• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Loneliness dan Parenting Self-Efficacy pada Ibu Tunggal yang Memiliki Anak Usia Kanak Madya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Loneliness dan Parenting Self-Efficacy pada Ibu Tunggal yang Memiliki Anak Usia Kanak Madya"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Loneliness dan Parenting Self-Efficacy pada Ibu Tunggal yang Memiliki Anak Usia Kanak Madya

Yumna Shabrina*, Efriyani Djuwita, dan Erniza Miranda Madjid Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Depok 16424, Indonesia

*E-mail: yumna.shabrina@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara loneliness dan parenting self-efficacy pada ibu tunggal yang memiliki anak usia kanak madya. Pengukuran loneliness dilakukan dengan menggunakan Social and Emotional Loneliness Scale for Adults (SELSA, DiTommaso dan Spinner, 1993), sedangkan

parenting self-efficacy diukur dengan menggunakan Self-Efficacy for Parenting Task Index (SEPTI, Coleman dan Karraker, 2000). Partisipan dari penelitian ini adalah 37 ibu tunggal akibat bercerai yang memiliki anak usia kanak madya. Hasil penelitian ini menunjukan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara loneliness

dengan parenting self-efficacy (r = - .343; n = 37; p < 0,05, one-tail). Artinya, semakin tinggi loneliness ibu tunggal, semakin rendah parenting self-efficacy-nya; begitu pula sebaliknya. Terdapat dua dari tiga dimensi

loneliness yang ditemukan memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan parenting self-efficacy. Kedua dimensi tersebut adalah keluarga dan sosial. Korelasi antara keluarga dan parenting self-efficacy ditemukan lebih kuat dibandingkan dengan korelasi antara sosial dan parenting self-efficacy. Di samping itu, loneliness

ditemukan tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan setiap domain parenting self-efficacy, tetapi dimensi romantis memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan domain kesehatan.

The Relationship between Loneliness and Parenting Self-Efficacy among Single Mothers of Middle Childhood Children

Abstract

This study examined the relationship between loneliness and parenting self-efficacy among single mothers of middle childhood children. Loneliness was measured by Social and Emotional Loneliness Scale (SELSA, DiTommaso & Spinner, 1993), whereas parenting self-efficacy was measured by Self-Efficacy for Parenting Task Index (SEPTI. Coleman & Karraker, 2000). The respondents of this study were 37 Indonesia single mothers of middle childhood. This study obtain a significant, negative relationship between loneliness and parenting self-efficacy (r = -.343; n = 37; p < .05, one-tailed). It indicates that the higher single mothers’ loneliness, the lower their parenting self-efficacy, and vice versa. Next, there are two out three dimension of loneliness that have significant, negative relationship to parenting self-efficacy, they are family and social, where family has higher correlation than social. On the other hand, there is no significant relationship between loneliness and parenting self-efficacy’s domains, yet there is a significant, negative relationship between romantic dimension and health domain.

Kata Kunci:

(2)

Pendahuluan

Keluarga dengan orang tua tunggal merupakan salah satu bentuk keluarga yang dapat ditemui di dalam masyarakat. Berdasarkan data yang didapatkan dari survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional pada tahun 2009 diketahui jumlah orang tua tunggal di Indonesia telah mencapai 8.295.985 atau sebesar 13.6% dari seluruh kepala keluarga di Indonesia (http://www.bkkbn.go.id). Angka tersebut sudah termasuk cukup tinggi, melihat bahwa 1 dari 10 keluarga merupakan keluarga dengan orang tua tunggal dan tidak menutup kemungkinan angka ini akan mengalami peningkatan dikemudian hari.

Di Indonesia, penyumbang jumlah orang tua tunggal terbesar adalah melalui perceraian dan sebagian besar dikepalai oleh ibu tunggal. Berdasarkan catatan Badan Urusan Peradilan Agama Mahkamah Agung diketahui bahwa sejak tahun 2005 sampai dengan 2010 terjadi peningkatan persentase hingga 70% (Putra, 2012; http://www.republika.co.id). Diketahui juga bahwa terdapat 7794 jumlah kasus perceraian yang diputuskan oleh Badan Urusan Peradilan Agama Mahkamah Agung DKI Jakarta pada tahun 2011, yang mana jumlah ini terus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Data dari Prof. Dr. dr. Susilo Wibowo, MS. Med, Sp. And yang menyatakan bahwa pada tahun 2002 perbandingan antara jumlah janda dan duda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah keluarga dengan ibu tunggal lima kali lebih banyak dibandingkan jumlah keluarga dengan ayah tunggal (http://www.gatra.com).

Kehilangan sosok pasangan pada keluarga dengan ibu tunggal menyebabkan mereka memiliki penambahan peran dan juga memiliki berbagai keterbatasan sumber daya. Adapun sumber daya tersebut meliputi finansial, keintiman, rasa aman, dan berbagai jenis bantuan lainnya untuk membesarkan anak (DeGenova, 2008). Keterbatasan sumber daya ini dapat mempersulit kehidupan keluarga dengan ibu tunggal, khususnya dalam melakukan parenting terhadap anak usia kanak madya. Hal ini karena anak usia kanak madya mulai memasuki masa sekolah, memiliki orientasi sosial yang lebih tinggi, dan rentan terhadap permasalahan tingkah laku. Meskipun demikian, dampak dari hilangnya sosok pasangan tidak hanya memengaruhi parenting anak tetapi juga dapat memengaruhi diri ibu tunggal sendiri, salah satunya adalah dalam meningkatkan loneliness.

Loneliness dijelaskan sebagai suatu respon terhadap hilangnya satu atau sekelompok dukungan sosial atau social provisions (Weiss, 1973, dalam DiTommaso & Spinner, 1997). Peplau dan Perlman (1982) menyatakan bahwa loneliness dapat diakibatkan oleh perubahan dalam hubungan sosial aktual individu sehingga berada dibawah level optimal. Adapun

(3)

contoh nyata dari perubahan tersebut adalah perpindahan tempat, putusnya hubungan cinta, kematian, dan perceraian. Melihat pernyataan tersebut tidak heran jika loneliness dapat menjadi salah satu karakteristik yang krusial dan rentan dialami oleh ibu tunggal akibat bercerai yang memiliki anak usia kanak madya.

Loneliness dapat memberikan berbagai dampak negatif, seperti menurunkan kepuasan hidup (Goodwin, Cook, & Yung, 2001); Swami dkk (2007); Salimi, 2011), menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan (Cacioppo, Hawkley, & Berntson, 2003), dan mengganggu kesehatan mental. Terkait dengan kesehatan mental, loneliness yang tinggi berhubungan dengan depresi dan self-esteem yang rendah (Russell, Peplau, & Cutrona, 1980; Russell, 1996), sehingga akan timbul tanda-tanda fisik seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala, dan mual-mual. Selain itu, loneliness juga merupakan salah satu hal yang dapat memengaruhi kualitas parenting yang dilakukan oleh ibu tunggal. Khususnya dalam melakukan parenting yang efektif terhadap anak usia kanak madya yang membutuhkan strategi disiplin coregulation, loneliness dapat membuat ibu tunggal memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan anaknya dan juga dalam mengekspresikan respon terhadap kondisi emosional anak. Sedangkan Proctor (1996) menyatakan kedua hal tersebut merupakan hal yang berpengaruh besar untuk melakukan strategi disiplin coregulation. Dengan kata lain juga dapat dikatakan bahwa loneliness dapat menghambat ibu dalam melaksanakan parenting yang efektif terhadap anak usia kanak madya.

Meskipun loneliness dapat menghambat pelaksanaan parenting yang efektif, untuk berhasil melaksanakan parenting yang efektif sendiri masih dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya, seperti kepribadian dan sumber daya personal dari orang tua, karakteristik anak, dan pengaruh kontekstual seperti sumber stress dan dukungan (Bornstein, 2002; Belsky, 1984, dalam Luster & Okagaki, 2005). Coleman dan Karraker (1997) mengemukakan bahwa salah satu konstruk sumber daya personal yang ditemukan berhubungan sebagai prediktor langsung terhadap kualitas parenting dan juga sebagai mediator dalam melihat hubungan kualitas parenting adalah self-efficacy. Self-efficacy dalam ranah parenting disebut sebagai parenting self-efficacy.

Coleman dan Karraker (1997) menjelaskan parenting self-efficacy sebagai persepsi individu terhadap kemampuan atau kompetensi dirinya untuk berhasil dalam memberikan perubahan positif bagi anak dan juga dirinya sendiri. Parenting self-efficacy tidak hanya memengaruhi kompetensi orang tua dalam melakukan parenting (Jones & Prinz, 2005), tetapi juga membantu ibu beradaptasi dalam pengalaman parenting (Leahy-Warren & McCarthy, 2011); memengaruhi perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000); dan membantu dalam

(4)

mengembangkan kompetensi anak (Teti & Gelfand, 1991, dalam Bandura, 1995). Dalam hal ini, parenting self-efficacy dapat membantu ibu dalam melakukan parenting yang efektif.

Merujuk pada penjabaran di atas, diketahui bahwa loneliness dan parenting self-efficacy sama-sama memengaruhi parenting yang dilakukan oleh orang tua. Loneliness yang tinggi dapat menghambat orang tua melakukan parenting yang efektif, sedangkan tingkat parenting self-efficacy yang tinggi justru dapat membantu orang tua dalam melakukan parenting yang efektif. Melihat adanya pengaruh dengan arah yang berbeda di antara keduanya terhadap pelaksanaan parenting, peneliti berasumsi bahwa keduanya memiliki hubungan negatif.

Tinjauan Teoritis

Loneliness

Loneliness merupakan konstruk yang umum dan pernah dialami oleh setiap individu, sehingga loneliness sebenarnya menarik untuk diteliti keberadaannya. Weiss (1973, dalam DiTommaso & Spinner, 1997) memahami loneliness sebagai suatu respon negatif terhadap hilangnya satu atau sekelompok dukungan sosial atau social provisions. Weiss (1973, dalam DiTommaso & Spinner, 1997) memandang loneliness sebagai konstruk multidimensi, yang terdiri atas dua tipologi meliputi emotional loneliness dan social loneliness. Emotional loneliness dapat direpresentasikan melalui hilangnya hubungan romantis dengan pasangan dan hilangnya hubungan keluarga, sedangkan social loneliness direpresentasikan melalui hilangnya hubungan sosial.

Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi timbulnya loneliness, yaitu (1) perubahan hubungan sosial sehingga hubungan tersebut jatuh dibawah tingkat yang dibutuhkan agar seseorang tidak mengalami loneliness; (2) perubahan kebutuhan dan hasrat sosial yang dapat menyebabkan timbulnya loneliness; dan (3) faktor personal dan situasional yang dapat meningkatkan kerentanan individu untuk mengalami loneliness, seperti karakteristik individu yang pemalu dan introvert (Peplau & Perlman, 1982).

Parenting Self-Efficacy

Coleman dan Karraker (1997) menjelaskan parenting self-efficacy sebagai persepsi individu terhadap kemampuan atau kompetensi dirinya untuk berhasil dalam memberikan perubahan positif bagi anak dan juga dirinya sendiri. Parenting self-efficacy sendiri tidak dilihat sebagai trait dari orang tua, melainkan sebagai hal yang merefleksikan kemampuan

(5)

orang tua untuk beradaptasi terhadap perubahan tuntutan dari perkembangan anaknya (Bogenschneider, Small, & Tsay, 1997). Konstruk parenting self-efficacy yang dikembangkan oleh Coleman dan Karraker (1997) memfokuskan pada persepsi kemampuan ibu dalam melaksanakan tugas parenting terhadap anak usia kanak madya, meliputi (1) achievement, menyemangati dan mendukung pencapaian anak di sekolah; (2) rekreasi, memfasilitasi perkembangan sosial dan kebutuhan anak atas rekreasi; (3) disiplin, bertanggung jawab untuk menyosialisasikan peraturan dan disiplin kepada anak; (4) nurturance, memberi dukungan emosional dan mendukung perkembangan emosi anak; dan (5) kesehatan, menjaga dan memfasilitasi kesehatan anaknya.

Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi parenting self-efficacy ibu, seperti pengalaman masa kecil, pengaruh elemen sosial, pengalaman secara langsung dengan anak, taraf kesiapan kognitif, dukungan sociomarital, rasa percaya diri, dan kepercayaan terhadap respon anak (Coleman & Karraker, 1997; 2005). Parenting self-efficacy memiliki peranan sebagai prediktor kompetensi orang tua (Coleman & Karraker, 1997). Selain itu, parenting self-efficacy juga dapat membantu ibu beradaptasi dalam pengalaman parenting (Leahy-Warren & McCarthy, 2011); memengaruhi perkembangan anak (Coleman & Karraker, 2000); dan membantu dalam mengembangkan kompetensi anak (Teti & Gelfand, 1991, dalam Bandura, 1995). Dalam hubungan antara orang tua dan anak, parenting self-efficacy berperan dalam memengaruhi keseimbangan dan dukungan dalam melakukan coparenting (Merrifield & Gamble, 2012), strategi parenting (Pierce dkk., 2010), penerapan disiplin (Pinderhughes, Dodge, Bates, Petit, & Zelli, 2000), serta kontrol dan kehangatan yang diberikan oleh orang tua (Izzo dkk., 2000, dalam Small, 2010). Dengan mengetahui parenting self-efficacy, individu juga dapat meningkatkan pemahaman atas respon obyektif dan subyektif terhadap parenting, mencegah parenting yang bermasalah, dan dapat memerbaiki parenting yang bermasalah (Coleman & Karraker, 1997).

Ibu Tunggal yang Memiliki Anak Usia Kanak Madya

Ibu tunggal merupakan istilah yang digunakan untuk mengenali seorang wanita yang membangun keluarga dengan orang tua tunggal. Ketidak hadiran sosok pasangan pada keluarga yang dikepalai oleh ibu tunggal menyebabkan ibu tunggal memiliki penambahan peran dan juga memiliki berbagai keterbatasan sumber daya. Adapun sumber daya tersebut meliputi finansial, keintiman, rasa aman, dan berbagai jenis bantuan lainnya untuk membesarkan anak (DeGenova, 2008). Keterbatasan sumber daya ini dapat mempersulit

(6)

kehidupan keluarga dengan ibu tunggal, khususnya dalam melakukan parenting terhadap anak usia kanak madya atau dalam rentang usia 5 sampai dengan 12 tahun.

Tahap kanak madya sering kali dikatakan sebagai tahap dimana orang tua mengalami tantangan yang besar dalam melakukan parenting. Hal tersebut dapat dipahami dengan melihat karakteristik dan permasalahan yang rentan untuk dialami oleh anak usia kanak madya. Perubahan yang terjadi pada kanak madya meliputi konteks kematangan fisik, kemampuan kognitif dan belajar, dampak dari hubungan dengan orang lain, serta terpapar dengan bermacam setting, kesempatan, dan tuntutan baru (Collins dkk., 2002). Hal-hal tersebut akan memengaruhi parenting yang dilakukan, khususnya dalam tugas parenting yang diemban oleh orang tua. Orangtua dengan anak usia kanak madya berada pada interpretive stage, yang mana orangtua perlu memiliki kemampuan untuk dapat mengajari dan memfasilitasi anak dalam konteks kehidupan yang lebih luas, khususnya terkait sekolah, mengajarkan nilai-nilai moral dan disiplin yang tepat pada anak, dan juga orangtua perlu menjelaskan sudut pandangnya sendiri pada anak (Martin & Colbert, 1997).

Metode Penelitian

Variabel Penelitian, Partisipan Penelitian, dan Prosedur

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah loneliness dan parenting self-efficacy.Sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 37 ibu tunggal yang telah bercerai lebih dari 6 bulan dan memiliki anak usia kanak madya. Penelitian ini menggunakan tipe accidental sampling dan snowball sampling, Tipe sampling ini digunakan berdasarkan kemudahan, ketersediaan, dan menggunkaan informasi dari jaringan. Instrumen pengambilan data yang digunakan adalah kuesioner, yang disebar baik melalui media cetak maupun melalui media online dengan menggunakan fitur google spreadsheet. Adanya variasi dalam penyebaran kuesioner ditujukan untuk memenuhi target partisipan yang dibutuhkan, efektivitas waktu yang diperlukan, mengurangi bias pada sampel, dan meminimalisir biaya yang dikeluarkan. Meskipun demikian, kesesuaian partisipan dengan karakteristik yang dibutuhkan tetap diperhatikan.

Pengukuran

Terdapat dua alat ukur yang digunakan. Loneliness diukur menggunakan Social and Emotional Loneliness Scale for Adults (SELSA, DiTommaso & Spinner, 1993; 1997) yang terdiri atas 37 item dan terbentuk atas tiga dimensi, meliputi romantis, keluarga, dan sosial.

(7)

Pada penelitian ini, SELSA telah diadaptasi oleh Efriyani Djuwita, S.Psi, M.Si, Dra. Erniza Miranda Madjid, M.Si, dan Yumna Shabrina. Dalam perhitungan relabilitas didapatkan koefisien Cronbach’s alpha SELSA sebesar .913. Adapun koefisien reliabilitas dimensi romantis, keluarga, dan sosial adalah .846, .898, dan .837 secara berurutan.Parenting self-efficacy diukur menggunakan Self-Efficacy for Parenting Task Index (SEPTI, Coleman & Karraker, 2000) yang telah diadaptasi oleh Dra. Erniza Miranda Madjid, M.Si dan Nadhira Quamila pada tahun 2012. SEPTI terdiri dari 36 item yang terbentuk atas lima domain, meliputi achievement, recreation, discipline, nurturance, dan health. Dalam perhitungan reliabilitas didapatkan koefisien Cronbach’s alpha sebesar .918. Sementara itu, hasil koefisien reliabilitas tiap dimensi adalah. prestasi = .791, rekreasi = .738, disiplin = .781, nurturance = .674, dan kesehatan = .865. Setiap item dalam kuesioner dikur melalui enam pilihan jawaban yaitu “sangat tidak sesuai” yang memiliki nilai 1, “tidak sesuai” yang memiliki skor 2, “agak tidak sesuai” yang memiliki skor 3, “agak sesuai” yang memiliki skor 4, “sesuai” yang memiliki skor 5, dan “sangat sesuai yang memiliki skor 6. Pada beberapa item yang merupakan item unfavorable, pemberian skor dilakukan secara sebaliknya.

Metode Analisis Data

Data-data dari kuesioner yang kembali kemudian diskor sesuai dengan teknik skoring yang sudah ditentukan. Setelah itu, data diolah dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) dengan teknik-teknik (Pallant, 2011): (1) statistika deskriptif, untuk melihat gambaran umum karakteristik partisipan melalui frekuensi; (2) Pearson Correlational Coefficient, untuk mengidentifikasi signifikansi, hubungan, arah dan kekuatan hubungan antara loneliness dan parenting self-efficacy; (3) Independent sample t-test, untuk menguji signifikansi perbedaan skor rata-rata (mean) loneliness dan parenting self-efficacy yang hanya terdiri atas dua kelompok; (4) One-Way Analysis of Variance (ANOVA), untuk menguji signifikansi perbedaan skor rata-rata (mean) loneliness dan parenting self-efficacy yang terdiri lebih dari dua kelompok.

Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang akan dipaparkan adalah hasil korelasi antar variabel yang diteliti dan perbedaan rata-rata skor loneliness dan parenting self-efficacy berdasarkan data demografis.

(8)

Tabel 1. Hasil Korelasi antar Variabel yang Diteliti.

Variabel r Sig. (p) r2

Loneliness dan Parenting Self-Efficacy -.343 .19* .118

Dimensi Romantis dan Parenting Self-Efficacy -.251 .133 .063

Dimensi Keluarga dan Parenting Self-Efficacy -.327 .024* .107

Dimensi Social dan Parenting Self-Efficacy -.275 .050* .076

Dimensi Romantis dan Domain Kesehatan -.279 .127* .034

Signifikan pada L.o.S .05 (one-tailed)

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara loneliness dan parenting self-efficacy. Dengan demikian dapat diketahui bahwa semakin tinggi skor loneliness yang diperoleh akan semakin rendah skor parenting self-efficacy yang diperoleh, begitu pula sebaliknya. Dapat pula disimpulkan bahwa semakin negatif respon individu terhadap hilangnya dukungan sosial (social privisions) akan semakin rendah persepsi kemampuannya dalam menjalankan tugas parenting bagi anaknya yang berusia kanak madya. Selain itu, ditemukan pula nilai coefficent of determination (r2) sebesar .118, sehingga dapat interpretasikan bahwa sebanyak 11.8% variansi skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan melalui skor loneliness, sedangkan 88.2% variansi yang lain dapat dijelaskan melalui faktor kebetulan, eror, atau extraneous variable yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Terdapat dua dimensi loneliness yang berhubungan secara signifikan dengan parenting self-efficacy, yaitu dimensi keluarga dan sosial. Dengan demikian dapat diketahui bahwa semakin tinggi skor loneliness,dari dimensi keluarga dan sosial, yang diperoleh akan semakin rendah skor parenting self-efficacy yang diperoleh, begitu pula sebaliknya. Dalam kata lain juga dapat disimpulkan bahwa semakin negatif respon individu terhadap hilangnya hubungan keluarga dan sosial akan semakin rendah persepsi kemampuannya dalam menjalankan tugas parenting bagi anaknya yang berusia kanak madya.

Dibandingkan dengan dimensi sosial, dimensi keluargamemiliki hubungan yang lebih kuat dengan parenting self-efficacy. Ditemukan nilai coefficent of determination (r2) sebesar .107 untuk dimensi keluarga dan .076 untuk dimensi sosial. Dapat interpretasikan bahwa sebanyak 10.7% varians skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan melalui skor loneliness dari dimensi keluarga, kemudian 7.6% varians skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan melalui skor loneliness dari dimensi sosial.

Berdasarkan korelasi antara dimensi loneliness dan domain parenting self-efficacy, ditemukan hubungan yang signifikan antara dimensi romantis dan domain kesehatan. Diketahui bahwa semakin tinggi skor loneliness,dari dimensi romantis, yang diperoleh akan

(9)

semakin rendah skor parenting self-efficacy, dari domain kesehatan, yang diperoleh, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin negatif respon individu terhadap hilangnya hubungan romantis dengan pasangan akan semakin rendah persepsi kemampuannya untuk menjaga kesehatan anaknya yang berusia kanak madya. Ditemukan pula nilai coefficent of determination (r2) sebesar .078. Dapat interpretasikan bahwa sebanyak 7.8% varians skor parenting self-efficacy dari domain kesehatandapat dijelaskan melalui skor loneliness dari dimensi romantis.

Tabel 2. Perbandingan Skor Rata-Rata Loneliness Berdasarkan Data Demografis.

Data Demografis N Skor

Rata-Rata F p

Pengeluaran per Bulan < Rp 700 Ribu Rp 700 Ribu – Rp 2 Juta Rp 2 Juta – Rp 5 Juta Rp 5 Juta – Rp 7 Juta > Rp 7 Juta 2 9 11 9 6 2.68 2.14 2.45 2.01 2.59 3.458 .019*

Lama Menjadi Ibu Tunggal 6 bulan – 2 tahun 3 – 5 tahun 6 – 10 tahun > 10 tahun 16 11 8 2 2.20 2.37 2.31 2.77 1.200 .325

Signifikan pada L.o.S .05

Diketahui bahwa terdapat perbedaan skor rata-rata yang signifikan antara loneliness ibu tunggal akibat bercerai yang memiliki anak usia kanak madya berdasarkan pengeluaran per bulan. Dapat dikatakan bahwa keluarga ibu tunggal yang memiliki pengeluaran per bulan dititik ekstrem, sangat sedikit atau sangat banyak, memiliki respon yang lebih negatif terhadap hilangnya dukungan sosial (social provisions) dibandingkan dengan keluarga ibu tunggal yang memiliki pengeluaran di antaranya. Selain itu tidak terdapat perbedaan skor rata-rata loneliness yang signifikan berdasarkan lama menjadi ibu tunggal.

Tabel 3. Perbandingan Skor Rata-Rata Parenting Self-Efficacy Berdasarkan Data Demografis.

Data Demografis N Skor

Rata-Rata t p Status Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja 6 31 3.48 3.65 -2.75 .17*

(10)

Terdapat perbedaan yang signifikan antara parenting self-efficacy ibu tunggal akibat bercerai yang memiliki anak usia kanak madya yang bekerja dan tidak bekerja. Skor rata-rata parenting self-efficacy ibu bekerja (3.65) lebih tinggi dari pada skor rata-rata ibu tunggal tidak bekerja (3.48). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ibu tunggal bekerja memiliki persepsi kompetensi diri yang lebih baik untuk menjalankan tugas parenting terhadap anak usia kanak madya.

Pembahasan

Hubungan negatif yang terjadi antara loneliness dan parenting self-efficacy dapat dijelaskan melalui dua hal. Pertama, diketahui bahwa terdapat tiga hal yang sama-sama menjadi prediktor loneliness dan parenting self-efficacy, yaitu kepuasan pernikahan, dukungan sosial, dan stres. Kedua, loneliness dan parenting self-efficacy sama-sama memiliki dampak terhadap parenting, namun dengan arah yang berbeda.

Tiga hal yang sama-sama menjadi prediktor loneliness dan parenting self-efficacy, yaitu kepuasan pernikahan, dukungan sosial, dan stres, namun ketiganya memberikan dampak dengan arah yang berbeda terhadap loneliness dan parenting self-efficacy. Kepuasan pernikahan dan dukungan sosial yang rendah, dan stress yang tinggi dapat membuat ibu tunggal semakin memberikan respon negatif terhadap hilangnya hubungan romantis, keluarga, dan sosial. Di sisi lain, kepuasan pernikahan dan dukungan sosial yang rendah, dan stress yang tinggi dapat membuat ibu tunggal memiliki persepsi kompetensi dalam melakukan parenting yang semakin rendah.

Loneliness dan parenting self-efficacy sama-sama memiliki dampak terhadap parenting, namun dengan arah yang berbeda. Loneliness diketahui membuat ibu tunggal kesulitan dalam berkomunikasi dengan anaknya dan juga dalam mengekspresikan respon terhadap kondisi emosional anak. Kedua hal ini adalah kunci untuk melakukan parenting yang efektif terhadap anak usia kanak madya (Proctor, 1996). Dengan demikian diketahui bahwa, secara tidak langsung, loneliness dapat menghambat ibu tunggal dalam melaksanakan parenting yang efektif terhadap anak usia kanak madya. Sementara itu, parenting self-efficacy juga memberikan dampak terhadap parenting. Parenting self-efficacy diketahui sebagai prediktor kompetensi orang tua dalam melakukan parenting (Coleman & Karraker, 1997). Semakin tinggi parenting self-efficacy yang dimiliki oleh orang tua, akan semakin tinggi kemungkinan orang tua dalam melakukan parenting yang efektif terhadap anaknya. Melihat

(11)

kedua hal tersebut, dapat dipahami jika terdapat hubungan negatif antara loneliness dan parenting self-efficacy.

Penelitian ini menemukan bahwa hanya dimensi keluarga dan dimensi sosial memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan parenting self-efficacy. Diantara keluarga dan sosial, keluarga diketahui memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan parenting self-efficacy. Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat bahwa hubungan antara ibu dan anak termasuk dalam hubungan keluarga (Weiss, 1973, dalam DiTommaso & Spinner, 1997), sehingga hilangnya attachment dengan anak akan berhubungan dengan parenting self-efficacy ibu. Hubungan yang signifikan antara dimensi sosial dan parenting self-efficacy sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Goldstein, Diener, dan Mangelsdorf (1996, dalam DeGenova, 2008) yang menjelaskan bahwa dukungan sosial berhubungan dengan adaptasi orang tua terhadap transisi masa parenthood dan berhubungan dengan interaksi orang tua-anak yang positif. Interaksi orang tua-anak yang positif dapat didukung dengan parenting self-efficacy orang tua yang tinggi.

Selanjutnya ditemukan bahwa dimensi romantis tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan parenting self-efficacy ibu tunggal yang memiliki anak usia kanak madya. Meskipun penelitian yang dilakukan secara konsisten menemukan bahwa hilangnya pasangan berhubungan dengan loneliness (DeGenova, 2008), ternyata dalam penelitian ini, hal tersebut tidak berhubungan dengan persepsi ibu tunggal atas kemampuan untuk melakukan parenting. Hal ini dapat dijelaskan melalui pandangan ibu tunggal yang kurang mementingkan peran dan kehadiran seorang ayah dalam keluarga (DeGenova, 2008), sehingga ada atau tidaknya sosok ayah atau pasangan tidak memengaruhi persepsi ibu atas kemampuannya untuk melakukan parenting.

Selanjutnya, ditemukan bahwa dimensi romantis dan domain kesehatan memiliki hubungan negatif yang signifikan. Meskipun tidak terdapat hubungan antara dimensi romantis dan persepsi kemampuan ibu dalam melakukan tugas parenting secara general, ternyata ditemukan ada hubungan yang signifikan antara respon negatif terhadap hilangnya pasangan dan persepsi kemampuan ibu tunggal dalam memfasilitasi kesehatan anaknya. Hock (1984, dalam Buffardi & Erdwins, 1997) mengemukakan bahwa wanita lebih peduli terhadap pemeliharaan kesehatan anaknya. Disamping itu, melihat mayoritas partisipan adalah ibu bekerja dapat menjelaskan kurangnya waktu ibu untuk memperhatikan dan memelihara kesehatan anaknya, sehingga membutuhkan pihak lain untuk membantunya. Disinilah hilangnya peran pasangan akan terasa bagi ibu tunggal. Penjelasan ini juga sesuai dengan

(12)

penelitian yang dilakukan oleh Buffardi dan Erdwins (1997), bahwa kepuasan ibu dalam memelihara anaknya memiliki hubungan dengan konflik peran yang dimiliki.

Berdasarkan hasil pengolahan data hubungan antara loneliness dan parenting self-efficacy, diketahui bahwa 11.8% merupakan variansi skor parenting self-efficacy dapat dijelaskan melalui skor loneliness, sedangkan 88.2% variansi yang lain dapat dijelaskan melalui faktor kebetulan, eror, atau extraneous variable. Adapun hal yang mungkin menjadi extraneous variable meliputi parenting stress (Wells-Parker dkk., 1990, dalam Coleman & Karraker, 2000; Astriamitha, 2012), dukungan sosial (Leahy-Warren & McCarthy, 2011; Quamila, 2012), parenting satisfaction (Leahy-Warren & McCarthy, 2011; Small, 2010), dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan hal yang terbukti memiliki hubungan dengan parenting self-efficacy. Hubungan yang terjadi diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut; semakin tinggi parenting stress yang dialami oleh orang tua, akan semakin rendah parenting self-efficacy yang dimiliki oleh orang tua; semakin tinggi dukungan sosial yang diterima oleh orang tua, akan semakin tinggi pula parenting self-efficacy yang dimiliki oleh orang tua, dan; semakin tinggi parenting self-efficacy, akan semakin tinggi parenting satisfaction yang dimiliki oleh orang tua. Selanjutnya, pandangan loneliness sebagai trait (Hawkley & Cacioppo, 2010) juga dapat menjelaskan 88.2% variansi lainnya, sebab individu yang memiliki loneliness sebagai trait akan terus memberikan respon negatif meskipun dirinya tidak kehilangan hubungan romantis, keluarga, dan sosial.

Berdasarkan aspek demografis, ditemukan bahwa ibu yang memiliki pengeluaran per bulan kurang dari Rp.700.000 dan lebih dari Rp.7.000.000 memiliki skor rata-rata loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan nominal pengeluaran per bulan lainnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori perbandingan sosial. Kahneman dan Miller (1986, dalam Baron, Branscombe, & Byrne, 2009) menyatakan bahwa semua penilaian manusia berdasarkan kepada berbagai standar perbandingan. Hal tersebut menciptakan kecenderungan untuk melakukan perbandingan dengan orang-orang di atasnya, seperti rumah tangga dengan dua orang tua yang dapat memiliki kondisi finansial yang lebih baik. Perbandingan sosial yang dilakukan oleh ibu tunggal justru akan membuat mereka semakin menyadari kebutuhan dan hasrat sosial diri yang tidak terpenuhi, yang mana merupakan salah satu faktor untuk timbulnya loneliness pada individu. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Hawkley dkk (2008) yang menemukan bahwa tingkat sosioekonomi yang rendah memiliki hubungan dengan loneliness yang tinggi. Di sisi lain, ibu dengan pengeluaran per bulan lebih dari Rp.7.000.000 per bulan berada di titik ekstrem. Individu yang berada di titik ekstrem tentu akan merasa berbeda dengan yang lain, yang mana hal ini berhubungan dengan

(13)

loneliness (Quay, 1992). Selain itu, pengeluaran yang tinggi mengindikasikan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pekerjaannya. Hal tersebut dapat menyebabkan individu bekerja lebih banyak dan memiliki lebih sedikit waktu untuk membangun interaksi sosial sehingga dapat menyebabkan loneliness. Perbedaan jumlah partisipan dalam perbandingan ini juga dapat menjelaskan terjadinya perbedaan ini.

Selanjutnya, hasil tambahan penelitian juga berhasil mengidentifikasi adanya perbedaan skor rata-rata parenting self-efficacy pada ibu bekerja dan tidak bekerja. Diketahui bahwa ibu bekerja memiliki skor rata-rata parenting self-efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat pendidikan terakhir mayoritas partisipan yang termasuk tinggi, yaitu lulusan S1, yang mana merepresentasikan kemampuan kognitif partisipan. Coleman dan Karraker (2005) menyatakan bahwa taraf kesiapan kognitif dapat memengaruhi parenting self-efficacy yang dimiliki oleh individu. Semakin tinggi kesiapan kognitif partisipan, akan semakin tinggi parenting self-efficacy yang dimiliki. Selain itu, ibu bekerja juga memiliki interaksi sosial dan dukungan sosial lebih banyak dibandingkan dengan ibu tidak bekerja. Hal ini juga dapat meningkatkan parenting self-efficacy yang dimiliki oleh partisipan (Coleman & Karraker, 2005). Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Savitri (2011) yang menemukan bahwa parenting self-efficacy ibu bekerja yang memiliki anak kanak madya lebih tinggi dibandingkan parenting self-efficacy ibu tidak bekerja yang memiliki anak usia kanak madya.

Di sisi lain, tidak ditemukan perbedaan loneliness dan parenting self-efficacy berdasarkan tipe keluarga. Berdasarkan tipe keluarga partisipan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu nuclear family dan extended family. Jika dilihat berdasarkan jumlah anggota keluarga, extended family seharusnya dapat memberikan dukungan sosial yang lebih intens dan banyak, yang dapat meningkatkan parenting self-efficacy ibu tunggal, dibandingkan dengan nuclear family. Seperti hasil penelitian de Jong Gierveld, Dykstra, dan Schenk (2012) yang menyatakan bahwa individu yang tinggal dalam nuclear family memiliki loneliness yang lebih tinggi dibandingkan individu dalam extended family. Meskipun demikian, perbandingan skor rata-rata parenting self-efficacy menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara keduanya. Hal ini mungkin dikarenakan keterlibatan orang tua atau anggota keluarga lainnya dalam melakukan parenting tidak selalu dipersepsikan secara positif oleh ibu tunggal, sehingga menyebabkan parenting self-efficacy yang dimiliki justru rendah.

Selanjutnya, hasil tambahan penelitian juga mengidentifikasi tidak terdapat perbedaan skor rata-rata loneliness ibu tunggal berdasarkan lama menjadi ibu tunggal. Bertentangan dengan hasil tersebut, Weinraub dkk. (2002), menyatakan bahwa ibu yang menjadi ibu

(14)

tunggal kurang dari dua tahun memiliki loneliness yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan sebelum dua tahun ibu tunggal masih berada dalam bayang-bayang kehilangan pasangan dan seringkali teringat pada kegagalan atas ekspektasi dan harapan pernikahan. Meskipun demikian hasil pengolahan data tetap menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan skor rata-rata loneliness berdasarkan lama menjadi ibu tunggal yang signifikan. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui tahap penyesuaian yang telah dialami oleh ibu tunggal. Melihat mayoritas partisipan temasuk dalam tipe voluntary single dan memiliki pengeluaran per bulan dalam rentang menengah ke atas, terdapat kemungkinan partisipan telah berada di tahap psychological divorce. Olson dan DeFrain (2006) menjelaskan psychological divorce sebagai tahap dimana individu sudah beradaptasi dengan baik dan mulai dapat menata kembali kondisi dirinya.

Terdapat beberapa kekurangan dalam penelitian ini. Pertama, penelitian ini tidak mengidentifikasi dampak loneliness ibu tunggal terhadap anaknya. Hasil dari penelitian Junttila, Vauras, dan Laakkonen (2007) menyatakan bahwa dapat terjadi transmisi loneliness antar generasi, yang mana terdapat hubungan antara loneliness yang di alami oleh orang tua dan loneliness yang dialami oleh anaknya. Kemudian, tidak menutup kemungkinan loneliness yang dialami oleh orang tua juga dapat memberikan dampak lain terhadap kesejahteraan anak. Selanjutnya, peneliti tidak mengontrol jumlah anak dari partisipan. Hal ini menyebabkan mungkin ada perbedaan parenting yang dilakukan, mengingat pengalaman dengan anak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi parenting self-efficacy. Dengan kata lain, semakin banyak anak dari ibu tunggal, akan semakin berpengalaman dan persepsi atas kompetensinya akan lebih tinggi dibandingkan dengan ibu tunggal yang baru memiliki satu orang anak.

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil dan analisis penelitian, diketahui bahwa loneliness memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan parenting self-efficacy. Selain itu ditemukan bahwa dimensi keluarga dan sosial memiliki korelasi negatif dengan parenting self-efficacy, serta dimensi keluarga juga memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan domain kesehatan. Pengolahan data demografis juga menemukan bahwa terdapat perbedaan skor rata-rata loneliness berdasarkan pengeluaran per bulan ibu tunggal yang memiliki anak usia kanak madya, dan terdapat perbedaan skor rata-rata parenting self-efficacy berdasarkan status kerja ibu tunggal yang memiliki anak usia kanak madya.

(15)

Hal yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya meliputi penambahan jumlah sampel, mendapatkan informasi yang lebih komprehensif terkait loneliness dalam konteks parenting, dilakukan dalam penelitian kualitatif, dan mengidentifikasi pengaruh antara loneliness dan parenting self-efficacy. Mengacu pada hasil penelitian, ibu tunggal disarankan untuk semakin mendekatkan diri dengan keluarga, khususnya dengan anaknya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara membangun komunikasi ibu-anak yang baik. Selain itu, ibu tunggal juga disarankan untuk tergabung dalam komunitas. Di dalam komunitas, ibu tunggal mendapatkan relasi dan teman berbagi. Hal ini dapat menjadi salah satu sumber dukungan sosial yang membuat ibu tunggal tidak merasa terisolasi dan berbeda terkait dengan status mereka.

Daftar Referensi

Astriamitha. (2012). Hubungan antara parenting stress dan parenting self-efficacy pada ibu yang memiliki anak dengan tunagrahita taraf ringan dan sedang usia kanak-kanak madya. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Bandura, A. (1995). Self-Efficacy in Changing Societies. New York: Cambridge University Press.

Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2009). Social psychology (12th ed.). Boston: Pearson Allyn And Bacon.

Bogenschneider, K, Small, S. A., & Tsay, J. C. (1997). Child, parent, and contextual influences on perceived parenting competence among parents of adolescents. Journal of Marriageand the Family, 59, 345-362.

Bornstein, M. H. (2002). Parenting infants. Dalam M. H. Bornstein (Penyunt.), Handbook of parenting: Becoming a parent (2nd ed., hal 3-43). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Bornstein, M. H., & Cheah, C. S. L (2006). The place of “culture and parenting” in the ecological contextual perspectives and parents views of parenting. Dalam K. H. Rubin & O. B. Chung (Penyunt.), Parenting beliefs, behaviors, and parent-child relations: A cross-cultural perspective. New York: Psychology Press.

Brooks, J. B. (2011). The Process of Parenting (9th ed.). New York: McGraw-Hill.

Buffardi, L. C., & Erdwins, C. J. (1997). Child-care satisfaction: Linkages to work attitudes, interrole conflicts, and maternal separation anxiety. Journal of Occupational Health Psychology, 2, 84-96.

(16)

Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., & Berntson, G. G. (2003). The anatomy of loneliness. Current Directions in Psy- chological Science, 12, 71–74.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (1997). Self-efficacy and parenting quality: Findings and future applications. Developmental Review, 18, 47-85.

Coleman, P. K., & Karraker, K. H. (2000). Parenting self-efficacy among mother of school-age children: Conceptualization, measurement, and correlates. Family Relation, 49(1), 13-24.

Coleman, P.K & Karraker, H.K. (2005). Parenting self efficacy, competence in parenting, and possible links to young children‟s social and academic outcomes. In O.N. Saracho & Spodek, B. (Eds.). Contemporary perspectives on families, communities, and schools for young children. Diunduh pada 2013, April 14, pk. 13.58 dari http://books.google.co.id/books?id=lkv5J3BpbrMC&pg=PA88&dq=parenti

ng+self+efficacy&hl=id&sa=X&ei=kOLOT72cIoHQrQfl24SVDA&ved=0 CC8Q6AEwAA#v=onepage&q=parenting%20self%20efficacy&f=false.

Collins, W. A., Madsen, S. D., & Susman-Stillman, A. (2002). Parenting during middle childhood. Dalam M. H. Bornstein (Penyunt.), Handbook of parenting: Children and parenting (2nd ed.). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

De Jong Gierveld, J., Dykstra, P. A., & Schenk, N. (2012). Living arrangements, intergenerational support types and older adult loneliness in eastern and western europe. Demographic Research, 27, 167-200.

DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationship, marriages, and families (7nd ed.). New York: McGraw-Hill.

DiTommaso. E., & Spinner, B. (1993). The development and initial validation of a measure of social and emotional loneliness (SELSA). Personality and Individual Differences, 14. 127-134.

DiTommaso, E., & Spinner, B. (1997). Social and emotional loneliness: A re-examination of weiss typology of loneliness. Personality and Individual Differences, 22 (3), 417-427. Goodwin, R., Cook, O., & Yung, Y. (2001). Loneliness and life satisfaction among three

cultural groups. Personal Relationships, 8, 225-230.

Hawkley, L. C., & Cacioppo, J. T. (2010). Loneliness matters: A theoretical and empirical review of consequences mechanism. Annals of Behavioral Medicine, 40 (2), 218-227. Hawkley, L. C., Hughes, M. E., Waite, L. J., Masi, C. M., Thisted, R. A., & Cacioppo, J. T.

(17)

loneliness: The Chicago health, aging, and social relations study. Journal of Gerontology, Social Sciences, 63, 375–384.

Jackson, A. P. (2000). Maternal self-efficacy and children’s influence on stress and parenting among single black mothers in poverty. Journal of Family Issues, 21, 3-16.

Jones, T. L., & Prinz, R. J. (2005). Potential roles of parental self-efficacy in parent and child adjustment: A review. Clinical Psychology Review, 25, 341-363.

Junttila, N., Vauras, M., & Laakkonen, E. (2007). The role of parenting self-efficacy in children’s social and academic behavior. European Journal of Psychology of Education, 22, 41-61.

Karraker, K. H., & Coleman, P. K. (2005). The effects of child characteristic on parenting. Dalam T. Luster & L. Okagaki (Penyunt.), Parenting: An ecological perspective (2nd ed., hal. 147-176). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Leahy-Warren, P., & McCarthy, G. (2011). Maternal parental self-efficacy in the postpartum period. Midwifery, 27, 802-810.

Luster, T., & Okagaki, L. (2005). Parenting: An ecological perspective (2nd ed). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Martin, C. A., & Colbert, K. K. (1997). Parenting: Parent and Child. New York: McGraw-Hill.

Merrifield, K. A., & Gamble, W. C. (2012). Associations among marital qualities, supportive and undermining coparenting. . Journal of Family Issues, 34 (4), 510-533.

Olson, D. H., & DeFrain, J. (2006). Marriages and families: Intimacy, diversity, and strengths (5th ed.). New York: McGraw-Hill.

Pallant, J. (2011). Spss survival manual: A step by step guide to data analysis using spss (4th ed.). New South Wales: Allen & Unwin.

Peplau, L. A., & Perlman, D. (1982). Perspectives on Loneliness. Dalam L. A Peplau & D. Perlman (Penyunt.), Loneliness: A sourcebook of current theory, research, and therapy (hal. 1-18). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Pierce, T., Boivin, M., Franette, E., Forget-Dubois, N., Dionne, G., Tremblay, R. E. (2010). Maternal self-efficacy and hostile-reactive parenting from infancy to toodlerhood. Infant Behavior & Development, 33, 149-158.

Pinderhughes, E. E., Dodge, K. A., Bates, J. E., Pettit, G. S., & Zelli, A. (2000). Discipline responses: Influences of parents’ socioeconomic status, ethnicity, beliefs about parenting, stress, and cognitive-emotional processes. Journal of Family Psychology, 14 (3), 380-400.

(18)

Proctor, S. E. (1996). Loneliness and childbearing in adolescence. Proquest Dissertations and Theses. San Francisco: University of California.

Putra, E. P. (2012, Januari 24). Angka perceraian pasangan indonesia naik drastis 70 persen.

Diunduh pada 2012, Oktober 3, pk. 16.52 dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen.

Quamila, N. (2012). Hubungan antara dukungan sosial dan parenting self-efficacy pada ibu yang bekerja dan memiliki anak usia kanak-kanak madya. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Quay, L. C. (1992). Personal and family effects on loneliness. Journal of Applied Developmental Psychology, 13, 97-110.

Russell, D. W. (1996). UCLA Loneliness Scale (Version 3): reliability, validity, and factor structure. Journal of Personality Assessment, 66. 20-40.

Russell, D., Peplau, L. A., & Cutrona, C. E. (1980). The Revised UCLA Loneliness Scale: concurrent and discriminant validity evidence. Journal of Personality and Social Psychology, 28, 472-480.

Salimi, A (2011). Social-emotional loneliness and life satisfaction. Social and Behavioral Sciences, 29, 292-295.

Savitri, S. (2011). Perbedaan parenting self-efficacy pada ibu bekerja dan ibu tidak bekerja yang memiliki anak usia kanak madya. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Small, R. P. (2010). Comparison of parental self-efficacy, parenting satisfaction, and other factors between single mothers with and without children with developmental disabilities. Disertasi. Detroit: Wayne State University.

Swami, V., Chamorro-Premuzic, T., Sinniah, D., Maniam, T., Kannan, K., Stanistreet, D., & Furnham, A. (2007). General health mediates the relationship between loneliness, life satisfaction and depression. Social psychiatry and psychiatric epidemiology ., 42,(2),. 2, 161-166.

http://www.bkkbn.go.id/arsip/ diunduh pada 16 Maret 2013, pk. 16.30.

http://www.gatra.com/2002-07-04/artikel.php?id=18719 diunduh pada 3 Oktober 2012, pk. 16.40.

http://www.pta-jakarta.go.id/perkara/statistik-perkara-2011.html diunduh pada 10 Maret 2013, pk. 11.14.

Gambar

Tabel 1. Hasil Korelasi antar Variabel yang Diteliti.
Tabel 3. Perbandingan Skor Rata-Rata Parenting Self-Efficacy Berdasarkan Data Demografis

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar chart 4.55 dibawah ini, terlihat pada topologi jaringan yang kedua atau yang menggunakan Honeypot dan topologi yang ke tiga dengan menggunakan Load Balancer,

Agar Destinasi Wisata Taman Tirtasari Sonsang, dapat menjadi solusi bagi pengembangan ekonomi bagi masyarakat setempat, oleh pemerintah setempat dalam hal ini Wali

Hasil penelitian terhadap kadar protein pada tape singkong dengan penambahan sari buah pepaya dan dosis ragi yang berbeda, menunjukkan bahwa ada perbedaan kadar

Pada tahap ini yang dilakukan adalah melakukan implementasi dari desain protokol kriptografi untuk mengamankan proses kirim terima pesan antara user aplikasi Secure Chat,

Mengidenti- fikasi karakteristik urban compactness Kota Denpasar Jumlah penduduk (Jiwa) Luas lahan terbangun (ha) Luas lahan permukiman (ha) Luas ruang terbuka hijau (ha)

Dari hasil uji hipotesis kelima untuk variabel artinya Due Professional care memiliki nilai t hitung sebesar 3,156 &gt; t tabel (2,004) dan nilai signifikan sebesar 0,003 &lt;

Kerja (Pokja) Pengadaan Barang/ Jasa Konstruksi Bidang Cipta Karya dan Pengairan Kabupaten Padang Lawas Utara, telah melakukan Penjelasan (Aanwijzing) Dokumen di website