• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEPUTUSAN PENANGGUNG UNTUK MEMBATALKAN SECARA SEPIHAK DIKAITKAN DENGAN PELANGGARAN PRINSIP UTMOST - PELANGGARAN ASAS UTMOST GOOD FAITH APABILA TERJADI PEMBATALAN SECARA SEPIHAK POLIS ASURANSI JIWA YANG DILAKUKAN OLEH PENANGGUNG (Studi Kasus Putusan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KEPUTUSAN PENANGGUNG UNTUK MEMBATALKAN SECARA SEPIHAK DIKAITKAN DENGAN PELANGGARAN PRINSIP UTMOST - PELANGGARAN ASAS UTMOST GOOD FAITH APABILA TERJADI PEMBATALAN SECARA SEPIHAK POLIS ASURANSI JIWA YANG DILAKUKAN OLEH PENANGGUNG (Studi Kasus Putusan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEPUTUSAN PENANGGUNG UNTUK MEMBATALKAN SECARA

SEPIHAK DIKAITKAN DENGAN PELANGGARAN PRINSIP UTMOST

GOOD FAITH

2.1Ketentuan Sahnya Perjanjian Asuransi

Syarat sah perjanjian pada umumnya telah diatur dalam Pasal 1320 BW. Dalam

Pasal tersebut ketentuan sah perjanjian terdapat 4 syarat yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;

3) Suatu hal tertentu ; dan

4) Suatu sebab yang diperbolehkan

Dalam 2 ketentuan pertama pada umumnya disebut dengan syarat subjektif,

ketentuan tersebut berkaitan dengan orang yang akan membuat perjanjian tersebut.11 Dalam ketentuan subjektif terdapat 2 macam yaitu subjek sebagai seorang manusia

11

Ahmadi Miru, dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Mengenai Makna Pasal 1233 sampai 1456, Rajawali Press, Jakarta, 2009, h.67

Syarat Subjektif

(2)

dan subjek sebagai suatu badan hukum yang mendapatkan hak atas pelaksanaan

kewajiban sesuatu.12

Kesepakatan yang dimaksud dalam Pasal ini adalah persamaan kehendak

antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan permintaan.13 Kesepakatan ini dapat dituangkan dalam bentuk tertulis namun dapat juga hanya dalam bentuk

lisan. Dalam membuat sebuah kesepakatan subjek yang akan membuat kesepakatan

harus dalam keadaan sadar, bebas dan memahami apa yang akan mereka sepakati.

Kesadaran, kebebasan dan pemahaman ini diperlukan agar tidak terjadi kekhilafan,

paksaan dan penipuan yang mengakibatkan batalnya perjanjian

Kekhilafan ini juga memiliki beberapa batasan apa yang tidak dapat menjadi

batalnya sebuah perjanjian. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1322 BW yang

menyebutkan bahwa kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok

persetujuan dan kehilafan mengenai orang yang dituju untuk melakukan perjanjian,

kecuali keahlian orang yang menjadi subjek perjanjian tersebut menjadi objek

perjanjian.14

Hal kedua yang harus diperhatikan dalam perjanjian adalah kebebasan

seseorang ketika membuat perjanjian. Dalam melakukan perjanjian seseorang harus

dalam keadaan bebas dan tanpa paksaan atau tekanan pihak lain. Hal tentang

pemaksaan ini juga terdapat batasannya sampai dimana perjanjian dapat dibatalkan.

Dalam Pasal 1327 BW terdapat ketentuan apabila pada awal pembuatan perjanjian

12

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju,Bandung, 2000, h. 13 13

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Opcit. h, 68 14

(3)

perjanjian tersebut apabila seandainya orang tersebut mengetahui hal yang

sebenarnya dan tidak ditipu. Orang yang membatalkan perjanjian dengan alasan ini

harus membuktikan bahwa dirinya ditipu dan tidak akan melakukan perjanjian

apabila hal yang sebenarnya diketahui. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 1328 BW.

Pada dasarnya semua orang cakap secara hukum namun terdapat beberapa

pengecualian yang ada dalam Pasal 1330 BW. Pengecualian tersebut adalah :

1) Orang-Orang yang belum dewasa. Berdasarkan Pasal 47 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengenai batas usia dewasa adalah

18 tahun dan belum pernah menikah;

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Mereka yang dimaksud dalam

kategori ini adalah orang-orang yang tidak dapat melakukan tindakan hukum

sendiri karena adanya keterbatasan atau gangguan mental. Orang-orang ini

adalah orang gila, memiliki keterbelakangan mental; 12

3) Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan

pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang

untuk membuat perjanjian tertentu. Orang-orang perempuan yang ditetapkan

oleh undang-undang yakni perempuan yang telah menikah namun tidak

didampingi oleh suaminya.13 Dalam Pasal 108 jo 110 BW memiliki ketentuan para istri yang tidak bersama dengan suaminya walaupun telah diberikan surat

kuasa oleh suaminya dianggap tidak cakap hukum. Walaupun begitu

12Ibid, h.74 13

(4)

ketentuan ini sudah tidak berlaku karena berdasarkan surat edaran Mahkamah

Agung nomor 3 tahun 1963 mengenai Gagasan Menganggap BW tidak

sebagai Undang-Undang. Pada umumnya semua orang kepada siapa

undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu adalah larangan

seseorang yang tidak memiliki wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,

walaupun secara hukum orang tersebut dinyatakan cakap.

Dari ketentuan Pasal 1322, Pasal 1327, Pasal 1328, Pasal 1330, dan Pasal

1331 BW dapat dilihat apabila ketentuan ini dilanggar maka perjanjian tersebut akan

menjadi dapat dibatalkan. Dalam kata lain perjanjian tersebut masih dianggap ada

selama tidak ada pihak yang meminta untuk membatalkan perjanjian tersebut.14

Sedangkan 2 ketentuan terakhir pada umumnya disebut dengan syarat

objektif, ketentuan tersebut berkaitan dengan perjanjian itu sendiri.15 Terhadap pemenuhan ketentuan objektif ini Pasal 1333 BW menjelaskan mengenai arti tertentu

adalah benda yang dapat menjadi objek perjanjian yaitu benda tersebut harus tertentu

paling tidak harus diketahui jenisnya walaupun jumlah dari benda tersebut masih

belum jelas.16 Berdasarkan Pasal 1332 BW menyebutkan bahwa benda yang dapat menjadi objek sebuah perjanjian adalah benda yang ada dalam perdagangan.17 Walaupun belum jelas jumlah dari benda tersebut namun dikemudian hari benda

tersebut harus dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya.

14

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, RajaGrasindo Persada, Jakarta, 2003, h. 26

15Ibid 16Ibid 17

(5)

Hal tertentu yang menjadi objek perjanjian merupakan salah satu ketentuan

penting dalam perjanjian. Hal ini disebabkan karena tanpa hal tertentu tersebut para

pihak tidak memiliki dasar untuk melaksanakan objek perjanjian, prestasi, atau

kewajiban atau utang tertentu. Diantara para pihak tersebut maka tidak pernah terjadi

sebuah perikatan baik untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau tidak

melakukan sesuatu. Dikarenakan tidak pernah terjadi perikatan maka demi hukum

perjanjian tersebut batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Pada sisi lain

tidak ada yang dapat dituntut pelaksanaannya.18 Dengan demikian tidak pernah ada hak untuk mendapatkan sesuatu (Schuld) dan kewajiban debitur untuk melakukan

menyerahkan seluruh harta bendanya kepada kreditur (haftung) untuk melunasi

schuld apabila debitur tidak dapat melakukan prestasinya.

Ketentuan kedua mengenai ketentuan objektif adalah mengenai klausa yang

diperbolehkan. Ketentuan Pasal 1335 BW menjelaskan yang disebut dengan klausa

yang diperbolehkan adalah hal-hal yang bukan tanpa sebab, bukan hal-hal yang palsu

dan hal-hal yang tidak memiliki kekuatan. Pasal ini menegaskan kembali mengenai

ketentuan objektif sebuah perjanjian. Hal yang bukan tanpa sebab ini menunjuk

mengenai klausa yang ada dalam perjanjian tersebut harus memiliki alasan mengapa

harus dilaksanakan sehingga dapat menimbulkan prestasi yang jelas bagi para

pihaknya.

Pada dasarnya yang dimaksud dengan klausa yang diperbolehkan bukan

merujuk pada sebab yang seperti dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari yang

18

(6)

menunjuk pada hal yang melatarbelakangi terjadinya sebuah perjanjian. Hukum lebih

menitik beratkan kepada prestasi yang menjadi objek perjanjian merupakan hal –hal

yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan

ketertiban umum.

Apabila ketentuan-ketentuan objektif ini dilanggar maka perjanjian tersebut

menjadi batal demi hukum dan dianggap tidak pernah terjadi perjanjian sebelumnya,

namun pernyatan batal demi hukum ini dapat berlaku apabila objek tersebut adalah

objek dari suatu prestasi yang merupakan unsur esensialia dari perjanjian.19 Apabila yang musnah adalah unsur tambahan dari perjanjian sedangkan objek utama dari

perjanjian masih ada maka perjanjian tersebut tidak dapat menjadi batal demi hukum.

Asuransi sendiri dikenal dengan beberapa istilah yaitu istilah pertanggungan yang

mengikuti istilah dalam bahasa Belanda yaitu assurantie dan Verzekering selain itu

asuransi juga memiliki istilah insurance yang berasal dari bahasa Inggris. 20

Dalam undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian Pasal 1

angka (1), dirumuskan definisi asuransi sebagai berikut:

Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:

a) Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b) Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat

19

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Opcit,h.33 20

(7)

yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana

Dengan kata lain asuransi merupakan sebuah hubungan hukum yang terbentuk

karena perjanjian asuransi yang bertujuan untuk membagi resiko yang mungkin

dialami oleh tertanggung dengan perusahaan asuransi. Dalam perjanjian asuransi

terdapat beberapa unsur yang harus ada21 , yaitu:

1) Para pihak adalah penanggung dan tertanggung. Penanggung adalah pihak yang

berhak atas pembayaran premi dan berkewajban untuk membayar sejumlah uang

apabila terjadi kematian atau peristiwa tidak pasti atau berakhirnya masa

perjanjian. Pada umumnya penanggung adalah perusahaan asuransi22 dan tertanggung adalah orang yang jiwanya dipertanggungkan, artinya bahwa

pembayaran sejumlah yang sudah diperjanjikan itu digantikan pada saat

meninggal atau hidupnya orang tersebut.23;

2) Premi adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh pihak Tertanggung kepada

Penanggung;

3) Peristiwa tertentu atau peristiwa tidak pasti atau Evenement. Peristiwa tidak tentu

dan tidak pasti yang dimaksud adalah bahaya yang mengancam suatu benda

pertanggungan yang mungkin benar-benar menjadi kenyataan dan membuat

tertanggung mengalami kerugian.24;

21

(8)

4) Ganti rugi, perjanjian asuransi memang diadakan untuk memberikan ganti rugi,

namun ganti rugi hanya dikenal dalam asuransi kerugian. Dalam Asuransi Jiwa

tidak dikenal ganti rugi, karena kehilangan nyawa seseorang tidak dapat dianggap

sebagai suatu kerugian, tetapi merupakan suatu musibah yang pasti terjadi, hanya

saja waktunya tidak diketahui.25

Pada dasarnya ketentuan sah perjanjian asuransi sebenarnya tidak memerlukan

suatu prosedur dan formalitas tertentu. Selama ada kata sepakat serta telah memenuhi

ketentuan Pasal 1320 BW maka perjanjian tersebut dianggap sah. Kata sepakat

merupakan syarat yang paling esensial dalam perjanjian asuransi yang menjadi dasar

perjanjian.26 Perjanjian asuransi juga memiliki beberapa prinsip-prinsip dalam hukum asuransi yang diciptakan agar lembaga asuransi aman dari tindakan spekulasi.

Prinsip-prinsip ini juga yang membedakan perjanjian asuransi dengan perjanjian

umun yang ada dalam BW. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah:

a. Prinsip Kepentingan

Dalam setiap perjanjian asuransi kepentingan terhadap objek asuransi itu

harus ada. Pasal 250 KUHD menghendaki bahwa setiap perjanjian asuransi atau

pertanggungan diharuskan adanya suatu kepentingan (Insurable Interest). Prinsip

mengenai kepentingan menegaskan bahwa orang yang menutup asuransi harus

mempunya kepentingan (Interest) atas objek yang akan diasuransikan Kepentingan

25

Henky K. V. Paendong, Perlindungan Pemegang Polis Pada Asuransi Jiwa Dikaitkan dengan Nilai Investasi, Disertasi, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado, tahun 2013, h. 5

26

(9)

yang dapat diasuransikan telah diatur dalam Pasal 268 KUHD yaitu semua hal yang

dapat dinilai dengan uang, dapat diancam bahaya dan tidak dilarang oleh

undang-undang. Pasal 250 KUHD sendiri telah menyatakan `bahwa pada saat membuat

perjanjian asuransi kepentingan itu tidak harus ada, tetapi pada saat peristiwa tidak

pasti terjadi pihak yang dapat mengajukan klaim ganti rugi harus memiliki

kepentingan.

b. Prinsip Idemnitas

Prinsip ini disebut juga dengan prinsip keseimbangan. Prinsip

idemnitas sangat penting dalam perjanjian asuransi dikarenakan prinsip ini

melindungi penanggung dari pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan.

Hal pokok dalam prinsip ini adalah jumlah kerugian yang diganti oleh

penanggung harus seimbang dengan kerugian tertanggung. Prinsip ini hanya

berlaku pada asuransi kerugian, sedangkan dalam asuransi jiwa prinsip ini

tidak berlaku. Hal ini disebabkan karena nyawa manusia sangat penting

nilainya. Nyawa manusia tidak dapat dinilai dengan uang karena seberapa

besarpun ganti ruginya tidak dapat menggantikan seseorang yang

meninggal.Oleh sebab itu, dalam asuransi jiwa nilai pertanggungan seseorang

dilihat dari seberapa besar kemampuan orang tersebut untuk membayar premi.

c. Prinsip Subrogasi

Menurut ketentuan Pasal 284 KUHD terdapat kemungkinan bahwa ada pihak

selain penanggung yang akan memberikan ganti kerugian kepada pihak

(10)

pihak ketiga yang telah menimbulkan kerugian atas tertanggung. . Terdapat dua

ketentuan yang menjadi syarat terjadinya subrogasi dalam asuransi yaitu

tertanggung mempunyai hak terhadap penanggung dan terhadap pihak ketiga dan

adanya hak tersebut karena timbul kerugian sebagai akibat perbuatan pihak ketiga

27

Apabila pihak tertanggung telah menerima ganti kerugian maka pihak

tertanggung tidak dapat meminta ganti kerugian kepada pihak penanggung.

Prinsip Subrogasi ini merupakan konsekuensi dari prinsip idemnitas. Prinsip ini

tidak berlaku pada asuransi jiwa dan hanya berlaku di asuransi kerugian,

sebagaimana dengan prinsip idemnitas.

d. Prinsip Itikad Baik yang sebaik-baiknya (Utmost Good Faith)

Prinsip itikad baik masih berkaitan dengan Pasal 1338 BW dimana setiap

perjanjian harus dilandasi dengan itikad baik dan kepercayaan para pihak yang

terlibat. Prinsip ini menjadi sangat penting karena menyangkut kewajiban

tertanggung serta penanggung dilain pihak.Pada saat pengisian formulir

penanggung wajib menjelaskan dan memberitahukan segala sesuatu yang

berkenaan dengan asuransi yang akan dipilih oleh calon tertanggung. Disisi lain

tertanggung juga wajib memberi informasi yang sejelas dan sedetail mungkin

mengenai fakta penting yang berkaitan dengan dirinya dan tidak

menyembunyikan cacat ataupun kekurangan apapun kepada pihak penanggung

karena hal ini berkaitan dengan resiko yang akan ikut ditanggung oleh

penanggung.

27

(11)

Perjanjian asuransi merupakan perjanjian konsesuil yang artinya selama telah

terjadi kata sepakat maka perjanjian tersebut telah terbentuk dan dianggap sah. Kata

sepakat terjadi karena telah adanya persamaan kehendak para pihak yang terlibat

dalam perjanjian. Ada beberapa teori yang menyatakan kapan terjadinya kehendak.

Teori-teori tersebut adalah:28

1. Teori Kehendak (wills theorie)

Teori ini menyatakan apabila kita mengeluarkan suatu pernyataan yang

berbeda dengan yang dikehendaki maka kita tidak terikat pada kehendak itu

2. Teori Pernyataan (Verklarings Theorie)

Teori ini menitikberatkan pada pernyataan yang dikeluarkan oleh seseorang.

Pernyataan itu keluar atas kehendak orang tersebut sendiri, apabila kita

menyetujui pernyataan orang tersebut maka adanya kesepakatan perjanjian

telah terjadi

3. Teori Kepercayaan (vertrouwenstheorie)

Teori ini menyatakan bahwa kesepakatan terjadi dengan berpegang kepada

penyataan orang yang dianggap dapat dipercaya.

Kesepakatan diam diam juga dapat terjadi apabila para pihak membiarkan

sebuah perbuatan secara terus menerus yang pada akhirnya menjadi kebiasaan maka

hal tersebut juga dapat mengikat sebagaimana terjadi perjanjian secara tertulis. Hal

ini terdapat dalam Pasal 1347 BW yang menyatakan:

28

http://rahmadhendra.staff.unri.ac.id/files/2013/04/Perjanjian-Syarat-Sah-Perjanjian.pdf, diakses pada

(12)

“Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara

diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”

Selain itu juga terdapat yurisprudensi mengenai kesepakatan diam-diam.

Yurisprudensi tersebut adalah Putusan Mahkamah Agung No.1284K/Pdt/1998

tanggal 18 Desember 2000 yang memiliki pertimbangan

“perjanjian diam-diam membawa akibat yuridis bahwa perjanjian tersebut berlaku

sebagai hukum bagi para pihak”

Dalam Pasal 257 KUHD juga disebutkan bahwa perjanjian asuransi

diangggap sah dan resiko telah berpindah kepada penanggung setelah kata sepakat

telah terjadi bahkan sebelum polis perjanjian ditanda tangani. Apabila telah

memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 BW yang merupakan

ketentuan-ketentuan perjanjian pada umumnya dan unsur yang terdapat dalam Pasal

250 dan Pasal 251 KUHD yang menjelaskan mengenai pengertian dan ketentuan dari

perjanjian Asuransi maka perjanjian asuransi itu dianggap sah.

2.2 Utmost Good Faith

Dalam prakteknya perjanjian asuransi didasarkan pada kepercayaan antara

penanggung dan tertanggung. Jika tidak ada kepercayaan maka perjanjian akan sulit

dilakukan karena penanggung tidak akan mau menerima pengalihan resiko dan

tertanggung tidak akan membayar premi kepada penanggung. Kepercayaan ada

karena masing-masing pihak memiliki itikad baik dalam melakukan perjanjian.

Perjanjian asuransi, memiliki doktrin uberrimae fidei, yaitu pertanggungan asuransi

(13)

atau perusahaan asuransi sebagai syarat sahnya suatu pertanggungan asuransi.29 Prinsip ini juga merupakan implementasi dari Pasal 1320 dan Pasal 1338 BW yang

menentukan bahwa semua perjanjian harus didasarkan pada sebab yang

diperbolehkan serta itikad baik. Oleh sebab itu dalam perjanjian asuransi terdapat

prinsip yang essensial yaitu prinsip itikad baik (Utmost Good Faith.)

Kejujuran atau itikad baik dapat dilihat dengan 2 macam cara yaitu pada mulai

berlakunya perjanjian tersebut dan pada saat pelaksanaan hak dan kewajiban yang

tercantum dalam klausa perjanjian yang telah dibuat.30 Prinsip itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu:31

1. Fungsi yang mengajarkan bahwa setiap perjanjian harus ditafsirkan menurut

itikad baik atau itikad baik sebagai prinsip hukum umum. Artinya perjanjian

harus ditafsirkan secara patut dan wajar.

2. Fungsi menambah atau melengkapi yang artinya menambah atau melengkapi

kata-kata yang ada dalam klausa perjanjian apabila klausa tersebut dianggap

tidak tegas.

3. Fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking van

de geonde trouw) fungsi ini hanya dapat dilakukan dengan alasan yang sangat

penting. Hoge Raad menerapkan fungsi ini hanya trhadap kasus kasus dimana

pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian

29

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8145/perlindungan-terhadap-nasabah-asuransi-jiwa-masih-lemah, diakses tanggal 20 April 2015

30

Zahry Vandawati Chumaida, Prinsip Itikad baik dan perlindungan Tertanggung Pada Perjjanjian Asuransi Jiwa, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,tahun 2013, h.104

31

(14)

yang sungguh-sungguh tidak dapat diterima kerena tidak adil. Penerapan

fungsi ini juga dapat dipahami sebagai bentuk penyimpangan terhadap prinsip

Pacta sun servanda.

Prinsip itikad baik adalah prinsip dimana baik tertanggung maupun penanggung

diwajibkan untuk menyampaikan informasi dengan sejujur-jujurnya. Pihak

tertanggung maupun penanggung wajib untuk memberitahukan secara jelas dan

terperinci mengenai fakta material keadaan objek yang akan diasuransikan dan tidak

mengambil untung dari perusahaan asuransi.32

Fakta material yang dimaksud adalah fakta penting yang dapat mempengaruhi

penanggung maupun tertanggung untuk menutup perjanjian asuransi. Pada umumnya

fakta material dibagi menjadi beberapa kategori yaitu:33

a. Fakta yang menunjukkan sifat khas dari objek pertanggungan. Apabila fakta

tersebut tidak ada maka resiko yang ditanggung merupakan resiko biasa.

Contoh dalam asuransi jiwa adalah ketika tertanggung pernah mengalami

kecelakaan sehingga terdapat bagian tubuhnya yang cacat atau mengalami

rasa sakit pada saat-saat tertentu.

b. Fakta yang membuat resiko yang diasuransikan menjadi lebih besar daripada

yang biasa semisal dalam asuransi jiwa seseorang yang menjadi tertanggung

memiliki riwayat kolestrol tinggi.

32

Bronto Hartono, Prinsip Utmost Good Faith dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2005, h. 17

33

(15)

c. Fakta yang mengungkapkan bahwa calon tertanggung adalah abnormal.

Dalam praktek dilapangan dalam melakukan perjanjian asuransi terutama

asuransi jiwa tertanggung diwajibkan untuk jujur karena tertanggung adalah pihak

yang paling memahami keadaan objek yang akan dijaminkan. Apabila

dikemudian hari tertanggung diketahui telah berkata tidak jujur atau dengan

sengaja tidak memberitahu penanggung maka penanggung dapat membatalkan

perjanjian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 251 KUHD yang mengandung

prinsip pemberitahuan yang menjadi syarat khusus perjanjian asuransi .34 Menurut ketentuan ini setiap asuransi harus memiliki kejelasan mengenai objek tertentu.

Kejelasan objek tertentu yang dimaksud adalah kejelasan mengenai sifat yang

dimiliki oleh tertanggung seperti jenis, identitas, dan sifat objek asuransi harus

diketahui secara pasti oleh penanggung.35

Penerapan ketentuan syarat pemberitahuan ini telah diatur dalam Pasal 251

KUHD yang berbunyi :

Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak

memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik

ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah

mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup dengan

ketentuan-ketentuan yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.36

34

Abdul Kadir Muhammad,ibid, 2011, h.53 35Ibid

36

(16)

Ketentuan pemberitahuan ini diberlakukan dengan tujuan untuk melindungi

penanggung dari perbuatan curang tertanggung. Hal ini juga bertujuan agar

tertanggung jujur dan lebih berhati-hati dalam melakukan perjanjian asuransi.

Dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014 mengenai usaha perasuransian

terdapat pengaturan tentang perlindungan bagi tertanggung agar penanggung juga

menerapkan prinsip itikad baik. Pengaturan tersebut terdapat dalam Pasal 31

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014, yang menyatakan agen asuransi, pialang

reasuransi dan perusahaan perasuransian wajib memberikan informasi yang benar,

tidak palsu atau menyesatkan kepada pemegang polis, tertanggung atau peserta

mengenai resiko, manfaat, kewajiban pembeban biaya terkait produk asuransi atau

asuransi syariah. agen asuransi, pialang reasuransi dan perusahaan perasuransian

wajib menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah

diakses, dan adil serta dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat

penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya

dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.

Ketentuan ini diharapkan dapat menjadi sebuah landasan bagi para pihak untuk

saling mempercayai dan dapat mencapai sebuah perjanjian yang adil. Ketika

mengadakan perjanjian asuransi, penanggung mempunyai resiko besar karena objek

yang menjadi pertanggungan memiliki sifat yang tidak pasti. Syarat pemberitahuan

inilah yang akan menjadi dasar bagi penanggung untuk mempertimbangkan ganti

(17)

Begitupun dengan sebaliknya Pasal 31 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2014

mewajibkan penanggung untuk menjelaskan kepada calon tertanggung mengenai

hal-hal yang dijamin serta hal-hal-hal-hal yang diperkecualikan, jumlah premi, jenis asuransi dan

pengajuan klaim hingga jatuh tempo. Penanggung wajib memberikan informasi dan

penjelasan secara keseluruhan tidak hanya sebagian karena mengaggap bahwa calon

tertanggung telah mengetahui hal tersebut dan menyelesai kankeluhan maupun klaim

yang dimiliki oleh tertanggung pada pelaksanaan perjanjian .

Pasal 257 jo. 258 KUHD menjelaskan bahwa perjanjian asuransi dianggap telah

berlaku ketika para pihak menyatakan bersedia untuk melakukan perjanjian tanpa

harus menunggu polis. Polis merupakan alat pembuktian dalam perjanjian asuransi

yang diterbitkan oleh penanggung. Apabila tertanggung mengalami kerugian sebelum

polis diterbitkan oleh penanggung maka tertanggung berhak atas ganti kerugian.

Kedua Pasal ini memberikan kemungkinan bagi pihak tertanggung untuk mengajukan

alat bukti lain yang tertulis seperti surat antara penanggung dan tertanggung, nota

penutupan dll. Tertanggung juga dapat mengajukan alat bukti tambahan non-tulisan

dengan syarat telah memiliki alat bukti permulaan dengan tulisan dan tidak diatur

dalam undang-undang yang ancaman batalnya harus berupa tulisan dalam bentuk

polis.

Prinsip itikad baik menjadi landasan penting dalam perjanjian asuransi.

Prinsip ini mengharuskan penanggung dan tertanggung untuk memberikan informasi

yang sejujur-jujurnya dan melaksanakan perjanjian sesuai dengan kesepakatan awal.

(18)

tertanggung mengambil formulir perjanjian. Tertanggung wajib mengisi formulir

dengan jujur dan penanggung wajib menyampaikan manfaat, jenis asuransi, hal-hal

yang dijamin dan pengecualiannya serta akibat hukum yang ditimbulkan dikemudian

hari. Dalam pelaksanaannya kedua pihak wajib menjaga itikad baik yaitu tidak

melakukan sesuatu yang dapat membahayakan objek pertanggungan dan membayar

premi bagi tertanggung dan membayar ganti apabila tertanggung mengalami

evenemen bagi tertanggung.

2.3 Pembatalan Secara Sepihak Oleh Penanggung dan Dikaitkan dengan Prinsip

Utmost Good Faith

Walaupun prinsip itikad sangat baik merupakan fondasi dari perjanjian

asuransi namun banyak sengketa asuransi yang dimulai dari pelanggaran itikad tidak

baik. Banyak para pihak yang merasa bahwa pihak lawannya tidak memiliki itikad

tidak baik pada saat pembuatan perjanjian maupun saat pelaksanaannya. Padahal

setiap perjanjian yang akan dibuat harus dianggap memiliki itikad baik sebagai

fondasinya. Pasal 1965 BW menyatakan para pihak yang menganggap bahwa pihak

lawannya melakukan itikad tidak baik harus membuktikan bahwa memang telah

terjadi itikad tidak baik. Hal tersebut juga masih berhubungan dengan Pasal 1865 BW

yang yang menganggap bahwa seseorang yang merasa bahwa hakmya telah diambil

(19)

Cara untuk membuktikan bahwa pihak lain melakukan pelanggaran itikad

buruk adalah dengan membuktikan bahwa itikad buruk telah terjadi. Itikad buruk

menurut Summers adalah37 :

1. Penjual menyembunyikan cacat yang dideritanya;

2. Kontraktor menyalahgunakan posisi tawar untuk menyalahgunakan posisi

tawar untuk memaksa kenaikan harga kontrak;

3. Memperkerjakan broker dan kemudian sengaja mencegahnya mencapai

kesepakatan;

4. Kurangnya kesadaran untuk tekun mencegah kerugian pihak lain;

5. Mengadopsi penafsiran yang melampaui batas dari bahasa perjanjian;

6. Mengadopsi penafsiran yang melampaui batas dari bahasa perjanjian;

7. Melecehkan pihak lain untuk kepastian pelaksanaan perjanjian

berulang-ulang;

Kasus sengketa asuransi yang akan dibahas oleh penulis dalam sub bab ini

adalah kasus yang melibatkan PT. Asuransi Jiwasraya dengan Drs. Kusno Widayat

dalam sengketa nomor 1093 K/Pdt/2010. Secara garis besar kasus ini penulis

kemukakan sebagai berikut38:

Pihak pemohon kprinsipi adalah Direktur trama PT. Asuransi Jiwasraya yang

berkedudukan di Jalan Ir. Juanda, No. 34 Jakarta yang diwakilkan Branch Manager

PT. Asuransi Jiwasraya cabang Jayapura yang berkedudukan di Jalan Samratulangi

37

Zahry Vandawati Chumaida, Opcit, h.157 38

(20)

No.7 Jayapura yang memberi kuasa kepada Siti Fatimah dan kawan-kawan selaku

pegawai P.Asuransi Jiwasraya berdasarka surat kuasa khusus tanggal 9 Desember

2009.

Pihak termohon asuransi adalah Drs. Kusno Widayat, yang bertempat tinggal

di Jalan KPR BPD No.10, Skyline Indah, RT 05, RW 04, Kelurahan Vim, Kecamatan

Jayapura Selatan. Kasus ini bermula dari tanggal 17 Desember 2007 atas

rekomendasi A. Ghafur yang merupakan seorang agens asuransi Alm. Sri Suryanti

Asiyah S.E yang merupakan istri termohon kprinsipi mengikuti program asuransi

jiwa di PT. Asuransi Jiwasraya dan mendapat polis asuransi nomor GH 0011560799

tertanggal 18 Desember 2007. Sri Suryani Asiyah S.E yang menjadi tertanggung

telah melakukan pembayaran pertama premi asuransi sebesar Rp. 84.284.200 secara

lunas yang kemudian menerima surat tanda terima kuitansi tertanggal 17 Desember

2007. Kesepakatan awal penanggung dan tertanggung adalah manfaat asuransi yang

harus ditanggung penanggung adalah sebesar 3 x 70.000.000 yang harus dibayarkan

pada tanggal 1 Desember 2019 jika tertanggung hidup atau sebelum tanggal 1

Desember 2019 jika tertanggung meninggal.

Pihak yang menerima manfaat asuransi menurut urutan adalah Kusno Widayat

yang merupakan suami tertanggung dan Andika Ezra yang merupakan anak

tertanggung. Ny. Sri Suryanti Asiyah S.E selaku tertanggung melakukan perjalanan

kerja di BPD Papua yang didampingi oleh A Ghafur selaku agen PT. Jiwasraya.

Tertanggung baru dapat menandatangani polis setelah dilakukan pengecekan secara

(21)

Pada bulan Januari 2008 Ny. Sri Suryanti Asiyah S.E mengalami sakit

pembengkakakn di sekitar leher dan menjalani rawat inap selama satu minggu di

Rumah Sakir Marthe Indey Jayapura. Keterbatasan peralatan di Jayapura membuat

tertanggung harus dirujuk ke Rumah Sakit Darmais Jakarta dan Rumah Sakit Pusat

Angkatan Darat Gatot Subroto di Jakarta.

Setelah dirawat selama 3 minggu di Jakarta pada tanggal 14 Februari 2008

tertanggung meninggal dunia dan dimakamkan pada tanggal 15 Februari 2008

selanjutnya pada tanggal 3 Mei 2008 Kusno Widayat selaku pemegang manfaat

asuransi mengajukan klaim ke PT.Asuransi Jiwasraya. Penyebab kematian

tertanggung adalah sakit pembengkakan kelenjar leher sesuai dengan surant yang

ditanda tangani oleh dr. Asep Usmanto, Sp. B Dengan meninggalnya tertanggung

maka Kusno Widayat mengajukan klaim asuransi sebesar Rp.210.000.000 sesuai

ketentuan dalam polis asuransi yang ditandatangani oleh Bambang Sudrajad selaku

Direktur PT. Asuransi Jiwasraya dan Rakhel Ayomi selaku Branch Manager PT.

Asuransi Jiwasraya cabang Jayapura. Atas pengajuan klaim tersebut penanggung

menolak memenuhi kewajibannya dan membatalkan secara sepihak dan

mengembalikan premi yang sudah dibayarkan sebesar Rp 84.284.200

Penolakan ini didasarkan pada alasan bahwa tertanggung tidak memberikan

keterangan secara jujur ketika memberikan informasi pada awal perjanjian. Tergugat

diketahui telah menjalani operasi pengangkatan payudara (Masektomi) yang

(22)

Ahli waris tertanggung menyatakan bahwa sebelumnya tertanggung telah

menginformasikan bahwa tertanggung memiliki riwayat penyakit kanker pada saat

pembuatan perjanjian. Atas penolakan itu ahli waris tertanggung menyampaikan

somasi tertanggal 10 Septemeber 2008 dan meminta penanggung untuk

membayarkan klaim asuransi dan apabila penanggung tidak memenuhi kewajibannya,

maka Penggugat akan menempuh jalur hukum antara lain mengajukan gugatan ke

Pengadilan Negeri Jayapura. Penanggung tetap pada pendirian awal yaitu

membatalkan polis tergugat sehingga ahli waris tertanggung mengajukan gugatan ke

pengadilan negeri Jayapura. Setelah menjalani persidangan di Pengadilan Negeri

Jayapura akhirnya pengadilan memutuskan:

- Menyatakan perjanjian asuransi polis nomor GH-001560799 atas nama Sri

Suryanti Asiyah, SE, sah demi hukum;

- Menyatakan tindakan penanggung membatalkan perjanjian asuransi polis nomor

GH-001560799 atas nama Sri Suryanti Asiyah, SE secara sepihak adalah

merupakan perbuatan melawan hukum;

- Menghukum penanggung untuk membayar secara tunai manfaat asuransi kepada

Penggugat sebesar Rp 210.000.000,- (dua ratus sepuluh juta rupiah) sesuai

dengan polis asuransi nomor GH-001560799 atas nama Sri Suryanti Asiyah, SE;

- Menghukum lagi Tergugat untuk membayar ganti rugi kepada ahli waris

tertanggung sebesar 1 % x Rp 21.000.000,- (dua puluh satu juta rupiah) perbulan

terhitung sejak tanggal 14 Desember 2008 sampai dengan penanggung membayar

(23)

Penanggung mengajukan penanggung mengajukan kprinsipi secara lisan

dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 9 Desember

2009 pada tanggal 11 Desember 2009. Hal ini sesuai dengan akte pernyataan

permohonan kprinsipi No. 81/PDT.G/2008/PN.JPR yang dibuat oleh Panitera

Pengadilan Negeri Jayapura. Permohonan disertai dengan memori kprinsipi yang

memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada

tanggal 21 Desember 2009. Adapun alasan-alasan tersebut adalah :

1. Kusno Widayat dianggap tidak pernah berkomunikasi dan memiliki hubungan

hukum dengan PT. Asuransi Jiwasraya.

2. Bahwa polis yang dimiliki oleh ahli waris tertanggung dianggap batal demi

hukum dan premi yang telah dibayar tertanggung sebesar Rp 84.284.200

dikembalikan karena tertanggung dianggap tidak memeberikan informasi

dengan jujur dan jelas.

3. Tertanggung dianggap melakukan pelanggaran prinsip Utmost Good Faith

dan Pasal 251 KUHD.

Mahkamah Agung pada akhirnya memutuskan untuk menolak permohonan

kprinsipi dari Pemohon Kprinsipi yaitu Direktur Utama PT. Asuransi Jiwasraya dan

menghukum Pemohon Kprinsipi/Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam

tingkat kprinsipi. Dengan beberapa pertimbangan seperti:

1. Alasan permohonan kprinsipi dari Pemohon Kprinsipi/Tergugat dalam

memori kprinsipinya hanya berupa pengulangan dan penilaian atas hasil

(24)

Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri sudah dengan

benar menilai dan mempertimbangkan keberatan tersebut serta dengan benar

menerapkan hukum;

2. Judex Facti dari Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Pengadilan

Negeri tidak salah dalam menerapkan hukum. Judex Facti (Pengadilan

Negeri) sudah dengan benar dalam pertimbangan hukum dimana si

Penanggung (perusahaan asuransi) pada waktu penandatanganan polis

asuransi harus terlebih dahulu meng-cross check kebenaran data Tertanggung

oleh Tim Peneliti dan dokter asuransi, apalagi (quod non) payudara si

Tertanggung sudah diangkat. Bahwa dengan penandatanganan polis,

Penanggung mengakui/menyatakan kebenaran data yang diberikan oleh

Tertanggung

Berdasarkan fakta hukum yang ada diatas maka ada beberapa hal yang perlu

dicermati. Pertama, pada penerbitan polis Ny. Sri Suryanti Asiyah S.E sebagai

calon tertanggung melakukan perjanjian dengan A. Ghafur sebagai agen asuransi

PT. Asuransi Jiwasraya. pada umumnya asuransi dipasarkan oleh representatives

perusahaan asuransi yang dikenal sebagai agen. Agen asuransi adalah siapa saja

yang dikuasakan oleh perusahaan asuransi untuk mencari, membuat, mengubah,

atau mengakhiri kontrak-kontrak asuransi antara perusahaan asuransi dengan

publik. Agen yang baik adalah agen yang mempunyai pengetahuan mengenai

(25)

untuk itu.39 A. Ghafur selaku agen dengan mendampingi calon tertanggung ketika mengisi formulir program asuransi jiwa. Selain itu A. Ghafur juga

melakukan pengecekan secara menyeluruh (cross check) kepada calon

tertanggung sebelum persyaratan asuransi dapat ditandatangani oleh calon

tertanggung . Pemeriksaaan tersebut telah melibatkan tim dokter yang ditunjuk

oleh perusahaan asuransi PT. Jiwasraya.

Berdasarkan fakta tersebut tidak ada masalah prosedural yang akhirnya

menyebabkan tertanggung dianggap melanggar Pasal 251 KUHD dan prinsip itikad

baik. Operasi pengangkatan payudara menimbulkan bekas yang dapat dilihat oleh

mata seharusnya pada saat pemeriksaan menyeluruh yang diminta oleh agen, bekas

operasi tersebut dapat diketahui oleh pihak penanggung. Pemeriksaan tersebut juga

melibatkan dokter yang ditunjuk oleh perusahaan asuransi. Menyembunyikan bekas

operasi pengangkatan payudara tidak dapat dilakukan oleh tertanggung, kecuali

dengan jalan operasi bedah plastik apalagi tidak ditemukan riwayat operasi bedah

plastik pada payudara tertanggung.

Dalam kasus ini penulis beranggapan bahwa tidak ada niatan dari Alm. Ny.

Sri Suryanti Asiyah S.E selaku tertanggung untuk menyembunyikan riwayat

kesehatannya. Alm. Ny. Sri Suryanti Asiyah S.E memang telah menjalani operasi

pengangkatan payudara sebelum pembuatan perjanjian asuransi namun tidak

almarhum tidak secara sengaja menyembunyikan hal tersebut namun lebih pada

ketidaktahuan mengenai prosedur pemberian. Hal tersebut tercermin pada sikap

39

(26)

tertanggung yang secara jujur menyatakan bahwa memiliki riwayat kanker payudara

dan bersedia menjalani pemeriksaan seperti yang diinginkan oleh pihak penanggung.

A.Ghafur selaku agen asuransi seharusnya lebih berhati-hati dalam

mendampingi almarhumah dalam pengisian formulir. Agen diwajibkan menjawab

secara jelas dan mendetail jenis dan klausa jaminan program asuransi yang akan

dijalani oleh calon tertanggung termasuk ketentuan mengenai riwayat operasi yang

dipermasalahkan penanggung. Walaupun agen yang melakukan kesalahan tetap saja

penanggung harus memberikan ganti rugi kepada keluarga almarhumah. Hal ini

sesuai dengan. Agen Asuransi dalam menjalankan kegiatannya harus memberikan

keterangan yang benar dan jelas kepada calon tertanggung tentang program asuransi

yang dipasarkan dan ketentuan isi polis, termasuk mengenai hak dan kewajiban calon

tertanggung.

Hal terakhir yang harus diperhatikan adalah ada atau tidaknya hubungan

antara perbuatan dengan kerugian. Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan

merupakan sebab dari suatu kerugian maka dapat mengikuti 2 teori kasualitas yaitu

teori hubungan faktual dan dan teori penyebab kira-kira.

Yang pertama adalah teori hubungan faktual (causation in fact) . Teori ini

menjelaskan bahwa setiap fakta yang terjadi dalam kenyataan merupakan penyebab

langsung dari kerugian yang timbul. Dalam hukum perbuatan melanggar hukum teori

ini disebut dengan Conditio sine qua non. Teori hubungan faktual ini menekankan

akan adanya faktor awal yang menyebabkan terjadinya resiko secara langsung

(27)

Dalam kasus putusan Mahkamah Agung nomor 1093 K/Pdt/20102 penyebab

almarhumah meninggal adalah pembengkakan kelenjar leher yang akhirnya

menyebabkan tertanggung sesak nafas dan meninggal dunia. Berdasarkan teori ini

almarhumah meninggal bukan disebabkan oleh operasi pengangkatan payudara

(masektomi) seperti yang dipermasalahkan oleh penanggung.

Teori kedua adalah teori perkiraan atau teori proxima causa yang berarti suatu

penyebab aktif dan efisien yang bergerak dalam suatu mata rantai peristiwa yang

membawa suatu akibat tanpa intervensi suatu penyebab lain yang bekerja secara aktif

dan yang datang dari suatu sumber baru dan independen.40 . Dalam prinsip ini dapat ditentukan penyebab terjadinya evenemen. Apabila evenemen benar-benar terjadi

maka yang akan diteliti adalah penyebab awal rentetan peristiwa tersebut hingga

akhir peristiwa yang menyebabkan evenemen.

Dalam sengketa ini tertanggung meninggal bukan karena dampak operasi

pengangkatan payudara yang dipermasalahkan oleh tertanggung namun karena

pembengkakan leher dan menyebabkan sesak nafas yang dialami tertanggung. .

Pembengkakan leher terjadi penyakit kanker payudara yang diderita almarhumah

telah menyebar ke paru-paru. Kanker yang telah menyebar ke paru-paru tersebut

membuat almarhumah harus menjalani penyinaran atau radiasi sebagai upaya

penyelamatan tertanggung.Penyinaran atau radiasi ini yang mengakibatkan terjadinya

pembengkakan leher. Fakta yang disebutkan dapat ditarik kesimpulan bahwa

penyebab meninggalnya tertanggung adalah pembengkakan leher yang diakibatkan

4040

(28)

karena penyakit kanker payudara yang telah menyebar ke paru-paru bukan karena

operasi pengangkatan payudara.

. Penanggung telah melanggar Pasal 31 (3) dan (4) Undang-undang Nomor 40

Tahun 2014 tentang perasuransian menyatakan Perusahaan Asuransi wajib

menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses,

dan adil selain itu perusahaan asuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat

memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan

yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau

pembayaran klaim. PT. Jiwasraya selaku penanggung melakukan penolakan klaim

Referensi

Dokumen terkait

Pada bulan januari 2013 index performance mencapai sampai 20.14% dengan nilai pencapaian 559 meningkat hingga 700, hal ini dikarenakan adanya perbaikan dan peningkatan

Pertemuan ini dilakukan sebelum bekerja (proses produksi) di pimpin oleh kepala seksi produksi tujuannya untuk memberikan target produksi hari ini dan mrmberikan

Pada penelitian analiasa mutu e-learning dengan metode rule-base maka dapat ditarik kesimpulan, mutu pembelajaran e-learning dapat dinilai secara online barbasis

4 FOKUS PENGGARAPAN SASARAN “BEDAH PENDIDIKAN” GERAKAN PENUNTASAN BUTA HURUF WAJAR DIKDAS 9 TH APK / APM SLTP SELURUH ANAK USIA 13 – 15 TAHUN BISA MENGAKSES PENDIDIKAN JENJANG

Asuransi adalah perjanjian dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerima premi oleh perusahaan asuransi imbalan untuk

Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pendekatan kuantitatif Assosiatif.Metode Survey yang digunakan adalah untuk mengumpulkan data dari sampel penelitian

Penerima PKH meskipun sering hidup dalam kondisi kritis dan tetap bisa bertahan karena hidup secara subsisten dengan menggunakan beberapa cara. Namun para penerima