• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) meminta pihak lainnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) meminta pihak lainnya"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB 2

TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Teori Keagenan

Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai suatu kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) meminta pihak lainnya (agent) untuk melaksanakan sejumlah pekerjaan atas nama prinsipal yang melibatkan pendelegasian beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Hubungan kerja ini pada dasarnya baik dan saling menguntungkan, yaitu pada kondisi ketika kedua belah pihak saling mengerti, menyadari serta konsisten terhadap kontrak kerja yang telah mereka sepakati. Pihak agen (manajemen) seharusnya mencurahkan segenap kemampuan profesionalnya dalam rangka meningkatkan nilai perusahaan dengan semaksimal mungkin. Sedangkan pihak prinsipal, berkewajiban memberikan balas jasa yang layak kepada pihak agen.

Kenyataan dilapangan menunjukkan hal yang berbeda, sering terjadi ketimpangan informasi yang biasa disebut dengan asymmetric information yaitu suatu kondisi dimana satu pihak memiliki informasi yang lebih baik daripada pihak yang lain. Dalam hal ini, pihak agen (manajemen) yang terlibat secara langsung dalam operasional perusahaan tentu saja memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak tentang kondisi perusahaan dibandingkan dengan prinsipal yang tidak terlibat secara langsung. Asymmetric information ini kemudian memunculkan perilaku moral hazard yaitu tindakan-tindakan manajemen yang bertentangan dengan upaya meningkatkan nilai perusahaan.

(2)

Eisenhardt (1989) menyatakan ada tiga asumsi sifat manusia terkait teori keagenan, yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Dari tiga asumsi sifat dasar manusia tersebut, masing-masing pihak yang terlibat diasumsikan memiliki rasionalitas ekonomi, dimana setiap tindakan yang mereka lakukan akan terlebih dahulu termotivasi oleh kepentingannya sendiri sebelum kepentingan orang lain. Teori ini kemudian menjadikan kita sulit percaya bahwa manajemen (agent) akan selalu bertindak untuk kepentingan principal.

Principal menilai kinerja agen (manajemen) melalui kinerja keuangan yang tercermin dalam laporan keuangan perusahaan. Pada kondisi tertentu, bisa terjadi manipulasi atas laporan keuangan dikarenakan ketakutan agen (manajemen) dalam mengungkapkan informasi yang diperkirakan akan merugikan bagi dirinya. Penyusunan laporan keuangan pada kondisi seperti ini terindikasi tidak dibuat berdasarkan kondisi yang sebenar-benarnya, tetapi dibuat agar sesuai dengan yang diharapkan oleh principal. Hal seperti ini memicu terjadinya konflik keagenan sehingga dibutuhkan pihak ketiga yang independen, yaitu akuntan publik. Tugas dari akuntan publik (auditor independen) adalah memberikan jasa untuk menilai laporan keuangan yang dibuat oleh agen (manajemen), dengan hasil akhir berupa opini audit. Jasa auditor digunakan oleh prinsipal untuk memverifikasi informasi dari laporan keuangan yang disajikan oleh agen. Sedangkan, agen memerlukannya dalam rangka memberikan legitimasi atas laporan keuangannya.

(3)

2 . 1 . 2 Audit

Audit adalah pengumpulan dan evaluasi bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen (Elder, 2011:4). Kriteria yang ditetapkan dalam audit adalah kriteria yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku umum di Indonesia (generally accepted accounting principles – GAAP), sedangkan bukti audit

adalah setiap informasi yang digunakan auditor untuk menentukan apakah informasi yang diaudit dinyatakan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

ASOBAC (a Statement of Basic Auditing Concepts) dalam Halim (2003:1) mendefinisikan auditing sebagai suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan. Tujuan audit secara umum adalah sebagai berikut: (Muchlisin Riadi, 2013)

1. Kelengkapan (completeness), untuk meyakinkan bahwa seluruh transaksi telah dicatat atau dimasukkan dalam jurnal.

2. Ketepatan (accurancy), untuk memastikan transaksi dan saldo perkiraan yang ada telah dicatat berdasarkan jumlah yang benar, tanggal yang benar, perhitungan yang benar, diklasifikasikan dan dicatat dengan tepat, rincian dalam saldo akun sesuai dengan angka-angka buku besar.

(4)

3. Eksistensi (existence), untuk memastikan bahwa semua harta dan kewajiban yang tercatat memiliki eksistensi atau keterjadian pada tanggal tertentu, bukan transaksi fiktif.

4. Penilaian (valuation), untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum telah diterapkan dengan benar.

5. Klasifikasi (classification), untuk memastikan bahwa transaksi yang dicatat kedalam jurnal telah diklasifikasikan dengan tepat. Jika terkait dengan saldo maka nominal yang dimasukkan didaftar klien telah diklasifikasikan dengan tepat.

6. Pisah Batas (cut off), untuk memastikan bahwa transaksi-transaksi yang dekat tanggal neraca dicatat dalam periode waktu yang tepat.

7. Pengungkapan (disclosure), untuk meyakinkan bahwa saldo akun dan persyaratan pengungkapan yang berkaitan telah disajikan dengan wajar dalam laporan keuangan dan dijelaskan dengan wajar dalam isi dan catatan kaki laporan tersebut.

Pihak yang melakukan proses audit disebut auditor. Ditinjau dari sudut profesi akuntan publik, auditor adalah pemeriksaan (examination) secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut (Mulyadi, 2002:11). Boynton et.al (2003:8) menggolongkan auditor menjadi tiga kategori, yaitu:

(5)

1. Auditor Pemerintah.

adalah auditor yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas utamanya adalah melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan dari berbagai unit organisasi dalam pemerintahan.

2. Auditor Internal.

adalah karyawan perusahaan tempat mereka melakukan audit. Tujuannya, untuk membantu manajemen dalam melakukan tanggung jawabnya secara efektif.

3. Auditor Independen.

adalah para praktisi individual atau anggota kantor akuntan publik yang memberikan jasa auditing profesional kepada klien. Auditor ini menjalankan pekerjaannya dibawah naungan kantor akuntan publik.

2.1.3 Auditor Independen

Standar Audit (SA) 200 (IAPI, 2013:1) menjelaskan bahwa tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor pada umumnya adalah tentang apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Standar Audit tersebut juga menyatakan bahwa auditor diharuskan untuk memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan sebagai suatu keseluruhan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan. Sebelum melakukan audit, terlebih dahulu auditor harus memperoleh pengetahuan tentang bisnis entitas yang memungkinkan baginya untuk merencanakan dan melaksanakan audit berdasarkan standar audit yang telah ditetapkan Institut

(6)

Akuntan Publik Indonesia. Auditor independen menyatakan pendapatnya dalam lembar opini audit. Apapun jenis opini auditnya, pemberian opini audit oleh auditor independen diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi antara pihak manajemen dengan para prinsipal.

Secara garis besar ada dua tipe opini audit menurut standar audit terbaru, Standar Audit (SA) 700 (IAPI, 2013) menjelaskan tentang opini tanpa modifikasian dan Standar Audit (SA) 705 (IAPI, 2013) yang menjelaskan tentang opini modifikasian, lebih lengkap dijelaskan sebagai berikut:

1. Opini Tanpa Modifikasian

Opini ini akan diberikan bila auditor berkesimpulan bahwa laporan keuangan telah disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku. Auditor juga telah memperoleh keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan tersebut secara keseluruhan bebas dari kesalahan penyajian material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan.

2. Opini Modifikasian

Opini ini diberikan jika auditor menyimpulkan, berdasarkan bukti audit yang diperoleh, bahwa laporan keuangan secara keseluruhan tidak bebas dari kesalahan penyajian material atau auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menyimpulkan bahwa laporan keuangan secara keseluruhan bebas dari kesalahan penyajian material. Opini modifikasian terdiri dari tiga tipe, yaitu:

(7)

a. Opini Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion)

1) Auditor harus menyatakan opini wajar dengan pengecualian ketika setelah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, auditor menyimpulkan bahwa terdapat kesalahan material tetapi tidak pervasif dalam penyajian laporan keuangan baik secara individual maupun secara agregasi.

2) Auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang mendasari opini, tetapi auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan dampak kesalahan penyajian yang tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika ada, dapat bersifat material, tetapi tidak pervasif.

3) Jika auditor menyatakan opini ini, auditor harus mencantumkan suatu paragraf dalam laporan auditnya yang menyediakan suatu penjelasan tentang hal-hal yang menyebabkan modifikasi tersebut. Auditor harus menempatkan paragraf tersebut persis sebelum paragraf opini dalam laporan auditor dan menggunakan subjudul "Basis untuk Opini Wajar dengan Pengecualian".

4) Kemudian pada paragraf opini, ketika opini ini diambil karena terdapat kesalahan penyajian yang bersifat material pada laporan keuangan, auditor harus menyatakan dalam paragraf opini bahwa, “menurut opini auditor, kecuali untuk dampak hal-hal yang dijelaskan dalam paragraf Basis untuk Opini

(8)

Wajar dengan Pengecualian”. Dilengkapi dengan tambahan

frasa “Laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku”, jika auditor melaporkannya

berdasarkan kerangka penyajian wajar. “Laporan keuangan telah disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku”, jika auditor

melaporkannya berdasarkan kerangka kepatuhan.

5) Masih pada paragraf opini, ketika opini ini diambil karena ketidakmampuan untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, maka auditor harus menggunakan frasa “kecuali untuk dampak hal-hal…

b. Opini tidak wajar (Adverse Opinion)

Auditor harus menyatakan suatu opini tidak wajar ketika auditor, setelah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, menyimpulkan bahwa terdapat kesalahan penyajian baik secara individual maupun secara agregasi yang sifatnya adalah material dan pervasif terhadap laporan keuangan. Jika auditor menyatakan opini ini, ia harus mencantumkan suatu paragraf dalam laporan auditor yang menyediakan suatu penjelasan tentang hal-hal yang menyebabkan modifikasi tersebut. Auditor harus menempatkan paragraf tersebut persis sebelum paragraf opini dalam laporan auditor dan menggunakan subjudul "Basis untuk Opini tidak Wajar".

(9)

Pada paragraf opini, auditor menyatakan bahwa, “menurut opini auditor, karena signifikansi hal-hal yang dijelaskan dalam paragraf Basis untuk Opini Tidak Wajar”. Dilengkapi tambahan frasa

Laporan keuangan tidak menyajikan secara wajar sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku”, jika auditor

melaporkannya berdasarkan kerangka penyajian wajar. “Laporan keuangan tidak disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan kerangka pelaporan keuangan yang berlaku”, jika auditor

melaporkannya berdasarkan kerangka kepatuhan. c. Opini tidak menyatakan pendapat (Disclaimer Opinion)

Auditor tidak boleh menyatakan pendapat ketika auditor tidak dapat memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat yang mendasari opini, dan auditor menyimpulkan bahwa kemungkinan dampak kesalahan penyajian yang tidak terdeteksi terhadap laporan keuangan, jika ada, dapat bersifat material dan pervasif. Juga pada kondisi ketika auditor telah memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat, tetapi terdapat banyak ketidakpastian dan auditor tetap tidak dapat merumuskan suatu opini atas laporan keuangan karena interaksi yang potensial dari ketidakpastian tersebut dan kemungkinan dampak kumulatif dari ketidakpastian tersebut terhadap laporan keuangan.

Pada basis untuk paragraf modifikasi auditor harus menempatkan paragraf tersebut persis sebelum paragraf opini dalam laporan auditor dan menggunakan subjudul "Basis untuk Opini Tidak Menyatakan

(10)

Pendapat". Pada paragraf opini, auditor menyatakan bahwa, “Karena signifikansi hal-hal yang dijelaskan dalam paragraf Basis untuk Opini Tidak Menyatakan Pendapat, auditor tidak dapat memperoleh bukti audit, dan oleh karena itu auditor tidak menyatakan opini atas laporan keuangan”.

Berikut diilustrasikan bagaimana pertimbangan auditor tentang sifat hal-hal yang menimbulkan opini modifikasian:

Tabel 1

Tipe Opini Modifikasian

Sumber : Standar Audit (SA) 705 (IAPI, 2013)

Standar Audit (SA) 705 (IAPI, 2013:4) menjelaskan pervasif adalah suatu istilah yang digunakan dalam konteks kesalahan penyajian untuk menggambarkan dampak kesalahan penyajian terhadap laporan keuangan atau kemungkinan dampak kesalahan penyajian terhadap laporan keuangan, jika ada, yang tidak dapat terdeteksi karena ketidakmampuan untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat.

Sifat hal-hal yang menyebabkan modifikasi opini

Pertimbangan auditor tentang seberapa pervasif dampak atau kemungkinan dampak

terhadap laporan keuangan Material tetapi

tidak pervasif

Material dan pervasif Laporan keuangan

mengandung kesalahan penyajian material

Opini wajar dengan

pengecualian Opini tidak wajar Ketidakmampuan untuk

memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat

Opini wajar dengan pengecualian

Opini tidak menyatakan pendapat

(11)

2.1.4 Opini Audit Going Concern

Dalam pelaksanaan proses audit, auditor dituntut tidak hanya melihat terbatas pada hal-hal yang ditampakkan dalam laporan keuangan saja tetapi auditor juga harus mewaspadai hal-hal potensial yang dapat mengganggu kelangsungan usaha suatu entitas. Standar Audit (SA) 570 (IAPI, 2013:3) menyebutkan bahwa auditor bertanggung jawab untuk memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat tentang ketepatan penggunaan asumsi kelangsungan usaha oleh manajemen dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan, dan untuk menyimpulkan apakah terdapat suatu ketidakpastian material tentang kemampuan entitas untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.

Auditor harus mempertimbangkan apakah terdapat peristiwa atau kondisi yang diindikasikan dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan usahanya di masa yang akan datang. Signifikan atau tidaknya kondisi atau peristiwa tersebut akan sangat tergantung pada keadaan, dan beberapa diantaranya mungkin hanya menjadi signifikan jika ditinjau bersama-sama dengan kondisi atau peristiwa yang lain. Standar Audit (SA) 570 (IAPI, 2013:10) memberikan beberapa contoh kondisi dan peristiwa tersebut antara lain:

1. Keuangan

a. Posisi liabilitas bersih atau liabilitas lancar bersih.

b. Pinjaman dengan waktu pengembalian tetap mendekati jatuh temponya tanpa prospek yang realistis atas pembaruan atau pelunasan,

(12)

pengandaian yang berlebihan pada pinjaman jangka pendek untuk mendanai asset jangka panjang.

c. Indikasi penarikan dukungan keuangan oleh kreditor. d. Arus kas operasi yang buruk.

e. Rasio keuangan utama yang buruk.

f. Kerugian operasi yang substansial atau penurunan signifikan dalam nilai asset yang digunakan untuk menghasilkan arus kas.

g. Dividen yang sudah lama terhutang atau yang tidak berkelanjutan. h. Ketidakmampuan untuk melunasi kreditur pada tanggal jatuh tempo. i. Ketidakmampuan untuk mematuhi persyaratan perjanjian pinjaman. j. Perubahan transaksi dengan pemasok, yaitu dari transaksi kredit

menjadi transaksi tunai ketika pengiriman.

k. Ketidakmampuan untuk memperoleh pendanaan untuk pengembangan produk baru yang esensial atau investasi esensial lainnya.

2. Operasi

a. Intensi manajemen untuk melikuiditasi entitas atau untuk menghentikan operasinya.

b. Hilangnya manajemen kunci tanpa penggantian.

c. Hilangnya suatu pasar utama, pelanggan utama, wara laba, lisensi, atau pemasok utama.

d. Kesulitan tenaga kerja.

e. Kekurangan penyediaan barang/bahan. f. Munculnya kompetitor yang sangat berhasil.

(13)

3. Lain-lain

a. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan permodalan atau ketentuan statutori lainnya.

b. Perkara hukum yang dihadapi entitas yang jika berhasil dapat mengakibatkan tuntutan kepada entitas yang kemungkinan kecil dapat dipenuhi oleh entitas.

c. Perubahan dalam peraturan perundang-undangan atau kebijakan pemerintah yang diperkirakan akan memberikan dampak buruk bagi entitas.

d. Kerusakan asset yang diakibatkan oleh bencana alam yang tidak diasuransikan atau kurang diasuransikan.

Panduan bagi auditor dalam mempertimbangkan opini audit going concern

dijelaskan dalam standar audit (SA) 570 (IAPI, 2013:4) sebagai berikut:

1. Jika auditor yakin bahwa terdapat keraguan signifikan atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan usahanya, maka auditor harus menentukan apakah manajemen telah melakukan suatu penilaian awal atas kondisi tersebut. Jika manajemen telah melakukan penilaian, maka auditor harus mendiskusikannya terlebih dahulu bersama mereka. Kemudian menentukan apakah manajemen telah mengidentifikasi peristiwa atau kondisi yang baik secara individual maupun kolektif dapat menyebabkan keraguan signifikan atas kemampuan entitas dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Auditor juga mengevaluasi rencana manajemen atas tindakan di masa depan yang berkaitan dengan penilaian kelangsungan usaha entitas dan

(14)

kemudian menetapkan kemungkinan apakah rencana tersebut dapat memperbaiki situasi dan dapat dilaksanakan dengan efektif.

2. Jika manajemen belum melakukan suatu penilaian, maka auditor meminta manajemen untuk segera melakukan penilaian dengan periode penilaian sekurang-kurangnya dua belas bulan dari tanggal laporan keuangan. Jika manajemen tidak bersedia membuat atau memperluas penilaiannya, maka auditor dapat menyatakan suatu opini wajar dengan pengecualian atau opini tidak menyatakan pendapat.

3. Jika manajemen telah menggunakan asumsi kelangsungan usaha dengan tepat, tetapi terdapat suatu ketidakpastian material, maka auditor mempertimbangkan pengungkapan (berdasarkan pertimbangannya) dengan kondisi sebagai berikut:

a. Jika auditor menilai pengungkapan yang dicantumkan dalam laporan keuangan telah memadai, maka auditor menyatakan suatu opini tanpa modifikasian dan mencantumkan suatu paragraf penekanan suatu hal dalam laporan auditornya.

b. Jika auditor menilai pengungkapan yang dicantumkan dalam laporan keuangan tidak memadai, maka auditor memberikan opini wajar dengan pengecualian atau opini tidak wajar.

4. Jika penggunaan asumsi kelangsungan usaha dalam laporan keuangan oleh manajemen adalah tidak tepat, maka auditor harus menyatakan suatu opini tidak wajar.

(15)

2.1.5 Pertumbuhan Perusahaan

Pertumbuhan perusahaan mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Pertumbuhan perusahaan dapat diproksikan dengan rasio pertumbuhan penjualan. Rasio ini dapat mengukur seberapa baik perusahaan mempertahankan posisi ekonominya, baik dalam industrinya maupun dalam kegiatan ekonomi secara keseluruhan (Weston dan Copeland, 1992 dalam Setyarno dkk., 2006).

Perusahaan yang mengalami pertumbuhan menunjukkan aktivitas operasional perusahaan berjalan dengan baik dimana angka penjualannya lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan biaya sehingga terjadi kenaikan atas laba perusahaan. Jumlah laba yang diperoleh secara teratur dan kecenderungan terjadinya peningkatan atas laba tersebut pada periode-periode berikutnya, merupakan suatu indikasi yang dapat dijadikan acuan untuk memastikan bahwa perusahaan akan dapat mempertahankan posisi ekonomi dan kelangsungan usahanya dimasa yang akan datang. Sebaliknya apabila perusahaan mengalami trend penurunan penjualan dapat diasumsikan bahwa dimasa yang akan datang kemungkinan perusahaan akan mengalami kesulitan mempertahankan posisi ekonomi dan kelangsungan usahanya. Petronela (2004) menyatakan bahwa perusahaan dengan negative growth mengindikasikan kecenderungan yang lebih besar kearah kebangkrutan sehingga perusahaan yang laba tidak akan mengalami kebangkrutan.

Kebangkrutan merupakan salah satu dasar bagi auditor untuk memberikan opini audit going concern. Meskipun demikian, pada perusahaan dengan positive

(16)

growth tidak seharusnya auditor dengan serta merta langsung memutuskan pemberian opini audit non going concern. Auditor harus tetap berhati-hati dalam mengeluarkan opininya karena tidak tertutup kemungkinan pihak manajemen sengaja membuat penjualan fiktif. Hal ini mengakibatkan penjualan akan tampak meningkat dan berdampak langsung pada perhitungan laba rugi, padahal kondisi sebenarnya tidak demikian.

2.1.6 Profitabilitas

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri (Sartono, 2001:122). Pengertian yang hampir sama disampaikan oleh Syafri (2008:304) bahwa rasio profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rasio profitabilitas dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba.

Rasio profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan return on assets

(ROA), yaitu dengan cara membandingkan antara laba (rugi) bersih (net income) dengan total aset (total assets). Menurut Hanafi dan Halim (2003:27), return on assets (ROA) merupakan rasio keuangan perusahaan yang berhubungan dengan profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan atau laba pada tingkat pendapatan, asset, dan modal saham tertentu. Dengan mengetahui nilai ROA, kita dapat mengetahui apakah perusahaan telah efisien

(17)

dalam menggunakan asetnya dalam kegiatan operasional untuk menghasilkan laba. Semakin tinggi nilai ROA menunjukkan semakin efektif perusahaan dalam mengelola asetnya sehingga semakin baik pula prospek bisnisnya.

Dalam sudut pandang auditor, semakin besar rasio profitabilitas suatu perusahaan menunjukkan kinerja manajemen yang semakin baik dalam menghasilkan laba sehingga tidak akan menimbulkan keraguan terhadap kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya dimasa yang akan datang. Hal ini dapat memperkecil kemungkinan pemberian opini going concern, begitu juga sebaliknya.

2.1.7 Likuiditas

Likuiditas (liquidity) secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan perusahaan dalam membayar hutang-hutangnya yang telah jatuh tempo (Lancester et. al., 1998:28 dalam Widyawati 2009). Rasio likuiditas dapat didefinisikan sebagai rasio yang mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar liabilitas jangka pendeknya. Perhitungan rasio likuiditas bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu dengan rasio lancar (current ratio) dan rasio cepat (quick ratio). Rasio lancar (current ratio) didapat dengan membandingkan antara aset lancar (current assets) dengan liabilitas jangka pendek (current liabilities). Rasio cepat (quick ratio) didapat dengan terlebih dahulu mengurangkan aset lancar (current assets) dengan persediaan (stock) sebelum dibandingkan dengan liabilitas jangka pendek (current liabilities).

Dalam penelitian ini perhitungan rasio likuiditas diproksikan dengan

(18)

likuid sehingga dapat diasumsikan bahwa perusahaan akan kesulitan membayar utang kepada para krediturnya. Pada posisi seperti ini kemungkinan besar auditor akan memberikan opini audit going concern. Sebaliknya, makin besar nilai

current ratio menunjukkan perusahaan likuid sehingga dapat diasumsikan bahwa perusahaan akan mampu membayar utang kepada para krediturnya. Pada posisi seperti ini kecil kemungkinan auditor akan memberikan opini audit going concern.

2.1.8 Leverage

Leverage menunjukkan proporsi atas penggunaan hutang untuk membiayai investasinya (Sartono, 2001:120). Rasio leverage merupakan tingkat penggunaan hutang sebagai sumber pembiayaan perusahaan (Weston dan Copeland, 1992 dikutip oleh Januarti dan Fitrianasari, 2008). Leverage dapat diproksikan dengan perhitungan debt ratio yaitu membandingkan antara total liabilitas dengan total aset. Menurut Sawir (2008:13) debt ratio merupakan rasio yang memperlihatkan proporsi antara kewajiban yang dimiliki dan seluruh kekayaan yang dimiliki. Dari hasil perhitungan rasio ini dapat diketahui besarnya persentase utang perusahaan terhadap total aset yang dimiliki atau besarnya tingkat persentase total aset yang dibiayai dengan utang.

Semakin besar rasio leverage menunjukkan rendahnya kemampuan perusahaan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dimasa yang akan datang. Pada kondisi demikian, sebagian besar dana yang diperoleh oleh perusahaan diasumsikan akan digunakan untuk membiayai utangnya sehingga dana yang dialokasikan untuk operasional perusahaan pada periode berikutnya

(19)

akan semakin berkurang. Sebaliknya semakin kecil rasio leverage menunjukkan kemampuan keberlangsungan usaha yang semakin baik. Semakin kecil debt ratio

semakin kecil pula kemungkinan auditor memberikan opini audit going concern.

2.1.9 Penelitian Terdahulu

Penelitian empiris mengenai opini audit going concern sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh beberapa peneliti, diantaranya Widyawati (2009), Sutedja (2010), Rahayu dan Pratiwi (2011), Kristiana (2012), Kurnia (2012), Wati (2013), Nursasi dan Maria (2013) serta Fauziah (2014). Namun hasil dari penelitian-penelitian tersebut masih belum konsisten. Widyawati (2009) melakukan penelitian menggunakan variabel independen berupa profitabilitas, likuiditas, kualitas audit, dan auditor changes. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan hanya variabel profitabilitas yang berpengaruh terhadap opini audit going concern sedangkan likuiditas, kualitas audit, dan auditor changes

disimpulkan tidak berpengaruh. Penelitian Sutedja (2010) menghasilkan kesimpulan yang dapat memperkuat hasil penelitian Widyawati (2009) dimana profitabilitas juga disimpulkan berpengaruh sedangkan likuiditas dan kualitas audit tidak berpengaruh. Dalam penelitian tersebut ditambahkan juga variabel solvabilitas dan opini audit sebelumnya yang disimpulkan berpengaruh, serta pertumbuhan perusahaan yang disimpulkan tidak berpengaruh.

Rahayu dan Pratiwi (2011) menggunakan pertumbuhan perusahaan,

leverage, opini audit tahun sebelumnya, dan reputasi auditor sebagai variabel independen dalam penelitiannya. Hasil penelitian ini menyimpulkan hanya opini audit tahun sebelumnya yang berpengaruh terhadap opini audit going concern

(20)

sedangkan pertumbuhan perusahaan, leverage, dan reputasi auditor disimpulkan tidak berpengaruh. Kristiana (2012) menunjukkan beberapa kesimpulan yang berbeda, likuiditas, dan pertumbuhan perusahaan yang pada ketiga penelitian sebelumnya disimpulkan tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern

dalam penelitiannya disimpulkan berpengaruh. Walaupun demikian untuk variabel profitabilitas masih didapatkan kesimpulan yang sama dengan penelitian sebelumnya yaitu berpengaruh terhadap opini audit going concern. Profitabilitas disimpulkan tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern pada penelitian Kurnia (2012).

Penelitian lain mengenai opini audit going concern dilakukan oleh Wati (2013) yang menggunakan rasio keuangan berupa profitabilitas, leverage, dan likuiditas. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa profitabilitas dan leverage

memiliki pengaruh negatif terhadap opini audit going concern sedangkan likuiditas disimpulkan tidak berpengaruh dengan asumsi bahwa auditor dalam menerbitkan opini audit going concern tidak hanya mempertimbangkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya tetapi lebih melihat pada kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya. Sementara itu, Nursasi dan Maria (2013) serta Fauziah (2014) dalam penelitiannya sama-sama berkesimpulan bahwa leverage dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh terhadap opini audit going concern.

Dibawah ini disajikan secara lengkap tentang penelitian-penelitian sebelumnya mengenai pengaruh beberapa variabel terhadap opini audit going

(21)

concern disertai dengan hasil penelitian mereka yang diringkas dalam tabel berikut ini:

Tabel 2

Penelitian Terdahulu

Peneliti Alat Analisis Variabel Hasil

Penelitian Dependen Independen Dyah Putri Widyawati (Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009)

Regresi Logistik Opini Audit

Going Concern Profitabilitas, Likuiditas, Kualitas Audit, Auditor Changes. Berpengaruh: Profitabilitas. Tidak Berpengaruh: Likuiditas, Kualitas Audit, Auditor Changes. Christian Sutedja (Universitas Katholik Widya Mandala Surabaya, 2010)

Regresi Logistik Opini Audit

Going Concern Likuiditas, Profitabilitas, Kualitas Audit, Solvabilitas, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan. Berpengaruh: Profitabilitas, Solvabilitas, Opini Auit Tahun Sebelumnya. Tidak Berpengaruh: Likuiditas, Kualitas Audit, Pertumbuhan Perusahaan. Ayu Wilujeng Rahayu dan Caecilia Widi Pratiwi (Universitas Gunadharma, 2011)

Regresi Logistik Opini Audit

Going Concern Pertumbuhan Perusahaan, Leverage, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Reputasi Auditor. Berpengaruh: Opini Audit Tahun Sebelumnya. Tidak Berpengaruh: Pertumbuhan Perusahaan, Leverage, Reputasi Auditor. Ira Kristiana (Jurnal Berkala Ilmiah Mahasiswa Akuntansi, 2012)

Regresi Logistik Opini Audit

Going Concern Profitabilitas, Likuiditas, Pertumbuhan Perusahaan, Ukuran Perusahaan. Berpengaruh: Profitabilitas, Likuiditas, Pertumbuhan Perusahaan. Tidak Berpengaruh: Ukuran Perusahaan.

(22)

Wita Kurnia (Universitas Gunadharma, 2012)

Regresi Logistik Opini Audit

Going Concern Pertumbuhan Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Profitabilitas. Berpengaruh: Ukuran Perusahaan. Tidak Berpengaruh: Pert. Perusahaan, Profitabilitas. Angie Cyntia Wati (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013)

Regresi Logistik Opini Audit

Going Concern Likuiditas, Profitabilitas, Leverage, Opini Tahun Sebelumnya, Opinion Shopping. Berpengaruh: Profitabilitas, Leverage, Opini Tahun Sebelumnya, Opinion Shopping. Tidak Berpengaruh: Likuiditas. Enggar Nursasi dan Evie Maria (STIE Malakucecwar a Jawa Timur, 2013) Partial Least Square (PLS) Opini Audit Going Concern Leverage, Pertumbuhan Perusahaan, Prediksi Kebangkrutan. Berpengaruh: Prediksi Kebangkrutan, Leverage, Pertumbuhan Perusahaan. Tidak Berpengaruh: - Hanifah Fauziah (Universitas Widyatama Bandung, 2014)

Regresi Logistik Opini Audit

Going Concern Likuiditas, Leverage, Profitabilitas, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan. Berpengaruh: Likuiditas, Leverage, Profitabilitas, Opini Audit Tahun Sebelumnya, Pertumbuhan Perusahaan. Tidak Berpengaruh: - Sumber : Data sekunder yang telah diolah

(23)

Teori Keagenan 2.2 Rerangka Pemikiran

Rerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dijelaskan dalam gambar sebagai berikut: terdapat keraguan signifikan Gambar 1 Rerangka Pemikiran 2.3 Perumusan Hipotesis

Hipotesis adalah penjelasan sementara yang harus diuji kebenarannya mengenai masalah yang sedang dipelajari, dimana suatu hipotesis selalu dirumuskan dalam bentuk pernyataan yang menghubungkan dua variabel atau lebih. Perumusan hipotesis dapat dikembangkan berdasarkan hubungan antara

Laporan Keuangan Auditor Independen Pemilik (Prinsipal) Agen (Manajemen) Standar Audit (SA) 570 Kelangsungan Hidup Entitas Opini Audit going concern 1. Pertumbuhan Perusahaan 2. Profitabilitas 3. Likuiditas 4. Leverage

(24)

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap opini audit going concern yaitu :

2.3.1 Pengaruh Pertumbuhan Perusahaan terhadap Opini Audit Going Concern.

Pertumbuhan perusahaan mengindikasikan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan usahanya. Pertumbuhan perusahaan dapat diproksikan dengan pertumbuhan penjualan. Pertumbuhan penjualan digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam mempertahankan posisi ekonominya, baik dalam industri maupun kegiatan ekonomi secara keseluruhan (Weston dan Copeland, 1992 dalam Setyarno dkk., 2006). Perusahaan yang mengalami pertumbuhan menunjukkan aktivitas operasional perusahaan berjalan dengan semestinya sehingga perusahaan dapat mempertahankan posisi ekonominya dan kelangsungan hidupnya, sedangkan perusahaan dengan negative growth mengindikasikan kecenderungan yang lebih besar ke arah kebangkrutan (Altman, 1968). Perusahaan dengan positive growth akan semakin kecil kemungkinannya mendapatkan opini audit going concern, hal ini sesuai dengan penelitian Kristiana (2012) serta Nursasi dan Maria (2013) yang menemukan bukti empiris bahwa pertumbuhan perusahaan memberikan pengaruh negatif pada pemberian opini audit going concern.

Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;

H1: Pertumbuhan perusahaan berpengaruh negatif terhadap

(25)

2.3.2 Pengaruh Profitabilitas terhadap Opini Audit Going Concern.

Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri (Sartono, 2001:122). Melalui perhitungan yang diproksikan dengan return on assets (ROA), yaitu dengan cara membagi laba (rugi) bersih dengan total aset, kita dapat mengetahui sejauh mana efektifitas pengelolaan aset perusahaan dalam rangka menghasilkan laba. Semakin tinggi nilai return on assets (ROA) menunjukkan semakin efektif pula pengelolaan asetnya, sehingga semakin kecil pula kemungkinan perusahaan mendapatkan opini audit going concern. Beberapa penelitian termasuk Wati (2013) telah menemukan bahwa profitabilitas mempunyai pengaruh negatif, Sutedja (2010) dengan hasil koefisien regresi diangka -8,023, Kristiana (2012) diangka -5,080. Semakin tinggi nilai rasio profitabilitas maka akan semakin kecil potensi terbitnya opini audit going concern.

Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;

H2: Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap opini audit going

concern.

2.3.3 Pengaruh Likuiditas terhadap Opini Audit Going Concern.

Likuiditas mengacu pada kemampuan perusahaan untuk membayar liabilitas jangka pendeknya sesuai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Rasio likuiditas bisa diukur dengan membandingkan antara

(26)

aset lancar (current assets) dengan liabilitas jangka pendek (current liabilities), dari perhitungan ini didapat nilai current ratio. makin kecil nilai current ratio menunjukkan perusahaan kurang likuid sehingga dapat diasumsikan bahwa perusahaan akan kesulitan memenuhi kewajiban kepada para krediturnya, pada posisi seperti ini kemungkinan besar auditor akan memberikan opini audit going concern. Dari hasil penelitiannya Kristiana (2012) menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh negatif terhadap opini audit going concern, kemudian Fauziah (2014) menyatakan bahwa likuiditas berpengaruh signifikan terhadap opini audit going concern, sedangkan Widyawati (2009), Sutedja (2010) dan Wati (2013) menyatakan tidak berpengaruh.

H3: Likuiditas berpengaruh negatif terhadap opini audit going

concern.

2.3.4 Pengaruh Leverage terhadap Opini Audit Going Concern.

Rasio leverage mengukur tingkat penggunaan utang sebagai sumber pembiayaan perusahaan (Husna dan Pudjiastuti 2004 dalam Fauziah 2014). Rasio ini dapat diukur dengan debt ratio yaitu membandingkan antara total liabilitas dengan total aset. Penelitian yang dilakukan Nursasi dan Maria (2013) serta Wati (2013) menyimpulkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit

going concern. Sedangkan Santoso (2012) menyimpulkan bahwa

leverage berpengaruh positif terhadap penerimaan opini audit going concern. Hal ini dikarenakan semakin tinggi rasio leverage suatu

(27)

perusahaan, maka akan semakin menimbulkan keraguan auditor akan kelangsungan hidup perusahaan tersebut, karena sebagian besar dana yang diperoleh perusahaan akan digunakan untuk membiayai utang. Sebaliknya Rahayu dan Pratiwi (2011) serta Relungningsih (2010) justru menyimpulkan bahwa leverage tidak berpengaruh.

Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ;

H4: Leverage berpengaruh positif terhadap opini audit going

Referensi

Dokumen terkait

Penatalaksanaan pada pasien ini secara umum adalah menghindari garukan untuk mencegah infeksi sekunder, menghindari hal-hal yang ada kaitannya dengan prurigo, yakni

2) Rantai induk adalah rantai terpanjang dalam molekul. Jika terdapat 2 atau lebih rantai terpanjang, maka harus dipilih yang mempunyai cabang terbanyak. 3) Rantai induk diberi

Istagram selain sebagai sarana untuk berhubungan dengan teman bisa juga digunakan sebagai sarana dakwah yang dapat di lihat semua kalangan masyarakat, seperti yang

• Hapus : digunakan untuk menghapus data ijin tidak bisa hadir sesuai dengan data karyawan yang ditunjuk atau disorot. • Akses : digunakan untuk memberikan hak akses di transaksi

Dalam kata lain juga dapat disimpulkan bahwa semakin negatif respon individu terhadap hilangnya hubungan keluarga dan sosial akan semakin rendah persepsi kemampuannya dalam

Sumber energi utama berasal dari energi radiasi matahari, yang dipancarkan sesuai hukum radiasi benda hitam (black body) dengan temperatur 6000 0 K dan panjang

Kesadaran hukum wartawan media cetak di Kota Denpasar terhadap hukum pers dipengaruhi adanya kesadaran sendiri dari wartawan untuk mengetahui dan mempelajari etika

Berdasarkan hasil penelitian, simpulan dalam penelitian ini adalah bahwa model pembelajaran Science, Environment, Technology, and Society (SETS) dapat meningkatkan