• Tidak ada hasil yang ditemukan

MERAH ANGKAK. Angkak sebagai Pewarna

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MERAH ANGKAK. Angkak sebagai Pewarna"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MERAH ANGKAK

Angkak merupakan beras yang difermentasi dengan menggunakan ragi Monascus

spp. Sebutan untuk angkak

berbeda-beda, yaitu

masyarakat Cina menyebutnya Ang-Khak, Hong Qu, atau Koji; di Jepang disebut Ang-Khak, Beni, Koji, atau Red Koji.[10]

Sejarah mencatat, angkak berasal dari negeri tirai bambu, Cina. Awalnya angkak dikenal sebagai salah satu bahan obat-obatan Cina. Angkak dipercaya dapat memperlancar pencernaan dan membantu dalam regenerasi sel darah merah. Baru pada tahun 1590, Li Shih-Chun menyebutkan di sebuah buku kesehatan Cina bahwa angkak selain sebagai obat juga dapat berfungsi sebagai pewarna.[10]

Angkak sebagai Pewarna

Penggunaan angkak sebagai pewarna telah banyak diaplikasikan khususnya di wilayah Asia. Angkak bahkan telah menjadi komoditi ekspor Cina ke negara-negara di bagian timur Asia. Angkak yang diekspor berbentuk cake atau serbuk. Di Cina sendiri angkak digunakan sebagai pewarna keju dan minuman Cina yang dikenal sebagai anchu. Di Filipina, selain digunakan pada

©SEAFAST

Center

(2)

ikan asin, dan minuman beralkohol (somsu). Pigmen angkak di Jepang juga digunakan secara luas. Mereka sering menggunakan pigmen kuning sebagai pewarna produk confectionary dan pigmen merah pada wine.[11]

Pada produk daging, pigmen merah angkak dapat digunakan sebagai pengganti nitrat atau nitrit[12,13,14]. Pattanagul (2002) meneliti penggunaan angkak sebagai pewarna merah pada produk sosis. Dari penelitiannya diketahui bahwa kadar optimum angkak yang digunakan adalah 1,6% (w/w).[15] Shehata et al. (1998) menyatakan penggunaan angkak bersama dengan nitrit diketahui bersinergi dalam meningkatkan kualitas warna sosis. Lestari et al. (1997) lebih lanjut menunjukkan bahwa perebusan daging selama 30 menit pada temperatur 100 oC tidak mempengaruhi intensitas warna daging yang telah diberi angkak. Untuk daging yang dimasak

dengan menggunakan microwave, lama pemasakan

mempengaruhi intensitas warna akibat terjadinya reaksi Maillard. Selain itu untuk meningkatkan kestabilan pigmen, daging dapat dikemas dalam kondisi vakum.[17]

Mikroba pada Angkak

Angkak dibuat dari beras yang difermentasi dengan ragi dari genus Monascus. Ragi yang digunakan pada proses pembuatan angkak ini merupakan ragi berwarna merah, sehingga biasa juga disebut sebagai ‘ragi merah’. Dari sekitar dua milenia yang lalu, ragi tersebut telah digunakan di wilayah Asia Timur untuk membuat makanan dan minuman, mewarnai makanan, dan untuk membuat produk-produk kesehatan.[10]

©SEAFAST

Center

(3)

Monascus spp. merupakan bagian dari kelas Ascomycetes dan suku Monascaceae. Genus Monascus dapat dibagi menjadi empat spesies, yaitu M. pilosus, M. purpureus, M. ruber, dan M. froridanus.[18] Nama umum yang biasa digunakan untuk ragi dari genus ini adalah red yeast rice, red rice, angkak, red leaven,

benikoji (Jepang), hung-chu, hong qu, zhitai (Cina), rotschimmelreis

(Eropa), red mould (Amerika).

Ragi Monascus dapat mengonversi pati menjadi beberapa senyawa metabolit, diantaranya alkohol, antibiotik, antihipertensi, enzim, asam lemak, flavor, flocculant, keton, asam-asam organik, vitamin, dan pigmen.[19] Produksi pigmen oleh Monascus

dipengaruhi oleh tipe substrat yang digunakan dan kondisi selama produksi angkak seperti pH, temperatur, dan kadar air.[20]

Monascus spp. dapat berkembang pada temperatur 15-18 oC (minimum) hingga 45 oC (maksimum) pada kondisi pH sekitar 2,5-8 dengan pH optimum 4,0-7,0. [21,22] Selain itu, penambahan 1-10% bahan-bahan sumber karbon (glukosa, maltosa, atau etanol) dan 0,1-0,5% sumber nitrogen (pepton dan amonium nitrat) pada substrat, dapat meningkatkan kemampuan inokulum dalam memproduksi pigmen.

Karakteristik Pigmen Angkak

Telah disebutkan sebelumnya bahwa selama proses fermentasi, terbentuk sejumlah pigmen warna pada angkak. Pigmen yang diproduksi selama fermentasi ini sekurang-kurangnya ada enam jenis, yaitu 2 jenis pigmen kuning: monascin (C21H26O5)

dan ankaflavin (C23H30O5), 2 jenis pigmen oranye: rubropunctatin

(C H O) dan monascorubrin (C H O), dan 2 jenis pigmen

©SEAFAST

Center

(4)

merah: rubropunctamin (C21H23NO4) dan monascorubramin

(C23H27NO4).[23,24] Rumus struktur untuk ke enam jenis pigmen

tersebut disajikan pada Gambar 4. Pendeteksian pigmen angkak dapat dilakukan secara spektrofotometri. Pigmen kuning, oranye, dan merah dapat dideteksi oleh spektrofotometer secara berturut-turut pada panjang gelombang 400, 470, dan 500 nm.[25]

Pigmen-pigmen pada angkak cukup stabil selama proses autoklaf pada kisaran pH yang luas walau lebih disukai pada pH basa atau netral. Pigmen ini juga stabil selama penyimpanan pada temperatur dingin. Berdasarkan hasil penelitian Fabre et al. (1993), warna pada saus dan pasta yang diwarnai dengan pigmen merah

Monascus masih bertahan 92-98 % setelah 3 bulan penyimpanan di temperatur 4 oC. Namun demikian, pigmen ini tidak stabil jika terpapar cahaya (warna yang tersisa hanya 20 % setelah 50 hari) dan panas (55 % warna hilang akibat pemanasan selama 2 jam pada temperatur 100 oC).[14]

©SEAFAST

Center

(5)

Gambar 4. Rumus struktur pigmen angkak.[26,20]

Hasil penelitian Carvalho et al. (2005) menunjukkan efek pH dan jenis larutan terhadap kestabilan pigmen angkak. Pigmen yang dilarutkan dalam air pada kisaran pH 4-8 dan diinkubasi pada temperatur yang sama mengalami degradasi yang bervariasi. Sampel dengan pH yang lebih rendah mengalami degradasi warna yang lebih cepat dibandingkan sampel dengan pH yang lebih tinggi. Efek pH terhadap degradasi pigmen ini tidak tampak untuk sampel dengan pelarut etanol. Hal ini kemungkinan karena asam meningkatkan interaksi air dengan pigmen. Interaksi ini dapat berupa pemutusan ikatan ester pada rubropunctamin atau monascorubramin. Pada sampel dengan pelarut etanol, keberadaan air sangat sedikit atau tidak ada sehingga pH larutan

©SEAFAST

Center

(6)

disimpulkan bahwa pigmen angkak tidak cocok diaplikasikan pada makanan asam berair seperti susu fermentasi. Sebaliknya, pigmen angkak cocok digunakan pada pangan kering atau minuman berbasis alkohol seperti wine.[20]

Metode Pembuatan Angkak

Cara membuat angkak sangat sederhana. Beras yang telah disosoh dan air dicampur dengan perbandingan 1:1 di dalam plastik tahan panas. Campuran ini kemudian disterilkan dengan panas pada temperatur 121 oC selama 15 menit. Setelah campuran dingin, secara aseptis dilakukan inokulasi kultur Monascus yang telah dikultivasi sebelumnya. Kultivasi Monascus spp. dapat dilakukan pada media potatodextrose agar, Sabouraud’s agar, atau Czapek’s solution agar selama 10 hari pada kisaran temperatur 29 oC hingga 32 oC. Diameter koloni, warna, dan bentuk miselium sangat bergantung pada media kultur, jenis spesies ragi, dan kondisi kultivasi.[11] Setelah beras diinokulasi dengan kultur, campuran tersebut diinkubasi selama 14 hari pada temperatur ruang. Setelah masa inkubasi tercapai, beras dikeringkan. Pengeringan sebaiknya dilakukan pada temperatur yang rendah agar zat warna dan komponen mikro lainnya tidak rusak. Pengeringan ini dapat dilakukan pada temperatur 55 oC selama 3 hari. Setelah kering, angkak dapat digiling untuk mendapatkan bubuk angkak yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pewarna makanan.[15]

Selama berabad-abad lalu, hanya beras yang digunakan sebagai substrat dalam pembuatan angkak. Hampir semua varietas beras dapat dijadikan angkak, kecuali jenis beras dengan kadar

©SEAFAST

Center

(7)

amilopektin tinggi seperti ketan. Hal ini karena amilopektin membuat angkak menjadi lengket dan membentuk gumpalan-gumpalan.[15] Seiiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, saat ini telah diketahui bahwa angkak tidak hanya dapat dibuat dari beras. Berbagai penelitian dilakukan untuk mengetahui potensi serealia selain beras sebagai substrat angkak, seperti

harver atau oat, gandum, jelai atau barley, dan jagung. Meskipun sama-sama dari jenis serealia, masing-masing sereal tersebut diketahui membutuhkan kondisi produksi yang berbeda dari beras dikarenakan kandungan nutrisi setiap jenis sereal berbeda-beda.[19]

Pada pembuatan angkak dari jagung, pertama-tama jagung dihancurkan secara kasar dan dipisahkan dari kulitnya. Kulit jagung harus dihilangkan sebelum proses fermentasi karena miselia

Monascus tidak mampu menembus kulit jagung. Setelah kulit jagung dihilangkan, biji jagung tersebut direndam di dalam air atau di dalam larutan asam asetat selama 4 hari pada temperatur ruang. Biji jagung yang telah direndam ini kemudian disterilisasi selama 30 menit pada temperatur 121 oC. Jagung steril lalu didinginkan hingga mencapai temperatur 32 oC sebelum diinokulasi dengan inokulum. Setelah diinokulasi dengan kultur

monascus, inkubasi dilakukan selama 7-10 hari pada temperatur 32 oC. Setelah masa inkubasi selesai, angkak jagung dikeringkan seperti halnya angkak beras dan digiling untuk mendapatkan tepung angkak jagung. Di Indonesia, angkak jagung memiliki potensi untuk dikembangkan mengingat negara ini memproduksi banyak tanaman jagung.

Selain dari serealia, Mitrajanty (1994) memproduksi pigmen angkak dengan menggunakan limbah cair tapioka. Limbah cair ini

©SEAFAST

Center

(8)

inokulasi, campuran kemudian diinkubasi selama 9 hari pada temperatur 30 oC. Pigmen angkak yang dihasilkan bersifat sedikit larut dalam air dan kurang stabil terhadap panas, sinar matahari, oksidator, dan reduktor. Pigmen dapat lebih stabil dan mudah larut air jika dimodifikasi dengan asam p-amino benzoat.[27]

Toksikologi Angkak

Dari segi keamanan, tidak pernah ada laporan gangguan kesehatan akibat mengonsumsi angkak selama berabad-abad lamanya. Namun demikian, penemuan terbaru menunjukkan bahwa angkak dapat terkontaminasi oleh suatu toksin bernama citrinin. Citrinin awalnya dikenal sebagai mikotoksin monascidin A yang diduga dapat merusak ginjal dan hati.[28] Tidak terlihatnya efek toksin ini terhadap kesehatan manusia akibat mengonsumsi angkak kemungkinan karena kadar angkak yang dikonsumsi sangat sedikit. Rata-rata angkak mengandung citrinin sebanyak 0,2-1,71 μg/g.[18] Regulasi di Jepang telah menetapkan kandungan maksimum citrinin di angkak adalah 200 ng/g. Sedangkan kadar maksimum citrinin pada angkak di Cina dan Eropa masih menjadi perdebatan.[29]

©SEAFAST

Center

(9)

Gambar 5. Rumus struktur citrinin.[20]

Rumus struktur citrinin disajikan pada Gambar 5. Citrinin dengan berat molekul 250,25 g/mol bersifat sangat asam, tidak larut di dalam air namun larut pada alkohol panas, dioksan, dan pelarut non-polar lainnya. Struktur citrinin yang memiliki ikatan rangkap membuatnya dapat menyerap cahaya pada rentang panjang gelombang sinar tampak. Warna citrinin bervariasi mulai dari kuning lemon pada pH 4,6 hingga merah ceri pada pH 9,9 dengan absorbansi maksimum pada sinar UV yaitu 250-331 nm.[20] Citrinin terbentuk selama proses fermentasi oleh Monascus

spp. Namun demikian tidak semua spesies ragi ini dapat memproduksinya. Jumlah citrinin yang terbentuk selama proses fermentasi angkak dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti sumber karbon dan nitrogen, jenis Monascus spp., asam amino, Aw, dan temperatur. Sebagai contoh, untuk jenis ragi yang sama, yaitu M. ruber, di media dengan sumber nitrogen metionin kadar citrinin 0 mg/L, sedangkan medium yang menggunakan amonium nitrat sebagai sumber nitrogen menyebabkan terbentuknya 100 mg/L citrinin.[30] Faktor-faktor yang mempengaruhi citrinin

©SEAFAST

Center

(10)

tersebut juga mempengaruhi produksi mevinolin dan enzim. Mevinolin merupakan salah satu hasil metabolit khamir yang diketahui dapat berperan dalam menurunkan sintetis kolesterol di dalam tubuh. Oleh karena itu, produksi angkak dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut dapat menghasilkan angkak dengan kualitas tinggi, yaitu mengandung citrinin dalam kadar rendah dan mevinolin serta pigmen dalam kadar tinggi.

Penggunaan spesies mutan dari Monascus diketahui juga dapat menurunkan jumlah mikotoksin dan meningkatkan produksi mevinolin dan pigmen pada angkak. Chen dan Hu (2005) telah mengembangkan spesies mutan yang bernama Monascus spp. M 12-69. Spesies ini didapat dengan memperlakukan spora Monascus

dengan dimetil sulfat, iradiasi UV, dan iradiasi gama 60Co. Dengan

menggunakan mutan ini, angkak yang diproduksi mengandung mevinolin 2,52 mg/g dan citrinin 0,13 ng/g.[29]

©SEAFAST

Center

Gambar

Gambar 4. Rumus struktur pigmen angkak. [26,20]
Gambar 5. Rumus struktur citrinin. [20]

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa temperatur perebusan yang optimum yaitu 95 0 C serta waktu perebusan yang optimum 40 menit, dan dari kedua jenis warna kulit buah pepaya

Namun juga dengan penambahan konsentrasi maltodekstrin dapat mempengaruhi penurunan intensitas warna, daya larut, waktu pembasahan, dan kadar klorofil juga semakin

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya pengaruh temperatur dan rasio F:S terhadap rendemen, yield , dan intensitas warna merah dalam ekstraksi

Tabel 7 menunjukkan bahwa buah naga yang diberi lapisan emulsi lilin pada hari ke-10 memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap penilaian warna daging buah pada perlakuan diberi

Daging giling dan potong yang diberi penambahan gula dan garam NaCl ini masih memiliki intensitas warna merah yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Tabel 5 menunjukkan bahwa buah naga yang diberi lapisan emulsi lilin pada hari ke-10 memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap penilaian warna daging buah pada

Metode penelitian yang digunakan metode eksperimen dengan perlakuan perendaman marinasi daging ikan tuna dalam larutan angkak dan bumbu selama 0, 6, 12, 24 jam, dan dilanjutkan dengan

KESIMPULAN Kandungan HCN dari daging biji karet yang diberi perlakuan dengan perendaman 24 jam dan perebusan selama 90 menit paling rendah dibandingkan dengan yang tanpa perlakuan,