• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 6 Sifat dan Hubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Bab 6 Sifat dan Hubungan"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 6

SIFAT DAN HUBUNGAN

ANTARNASKAH SYA

$ $



RIYYAH

6.1. Penjelasan Umum

Setelah mendeskripsikan secara terperinci semua naskah Sya‹‹Œriyyah yang dijadikan sebagai sumber primer penelitian dalam bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis akan mencoba mengungkapkan sifat masing-masing naskah serta saling silang hubungan antarnaskahnya —baik hubungan antarnaskah Arab dengan naskah Melayu maupun antarnaskah Melayu dengan naskah Melayu lainnya— dengan tujuan untuk melihat keseluruhan naskah Sya‹‹Œriyyah tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah satu sama lain. Selain itu, pembahasan tentang hubungan antarnaskah ini juga akan ditempatkan dalam konteks saling-silang hubungan keilmuan di antara pengarang atau penulisnya.

Seperti telah dikemukakan sejak awal, naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah yang menjadi sumber primer penelitian ini, merupakan bagian tak terpisahkan dari khazanah naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia, yang dihasilkan melalui sebuah kontak intelektual, baik yang terjadi antarulama Melayu-Indonesia dengan ulama Haramayn, maupun antarulama Melayu-Indonesia dengan murid-muridnya. Dengan sendirinya, munculnya naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah tersebut, sesungguhnya menggambarkan sebuah proses transmisi ilmu pengetahuan keislaman yang pernah terjadi, dari pusatnya di Dunia Islam, khususnya Makkah dan Madinah, ke sebuah wilayah, dalam hal ini Dunia Melayu-Indonesia, yang sebelumnya sering dianggap sebagai pinggiran (peripheral). Dalam perkembangan berikutnya, wilayah yang dianggap sebagai pinggiran tersebut telah berubah menjadi sebuah “pusat” yang lain, yang telah secara produktiv menghasilkan khazanah keilmuannya sendiri.

(2)

keilmuan Islam. Berbagai corak pemikiran dan praktek keberagamaan Islam yang berkembang di wilayah ini pun dengan segera menyebar ke berbagai wilayah lain, termasuk ke wilayah Melayu-Indonesia.

Demikian halnya dalam konteks tarekat Sya‹‹Œriyyah. Kendati pada mulanya tarekat ini lahir di India, namun dalam perkembangan berikutnya, yang paling bertanggungjawab dalam penyebarannya ke wilayah Melayu-Indonesia adalah para sufi yang terlibat dalam jaringan ulama Haramayn (Azra 1994). Oleh karenanya, sifat dan corak ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah yang berkembang di wilayah Melayu-Indonesia pun pada dasarnya dapat diidentifikasi sebagai “miniatur” dari tarekat Sya‹‹Œriyyah yang berkembang di Haramayn. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya dalam sebuah proses transmisi, selain terdapat kontinuitas nilai-nilai yang ditransmisikan, dalam perkembangannya kemudian juga dijumpai adanya proses transformasi, adaptasi, penerjemahan, dan pribumisasi nilai-nilai dalam ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah ketika ia sampai di wilayah Melayu-Indonesia tersebut.

Dalam konteks transmisi keilmuan ini, tidak terelakkan bahwa sumber-sumber Arab tentang tarekat Sya‹‹Œriyyah adalah memang merupakan sumber rujukan bagi naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah di dunia Melayu-Indonesia, tetapi satu hal yang juga tidak dapat dibantah adalah kenyataan bahwa atas sumber-sumber Arab tersebut telah terjadi proses adaptasi, transformasi, penerjemahan, dan pribumisasi, sehingga muncul pula naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah lokal yang menggambarkan sebuah “produktivitas” dalam melahirkan mozaik-mozaik Islam yang relatif baru dan berbeda.

6.2. al-Sim al-Maj¥d dan ItúŒf al-ªak¥:

Sumber Rujukan Ritual Tarekat Sya‹‹Œriyyah dan Pemikiran Neo-Sufisme

dalam Naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah di Dunia Melayu-Indonesia Sejauh menyangkut sumber-sumber Arab yang banyak dijadikan rujukan oleh para penulis naskah Sya‹‹Œriyyah di Dunia Melayu-Indonesia, kitab al-Sim al-Maj¥d karangan Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥, dan ItúŒf al-ªak¥ karangan IbrŒh¥m al-K´rŒn¥, bisa dianggap sebagai dua sumber yang paling representatif di antara sumber-sumber lain yang pernah ada.

(3)

dianggap sebagai tokoh yang paling bertanggungjawab dalam penyebaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di wilayah ini.

Al-Sinkili adalah salah seorang murid utama al-QusyŒsy¥ dan al-K´rŒn¥. Pengalaman belajar dengan al-QusyŒsy¥ dan al-K´rŒn¥ merupakan bagian dari perjalanan panjang al-Sinkili ketika menuntut ilmu selama 19 tahun di Makkah dan Madinah. Dari al-QusyŒsy¥, al-Sinkili mempelajari, khususnya, tasawuf hingga gurunya itu meninggal pada tahun 1071 H/1660 M dalam usia 77 tahun. Sebagai tanda selesainya pelajaran dalam jalan mistis, al-QusyŒsy¥ menunjuk al-Sinkili sebagai khalifah dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah dan QŒdiriyyah sekaligus (Azra 1994: 195). Al-Sinkili sendiri, dalam beberapa karyanya mencantumkan silsilah dirinya dengan al-QusyŒsy¥ melalui dua jalur tarekat tersebut (lihat, antara lain, Tanb¥h al-MŒsy¥ h. 64-68). Adapun dari al-K´rŒn¥, al-Sinkili melengkapi pengetahuannya dengan berbagai pemahaman intelektual keislaman selain pengetahuan mistis-spiritual.

Seperti akan kita lihat nanti, ajaran-ajaran tasawuf al-QusyŒsy¥ dalam al-Sim al-Maj¥d —terutama menyangkut tatacara zikir dalam ritual tarekat— sangat kuat mempengaruhi hampir keseluruhan apa yang disampaikan oleh al-Sinkili melalui naskah-naskah karangannya. Hal ini mudah dipahami mengingat hubungan guru-murid al-Sinkili dengan al-QusyŒsy¥ tampaknya terjalin sedemikian erat. Di satu sisi, al-Sinkili sangat hormat dan patuh kepada gurunya, sementara di sisi lain, al-QusyŒsy¥ juga sangat menyayangi muridnya itu.

Dalam salah satu naskah berjudul Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Syalihin Syaikh Abdurrauf (Syaikh Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh yang telah diperikan pada bab sebelumnya misalnya, diceritakan bahwa setelah tujuh tahun al-Sinkili berada di Madinah1, dan belajar dengan al-QusyŒsy¥, ia pernah disuruh pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi:

“…mendengar kata guru yang demikian itu, tumbuhlah resah dan hiba yang sangat dalam hatinya disebabkan pergaulannya dengan guru sangat akrab, guru sayang kepadanya, dan dia sayang kepadanya, sebab itu sangat berat olehnya meninggalkan guru…” (h. 10).2

1 Kalau angka tujuh tahun yang disebut ini benar, seharusnya peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 1649, karena al-Sinkili diyakini berangkat ke Haramayn pada 1642, dan pulang kembali ke Tanah Rencong, Aceh, pada tahun 1661.

(4)

Pada akhirnya, al-Sinkili memang baru meninggalkan Madinah setahun setelah gurunya itu wafat pada 1660.

Dalam konteks hubungan antara al-Sinkili dengan al-QusyŒsy¥ ini, informasi yang dikemukakan dalam sumber-sumber lokal di Sumatra Barat seperti contoh di atas memang menjadi penting untuk diperhatikan, setidaknya karena dua hal:

Pertama, keberadaan teks-teks lokal yang berisi penceritaan tokoh al-QusyŒsy¥ tersebut berarti menunjukkan adanya kesinambungan “komunikasi” antara dua tradisi yang sesungguhnya dipisahkan oleh rentang waktu yang relatif panjang. Masa hidup para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah di Sumatra Barat yang menulis teks-teks tersebut tentu saja berjarak ratusan tahun dengan masa hidupnya al-QusyŒsy¥, bahkan dengan al-Sinkili sekali pun. Namun demikian, hal tersebut ternyata tidak menghalangi “komunikasi” di antara keduanya. Dalam pengalaman penelitian lapangan di Sumatra Barat, penulis sendiri beberapa kali bertemu dan bertatap muka dengan para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah angkatan paling kemudian, yang dengan fasihnya menceritakan Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥ sebagai tokoh sentral dalam ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah.

Kedua, dalam konteks pembahasan bab ini, informasi tentang kedekatan hubungan antara al-QusyŒsy¥ dan al-Sinkili —yang sejauh ini memang tidak banyak dijumpai dalam sumber-sumber lain— tersebut pada gilirannya akan dapat menjelaskan sifat dan pola hubungan ajaran-ajaran al-QusyŒsy¥ dalam al-Sim al-Maj¥d, dengan naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah Nusantara yang hampir keseluruhannya melibatkan al-Sinkili, baik sebagai pengarang langsung, maupun sebagai penghubung tradisi tarekat Sya‹‹Œriyyah yang paling otoritatif di wilayah ini. Seperti akan kita lihat nanti, berbagai ritual tarekat yang dikemukakan al-QusyŒsy¥ dalam al-Sim al-Maj¥d, seperti tatacara zikir, baiat, talq¥n, dan pemberian ijazah kekhalifahan, muncul sedemikian rupa selain dalam naskah-naskah karangan al-Sinkili, juga dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah lokal di Sumatra Barat.

Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sebagian naskah-naskah lokal tersebut, tidak jarang terselip penjelasan-penjelasan yang berbau mitos dan legenda. Ketika menjelaskan kedekatan hubungan guru-murid antara al-QusyŒsy¥ dengan al-Sinkili misalnya, naskah

Muballigul Islam menceritakan bahwa tidak seperti terhadap murid-muridnya yang lain, al-QusyŒsy¥ mengajarkan semua ilmu pengetahuan keagamaannya kepada al-Sinkili melalui isyarat saja, tidak melalui proses belajar mengajar secara konvensional:

(5)

seorang diri saja diajarkan oleh Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥ kepada Syaikh Abdurrauf sekalian kitab itu adalah dengan memakai isyarat saja. Oleh karena berkat taat lagi khusu’ dan tawakkal kepada Allah beserta adab dan khidmat kepada guru, maka berlakulah qudrat dan iradat Allah Subhanahu wa taala…tidak ada lagi baginya batas, maka sekalian ilmu yang ditaslimkan oleh gurunya Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥ kepada beliau, maka tersimpanlah kesemuanya ke dalam dada Syaikh Abdurrauf…” (h. 6).

Dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah lokal tersebut, al-Sinkili memang diceritakan sebagai murid yang sangat khidmat dan takzim kepada gurunya, sampai-sampai pekerjaan sehari-hari al-Sinkili adalah menggembalakan unta milik al-QusyŒsy¥, selain juga menggendong bulak-balik gurunya itu dari rumah ke mesjid tempat al-QusyŒsy¥ mengajar. Justru berkat sikap khidmat dan takzim terhadap gurunya inilah, al-Sinkili diyakini mendapatkan kemuliaan pengetahuan yang luar biasa tingginya. Dalam Muballigul Islam

diceritakan:

“…karena beliau telah menjadi orang kasyaf lagi tawakkal kepada Allah, maka terbukalah hijab pada beliau sewaktu beliau memandang ke langit terang benderang penglihatannya meliputi sekalian alam hingga terus waktu itu pemandangan beliau kepada lauh mahfuz, dan sewaktu menekur yaitu jua memandang ke bawah, terus pula pemandangan beliau kepada sijjin, yaitu tempat di bawah bumi yang tujuh. Inilah suatu hidayah dan rahmat daripada Allah ‘Azza wa Jalla kepada beliau Syaikh Abdurrauf oleh karena sangat taat dan takwa kepada Allah, dan berkat sangat hormat lagi khidmat kepada guru…” (h. 8).

Seperti penulis kemukakan pada bab pertama disertasi ini, teks-teks yang mengandung unsur cerita mitos dan legenda, dalam penelitian ini diposisikan sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari sumber informasi, karena cerita-cerita tersebut pada dasarnya merupakan gambaran dari pemahaman masyarakat terhadap konteks tertentu (Vansina 1965: 154-157).

Apalagi, dalam konteks penelitian ini, berbagai riwayat tentang kedekatan hubungan antara al-QusyŒsy¥ dengan al-Sinkili seperti tersebut di atas inilah yang pada akhirnya memudahkan dan membantu kita melacak ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah yang ditransmisikan dari sumber-sumber Arab, khususnya dari kitab al-Sim al-Maj¥d, ke dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah lokal, baik yang berbahasa Arab maupun Melayu.

Ajaran dan Ritual Tarekat dalam al-Sim‹ al-Maj¥d

(6)

seringkali mengutip pemikiran tokoh-tokoh sufi yang oleh para ulama sebelumnya dianggap saling bertentangan satu sama lain. Dalam satu kesempatan misalnya, al-QusyŒsy¥ mengutip pemikiran ImŒm Ab´ î Œmid al-GazŒl¥3

yang merupakan tokoh tasawuf sunni, atau tasawuf amali, dan dalam kesempatan lain, al-QusyŒsy¥ juga mengutip pemikiran Ibnu ‘Arab¥4, yang merupakan tokoh tasawuf falsafi (lihat misalnya h. 113). Ini menunjukkan betapa al-QusyŒsy¥ bermaksud mempelajari dan memahami masing-masing kecenderungan ajaran dua tokoh tersebut, dan “mendamaikan” beberapa perbedaan di antara keduanya.

Penjelasan al-QusyŒsy¥ atas berbagai topik yang dikemukakan tergolong terperinci dalam kitab ini. Tentang zikir misalnya, al-QusyŒsy¥ mengemukakan pengertian, landasan normatif dari al-Quran atau hadis, jenis-jenis, serta tatacaranya. Demikian halnya dengan baiat dan talq¥n, yang merupakan gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat, al-QusyŒsy¥ menjelaskannya secara detil, bahkan al-QusyŒsy¥ membedakan antara tatacara baiat bagi laki-laki (h. 37), perempuan (h. 50), dan anak-anak (h. 56).

Selain itu, al-QusyŒsy¥ sama sekali tidak menyebut bahwa tatacara zikir, baiat, dan talq¥n yang dikemukakannya adalah khusus bagi para penganut tarekat Sya‹‹Œriyyah, melainkan bagi semua “ al-mur¥d¥n li al-sul´k”, siapapun yang menempuh dunia tasawuf. Ini bisa dimaklumi karena —seperti akan tampak pada bagian berikut— al-QusyŒsy¥ memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin

3 Nama lengkapnya adalah Ab´ î Œmid Muúammad ibn Muúammad ibn Muúammad al-GazŒl¥ al-$´s¥ (450-505 H). Lahir dan meninggal di Thus, kawasan Khurasan. Ia dikenal sebagai seorang filsuf dan ulama sufi yang mendapat gelar kehormatan,

î ujjah al-IslŒm. Ia pernah berkeliling ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu seperti ke Naisabur, Baghdad, Hijaz, Syam dan Mesir. Karangannya tidak kurang dari dua ratusan, antara lain: IúyŒ’ ‘Ul´m al-D¥n, MaqŒ§id al-FalŒsifah, TaúŒfut al-FalŒsifah, al-Munqi© min al-ëalŒl, al-Iqti§Œd f¥ al-I‘tiqŒd, dll. (Zarkal¥ 1980, jilid 7, h. 22, lihat juga TaftŒzan¥ 1985, h. 148-186)

4 Nama lengkapnya adalah Muúammad ibn ‘Al¥ ibn Muúammad ibn ‘Arab¥, Ab´ Bakr al-î Œtim¥ al-$Œ'¥ al-Andal´s¥ (1165-1240), seorang sufi Andalusia yang lebih dikenal dengan nama Ibnu ‘Arab¥. Gelar lainnya yang lebih masyhur adalah al-Syaikh al-Akbar (guru yang agung). Ia dilahirkan di Mursia, Spanyol bagian Tenggara, kemudian hijrah ke Seville. Ibnu ‘Arab¥ biasanya dihubungkan dengan doktrin waúdat al-wuj´d, karena ia dianggap sebagai pendirinya, meskipun ia sendiri tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Karya-karya mistiknya tidak kurang dari 239 buah, baik dalam bentuk kitab atau risalah, antara lain: al-Fut´ úŒt al-Makkiyyah, Fu§´ §

(7)

jenis tarekat, kendati ia lebih menonjol peranannya dalam transmisi tarekat Sya‹‹Œriyyah ke berbagai penjuru dunia melalui murid-muridnya, termasuk ke dunia Melayu-Indonesia (Azra 1994: 89). Meski demikian, di kemudian hari —seperti akan tampak dalam pembahasan atas naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah— model zikir dan baiat yang dikemukakan al-QusyŒsy¥ ini hampir secara keseluruhan diadopsi oleh para ulama tarekat Sya‹‹Œriyyah di Dunia Melayu-Indonesia.

Zikir menurut al-QusyŒsy¥ —seraya mengutip Aúmad ibn ‘AtŒ’ AllŒh al-Iskandar¥5— dalam al-Sim al-Maj¥d, adalah: “al-takhallu§ min al-gaflah wa al-nis-yŒn bi dawŒmi úuè´ri al-qalbi ma’a al-î aq”, “menghindarkan diri dari keadaan khilaf dan lupa dengan senantiasa menghadirkan al-î aq (Tuhan) di dalam hati” (h. 10). Pada dasarnya kalimat zikir yang terbaik adalah dengan membaca kalimat

tahl¥l, yakni lŒ ilŒha illŒ AllŒh.

Secara umum, terdapat dua macam zikir, yakni: zikir lisan (©ikr bi al-lisŒn) dan zikir hati (©ikr bi al-jinŒn). Menurut al-QusyŒsy¥, zikir lisan merupakan tingkatan terendah dari segi bobot dan kualitasnya, sementara zikir hati adalah bentuk zikir yang paling bermanfaat, paling sempurna, dan paling mendalam, karena melalui zikir hati ini seseorang dapat memperoleh berbagai kemuliaan dan kasih sayang

al-î aq, Allah Swt. Kendati demikian, menggabungkan antara zikir lisan dan zikir hati adalah merupakan bentuk kesempuraan zikir.

Secara teknis, ©ikr bi al-lisŒn, menurut al-QusyŒsy¥, adalah membaca dan mengucapkan beberapa huruf atau kalimat tertentu melalui lidah, tanpa harus dihadirkan dalam hati. ªikr al-lisŒn bisa berbentuk bacaan yang terikat dengan waktu dan tempat (muqayyad), seperti bacaan salat, bisa juga berupa bacaan bebas tanpa terikat waktu dan tempat (mulaq). Selain itu, ©ikr al-lisŒn bisa juga berupa pujian (£anŒ), berupa doa (du’Œ), atau berupa permohonan perlindungan (ri’Œyah). Meskipun ©ikr al-lisŒn ini seringkali tidak diiringi dengan penghayatan mendalam dari pelakunya (sŒlik), tetapi menurut al-QusyŒsy¥, hal itu tetap merupakan perbuatan terpuji karena memiliki landasan, baik dalam al-Quran maupun hadis Nabi (h. 10).

(8)

Adapun teknis ©ikr bi al-jinŒn, menurut al-QusyŒsy¥ adalah, antara lain, dengan membaca kalimat lŒ ilŒha mulai dari atas pusar seraya berniat untuk meniadakan (nafy¥) segala sesuatu selain Allah, kemudian kalimat illŒ AllŒh dibaca seraya menghunjamkannya ke dalam jantung supaya makna kalimat tersebut memberikan ketetapan bahwa hanya Allah saja yang ada dalam dalam hati sanubari (i£bŒt), sehingga pada akhirnya keyakinan tersebut menjalar ke seluruh anggota tubuh (h. 16). Cara lain adalah dengan ist¥lŒ al-ma©k´r (menghadirkan yang disebut dalam zikir, yakni Allah Swt.) ke dalam hati, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun (h. 12).

ªikr bi al-jinŒn ini seyogianya dilakukan dengan penuh rasa

khusyuk dan penuh suasana khidmat (tak½¥m). Seorang sŒlik dapat dibilang berhasil mencapai tingkat zikir ini, minimal jika ia mampu meniadakan segala sesuatu pun selain Allah dari dalam hati dan dirinya ketika ia mengucapkan kalimat lŒ ilŒha illŒ AllŒh tersebut. Artinya, ©ikr bi al-jinŒn dianggap tidak sah jika sŒlik masih berpikir selain Allah selama ia berzikir.

Jika ©ikr bi al-jinŒn ini telah bisa dilakukan, Tuhan pun telah hadir dalam hati, maka seorang sŒlik akan sampai pada tingkatan zikir tertinggi, yakni yang disebut ©ikr al-sirr atau ©ikr khaf¥. Dalam level ini, seseorang yang berzikir tidak berpikir lagi tentang zikirnya, atau bahkan tentang diri dan hatinya, yang ada hanyalah kehadiran Tuhannya. Jika sepintas saja ia berpaling mengingat zikirnya, atau mengingat diri dan hatinya, maka tertutuplah kehadiran Tuhan dari dirinya.

Menurut al-QusyŒsy¥, jika seorang sŒlik telah sampai pada tahap

©ikr khaf¥, berarti dia telah mencapai tujuan akhir dari zikir itu sendiri,

yakni fanŒ dalam arti sesungguhnya. Seseorang yang mencapai hakikat fanŒ berarti fanŒ dari dirinya sendiri dan dari segala sesuatu di luar dirinya. Ia telah “pergi” kepada Tuhannya, bahkan jika benar-benar telah fanŒ, ia akan fanŒ dari fanŒnya itu sendiri (al-fanŒ ‘an al-fanŒ). Inilah makna dari firman Allah: “Inn¥ Œhibun ilŒ rabb¥ sayahd¥ni”, sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku, Dia akan memberiku petunjuk (h. 13).

©

(9)

ini hanya berlaku bagi para sŒlik yang melaksanakan ©ikr bi al-lisŒn, tidak bagi mereka yang melakukan ©ikr bi al-jinŒn atau ©ikr bi al-qalbi.

Adapun beberapa hal yang harus dilakukan sebelum berzikir adalah: bertaubat, membersihkan jiwa (tah ¥b al-nafs), berpakaian yang halal, bersih, dan wangi, serta membersihkan batin dengan cara memakan hanya makanan yang halal.

©

Kemudian, di antara hal yang harus dilakukan saat melakukan zikir adalah: ikhlas, memberi wangi-wangian pada tempat zikir, duduk bersila dengan menghadap kiblat, meletakkan kedua tangan di atas paha, memejamkan mata, membayangkan kehadiran syaikhnya seraya meyakini bahwa keberadaan syaikhnya itu sama dengan keberadaan Nabi, karena pada dasarnya syaikh adalah pengganti (nŒ’ib) Nabi.

Terakhir, menurut al-QusyŒsy¥, setelah selesai melakukan zikir hendaknya seorang sŒlik diam sejenak untuk merasakan keheningan. Al-QusyŒsy¥ menamakan keadaan ini sebagai al-naumah, yang berarti tidur.

Pada bagian berikutnya, al-QusyŒsy¥ menjelaskan tentang talq¥n, yakni salah satu langkah awal yang harus ditempuh oleh seseorang jika hendak masuk pada dunia tarekat (suluk). Di antara tatacaranya adalah terlebih dahulu ia harus menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syaikhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudlu). Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan salat sunat sebanyak enam rakaat, dengan tiga kali salam. Pada rakaat pertama dari dua rakaat pertama, setelah surat al-fŒtiúah, membaca surat al-qadr enam kali, kemudian pada rakaat kedua, setelah surat al-fŒtiúah, membaca surat al-qadr dua kali. Pahala salat tersebut dihadiahkan kepada Nabi Saw, seraya berharap mendapat pertolongan dari Allah Swt. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua, setelah surat al-fŒtiúah membaca surat al-kŒfir´n lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-fŒtiúah membaca al-kŒfir´n tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya. Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surat al-fŒtiúah membaca surat al-ikhlŒ§ empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fŒtiúah membaca surat al-ikhlŒ§ dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian salat sunnat ini kemudian diakhiri dengan pembacaan salawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.

Selain talq¥n, hal yang harus ditempuh oleh seorang sŒlik

(10)

dan penyerahan diri dari seorang mur¥d secara khusus kepada syaikhnya, dan secara umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya (h. 36). Seorang mur¥d yang telah mengikrarkan diri masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan lagi untuk kembali keluar dari ikatan tarekat tersebut (h. 33). Dalam dunia tarekat, pada dasarnya baiat memiliki konsekuensi adanya kepatuhan mutlak dari seorang mur¥d kepada syaikhnya, karena — seperti telah dikemukakan— syaikh adalah perwakilan dari Nabi yang diyakini tidak akan membawa kepada kesesatan. Kendati demikian, jika seorang syaikh ternyata menyalahi kaidah-kaidah syariat, maka al-QusyŒsy¥ tidak menganjurkan untuk mematuhinya, karena masuk ke dalam dunia tarekat sama artinya dengan masuk pada kewajiban syariat (h. 83; lihat juga Azra 1994: 129).

Secara teknis, menurut al-QusyŒsy¥, baiat dilakukan, antara lain, dengan cara mur¥d meletakkan kedua tangan di bawah tangan syaikh, yang diiringi dengan ikrar kesetiaan dari mur¥d (h. 37). Kemudian syaikh menggenggam kedua tangan mur¥d sebagai tanda menerima kehadirannya, lahir dan batin, dunia akhirat. Setelah itu, syaikh menasihati mur¥d agar bertaubat dengan mengucapkan istigfŒr

(permohonan ampun), membacakan talq¥n 3 kali, mengusap kopiyah atau bagian dari pakaian mur¥d sebagai simbol berpindahnya keadaan mur¥d menjadi anggota tarekat, menyuruh mur¥d agar bersalaman dengan seluruh jamaah yang hadir sebagai simbol masuknya mur¥d ke dalam jamaah tarekat, dan terakhir syaikh memberikan nasihat, agar mur¥d menjauhi hal-hal yang haram dan makruh, mencintai segala perbuatan sunat, seperti puasa dan salat sunat Terakhir, syaikh mengingatkan agar mur¥d tidak mengingkari janji yang telah diikrarkannya, karena hal itu merupakan perbuatan murtad (h. 38).

Cara lain melakukan baiat adalah mur¥d meletakkan telapak tangannya dalam keadaan terbuka di bawah tangan syaikh. Jika jumlah mur¥d yang melakukan baiat lebih dari satu orang, maka tangan syaikh diletakkan paling atas di antara seluruh tangan mur¥d. Kemudian, syaikh membacakan lafaz baiat, yakni kutipan ayat ke-10 dari al-Quran surat al-Fatú:

ﺎﻤﻧإ

ﻚﻧﻮﻌﻳﺎﺒﻳ

ﻦﻳﺬﻟا

نإ

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

ﻢﻴﺟﺮﻟا

نﺎﻄﻴﺸﻟا

ﻦﻣ

ﷲﺎﺑ

ذﻮﻋأ

ﺚﻜﻨﻳ

ﺎﻤﻧﺈﻓ

ﺚﻜﻧ

ﻦﻤﻓ

ﻢﻬﻳﺪﻳأ

قﻮﻓ

ﷲا

ﺪﻳ

ﷲا

نﻮﻌﻳﺎﺒﻳ

ﺎﻤﺑ

ﻰﻓوأ

ﻦﻣو

ﻪﺴﻔﻧ

ﻰﻠﻋ

ﺎﻤﻴﻈﻋ

اﺮﺟأ

ﻪﻴﺗﺆﻴﺴﻓ

ﷲا

ﻪﻴﻠﻋ

ﺪهﺎﻋ

.

(11)

AllŒhi fauqa aid¥him, fa man naka£a fa innamŒ yanku£u ‘alŒ nafsihi, wa man aufŒ bi mŒ ‘Œhada ‘alaihi AllŒhu fa sayu’t¥hi ajran ‘a½¥mŒ]

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa yang melanggar janjinya, maka akibat melanggar itu akan menimpa dirinya sendiri. Dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.

Setelah itu, syaikh mengajak mur¥d untuk mengucapkan kalimat berikut:

ﺎﻴﺒﻧ

ﻢﻠﺱو

ﻪﻟﺁو

ﻪﻴﻠﻋ

ﷲا

ﻰﻠﺻ

ﺪﻤﺤﻣ

ﺎﻧﺪﻴﺴﺑو

ﺎﻨﻳد

مﻼﺱﻹﺎﺑو

ﺎﺑر

ﷲﺎﺑ

ﺖﻴﺿر

ﺎﻴﺑﺮﻣو

ﺎﺨﻴﺵ

ﺦﻴﺸﻟا

يﺪﻴﺴﺑو

ﺎﻧاﻮﺧإ

ءاﺮﻘﻔﻟﺎﺑو

ﺔﻠﺒﻗ

ﺔﺒﻌﻜﻟﺎﺑو

ﺎﻣﺎﻣإ

نﺁﺮﻘﻟﺎﺑو

ﻼﻴﻟدو

.

[raèitu bi AllŒhi rabbŒ, wa bi al-IslŒmi d¥nŒ, wa bi sayyidinŒ

Muúammadin §allŒ AllŒhu ‘alaihi wa Œlihi wa sallama nabiyyŒ, wa bi al-qurŒni imŒmŒ, wa bi al-ka’bati qiblatŒ, wa bi al-fuqarŒ’i ikhwŒnŒ, wa bi sayyidinŒ al-syaikh syaikhŒ wa murabbiyŒ wa dal¥lŒ]

“Aku rela Allah Tuhanku, Islam agamaku, Muhammad Nabiku, al-Quran pemimpinku, ka’bah kiblatku, orang fakir saudaraku, serta syaikh sebagai guru, pembimbing, dan panutanku”.

Disusul dengan bacaan berikut sebanyak tiga kali dengan suara keras:

ﻪﻴﻟإ

بﻮﺗأو

مﻮﻴﻘﻟا

ﻲﺤﻟا

ﻮه

ﻻإ

ﻪﻟا

يﺬﻟا

ﷲا

ﺮﻔﻐﺘﺱأ

.

[astagfiru AllŒha al-la©¥ lŒ ilŒha illŒ Huwa al-î ayyu al-Qayy´mu, wa at´bu ilaihi]

“Aku memohon ampun kepada Allah, Yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang Mahahidup dan Maha Berdiri, aku bertaubat kepada-Nya”.

Setelah itu, membaca kalimat tahl¥l berikut juga sebanyak tiga kali:

ﷲا

ﻻإ

ﻪﻟا

ﷲا

ﻻإ

ﻪﻟا

ﷲا

ﻻإ

ﻪﻟا

.

[lŒ ilŒha illŒ AllŒha lŒ ilŒha illŒ AllŒha]

(12)

Kalimat tahl¥l di atas dibaca dengan nada panjang dengan penuh penghayatan akan maknanya. Terakhir, syaikh membaca doa untuk mur¥dnya sebagai berikut:

ﺎﻤآ

ﺮﻴﺧ

ﻞآ

بﺎﺑ

ﻪﻴﻠﻋ

ﺢﺘﻓاو

ﻪﻨﻣ

ﻞﺒﻘﺗو

ﻪﻨﻣ

ﺬﺧ

ﻢﻬﻠﻟأ

ﻚﺋﺎﻴﺒﻧأ

ﻰﻠﻋ

ﻪﺘﺤﺘﻓ

ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟا

كدﺎﺒﻋو

ﻚﺋﺎﻴﻟوأو

.

[AllŒhumma khu© minhu wa taqabbal minhu wa iftaú ‘alaihi bŒba kulli khairin ka mŒ fataúahu ‘alŒ anbiyŒika wa auliyŒika wa ‘ibŒdika al-§Œlih¥na]

“Ya Allah, terimalah ia, bukakan pintu setiap kebaikan kepadanya sebagaimana Engkau telah bukakan pintu kebaikan kepada para Nabi, para wali, dan hamba-hamba-Mu yang salih”.

Terakhir, syaikh menyuruh mur¥d untuk bersalaman dengan seluruh jamaah yang hadir, dan memberinya nasihat agar senantiasa berbuat kebaikan dan melakukan zikir setiap saat (h. 39).

Dalam bagian yang lain, al-QusyŒsy¥ memberikan catatan bahwa jika mur¥d yang melakukan baiat adalah perempuan, maka kontak tangan tidak perlu dilakukan, cukup melalui nasihat lisan dari syaikh saja (h. 50). Adapun baiat bagi anak-anak yang masih di bawah umur, menurut al-QusyŒsy¥, seraya mencontohkan apa yang pernah dilakukan Nabi, adalah dengan cara mengusap kepalanya, mendoakannya, dan berkurban seekor kambing yang ditanggung oleh keluarganya (h. 56).

Pada bagian berikutnya (mulai h. 67), al-QusyŒsy¥ mengemukakan silsilah yang menghubungkan dirinya dengan guru-guru tarekat Sya‹‹Œriyyah, dan guru dari beberapa jenis tarekat lain dimana al-QusyŒsy¥ bergabung dan menerima ijazah darinya, seperti tarekat QŒdiriyyah, Khalwatiyyah, Naqsybandiyyah, Jishtiyyah, Firdausiyyah, KubrŒwiyyah, SuhrŒwardiyyah, dan lain-lain. (khusus tentang silsilah Syaikh Aúmad al-QusyŒsy¥ dalam tarekat Sya‹‹Œriyyah, akan dikemukakan pada bagian lampiran).

Melalui beberapa silsilah tarekat yang dikemukakannya dalam

al-Sim al-Maj¥d, tampak bahwa al-QusyŒsy¥ adalah seorang ulama yang memiliki hubungan keilmuan dengan para guru sufi terkenal. Apalagi, pada bagian berikutnya, al-QusyŒsy¥ juga mengemukakan hubungan keilmuan dirinya dengan guru-guru utama di bidang hadis, sehingga ini semakin mengukuhkan al-QusyŒsy¥ sebagai seorang ulama yang menguasai berbagai bidang keilmuan Islam.

(13)

yang paling mencolok dari para pengikut tarekat periode abad ke-17. Tentang hal ini, Azra (1994: 128) menulis:

“…tidak ada batasan-batasan jelas di antara berbagai tarekat yang jumlahnya cukup banyak itu, baik dalam doktrin-doktrin maupun praktik-praktik (peribadatan dan upacara) atau “keanggotaan” mereka. Para syaikh dan murid-murid sufi tidak harus setia pada satu tarekat saja; mereka bisa menjadi pemimpin dan dan murid dari sejumlah tarekat. ….kenyataan ini, tak pelak lagi, menjelaskan lebih jauh karakter kosmopolitanisme para ulama kita di dalam jaringan”.

Ajaran dan Doktrin Mistiko-filosofis dalam ItúŒf al-ªak¥

Seperti telah diisyaratkan di atas, selain al-Sim al-Maj¥d

karangan al-QusyŒsy¥, sumber Arab yang banyak menjadi rujukan dalam naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah di Dunia Melayu-Indonesia adalah ItúŒf al-ªak¥ karangan IbrŒh¥m Al-K´rŒn¥. Berbeda dengan al-Sim al-Maj¥d yang menjadi rujukan naskah-naskah Sya‹‹Œriyyah tersebut dalam hal ritual dan tatacara zikir, ItúŒf al-ªak¥ merupakan sumber rujukan berkaitan dengan berbagai ajaran dan doktrin mistiko-filosofisnya.

Dalam naskah ItúŒf al-ªak¥, Al-K´rŒn¥ berusaha menjelaskan doktrin-doktrin tasawuf (‘ilm al-î aq¥qat), yang ia definisikan sebagai:

ﺮهﺎﻈﻤﻟا

ﻰﻓ

ﻩرﻮﻬﻇ

ﺚﻴﺣ

ﻦﻣو

ﻮه

ﺚﻴﺣ

ﻦﻣ

دﻮﺟﻮﻟا

لاﻮﺣأ

ﻦﻋ

ﺚﺣﺎﺒﻟا

ﻢﻠﻌﻟا

[al-‘ilmu al-bŒhi£u ‘an aúwŒli al-wuj´di min hai£u Huwa wa min hai£u

½uh´rihi f¥ al-ma½Œhiri]

“Ilmu yang mempelajari tentang Wuj´d Tuhan, dan perwujudan-Nya di alam raya”.

Dalam kitab ini —dan dalam karangannya yang lain semisal al-JawŒbŒt al-Garawiyyah ‘an al-MasŒ'il al-JŒwiyyah al-Jahriyyah, yang, sayangnya, tidak pernah dijumpai6— al-K´rŒn¥ berusaha keras menjelaskan doktrin-doktrin yang maha rumit tersebut dengan didasarkan atas tuntunan al-Quran dan hadis Nabi. Dalam konteks inilah, al-K´rŒn¥ mendasari pembahasannya pada tujuh butir penting:

Pertama, al-K´rŒn¥ menegaskan bahwa al-Quran adalah sumber hukum dan sumber rujukan yang harus didahulukan sebelum sumber-sumber yang lain, bahkan kitab-kitab suci lain semisal Taurat dan Injil sekalipun. Setelah itu, hadis Nabi berada di urutan

(14)

berikutnya. Al-K´rŒn¥ sangat menekankan konsistensi umat Islam, termasuk mereka yang mempelajari tasawuf, untuk benar-benar memperhatikan hukum-hukum yang tersurat dan tersirat dalam keduanya (h. 6v). Ia bahkan mengingatkan untuk tidak menggubris doktrin-doktrin atau pun praktik-praktik ritual, baik yang berasal dari ulama fikih, yang oleh al-K´rŒn¥ disebut sebagai ahl al-na½r, maupun dari ulama sufi, atau ahl al-kasyf, jika bertentangan dengan al-Quran dan hadis. Sedikitnya ada dua model argumentasi yang dikemukakan al-K´rŒn¥: pertama argumentasi Qurani (dal¥l naql¥), dan kedua argumentasi akal (dal¥l ‘aql¥). Yang pertama, al-K´rŒn¥ menyodorkan, antara lain, firman Allah:

ءﺎﻴﻟوأ

ﻪﻧود

ﻦﻣ

اﻮﻌﺒﺘﺗ

ﻻو

ﻢﻜﺑر

ﻦﻣ

ﻢﻜﻴﻟإ

لﺰﻧأ

ﺎﻣ

اﻮﻌﺒﺗا

“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian, dan janganlah mengikuti para pemimpin selain Dia”.

ﻦﻴﻤﻟﺎﻌﻟا

بﺮﻟ

ﻢﻠﺴﻨﻟ

ﺎﻧﺮﻣأو

ىﺪﻬﻟا

ﻮه

ﷲا

ىﺪه

نإ

“Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar, dan kami diperintah untuk berserah diri kepada-Nya.”

Dalam argumentasi kedua, al-K´rŒn¥ menegaskan bahwa seorang ahl al-na½r adalah juga manusia, yang bisa benar dan bisa salah, sehingga hasil dari pemikirannya pun bersifat nisbi belaka; sementara wahyu Allah adalah mutlak kebenarannya, dan tidak mungkin muncul kekeliruan darinya. Adapun tentang ahl al-kasyf, menurut al-K´rŒn¥, pengetahuan mereka yang benar pada dasarnya selalu didasarkan pada al-Quran dan sunnah; logikanya, jika dijumpai doktrin atau ajaran yang menyimpang dan bertentangan dengan kedua sumber tersebut, maka hal itu sudah sepatutnya dipertanyakan, dan bahkan ditolak (h. 6r).

Al-K´rŒn¥ memperkuat argumentasinya itu dengan mengutip7 pernyataan beberapa sufi terkemuka semisal Ibnu ‘Arab¥ dan

7 Kebiasaan al-K´rŒn¥ mengutip Ibnu ‘Arab¥ dan al-Junaid ini dalam mengemukakan pandangan-pandangannya adalah persis seperti yang dilakukan oleh al-QusyŒsy¥

(15)

ungkapan-Junaid.8 Ibnu ‘Arab¥ dalam Al-Fut´hŒt al-Makkiyyah misalnya mengatakan:

ﻪﺑﺎﺘآو

ﷲا

ﻦﻋ

ﻲﺣﻮﻟا

ﻦﻣ

لﻮﺱﺮﻟا

ﻪﺑ

ءﺎﺟ

يﺬﻟا

ﻦﻋ

ﻲﻟﻮﻟا

ﻢﻠﻋ

جﺮﺨﻳ

ﻪﻟﻮﺱﺮﺑ

ﻖﻳﺪﺻ

ﻲﻟو

ﻞﻜﻟ

ﻚﻟذ

ﻦﻣ

ﺪﺑ

ﻪﺘﻔﻴﺤﺻو

.

[lŒ yakhruju ‘ilmu al-waliyyi ‘an al-la©¥ jŒ’a bihi al-ras´lu min al-waúyi

‘an AllŒhi wa kitŒbihi wa §ah¥fatihi lŒ budda min ©Œlika li kulli

waliyyin §Œdiqin bi ras´lihi]

“Pengetahuan seorang wali (baca: sufi) itu tidak akan menyimpang dari wahyu Allah, serta dari kitab dan sahifah-Nya yang dibawa oleh Nabi. Karenanya, seorang wali harus mengikuti Rasulnya”.

Demikian halnya al-Junaid, ia mengatakan:

ﻤﻠﻋ

ﺔﻨﺴﻟاو

بﺎﺘﻜﻟﺎﺑ

ﺪﻴﻘﻣ

اﺬه

ﺎﻨ

[‘ilmunŒ hŒ©a muqayyadun bi al-kitŒbi wa al-sunnati]

“Pengetahuan kami ini (baca: tasawuf) dibatasi oleh al-Quran dan sunnah”.

Demikianlah, al-K´rŒn¥ sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh dalam memposisikan al-Quran sebagai sumber rujukan pengetahuan, baik pengetahuan lahir (syariat) maupun pengetahuan batin (tasawuf).

Persoalannya kemudian, seringkali muncul kebingungan di kalangan Muslim awam karena para ahl al-kasyf tadi juga pada kenyataannya banyak mendasarkan doktrin-doktrin mistis mereka —yang seringkali dianggap membingungkan— pada al-Quran dan hadis Nabi, kendati dengan interpretasi versi mereka sendiri. Hal ini seringkali menimbulkan satu pertanyaan tentang siapa sesungguhnya yang harus diikuti? Para ahl al-na½r dengan

£

ungkapan ganjil (syatahŒt). Dengan mengutip keduanya, seolah al-K´rŒn¥ ingin menunjukkan bahwa bukan hal yang mustahil untuk menggabungkan atau mendamaikan aliran-aliran pemikiran tasawuf yang berbeda-beda, yang sering dianggap bertentangan satu sama lainnya oleh para ulama sebelumnya (lihat TaftŒzan¥ 1985: 113; lihat juga Azra 1994: 132).

(16)

interpretasi fikihnya, atau para ahl al-kasyf dengan pemahaman mistisnya?

Dalam konteks pertanyaan di atas inilah kiranya al-K´rŒn¥ mengemukakan butir penting kedua yang harus dipahami oleh seluruh komponen umat Islam, yakni bahwa setiap kata dalam al-Quran memang tidak diturunkan dengan makna tunggalnya, melainkan dengan bermacam-macam kemungkinan interpretasi, sehingga perbedaan pemahaman dan penafsiran adalah merupakan hal yang harus dianggap biasa. Dengan ini, al-K´rŒn¥ tampak ingin menjembatani antara tradisi interpretasi di kalangan ahl al-na½r

dengan tradisi yang sama di kalangan ahl al-kasyf. Yang penting, selama kedua pihak berpegang pada al-Quran, tidak ada yang perlu dipersalahkan. Al-K´rŒn¥ mencoba meyakinkan pandangannya itu dengan mengutip banyak hadis Nabi dan qaul ulama terkemuka (h. 7v). Ia, misalnya, beberapa kali mengutip hadis Nabi:

ﻦﻄﺑو

ﺮﻬﻇ

ﺎﻬﻟ

ﻻإ

ﺔﻳأ

نﺁﺮﻘﻟا

ﻦﻣ

لﺰﻧ

ﺎﻣ

………

[mŒ nuzzila min al-qurŒni Œyatun illŒ lahŒ½ahrun wa ba‹nun]

“Tidak diturunkan satu ayat pun dalam al-Quran kecuali di dalamnya terkandung makna lahir dan makna batin…... “9

dan sabdanya yang lain:

ﻞآ

ﻞﺟﺮﻟا

ﻪﻘﻔﻳ

ﺎهﻮﺟو

نﺁﺮﻘﻠﻟ

ﻞﻌﺠﻳ

ﻰﺘﺣ

ﻪﻴﻘﻔﻟا

...

[lŒ yafqahu al-rajulu kulla al-faq¥hi úattŒ yaj’ala li al-qurŒni wuj´ha]

“Seseorang tidak dapat dianggap mumpuni (dalam ilmu agama) hingga ia mampu memahami al-Quran dari berbagai sisi…”10

Di samping beberapa hadis Nabi lainnya, al-K´rŒn¥ juga memperkuat argumentasinya dengan mengutip qaul ulama11 seperti:

© 9 Dalam ItúŒf al-ªak¥, disebutkan bahwa hadis ini —meskipun dengan redaksi yang

sedikit saling berlainan— diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Mas’´d r.a. dan Hasan, serta dikutip antara lain oleh Ab´ ‘Abd al-RaúmŒn al-Silm¥ dalam Tafs¥r al-î aqŒ'iq, oleh SyihŒb al-D¥n al-ShuhrŒward¥ dalam ‘AwŒrif al-Ma’Œrif, dan oleh al-Suy´ ‹¥ dalam al-ItqŒn (h. 6r-7v).

10 Hadis ini diriwayatkan dari Ab´ DardŒ' dengan sebuah ilustrasi bahwa ketika ‘Al¥ ibn Ab¥ $Œlib menyuruh Ibnu ‘AbbŒs berargumentasi dengan kaum KhawŒrij, ‘Al¥

meminta agar Ibnu ‘AbbŒs tidak menggunakan ayat-ayat al-Quran, melainkan dengan hadis Nabi saja. Karena, menurut ‘Al¥, al-Quran memiliki berbagai sisi penafsiran (´

wuj´h) yang mungkin saja mudah dibantah oleh lawan bicaranya (h. 7v).

(17)

ﻢﻬﻓ

ﻒﻟأ

نﻮﺘﺱ

ﺔﻳأ

ﻞﻜﻟ

...

[li kulli Œyatin sitt´na alfa fahmin]

“Setiap ayat al-Quran mengandung enam puluh ribu pengertian… “

Dengan demikian, menurut al-K´rŒn¥, pemahaman atas makna-makna yang terkandung di dalam al-Quran itu pun bisa melalui pintu yang bermacam-macam.

Hal penting ketiga dan juga dielaborasi sebagai butir keempat

yang dikemukakan al-K´rŒn¥ adalah peringatannya kepada mereka yang bermaksud mempelajari pengetahuan tentang hakikat agar melandasi keyakinan (akidah) nya terlebih dahulu dengan apa yang telah diajarkan oleh para ulama salih terdahulu (salaf al-sŒliú). Dari penjelasannya yang panjang lebar (h. 12v-14r), tampak bahwa akidah

salaf al-sŒliú yang dimaksud al-K´rŒn¥ adalah terutama menyangkut keyakinan atas adanya ayat-ayat mutasyŒbihat dalam al-Quran yang biasanya berkaitan dengan Nama dan Sifat Tuhan. Harus ditegaskan, menurut al-K´rŒn¥, bahwa ayat-ayat mutasyŒbihat tersebut tidak dapat dipahami dengan hanya mengandalkan akal belaka, tetapi lebih dari itu, harus oleh hati dan bekal iman yang lurus, yang didasari oleh satu keyakinan bahwa:

ﺊﺵ

ﻪﻠﺜﻤآ

ﺲﻴﻟ

[laisa ka mi£lih¥ syai’un]

“Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya“

Dalam memahami ayat-ayat mutasyŒbihat tersebut khususnya, dan dalam memahami pengetahuan tentang Tuhan pada umumnya, al-K´rŒn¥ mengingatkan adanya keterbatasan akal yang dimiliki manusia. Dalam hal ini ia mengutip pandangan beberapa ulama terkemuka semisal ImŒm SyŒfi’¥, ImŒm GhazŒl¥, dan Ibnu ‘Arab¥. Ketiga ulama yang selalu menjadi referensi al-K´rŒn¥ dalam berbagai pemikirannya ini, dalam karya-karya terkenal mereka memang banyak mengemukakan tentang keterbatasan akal dalam memahami pengetahuan Tuhan. Imam SyŒfi’¥ —yang dikutip oleh Ibnu Hajar dalam TawŒl¥ al-Ta'n¥s— misalnya mengatakan (ItúŒf al-ªak¥ h. 12v):

ﻪﻴﻟإ

ﻰﻬﺘﻨﻳ

اﺪﺣ

ﺮﺼﺒﻠﻟ

نأ

ﺎﻤآ

ﻪﻴﻟإ

ﻰﻬﺘﻨﻳ

اﺪﺣ

لﻮﻘﻌﻠﻟ

نإ

[inna li al-‘uq´li úaddan yantah¥ ilaihi ka mŒ anna li al-ba§ari úaddan yantah¥ ilaihi]

(18)

Demikian halnya Ibnu ‘Arab¥, dalam al-Fut´hŒt mengatakan (ItúŒf al-ªak¥ h. 12v):

ﺔﻠﺑﺎﻗ

ﻲه

ﺎﻣ

ﺚﻴﺣ

ﻦﻣ

ةﺮﻜﻔﻣ

ﻲه

ﺎﻣ

ﺚﻴﺣ

ﻦﻣ

ﻩﺪﻨﻋ

ﻒﻘﺗ

اﺪﺣ

لﻮﻘﻌﻠﻟ

نإ

...

[inna li al-‘uq´li úaddan taqifu ‘indah´ min hai£u mŒ hiya mufkiratun lŒ min hai£u mŒ hiya qŒbilatun]

“Akal itu memiliki keterbatasan dalam hal berpikir, meskipun tidak dalam hal menerima”.

Selanjutnya, sebagai hal penting kelima, mereka yang bermaksud mempelajari ‘ilm al-î aq¥qat ini, oleh al-K´rŒn¥ diwanti-wanti untuk terlebih dahulu menanamkan keyakinan bahwa pada dasarnya sama sekali tidak ada pertentangan antara doktrin tauú¥d al-wuj´d (penyatuan wuj´d)12, dengan ilmu syariat yang selalu mengedepankan amr ma’r´f nahy munkar (h. 15r). Oleh karenanya, sebagai hal penting keenam, al-K´rŒn¥ menegaskan bahwa pada dasarnya kewajiban beribadah dengan melaksanakan syariat yang dicontohkan Nabi, berlaku hingga seseorang itu meninggal, meskipun kadarnya bisa jadi saling berbeda antarsatu muslim dengan muslim yang lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing (h. 18r). Al-K´rŒn¥ mengutip sebuah firman Allah13:

ﻦﻴﻘﻴﻟا

ﻚﻴﺗﺄﻳ

ﻰﺘﺣ

ﻚﺑر

ﺪﺒﻋاو

)

ﺮﺠﺤﻟا

:

٩٩

(

[wa u’bud rabbaka úattŒ ya’tiyaka al-yaq¥nu]

“Dan sembahlah Tuhanmu hingga kematian menjemputmu”.

Dengan demikian, bagi al-K´rŒn¥, kendati seorang sufi telah mampu meningkatkan derajat spiritualnya hingga sampai pada tingkat kasyf (terbukanya tabir hakikat), hal itu tidaklah berarti ia gugur dari kewajiban syariatnya, seperti salat, zakat, puasa, haji, dll. Secara tegas al-K´rŒn¥ mengatakan bahwa mengabaikan kewajiban-kewajiban syariat berarti mengingkari ayat-ayat Allah, dan dapat dianggap keluar dari rel-rel ajaran Islam.

12 Melihat penjelasannya, istilah tauú¥d al-wuj´d (mengesakan wuj´d) yang disebut-sebut oleh al-KurŒn¥ adalah apa yang selama ini dikenal sebagai doktrin waúdat al-wuj´d (kesatuan wuj´d) (lihat Armstrong, 1996: 294). Sejauh pengetahuan saya, istilah ini tidak berkembang di wilayah Melayu-Indonesia. Al-Sinkili saja, yang merupakan murid langsung dan utama darinya, menyebutnya sebagai waúdat al-wuj´d (lihat Fathurahman, 1999: 96).

(19)

Untuk meyakinkan pembacanya tentang pentingnya aspek syariat dalam beragama ini, al-K´rŒn¥ membeberkan beberapa argumentasi, baik berupa dalil al-Quran maupun contoh-contoh dari perilaku Nabi Saw. (h. 19v-20v). Pandangan al-K´rŒn¥ ini jelas sangat penting terutama jika diletakkan dalam konteks rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Baginya, doktrin dan praktik ilmu hakikat harus dibangun di bawah landasan ketentuan-ketentuan syariat. Oleh sebab itu, setiap pelaku mistis harus mempraktikkan seluruh doktrin syariat sebelum mereka patut berharap mendapatkan kepercayaan menjadi “kekasih” Tuhan.14

Dalam konteks khazanah pemikiran Islam periode kemudian, kecenderungan untuk saling mendekatkan antara tradisi tasawuf dengan tradisi syariat (fikih) ini telah melahirkan apa yang disebut oleh Fazlur Rahman (1997: 193-196) sebagai “neo-sufisme”; yakni satu kecenderungan dalam menjalani perilaku mistis untuk tetap mengedepankan aspek syariat. Para ulama yang tergolong neo-sufis ini senantiasa berupaya untuk melakukan sikap saling pendekatan atau rekonsiliasi antara ajaran mistisnya dengan syariat. Umumnya, sebagian besar mereka yang termasuk dalam kategori neo-sufisme ini memang merupakan ulama ahli syariat (fuqahŒ) dan ahli hakikat (sufi) sekaligus; mereka menguasai tidak hanya seluk-beluk ritual keagamaan belaka, tetapi juga menghayati benar realitas mistis atau realitas ketuhanan; mereka percaya betul bahwa hanya dengan komitmen total kepada syariat, maka kecenderungan sufisme yang berlebih-lebihan dapat dikontrol.15

Yang terakhir, atau ketujuh, al-K´rŒn¥ menegaskan bahwa doktrin tauú¥d al-wuj´d yang menjadi tema sentral dalam setiap perbincangan tentang tasawuf, tidak harus dipahami sebagai menafikan sifat transendensi Tuhan, apalagi secara mutlak (h. 20v-20r). Dalam hal ini al-K´rŒn¥ tetap sependapat dengan keyakinan para ulama sufi —antara lain ia mengutip ImŒm al-Junaid— yang mengatakan bahwa:

ثﺪﺤﻤﻟا

ﻦﻣ

ﻢﻳﺪﻘﻟا

داﺮﻓإ

ﺪﻴﺣﻮﺘﻟا

[al-tauú¥du ifrŒdu al-qad¥mi min al-muúda£i]

“Mengesakan Tuhan berarti membedakan antara Yang Maha Terdahulu (KhŒliq) dengan yang baru (makhl´q)”.

14 Penjelasan tentang pentingnya rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat ini, lihat juga al-QusyŒsy¥, al-Sim‹ al-Maj¥d, h. 83-84.

(20)

Selain itu, al-K´rŒn¥ juga mengutip dan menyatakan kesepahamannya dengan perkataan para ulama salaf, yang disebutnya sebagai Ahl al-Sunnah, yang mengatakan bahwa:

ﻞﻴﻄﻌﺘﻟاو

ﻪﻴﺒﺸﺘﻟا

ﻲﻔﻧ

ﺪﻴﺣﻮﺘﻟا

[al-tauú¥du nafyu al-tasyb¥hi wa al-ta’‹¥li]

“Mengesakan Tuhan itu berarti meniadakan penyerupaan (tasyb¥h) dan pemberian sifat (ta’‹¥l)”.

Dalam konteks ini, penekanan al-K´rŒn¥ atas sifat transendensi Tuhan, yang dipadukan dengan sifat imanensi-Nya, terkesan sangat ditonjolkan, dengan pembahasan yang lumayan panjang (h. 20r-38v). Hal ini bisa dipahami mengingat gagasan mistiko-filosofis Islam yang sering menjadi bahan perdebatan adalah tentang penekanan yang berlebih-lebihan atas sifat imanensi Tuhan, dan pada saat yang ditujukan untuk “meredam” sifat berlebih-lebihan doktrin tersebut, —khususnya yang dikesankan dalam kitab Tuúfah al-Mursalah— meskipun tidak sampai menafikannya.

Penegasan al-K´rŒn¥ atas pemahaman doktrin tauú¥d al-wuj´d ini —tanpa mengesampingkan enam butir pertama, tentunya— bisa jadi merupakan pesan pokok yang ingin disampaikan melalui karya besarnya, ItúŒf al-ªak¥ini. Apalagi jika dikaitkan dengan kandungan kitab Tuúfah al-Mursalah yang dikomentarinya, al-K´rŒn¥ jelas bermaksud mengklarifikasi atau setidaknya menjelaskan pesan-pesan mistis al-BurhŒnp´r¥ yang —seperti diisyaratkan di atas— dianggap terlalu bersifat filosofis, dan berlebih-lebihan.

6.3. Tanb¥h al-MŒsy¥ dan Sya‹‹Œriyyah:

Penghubung Utama Ajaran Tarekat Sya‹‹Œriyyah

Seperti telah disinggung dalam bab sebelumnya, tokoh yang paling bertanggungjawab dalam penyebaran tarekat Sya‹‹Œriyyah di dunia Melayu-Indonesia adalah Syaikh Abdurrauf al-Sinkili. Melalui sejumlah karya yang ditulisnya, baik dalam bahasa Arab maupun Melayu, al-Sinkili telah memapankan dirinya sebagai penghubung utama ajaran tarekat Sya‹‹Œriyyah dari dunia Arab ke dunia Melayu-Indonesia, termasuk di dalamnya ke wilayah Sumatra Barat yang menjadi topik utama penelitian ini.

(21)

al-Sinkili, yakni Tanb¥h al-MŒsy¥ untuk naskah Arab dan Sya‹‹Œriyyah

untuk naskah Melayu.

Konsep Tasawuf al-Sinkili dalam Tanb¥h al-MŒsy¥

dan Sya‹‹Œriyyah

Sejauh penelitian yang pernah dilakukan, kandungan isi dan sistematika naskah Tanb¥h al-MŒsy¥ dan Sya‹‹Œriyyah ini relatif sama, kendati dapat dipastikan bahwa naskah Sya‹‹Œriyyah bukan merupakan terjemahan langsung dari naskah Tanb¥h al-MŒsy¥. Pembahasan dua naskah tersebut diawali dengan uraian tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, antara al-î aq dan al-Khalq, antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Mahaesa dan yang banyak, antara al-Wuj´d dan al-mauj´dŒt, antara WŒjib al-Wuj´d dan al-mumkinŒt. Dari sini lah kemudian al-Sinkili memberikan penjelasan yang berisi reinterpretasi atas doktrin waúdat al-wuj´d.

Dalam Tanb¥h al-MŒsy¥, al-Sinkili menjelaskan bahwa kewajiban pertama seorang mur¥d adalah mengesakan al-î aq itu sendiri. al-Sinkili mengatakan:

ﻪﻬﻳﺰﻨﺗو

ﻰﻟﺎﻌﺗو

ﻪﻧﺎﺤﺒﺱ

ﻖﺤﻟا

ﺪﻴﺣﻮﺗ

ﻚﻴﻠﻋ

ﺐﺟاو

لوأ

نا

ﻪﻴﻠﻋ

زﻮﺠﻳ

ﺎﻤ

ﺔﻌﺑرﻷا

ﺪﻴﺣﻮﺘﻟا

ﺐﺗاﺮﻣ

ﻊﻴﻤﺠﻟ

ﺔﻌﻣﺎﺠﻟا

ﷲا

ﻻإ

ﻪﻟا

ﺔﻤﻠﻜﺑ

[Inna awwala wŒjibin ‘alaika tauúidu al-î aqqi subúŒnahu wa ta’ŒlŒ

wa tanz¥huhu mimmŒ lŒ yaj´zu ‘alaihi bi kalimati lŒ ilŒha illŒ AllŒhu al-jŒmiati li jam¥’i marŒtibi al-tauú¥di al-arba’ati]

“Sesungguhnya kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan al-î aq Swt., dan mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat: lŒ ilŒha illŒ AllŒh, yang menghimpun empat tingkatan tauhid”.

Dalam naskah Sya‹‹Œriyyah, penekanan al-Sinkili terhadap pentingnya mengesakan al-î aq ini diungkapkan dengan kalimat:

“…Hai segala manusia, sembah oleh kamu Tuhan kamu, yakni tauhidkan oleh kamu yang menjadikan kamu dan segala mereka yang dahulu daripada kamu…dengan berbuat ibadah kepada-Nya, maka banyak-banyaklah atas kita mentauhidkan Tuhan kita padahal kita mengikuti suruh-Nya dengan mengucapkan kalimat lŒ ilŒha illŒ AllŒh yang ia menghimpunkan segala martabat tauhid…” (h. 8).

Dalam kutipan Tanb¥h al-MŒsy¥ dan Sya‹‹Œriyyah di atas al-Sinkili menjelaskan bahwa ikrar tauhid yang diungkapkan oleh seorang

(22)

oleh al-î aq. Penegasan tersebut terungkap dengan satu kalimat, yaitu lŒ ilŒha illŒ AllŒh, yang jika dijabarkan akan menghimpun empat tingkatan tauhid, yaitu —seperti disebutkan al-Sinkili pada bagian lain— tauhid ul´hiyyah (mengesakan ketuhanan Allah), tauhid af’Œl

(mengesakan perbuatan Allah), tauhid §ifŒt (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tauhid Œt (mengesakan Zat Allah). Yang disebut terakhir ini, dalam konteks tasawuf dianggap sebagai tingkatan tauhid tertinggi.

©

£

Menurut al-Sinkili, melalui penegasan tauhid ini, Allah diyakini sebagai satu-satunya wuj´d, tidak ada wuj´d selain wuj´d

Allah (lŒ ilŒha illŒ AllŒh). Dalam kalimat tersebut, dengan demikian, terkandung dua pengertian, yakni: meniadakan segala wuj´d (nafy¥), dan menetapkan hanya ada satu wuj´d (i£bŒt), yakni al-î aq. Seperti akan kita lihat dalam pembahasan berikutnya, konsep zikir nafy¥ dan

i£bŒt ini menjadi ajaran utama dalam ritual zikir tarekat Sya‹‹Œriyyah. Melalui zikir nafy¥-i£bŒt pula, al-Sinkili menegaskan bahwa wuj´d

dalam pengertian hakiki hanya milik al-î aq, segala sesuatu selain al-î aq tidak memiliki wuj´d.

Lalu, kalau demikian, bagaimana dengan wuj´dnya alam? Menurut al-Sinkili, alam hanya merupakan bayangan Tuhan, tidak bisa menjadi wuj´d-Nya. Jadi, alam tidak identik secara mutlak dengan Tuhan, dan oleh karena itulah Tuhan bersifat transenden. Alam —termasuk manusia di dalamnya—, dengan demikian tidak memiliki wuj´d tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran bayangan itu sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber bayangan. Oleh karena itu, wuj´d hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.

Dalam hal ini, al-Sinkili mengutip perkataan Ibnu ‘Arab¥:

ﻩﺮﻴﻏ

ﻪﻠﻇ

ﺮﻣﻷا

ﺲﻔﻧ

ﻲﻓ

ﺎﻨﻨﻴﻋأو

[wa a’yununŒ f¥ nafsi al-amri ½illuh´ lŒ gairuh´]

“Pada hakikatnya, entitas kita adalah bayangan Allah, tidak lain dari itu…” (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 3)

Lebih lanjut, menurut al-Sinkili, yang dianggap sebagai bayangan semata itu mencakup potensi yang tetap (al-a’yŒn

al-Œbitah)16 dan potensi luar (al-a’yŒn al-khŒrijiyyah)17, karena potensi

£

(23)

yang tetap merupakan bayangan langsung dari Zat-Nya, sedangkan potensi luar sendiri merupakan bayangan dari potensi yang tetap tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu selain Allah (baca: alam) itu bersumber pada-Nya, dan keberadaannya pun sangat tergantung pada wuj´d-Nya.

Dalam naskah Sya‹‹Œriyyah, al-Sinkili menegaskan:

“…maka adalah a’yŒn Œbitah itu bayang-bayang bagi Zat ¥aq ta’ala. Dan tatkala nyatalah segala asar dan segala hukum a’yŒn £Œbitah itu pada a’yŒn khŒrijiyyah ini, maka a’yŒn khŒrijiyyah ini bayang-bayang bagi a’yŒn Œbitahitu jua…” (h. 5).

£

£

Dengan pandangannya bahwa alam adalah bayangan Allah semata, al-Sinkili menegaskan bahwa alam bukan benar-benar Zat al-î aq, karena anggapan tersebut menurutnya akan membatalkan status al-î aq sebagai Pencipta alam raya. Bagi al-Sinkili, sangat tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan Zat-Nya sendiri secara utuh.

Al-Sinkili juga berdalih bahwa di dalam al-Quran, tidak sekali pun Allah mengatakan bahwa Ia menciptakan Zat-Nya sendiri. Kepada Nabi Muhammad, Allah mengatakan: Qul AllŒhu khŒliqu kulli syai'in [Katakanlah (wahai Muhammad]! Allah adalah pencipta segala sesuatu]. Dia —misalnya— tidak mengatakan: Qul AllŒhu khŒliqu ‘ainihi [Katakanlah! Allah adalah pencipta Zat-Nya sendiri]. Allah juga mengatakan: Wa AllŒhu khalaqakum wa mŒ ta’mal´na [Dan Allah menciptakan kalian serta apa yang kalian perbuat], tidak mengatakan: Wa AllŒhu khŒliqu ‘ainihi [Dan Allah menciptakan Zat-Nya sendiri]. Dalam al-Quran juga selalu dikatakan: al-úamdu li AllŒhi rabbi al-‘Œlam¥na [Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam], tidak dikatakan: al-úamdu li AllŒhi rabbi ‘ainihi [Segala puji bagi Allah, Tuhan Zat-Nya sendiri] (Tanb¥h al-MŒsy¥ h. 4).

Dengan berpijak pada argumen-argumen yang telah dikemukakannya tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dan kesimpulannya bahwa alam tidak memiliki wuj´d

tersendiri, al-Sinkili kemudian mengemukakan pandangannya tentang proses penciptaan alam. Menurut al-Sinkili, alam tercipta melalui proses pemancaran (emanasi, al-faiè) dari Zat Allah. Dengan demikian, meskipun alam bukan Zat Allah secara mutlak, namun ia

£

mengandung arti sifat esensial segala sesuatu yang maujud sejak zaman azali dari ilmu Allah (Armstrong 1996: 42).

(24)

juga tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wuj´d kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya (Tanb¥h al-MŒsy¥ h. 6).

Dalam Sya‹‹Œriyyah, al-Sinkili mengatakan:

“…demikian i’tikad kita, segala alam ini bukan ia keadaan î aq ta’ala dan tiada ia lain daripada-Nya…” (h. 6).

Setelah alam tercipta melalui pancaran-Nya, Allah tetap tidak berubah, sedangkan alam sifatnya úad£ (baru), karena ia hanya sebagai pancaran dari wuj´d Allah. Tingkat wuj´dnya tidak kemudian sejajar dengan wuj´d Allah (rutbah al-ma’iyyah), melainkan berada di bawah-Nya (rutbah al-aba’iyyah).

¥

Bagi al-Sinkili, semua yang telah dikemukakannya itulah yang ia namakan sebagai doktrin waúdat al-wuj´d (kesatuan wuj´d). Jadi, alam —dalam konsep waúdat al-wuj´d al-Sinkili— bukan merupakan

wuj´d kedua yang benar-benar terpisah dari al-î aq, karena ia adalah pancaran dari Zat-Nya. Dalam hal ini, al-Sinkili mengemukakan konsep imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasyb¥h). Akan tetapi, alam juga bukan Zat al-î aq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Zat Yang Mahaesa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (lŒ syar¥ka lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al-Muú¥‹). Dengan demikian, al-Sinkili juga tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya (tanz¥h) (Tanb¥h al-MŒsy¥ h. 7).

Oleh karenanya, menurut al-Sinkili, kalau ada orang yang mengatakan bahwa alam dan segala sesuatu itu adalah Zat al-î aq

sendiri, hal itu sama sekali tidak benar, karena kesatuan wuj´d secara mutlak hanya berlaku pada zaman azali. Pada zaman azali, segala sesuatu memang dihubungkan dengan wuj´d Allah, sehingga ia dapat dikatakan sebagai wuj´d, namun itu pun bukan wuj´d hakiki, karena yang hakiki di zaman azali pun hanya wuj´d Allah, yang lain hanya berada pada tingkat imkŒn al-wuj´d (kemungkinan wuj´d) (Tanb¥h al-MŒsy¥ h. 8).

(25)

Al-Sinkili menegaskan dalam Sya‹‹Œriyyah:

“…hamba itu hamba juga, jikalau ia taraqqŒsekali pun, dan yang Tuhan itu Tuhan jua, jikalau pun ada Ia tazazzul sekali pun…segala

úaqŒiq itu tiada dapat bertukar-tukar, yakni bahwa hakikat segala makhluk itu tiada didapat dengan hakikat Tuhan yang bernama

KhŒliq…” (h. 7).

Pada bagian berikutnya dari naskah Tanb¥h al-MŒsy¥ dan

Sya‹‹Œriyyah ini, al-Sinkili juga mengemukakan konsep tentang Nur Muhammad, yang merupakan salah satu satu topik dalam wacana tasawuf yang selalu dikaitkan dengan proses terjadinya alam. Al-Sinkili mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dari tiada menjadi ada, melainkan diciptakan dari rahmat Allah. Dari rahmat-Nya inilah, menurut al-Sinkili, Allah menciptakan alam berdasarkan pengetahuan-Nya di zaman azali secara tertib. Dan al-Sinkili percaya bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah ruh Nabi Muhammad Saw. al-Sinkili mendasarkan pandangannya ini pada perkataan Nabi sendiri ketika ditanya oleh sahabatnya, Jabir:

“Wahai Jabir! Sesungguhnya sebelum menciptakan segala sesuatu, Allah menciptakan cahaya Nabimu dari cahaya-Nya, lalu Dia menjadikan cahaya tersebut berputar-putar dengan kuasa sekehendak-Nya, dan pada saat itu belum ada lauh (lembaran), pena, surga, neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin ataupun manusia. Maka, tatkala Allah taala hendak menciptakan makhluk-Nya yang lain, Dia membagi cahaya tesebut menjadi empat bagian. Dari bagian pertama Dia menciptakan pena, dari bagian kedua, lauh, dan dari bagian ketiga, ‘arsy (‘singgasana’ Allah). Kemudian, bagian keempat dibagi-Nya lagi menjadi empat bagian. Dari bagian pertama Dia menciptakan hamalah al-’arsy (para penyangga singgasana), dari bagian kedua, kursi, dan dari bagian ketiga, semua malaikat. Kemudian bagian keempat dari bagian ini dibagi pula menjadi empat bagian. Dari bagian pertama Dia menciptakan langit, dari bagian kedua bumi, serta dari bagian ketiga surga dan neraka. Kemudian bagian keempatnya dibagi lagi menjadi empat bagian. Dari bagian pertama Dia menciptakan cahaya penglihatan orang-orang mukmin, dari bagian kedua cahaya hati mereka, yaitu makrifat kepada Allah, dan dari bagian ketiga cahaya kemanusiaan, yaitu cahaya tauhid, lŒ ilŒha illŒ AllŒh Muhammadun ras´l AllŒh (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 16-17).”

Lebih lanjut al-Sinkili menjelaskan bahwa dalam kitabnya,

(26)

‘Arab¥ juga menegaskan —setelah mengutip hadis Jabir di atas— bahwa Nabi Muhammad adalah alam secara keseluruhan. Dari segi kesatuannya, tiap bagian dari alam itu merupakan tempat pengungkapan diri (mazhar) Muhammad, sedangkan dari segi perbedaan dan keterpisahannya, tiap bagian alam itu merupakan sebagian dari Muhammad, atau sebagian dari bagian Muhammad, karena cahayanya —yang merupakan akal pertama— adalah pokok dari seluruh alam (Tanb¥h al-MŒsy¥, h. 17-18).

Dengan konsep Nur Muhammad yang dikemukakannya ini, al-Sinkili juga berarti menegaskan pentingnya ajaran tasawuf yang dilandasi oleh syariat, yakni hadis Nabi Saw., karena dalam kenyataanya, konsep ini menggiring pada satu keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin alam, sehingga al-Sinkili selalu berpesan kepada murid-muridnya untuk selalu taat mengikuti ajaran Nabi. Dalam Tanb¥h al-MŒsy¥ia mengatakan:

اﻮﻗﻷا

ﻦﻣ

ﻪﺑ

كﺎﺗﺁ

ﺎﻣ

ﺬﺧو

ﺪﻴﺴﻟا

عﺎﺒﺗﻻا

ﻻإ

ﺪﻳﺮﻤﻟا

ﺎﻬﻳأ

ﻚﻌﺴﻳ

ﻢﻠﻓ

لﺎﻌﻓﻷاو

ل

ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟا

ةﺮﻣز

ﻲﻓ

ﻞﺧﺪﺗو

ﻦﻴﺟﺎﻨﻟا

ﻊﻣ

ﺞﻨﺗ

ﺎﻨﻃﺎﺑو

اﺮهﺎﻇ

[fa lam yasa’ka ayyuhŒ al-mur¥du illŒ al-itbŒ’u al-sayyida wa khu© mŒ

atŒka bihi min al-aqwŒli wa al-af’Œli ½Œhiran wa bŒ‹inan tanja ma’a al-nŒj¥na wa tadkhul f¥ zumrati al-§Œlih¥na]

“Wahai murid! Tidak ada pilihan lain bagimu selain harus mengikuti ajaran Nabi. Maka, berpegang teguhlah pada perkataan dan perbuatannya, lahir dan batin, niscaya engkau selamat dan termasuk ke dalam golongan orang-orang saleh”. (h. 18)

Dalam hal ini, al-Sinkili mengutip firman Allah: Wa mŒŒtŒkum al-ras´lu fa khu©´hu, wa mŒ nahŒkum ‘anhu fa intah´, [Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah].

Penting dikemukakan bahwa dalam setiap penjelasannya, termasuk ketika memberikan interpretasi atas konsep waúdat al-wuj´d di atas, al-Sinkili memang selalu menekankan pentingnya keselarasan ajaran tasawuf dengan syariat. Oleh karenanya, ajaran tasawuf al-Sinkili senantiasa dilandasi dalil-dalil dari al-Quran dan hadis Nabi. Al-Sinkili berpesan untuk tetap berpegang teguh pada al-Quran dan hadis Nabi itu dalam memahami berbagai persoalan tasawuf, termasuk waúdat al-wuj´d, agar tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru18. Dalam hal ini, al-Sinkili mengutip hadis Nabi:

(27)

ﻢآرﺎﺼﺑأ

ﻲﻤﻌﺗ

ﻦﻟ

ﻪﻧﺈﻓ

ﻲﺘﻨﺴﺑ

نﺁﺮﻘﻟا

ﻖﻈﻨﺘﺱﺎﻓ

ﻲﺘﻨﺱو

ﷲا

بﺎﺘآ

ﻢﻜﻴﻓ

ﺖآﺮﺗ

ﻲﻧإ

ﺎﻤﻬﺑ

ﻢﺗﺬﺧأ

ﺎﻣ

ﻢﻜﻳﺪﻳأ

ﺮﺼﻘﺗ

ﻦﻟو

ﻢﻜﻣاﺪﻗأ

ﻞﻈﺗ

ﻦﻟو

[inn¥ tarakru f¥kum kitŒba AllŒhi wa sunnat¥ fa istan‹iq al-qur’Œna bi sunnat¥ fa innahu lan tu’miya ab§Œrakum wa lan tu½illa aqdŒmakum wa lan tuq§ira aidiyakum mŒ akha©tum bihimŒ]

“Aku tinggalkan dua perkara bagimu, yaitu kitab Allah dan sunnahku, maka, jelaskanlah al-Quran dengan sunnahku, karena matamu tidak akan buta, kakimu tidak akan terpeleset, dan tanganmu tidak akan putus selama kamu memegang teguh keduanya”. (Tanb¥h al-MŒsy¥ h. 7)

Zikir Tarekat Sya‹‹Œriyyah dalam Tanb¥h al-MŒsy¥

dan Sya‹‹Œriyyah

Dalam konteks tasawuf, zikir dianggap sebagai pintu gerbang utama (a’½amu bŒbin) untuk mencapai penghayatan makrifat pada al-î aq. Oleh karena itu, dalam ajaran tasawuf, terutama setelah munculnya berbagai tarekat, tata cara zikir beserta aturan-aturan wiridnya memegang peranan sentral yang mewarnai dan menjadi ciri pembeda antara satu tarekat dengan tarekat-tarekat lainnya.

Dalam Tanb¥h al-MŒsy¥, al-Sinkili menegaskan bahwa zikir merupakan cara paling efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah, paling mudah dilakukan, dan paling baik di hadapan Allah. Zikir yang dianjurkan oleh al-Sinkili antara lain adalah bacaan tahl¥l,

lŒ ilŒha illŒ AllŒh [Tidak ada Tuhan selain Allah] (h. 19).

Al-Sinkili menganjurkan kepada para mur¥dnya agar mengamalkan zikir lŒ ilŒha illŒ AllŒh ini secara kontinyu dan menenggelamkan hati di dalamnya (istigrŒq al-qalb) hingga mereka dapat merasakan manfaat atau buahnya yang tak terbatas.

Zikir dalam tasawuf dianggap sebagai sarana untuk mencapai penghayatan fanŒ’ f¥ AllŒh (peleburan diri dalam Allah) dan makrifat dengan-Nya. Oleh karenanya, tujuan tertinggi dari zikir itu sendiri —menurut al-Sinkili— adalah diperolehnya keyakinan mutlak akan keesaan Allah dan tenggelam di dalam-Nya, sehingga wuj´d hamba menjadi hilang dan kembali menjadi tiada. Jika seorang sŒlik telah mampu mencapai tingkat ini, berarti ia telah sampai kepada akhir perjalanannya kepada Allah, karena berarti ia telah sampai kepada tauhid zat yang merupakan tauhid tertinggi di antara empat

Referensi

Dokumen terkait

Masih kurangnya sterilisasi ruangan, udara, dan peralatan medis merupakan faktor penyebab ditemukannya bakteri yang berpotensi menyebabkan infeksi nosokomial pada kamar

Aplikasi yang memanfaatkan teknologi Android ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap penyebaran guru yang telah bersertifikasi pada Sekolah Dasar Negeri Provinsi

Mestinya MK bisa menolak permohonan tersebut pada saat proses pendaftaran ditutup, sehingga tidak memberikan harapan palsu.Pengaturan Penyelesaian Perselisihan Hasil

Ilmu le!ih utama ari harta, karena ilmu akan men*agamu sementara harta malah engkau yang harus men*aganya#!. Ilmu le!ih utama ari harta karena i akherat nanti pemilik harta

Berdasarkan hasil observasi konsumen yang berbelanja di pasar koga memakai baju yang sederhana bahkan ada yang masih memakai baju tidur sudah berbelanja dipasar

Tujuan utama penetapan kawasan lindung dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin adalah untuk melindungi sumberdaya alam atau buatan yang

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pen-dekatan studi kasus karena tujuan penelitian ini adalah untuk memahami materi kampanye sebagai identitas