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Dari contoh praktek kasus yang terjadi di Indonesia 3 dari 5 kasus tersebut masih
tetap menggunakan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP dimana pada saat itu telah
diatur ketentuan khusus mengenai pencurian dana nasabah dengan modus skimming
Elektronik dan pada tahun 2016 telah dilakukan revisi menjadi Undang-undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik Nomor 11 Tahun 2008. Namun masih terdapat penjatuhan pidana tersebut
menggunakan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 belum disesuaikan dengan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016.
Hal tersebut menjelaskan bahwa masih terdapat ketidak konsistenan dalam
melakukan penerapan hukum/penjatuhan pidana, sedangkan apabila penulis tinjau
berdasarkan hukum yang berlaku terkait dengan kejahatan pencurian dana nasabah
melalui modus skimming dapat dikategorikan melalui ketentaun sebagaimana berikut:
a. Pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP yaitu pencurian dengan menggunakan kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu dengan ancaman hukuman penjara
selama-lamanya tujuh tahun, serta pada Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa Informasi elektronik dan/
atau dokumen elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, proses pembuktian atas
tindak pidana pencurian/pembobolan dana pada bank termaksud dalam Pasal 184
KUHP dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
Berdasarkan Pasal 363 ayat (1) angka 5 KUHP, ditegaskan bahwa: Pencurian
yang dilakukan oleh tersalah dengan masuk ketempat kejahatan itu atau dapat mencapai
dengan jalan memakai kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
b. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dapat diakomodasi sebagai upaya hukum dalam kejahatan dengan modus
pencurian dana nasabah bank dengan modus skimmer, yang berbunyi :
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan
tranmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan
suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang
lain atau milik publik”
Terkait dengan permasalahan tersebut, tidak menutup kemungkinan apabila
kejahatan tersebut semakin meningkat dan dilakukan juga oleh korporasi dikemudian hari
sehingga diperlukan adanya upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mencegah
timbulnya kasus serupa serta dapat ditindaklanjuti sesuai dengan teori
pertanggungjawaban pidana korporasi dan mengacu kepada ketentuan yang berlaku.
2. Faktor Penyebab Meningkatnya Kejahatan Dalam Penggunaan Sistem Elektronik
Berdasarkan data yang diperoleh terkait kejahatan skimming tersebut dalam tiga
tahun terakhir tercatat sebanyak 5.500 kejahatan skimming ATM terjadi di dunia. Dari
kejahatan tersebut diakibatkan karena adanya kelemahan dalam hal penegakan hukum
atas kejahatan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, terdapat beberapa faktor penyebab19 meningkatnya
kejahatan dalam penggunaan sistem elektronik dengan modus operandi skimming, antara
lain yaitu :
a. Faktor Perbankan
Dalam penyelenggaraan layanan internet banking yang menyediakan sarana fisik seperti ATM, bank kurang melakukan pengendalian pengamanan fisik terhadap
peralatan dan ruangan yang digunakan terhadap bahaya pencurian, perusakan dan
tindakan kejahatan lainnya oleh pihak yang tidak berwenang. Bank juga kurang
melakukan pemantauan secara rutin untuk menjamin keamanan dan kenyamanan bagi
nasabah pengguna jasa e-banking. b. Faktor Hukum
1) Ketentuan yang berlaku
Terkait dengan pengaturan kejahatan pencurian dana nasabah melalui modus
operandi tersebut sebenarnya telah dilakukan pengaturan secara khusus yang
diatur dalam Undang-undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik,
namun terkait dengan penjatuhan pidana yang dilakukan para penegak hukum
belum maksimal dimana masih terdapat beberapa kasus yang menggunakan
penjatuhan pidana tersebut menggunakan KUHP sehingga dampak yang
ditimbulkan dari penjatuhan pidana tersebut belum maksimal dan tidak
menimbulkan efek jera terhadap para pelaku kejahatan tersebut.
2) Penegakan Hukum
Faktor penegak hukum sering menjadi penyebab maraknya kejahatan dalam
penggunaan sistem elektronik, hal ini dilatarbelakangi masih sedikitnya aparat
penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi informasi/internet,
sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap, aparat penegak hukum
mengalami kesulitan untuk menemukan alat bukti yang dipakai menjerat pelaku
terleih apabila kejahatan yang dilakukan memiliki sistem pengoperasian sangat
rumit. Selain itu juga aparat penegak hukum di daerah pun belum siap
megantisipasi maraknya kejahatan dalam penggunaan sistem elektronik karena
masih banyak institusi kepolisian yang belum dilengkapi dengan jaringan internet.
c. Faktor Teknologi
Faktor teknologi menjadi salah satu faktor pendukung peningkatan kejahatan pada
sistem elektronik diantaranya yaitu terdapat kelemahan kondisi mesin ATM dan/atau
mesin EDC untuk bertransaksi, kurangnya pengamanan serta kartu debit/kredit yang
masih menggunakan magnetic stripe yang rentan terhadap pencurian data nasabah.
3. Upaya dan Langkah Hukum Dalam Menanggulangi Kejahatan Penggunaan Sistem Elektronik Dikemudian Hari
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan
bagian dari kebijakan criminal Penanggulangan kejahatan tersebut adalah dalam rangka
untuk mencapai tujuan akhir dari kebijakan kriminal itu sendiri yaitu memberikan
perlindungan masyarakat dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
Salah satu usaha untuk mencegah dan menanggulangi masalah kejahatan adalah
tidak hanya sebatas membuat atau menciptakan suatu peraturan perundang-undangan
yang mengatur hal-hal tertentu. Lebih dari itu, kebijakan hukum pidana memerlukan
pendekatan yang menyeluruh yang melibatkan berbagai disiplin ilmu hukum selain ilmu
hukum pidana serta kenyataan di dalam masyarakat sehingga kebijakan hukum pidana
yang digunakan tidak keluar dari konsep yang lebih luas yaitu kebijakan sosial dan
rencana pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Namun dalam hal ini, terdapat pendekatan yang digunakan dalam rangka upaya
melakukan penanggulangan kejahatan melalui sarana pendekatan kriminal dapat
menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu sarana penal dan non penal.
Kebijakan dengan sarana penal adalah upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sarana pidana. Dalam hal ini telah terjadi semacam perumusan pidana dan
pemidanaan yang telah dilegalkan melalui perundnag-undangan. Sehingga, telah ada
kepastian hukum dalam melakukan penanggulangan maupun pemecahan terhadap
pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku kajahatan Sedangkan
kebijakan kriminal dengan sarana non penal artinya upaya penanggulangan kejahatan
dengan tidak melakukan hukum pidana. Upaya non penal dapat juga diartikan sebagai
upaya yang bersifat preventif, misalnya memperbaiki kondisi-kondisi tertentu dalam
masyarakat atau melakukan pengawasan tertantu sebagai upaya prevensi terhadap
kejahatan. Selain itu, dapat juga berbentuk sosialisasi terhadap suatu
perundang-undangan yang baru, yang didalamnya mencangkup suatu kriminalisasi perbuatan
tertentu yang menjadi gejala sosial dalam masyarakat modern.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penanggulangan terkait kejahatan skimming
a. Upaya Penanggulangan oleh Pihak Perbankan
Upaya yang dilakukan oleh pihak perbankan terhadap penanggulanagan kejahatan
skimming ini yaitu segera menyelesaikan pengaduan dari nasabah apabila terdapat
nasabah yang menjadi korban kejahatan skimming, melakukan edukasi kepada
nasabah agar berhati-hati pada saat melakukan transaksi di ATM maupun mesi EDC
merchant di mana pun, sehingga tidak ada kesempatan bagi para pelaku untuk
mengingat ataupun mencatat nomor seri kartu debit/kredit nasabah serta melakukan
peningkatan keamanan pada sekitar mesin ATM melalui sekuriti maupun CCTV
untuk dapat meminimalisir kejahatan serupa, serta perbaikan sistem dan infrastruktur
mesin-mesinmaupun sistem perbankan menjadi lebih canggih dan rentan terhadap
kejahatan nasabah.
b. Upaya Penanggulangan oleh Pihak Nasabah
Himbauan dan kesadaran yang diperlukan dari para nasabah agar tidak sembarangan
membuang struk transaksi kartu kredit/debit yang telah digunakan, karena dari struk
transaksi kartu kredit/debit terdapat data-data yang dapat dilacak untuk digunakan
dalam tindak pidana pencurian dana serta pengembangan pengetahuan untuk para
masyarakat umum terkait dengan jenis-jenis kejahatan perbankan dan modus
operandi pelaku kejahatan skimming tersebut;
c. Upaya Penanggulangan oleh Pemerintah/ Penegak Hukum
Dalam hal ini, terhadap tindak pidana pencurian dana nasabah bank melalui
penggandaan kartu ATM harus dilakukan upaya reperesif/tindakan hukum. Upaya
reperesif /tindakan hukum yang dilakukan oleh polisi atau penyidik dilaksanakan
upaya reperesif yang dapat dilakukan terhadap tindak pencurian/pembobolan dana
pada bank diantaranya dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik untuk menjerat pelaku pencurian dana nasabah bank melalui
modus skimmer. Hal tersebut menandakan bahwa harus terdapat aturan dan sanksi
yang tegas kepada para pelaku tindak pidana pencurian/pembobolan dana pada bank,
dengan tujuan agar masyarakat/pelaku takut dan tidak akan melakukan tindak
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
A.Zainal Abidin Farid, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1; Stelset Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Adami Chazawi, 2000, Pelajaran Hukum Pidana Bag I, Jakarta:
Raja Grafindo
Andi Hamzah, 2007, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta
---, 2001, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Andi Matalatta, “santunan bagi korban”dalam J.E. sahetapy (ed.)…Victimilogy sebuah
Bunga rampai 9 (Jakarta: Pustaka sinar Harapan,19870)
Anthon F. Susanto, 2015, Penelitian Hukum Transformatof Partisipatoris, Malang :
Setara Press
Barda Nawawi Arief, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo
---, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti
Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian, Jakarta : Rineka Cipta
Chairul huda, Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’menuju kepada’Tiada Pertanggung
Jawaban Pidana Tanpa Kesalahan’,Kencana, Jakarta, 2011
Dellyana Shant, 1988, Konsep Penegakan Hukum, Yogyakarta: Liberti
Djoko Prakoso .Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia . Edisi Pertama , ( Yogyakarta :
Dikdik M. Arief Mansur, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika
Aditama Bandung, 2005
Hans Kelsen, 1961, General Theory of Law and State, translated by: Anders Wedberg,
New York: Russell & Russell
Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia: Ditinjau Menurut
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah dengan
Undang-undang No. 10 Tahun 1998, dan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 jo
Undang-undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, cetakan kedua,
Jakarta : Kencana Prenada Media Group
K. Wancik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2007
Laden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika
Moeljatno, 2002, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta
---, 1987, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar hukum tata Negara Indonesia,
Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan Sinar Bakti
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Bandung : Refika Aditama
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, P.T. Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1997
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami dasar-dasar hukum Pidana Indoesia
( Jakarta :PT. Pradnya Paramita, 1997)
S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV,
Satjipto Raharjo, Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa,. Bandung, 1980
Soejono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : Rajawali Pers
---, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum
Cetakan Kelima.Jakarta : Raja Grafindo Persada
Sudaryono & Natangsa Surbakti, 2005, Buku Pegangan Kuliah Hukum Pidana,
Surakarta: Fakultas Hukum UMS
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986
Sunardi, Danny Tanuwijaya, Abdul Wahid, 2005, Republik “Kaum Tikus”; Refleksi
Ketidakberdayaan Hukum dan Penegakan HAM, Cet I, Jakarta: Edsa Mahkota
Tongat, 2008, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Pres
Zulkarnain Sitompul, 2005, “Memberantas Kejahatan Perbankan: Tantangan Pengawasan
Bank”, Hukum Bisnis, Volume 24-No.1
B. Peraturan Perundang-undangan
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Hasil Amandemen;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
C. Sumber Lainnya
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonseia, Jakarta, 1990
Internet:
(Istilah Hack, Hacker, Cracker dan Kejahatan Internet, Mutia Muliani, http:// mutiamuliaa.blogspot.co.id/2013/01/istilah-hack-hacker-cracker-dan.html
Tempo, Waspada Modus Kejahatan Perbankan yang Lagi Marak, https://bisnis.tempo.co/
read/news/2015/04/29/087661869/waspada-modus-kejahatan-perbankan-yang-lagi-marak
Gresnews.com, Kelemahan Hukum Kejahatan Perbankan, http://www.gresnews.com/
berita/ekonomi/160287-kelemahan-hukum-kejahatan-perbankan/0/
Tempo.co Bisnis, Waspada Modus Kejahatan Perbankan yang Lagi Marak, https://
bisnis.tempo.co/read/news/2015/04/29/087661869/waspada-modus-kejahatan-perbankan-yang-lagi-marak
2 Pembobol ATM dengan Skimmer di Bali Divonis 1,5 Tahun Penjara, http://
news.detik.com/berita/1378719/2-pembobol-atm-dengan-skimmer-di-bali-divonis-15-tahun-penjara
Pembobol ATM Divonis Sembilan Tahun Penjara, http://nasional.republika.co.id/berita/
breaking-news/hukum/10/10/19/140952-pembobol-atm-divonis-sembilan-tahun-penjara
Polisi Tangkap Pelaku Pembobolan Modus Skimming Kartu ATM, https://
Polisi Ringkus Pelaku Skimming ATM Modus Baru, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt553512ec5e10f/polisi-ringkus-pelaku-skimming-atm-modus-baru
Tiga Warga Turki Divonis Berbeda-beda,