i Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh : Shiella Saraswati
079114119
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Just because t hey're not on your road, doesn't mean t hey've
got t en lost ." (D alai L ama)
"You can have it all. You just can't have it all at once." (Oprah Winfrey)
Hadirat-Mu yang menguatkan aku di dalam pengharapan, membuat
hidupku menjadi indah.
Skripsi ini kupersembahkan untuk :
Papa, Mama, dan adikku tercinta
sebagai ungkapan cinta dan terima kasihku atas
kasih dan
vi
HUBUNGAN ANTARA INTELIGENSI, DUKUNGAN SOSIAL ORANG TUA, DAN KONSEP DIRI TERHADAP PRESTASI BELAJAR ANAK
Shiella Saraswati ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara intelegensi, dukungan sosial orang tua, dan konsep diri terhadap prestasi belajar anak. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 133 siswa/i kelas 2 SD. Untuk Skala Dukungan Sosial uji coba reliabilitas menunjukan koefisien korelasi sebesar 0.725 dan untuk Skala Konsep Diri sebesar 0.803. Taraf signifikansi yang diperoleh (dengan p < 0.05) dari variabel intelegensi sebesar 0.000 sehingga hipotesis intelegensi berkorelasi positif dengan prestasi belajar diterima. Untuk dukungan sosial diperoleh taraf signifikansi sebesar 0.177 sehingga hipotesis dukungan sosial berkorelasi positif dengan prestasi belajar ditolak. Sedangkan untuk konsep diri diperoleh taraf signifikansi sebesar 0.463 sehingga hipotesis konsep diri berkorelasi positif dengan prestasi belajar ditolak.
vii
CORRELATION BETWEEN INTELLIGENCE, PARENTS SOCIAL SUPPORT, AND SELF-CONCEPT TOWARD CHILDREN’S LEARNING
ACHIEVEMENT
Shiella Saraswati
ABSTRACT
The purpose of this research is to investigate whether there is a correlation between intelligence, parents social support, and self-concept toward children’s learning achievement. Subjects of the reasearch were 133 2nd grade primary student. The reliability coefficient for parents social support scale was 0.725 and Self-concept scale was 0.803. The significance level for intelligence is 0.000 ( p < 0.05), it means that the hypothesis of a positive correlation between intelligence and children’s learning achievement is accepted. As for parents social support, the level of significance is 0.177, it means the hypothesis of a positive correlation between parents social support and children’s learning achievement is denied. The significance level of self-concept is 0.463 it means the hypothesis of a positive correlation between self-concept and children’s learning achievement was denied.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih, karena
berkat dan kuasa serta kasih-Nya skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi di
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Proses pembuatan skripsi ini, dari awal hingga akhir, telah melibatkan banyak
pribadi yang dengan tangan terbuka memberikan bantuannya. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ungkapan rasa terima kasih yang tulus
kepada :
1. Allah Bapa, Tuhan Yesus ,dan malaikat pelindungku yang selalu menjagaku
setiap hari. Terima kasih karna kasih dan segala berkat-Nya dalam hidupku.
2. Mommy dan Daddy untuk semua perhatian, omelan, semangat dan segala
dukungan yang diberikan, love u both. ^.^
3. Dede tercinta, buat semua dukungannya, dan usahanya tuk selalu membuatku
tersenyum saat mengerjakan skripsi ini...
4. Seluruh keluarga besarku yang tersebar dimana-mana dan telah mendukungku
untuk terus maju dan menyelesaikan skripsi ini..
5. PS. Roy Kartiko,, makasih buat doa dan semangatnya om. dan terima kasih buat
firmannya yang menguatkan.
6. MK Elsadai II Shekina II makasih buat dukungan doanya guys,, Gbu all
7. Temen-temen tambourin, makasih udah ngertiin aku waktu aku tidak bisa ikut
x
8. My beib, makasih udah menjadi orang yang sabar banget saat aku sensi karena
skripsi ini, perhatiannya, dan semua dukungannya buat aku.. >,<
9. Daniel, untuk jurnal-jurnal yang amat berguna buat penelitian ini.
10. Dr.Ch.Siwi Handayani, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma, yang telah memberikan ijin penelitian untuk skripsi ini.
11. Agung Santoso,S.Psi.,M.A., selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing, mengarahkan, menyediakan waktu dan banyak memberi masukan
berharga dari awal hingga akhir pembuatan skripsi ini.
12. A.Tanti Arini, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, yang telah
memotivasi agar aku tetap focus dalam mengerjakan skripsi
13. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Mas Muji, Mas
Gandung, dan Pak Gie, yang telah membantu kelancaran selama penulis
menjalankan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
14. Flori, akhirnya selesai juga skripsi ini, makasih buat bantuan,saran, dan
kerjasamanya ya.. buat Misha teman yang gokil abis ( pengalaman “gila” kita
di Psycompilation Maranatha tak kan pernah kulupakan... Im glad to know u
guys ^-*)
15. Kristin, makasih buat cerita-cerita dan dukungannya ya say.. Semua
Teman-teman angkatan 2007 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, makasih
ya untuk semua yang telah kita lalui bersama.
16. Skolastika ,Luci, dan Ebi yang sudah menjadi asisten yang sigap dalam
xi
17. Kepala sekolah, guru, dan murid-murid SD Kanisius Demangan, Sorowajan,
dan Condong Catur yang sudah bersedia membantu proses pengambilan data
penelitian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
dengan rendah hati penulis terbuka menerima kritik dan saran demi kesempurnaan
skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membacanya. Terima
kasih.
Yogyakarta, 19 Mei 2011
xii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v
ABSTRAK... vi
2. Perkembangan pada akhir masa anak-anak... 7
a. Perkembangan anak menurut Hurlock... 8
b. Perkembangan anak menurut Santrock... 8
c. Perkembangan anak menurut Erikson... 9
B. Prestasi Belajar... 10
1. Pengertian prestasi belajar... 10
2. Pengukuran prestasi belajar... 11
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar... 11
xiii
b. Faktor eksternal siswa... 14
C. Inteligensi... 15
1. Pengertian Inteligensi... 18
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi... 18
3. Pengukuran Inteligensi... 27
D. Dukungan Sosial... 20
5. Pembentukan Konsep diri... 31
6. Konsep Diri ideal... 33
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri... 34
xiv
G. Analisis Data... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 50
A. Persiapan penelitian... 50
1. Izin penelitian... 50
2. Uji coba alat ukur... 50
B. Pelaksanaan penelitian... 51
C. Deskripsi data penelitian... 53
D. Hasil Penelitian... 54
1. Uji Asumsi... 54
a. Uji Asumsi normalitas residu... 54
b. Uji Linearitas... 55
c. Uji Homogenitas residu... 56
2. Uji Hipotesis... 56
E. Pembahasan... 57
F. Kelemahan Penelitian... 60
BAB V PENUTUP... 61
A. Kesimpulan... 61
B. Saran... 61
DAFTAR PUSTAKA... 63
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1 Bentuk akhir skala dukungan sosial... 46
Tabel 2 Bentuk akhir skala konsep diri... 47
Tabel 3 Deskripsi data penelitian... 53
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pendidikan memegang peranan yang penting dalam upaya meningkatkan
sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan di harapkan dapat
mengembangkan kemampuan masyarakat yang akhirnya dapat meningkatkan
kualitas sumber daya bangsa. Peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan
dengan perbaikan, perubahan, dan pembaharuan faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pendidikan.
Pendidikan sangat erat kaitannya dengan peserta didik atau siswa. Kualitas
seorang siswa bisa dilihat dari hasil akademis yang diperolehnya. Prestasi
belajar merupakan hasil yang diperoleh atau dicapai siswa setelah mengikuti
proses belajar disekolah melalui tes/evaluasi yang diwujudkan dalam bentuk
angka atau huruf. Dengan mengetahui prestasi belajar anak, orangtua maupun
guru dapat mengarahkan anak untuk terus mengasah potensi yang ada dalam
dirinya sehingga mereka dapat menjadi orang yang berhasil.
Prestasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang dapat digolongkan
menjadi tiga, yakni faktor pendekatan belajar, eksternal, dan internal. (Syah,
2004). Faktor pendekatan belajar, yakni jenis upaya belajar siswa yang
meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan
pembelajaran materi-materi pelajaran. Dalam pendekatan ini guru memegang
peranan penting untuk memotivasi siswa sehingga siswa merasa mampu untuk
Faktor eksternal merupakan faktor-faktor yang berada di luar diri siswa.
Lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor eksternal, antara lain
kompetensi guru, lingkungan sosial, faktor media massa, dan aktivitas anak di
masyarakat. Selain itu dukungan orang tua, turut menentukan prestasi belajar
siswa. Dukungan orang tua meliputi perhatian orang tua, keadaan ekonomi
orang tua, dan hubungan antara anggota keluarga. Penelitian tentang
dukungan sosial dan prestasi belajar pernah dilakukan oleh Widyawati (2005)
Ia berhasil membuktikan adanya hubungan positif antara dukungan sosial dan
prestasi belajar. Anak yang mendapatkan dukungan material yang cukup dari
orangtua akan menjalankan kegiatan belajarnya dengan baik karena pemenuhan
kebutuhan yang membantu kelancaran proses belajar mengajar. Begitupun
dengan pemenuhan kebutuhan emosional dalam bentuk cinta, perhatian,
penghargaan, dengan ini anak menjadi lebih termotivasi lagi untuk mengasah
potensi yang ada pada dirinya yang akan berdampak pada prestasi belajarnya.
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berada di dalam diri siswa, baik
fisiologis maupun psikologis; seperti konsep diri, termasuk di dalamnya self
image, kesadaran diri , motivasi. Semua hal tersebut memerlukan harmonisasi
dalam proses pembelajaran yang akan mendukung hasil belajar
(Wahyuni,2007). Salah satu faktor internal yang penting bagi prestasi belajar
adalah intelegensi. Menurut David Weschler (1982) intelegensi adalah
kemampuan untuk bertindak secara terarah,berpikir secara rasional, dan
menghadapi lingkungan secara efektif. Karena itu makin tinggi intelegensi
(2006) mengatakan terdapat kontribusi positif antara intelegensi dan hasil
belajar siswa.
Faktor internal lain yang mempengaruhi prestasi belajar adalah konsep diri.
Konsep diri adalah semua persepsi, kepercayaan, perilaku dan nilai-nilai yang
digunakan diri seseorang untuk mendeskripsikan dirinya sendiri. (Perkins,
1958). Konsep diri seorang anak berubah seiring dengan cara pandang dirinya
pada suatu periode waktu konsep diri mulai berkembang sejak masa bayi dan
akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan individu itu sendiri.
Menurut Hurlock (1994) pembentukan konsep diri dalam setiap orang
berlangsung dalam beberapa tahap.
Seseorang dengan konsep diri positif akan mempunyai kemampuan
interpersonal dan intrapersonal yang baik pula, yang memungkinkan untuk
melakukan evaluasi secara obyektif terhadap dirinya sendiri. Selain itu konsep
diri merupakan kunci untuk membangun komunikasi terbuka antara guru dan
murid sehingga menciptakan partisipasi aktif antara keduanya dalam kegiatan
belajar mengajar. Konsep diri positif akan meminimalkan munculnya
kesulitan belajar dalam diri siswa. Berkurangnya kesulitan belajar inilah yang
pada akhirnya memungkinkan siswa untuk mendapatkan penguasaan akademik
yang lebih baik.
Penelitian konsep diri yang berhubungan dengan prestasi belajar pernah
dilakukan oleh beberapa peneliti. Banyak penelitian yang membuktikan adanya
hubungan positif yang kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar di
menunjukan adanya perbedaan konsep diri antara siswa yang tergolong
overachieverdan underachiever. Penelitian yang dilakukan oleh Naam (2007)
dan Anita (2001) menunjukan hubungan yang bermakna antara prestasi belajar
dan konsep diri positif.
Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya memiliki beberapa
perbedaan dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Perbedaan dapat dilihat
dari subjek penelitian juga variabel yang disertakan dalam penelitian. Penelitian
ini berupaya untuk mengetahui hubungan antara prestasi belajar dengan
intelegensi, dukungan sosial yang diberikan orangtua, dan konsep diri pada
siswa kelas 2 SD. Pada tingkat ini siswa memiliki interaksi yang lebih banyak
dengan orang di sekitarnya dibandingkan sebelumnya, sehingga
memungkinkan berkembangnya kemampuan interpersonal yang membentuk
konsep diri.
Selama ini penelitian yang dilakukan mengunakan remaja sebagai subjek
penelitian, sedangkan anak memiliki konsep diri yang berbeda mekanismenya
dengan remaja ataupun orang dewasa. Konsep diri ideal pada anak masih
berorientasi pada hal-hal yang kurang nyata, tetapi remaja dan orang dewasa
memiliki konsep diri ideal yang mengarah pada hal-hal yang nyata.
Begitu pun untuk inteligensi dan dukungan sosial orangtua, penelitian yang
menunjukan hubungan positif antara intelegensi dan dukungan sosial orangtua
terhadap prestasi belajar anak dilakukan puluhan tahun yang lalu dimana
yang lebih padat karena banyaknya pasangan suami istri yang bekerja, sehingga
kurang memberikan dukungan sosial yang cukup pada anaknya.
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah ada hubungan antara prestasi belajar dengan intelegensi, dukungan
sosial orang tua, dan konsep diri anak?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan
antara intelegensi, dukungan sosial orang tua, dan konsep diri terhadap prestasi
belajar anak?
D. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah
memberikan referensi teoritis mengenai hubungan antara kondisi psikologis
anak, khususnya konsep diri, dukungan sosial dengan prestasi belajar.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah
dukungan sosial yang diberikan orangtua, dan konsep diri anak pada
7 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Anak
1. Pengertian anak
Anak merupakan seorang lelaki atau perempuan yang belum
dewasa atau belum mengalami masa pubertas, yang biasa berusia 0-12
tahun. (Junaidi, 2009).
John Locked ( dalam Santrock 1995) berpendapat anak merupakan
individu yang bagaikan selembar kertas kosong. Locked yakin pengalaman
masa kanak-kanak penting dalam menentukan karakteristik saat mereka
dewasa.
Sedangkan menurut Jean Rousseau (dalam Santrock 1995). anak
adalah individu yang meskipun dapat berkembang secara alamiah, perlu
dipantau serta dibimbing oleh orangtua.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan anak adalah seorang individu yang
belum mengalami masa pubertas dan membutuhkan orang yang lebih
dewasa untuk berkembang sehingga dapat memiliki karakteristik yang
baik saat dewasa.
2. Perkembangan Akhir Masa Anak-anak
Periode ini dimulai ketika anak mulai memasuki Sekolah Dasar
disebut sebagai periode anak usia Sekolah Dasar, karena pada masa ini anak
mulai memasuki sekolah formal.
a. Karakteristik perkembangan pada masa akhir anak-anak menurut
Hurlock sebagai berikut :
1). Masa berkelompok dimana perhatian utama anak-anak tertuju pada
keinginan diterima kelompoknya
2). Proses penyesuaian diri dengan standar yang disetujui kelompoknya
3). Usia kreatif, menunjukkan bahwa anak ketika tidak dihalangi oleh
rintangan-rintangan lingkungan, kritik, cemoohan dari orang dewasa
maka anak akan mengerahkan tenaganya dalam kegiatan-kegiatan
yang kreatif.
4). Usia bermain karena luasnya minat anak
b. Perkembangan pada masa akhir anak-anak menurut Santrock
1). Perubahan fisik (tubuh) pada anak. Diantara aspek-aspek penting
perubahan tubuh di dalam periode perkembangan adalah sistem
rangka, sistem otot, dan ketrampilan motorik
2). Kemampuan menganalisis kata, misalnya anak ketika mendengar
kata “anjing”, anak dapat mengaitkan kata ‘anjing” dengan suatu
kata yang menunjukkan penampilannya (hitam, besar).
3). Memiliki kreativitas
c. Perkembangan kognisi pada masa akhir anak-anak menurut Piaget
Menurut Piaget akhir masa anak-anak berada pada tahap konkrit
operasional dengan ciri :
1). Berpikir dengan lebih terorganisasi, memikirkan alasan logis
tentang informasi yang konkrit.
2). Menguasai konservasi Piaget, pembagian kelas, masalah-masalah
bersambung termasuk pengambilan kesimpulan.
3). Memperlihatkan spasial reasoning dengan lebih efektif seperti
diperlihatkan pada penguasaan konservasi, kemampuan memberikan
arahan yang jelas, peta kognitif yang lebih terorganisasi dengan
baik.
c. Teori Psikososial Erickson
Menurut Erickson akhir masa anak-anak berada pada tahap Industry
versus inferiority, dengan ciri :
1). Pada tahap ini interaksi sosial anak mulai mengembangkan perasaan
bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
2). Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru
membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan
yang dimilikinya.
3). Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari
orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan
4). Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat
dengan pengalaman baru.
5). Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka
mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan
keterampilan intelektual.
6). Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah
berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan
tidak produktif.
B. Prestasi Belajar
1. Pengertian prestasi belajar
Prestasi belajar ialah tingkat pencapaian atau penguasaan siswa
terhadap materi pelajaran yang telah diajarkan dalam kurun waktu tertentu
dalam suatu program pengajaran ( Saronson, 1964).
Keberhasilan siswa dalam proses belajarnya dapat dilihat dari
prestasi yang dicapai dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini dapat
dilihat dari nilai yang dibukukan dalam bentuk buku laporan pendidikan
atau raport. Nilai-nilai yang tertera dalam buku tersebut merupakan
penjumlahan nilai dari seluruh mata pelajaran yang diperoleh siswa dalam
satu semester. Dengan demikian besar kecilnya nilai yang diperoleh
Dari definisi diatas dapat disimpulkan prestasi belajar adalah hasil yang
telah dicapai dari yang telah dilakukan atau dikerjakan oleh anak didik
dalam kurun waktu tertentu.
2. Pengukuran prestasi belajar
Keberhasilan seseorang dalam belajar dapat dilihat dari prestasi belajarnya.
Prestasi belajar sendiri dapat diketahui melalui evaluasi belajar. Evaluasi
belajar dapat dilakukan dengan pengukuran yang dibuat dalam bentuk ujian
tertulis, lisan, maupun praktik. Penilaian dibuat berdasar norma yang
dipergunakan. Hasilnya diwujudkan dalam suatu simbol yang biasa
menggunakan angka atau huruf sebagai indeks prestasi. Ada yang
menggunakan rentan 1-10 atau 10-100 ada juga yang mengunakan huruf
A-F (Tirtonegoro,1984).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
M. Alisuf Sabri ( 1996) mengatakan ada berbagai faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa yang secara garis besar dibagi menjadi
dua,yaitu faktor internal dan faktor eksternal siswa.
a. Faktor internal siswa
1) Kesehatan jasmani dan rohani
Orang yang belajar membutuhkan kondisi badan yang sehat. Orang
yang badannya sakit akibat penyakit-penyakit kelelahan tidak akan
Demikian pula gangguan serta cacat-cacat mental pada seseorang sangat
menggangu hal belajar yang bersangkutan.
2) Intelegensi
Intelegensi pada umumnya diartikan dengan kecerdasan. Dalam proses
belajar tingkat intelegensi siswa sangat berpengaruh terhadap prestasi
siswa. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat kecerdasan siswa, semakin
besar peluang siswa berhasil dalam proses pelajarannya.
3) Bakat
Bakat adalah potensi atau kemampuan. Orang tua kadang-kadang tidak
memperhatikan faktor bakat ini. Sering anak diarahkan sesuai dengan
kemampuan orang tuanya. Seorang anak yang tidak berbakat teknik
tetapi karena keinginan orang tuanya, anak itu disekolahkan pada
jurusan teknik, akibatnya bagi anak sekolah dirasakan sebagai suatu
beban, tekanan, dan nilai-nilai yang didapat anak buruk serta tidak ada
kemauan lagi untuk belajar.
4)Minat
Minat adalah suatu gejala psikis yang berkaitan dengan objek atau
aktivitas yang menstimulus perasaan senang pada individu. Seorang
yang menaruh minat pada suatu bidang akan mudah mempelajari bidang
itu.
5) Motivasi
Motivasi yang berhubungan dengan kebutuhan, motif , dan tujuan,
proses belajar, karena motivasi menggerakkan organisme, mengarahkan
tindakan, serta memilih tujuan belajar yang dirasa paling berguna bagi
kehidupan individu.
6)Cara belajar
Anak yang menunggu saat hampir ulangan baru belajar, sehingga
bahan-bahan pelajaran menumpuk, tentu nilainya tidak baik. Anak
sebaiknya dibiasakan belajar sedikit demi sedikit setiap hari secara
teratur, meskipun hanya sebentar.
7)Konsep diri
Sejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan bahwa konsep
diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Nylon (1972)
misalnya, mengemukakan bahwa banyak penelitian yang membuktikan
hubungan positif yang kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar di
sekolah. Siswa yang memiliki konsep diri positif, memperlihatkan
prestasi yang baik di sekolah, atau siswa yang berprestasi tinggi di
sekolah memiliki penilaian diri yang tinggi, serta menunjukkan
hubungan antarpribadi yang positif pula. Mereka menentukan target
prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis
dengan belajar keras dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu
b. Faktor eksternal
1) Faktor lingkungan siswa.
Faktor ini terbagi dua, yaitupertamafaktor lingkungan alam atau non
sosial seperti keadaan suhu, kelembaban udara, waktu (pagi, siang,
malam), letak sekolah, dan sebagainya. Kedua faktor lingkungan
sosial dan budayanya.
2) Faktor instrumental
Antara lain gedung, media pengajaran, guru ,kurikulum atau materi
pelajaran, serta strategi belajar mengajar.
3) Dukungan dari orangtua
Dukungan terpenting berasal dari keluarga, karena itu pemenuhan
dukungan berupa perhatian dan material sangat penting untuk
memotivasi anak mencapai prestasi belajar yang baik.
4) Ekonomi keluarga
Faktor ekonomi sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan
rumah tangga. Keharmonisan hubungan antara orang tua dan anak
kadang-kadang tidak dapat terlepas dari faktor ekonomi. Begitu pula
faktor keberhasilan seseorang pada keluarga yang ekonominya kurang
mungkin dapat menyebabkan anak kekurangan gizi,
kebutuhan-kebutuhan belajar anak mungkin tidak dapat terpenuhi. Selain
itu ekonomi yang kurang menyebabkan suasana rumah menjadi
muram dan gairah untuk belajar tidak ada. Namun kesulitan ekonomi
bukan berarti pula ekonomi yang berlebihan tidak akan menyebabkan
kesulitan belajar. Pada ekonomi yang berlebihan anak mungkin akan
selalu dipenuhi semua kebutuhannya, sehingga perhatian anak
terhadap pelajaran-pelajaran sekolah akan berkurang karena anak
terlalu banyak bersenang-senang, misalnya dengan permainan yang
beraneka ragam atau pergi ke tempat-tempat hiburan dan lain-lain.
C. Intelegensi
1. Pengertian Intelegensi
Menurut David Weschsler (1982) inteligensi adalah kemampuan
untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi
lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses
berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati
secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata
yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Charles Spearman (1904),penemu teori dua faktor berpendapat
bahwa inteligensi meliputi kemampuan umum yang diberi kode “g”
(general factors), dan kemampuan khusus yang diberi kode “s” (specific
factors). Faktor G, mencakup semua kegiatan intelektual yang dimiliki oleh
setiap orang dalam berbagai derajad tertentu. Faktor G merupakan
kemampuan umum yang dibawa sejak lahir juga bersifat konstan.
dalam diri seseorang, maka makin besar kemungkinan kesuksesan hidupnya
Sedangkan Faktor S mencakup berbagai faktor khusus yang relevan
dengan tugas tertentu. Specific factor dipelajari dan diperoleh dari
lingkungan, contohnya kemampuan verbal, kemampuan numerik, dan
kemampuan mekanik.
Menurut Spearman, faktor G lebih banyak mewakili segi genetis
dan faktor S lebih banyak diperoleh melalui latihan dan pendidikan. Kedua
faktor diatas sangat penting untuk melihat kemampuan individu saat
berpindah dari situasi satu ke situasi yang lainnya.
Berdasarkan Teori Dua Faktor, J.C Raven menciptakan tes Progessive
Matrices (PM) guna mengukur intelegensi umum. Soal-soal tes PM terdiri
dari suatu set matriks, pada setiap soal terdapat suatu bagian yang
dihilangkan pada ujung kanan bawah dari desain tersebut. Tugas subjek
adalah memilih dari sekian alternative jawaban untuk mengisi bagian yang
hilang. Soal yang mudah menuntut ketepatan diskriminatif, sedangkan yang
lebih susah melibatkan kemampuan analogi dan berpikir logis.
Tes PM mengukur kemampuan orang untuk berpikir non-verbal
dalam bentuk simbol-simbol abstrak, mengukur kemampuan spasial,
penalaran induktif, dan faktor lain yang mempengaruhi performance.
Pengembangan Tes PM :
a. Colour Progessive Matrices
Memiliki norma persentil bagi anak berusia 5-11 tahun, juga terdapat
keterbelakangan mental. CPM terdiri dari 3 set yaitu A, B, dan AB yang
harus dikerjakan selama 25 menit.
b. Standard Progessive Matrices
Diperuntukan untuk anak 11-16 tahun dan terdiri dari 5 set yaitu
A,B,C,D,dan E. SPM memiliki waktu pengerjaan selama 25 menit.
c. Advance Progessive Matrices
Diperuntukan bagi remaja / dewasa yang diperkirakan memiliki
kemampuan di atas rata-rata. APM terdiri dari 2 set, set 1 terdiri dari 12
soal dengan waktu pengerjaan 5 menit, dan set 2 terdiri dari 36 soal
dengan waktu pengerjaan 25 menit. Dalam APM set 1 hanya diberikan
untuk latihan dan tidak dinilai.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu
kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional yang
dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi intelegensi
1. Faktor bawaan atau keturunan
Penelitian Salzmann membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari
satu keluarga sekitar 0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi
nilai tes IQnya sangat tinggi, sekitar 0,90.
Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ mereka
berkorelasi sekitar 0,40– 0,50 dengan ayah dan ibu yang sebenarnya, dan
anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ mereka tetap berkorelasi
sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak pernah saling kenal.
2.Faktor lingkungan
Walaupun ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir,
ternyata lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang
berarti. Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan
otak sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi,
rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan
juga memegang peranan yang amat penting.
3. Pengukuran Intelegensi
Pada tahun 1904, Alfred Binet dan Theodor Simon, 2 orang
psikolog asal Perancis merancang suatu alat evaluasi yang dapat dipakai
untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan kelas-kelas khusus
(anak-anak yang kurang pandai). Alat tes itu dinamakan Tes Binet-Simon.
Tes ini kemudian direvisi pada tahun 1911.
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika
mengadakan banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya
adalah menetapkan indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai
rasio (perbandingan) antara mental age dan chronological age. Hasil
perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet. Indeks seperti ini sebetulnya telah
diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman yang bernama William Stern,
Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai
usia 13 tahun.
Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet
adalah bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang
ini, Charles Sperrman mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri
dari satu faktor yang umum saja (general factor), tetapi juga terdiri dari
faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori ini disebut Teori Faktor (Factor
Theory of Intelligence). Alat tes yang dikembangkan menurut teori faktor
ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale)untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)untuk anak-anak.
Raven (1927) membuat alat tes untuk mengukur IQ anak, yakni
Colour Progessive Matrices (CPM).Bentuk tes CPM ada dua macam yaitu berbentuk cetakan buku dan yang lainnya berbentuk papan dan gambar-gambarnya tidak berbeda dengan yang di buku cetak. Materi tes terdiri dari 36 item/gambar. Item ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok atau 3 set yaitu set A, set Ab dan set B. item disusun bertingkat dari item yang mudah ke item yang sukar. Tiap item terdiri dari sebuah gambar besar yang berlubang dan dibawahnya terdapat 6 gambar penutup. Tugas subjek adalah memilih salah satu diantara gambar ini yang tepat untuk menutupi kekosongan pada gambar besar. Pada dasarnya kedua bentuk tersebut dalam pelaksanaan tes memberikan hasil yang sama. (Raven, 1974).
b. Kecakapan pengamatan ruang
c. Kemampuan untuk mencari dan mengerti hubungan antara keseluruhan dan bagian-bagian, jadi termasuk kemampuan analisa dan kemampuan integrasi.
d. Kemampuan berpikir secara analogi.
Tes CPM dapat digunakan untuk mengungkap taraf kecerdasan bagi anak-anak berusia 5 sampai 11 tahun. Di samping itu juga dapat digunakan unuk orang-orang yang lanjut usia dan yuntuk anak-anak defective.
D. Dukungan Sosial
1. Pengertian Dukungan Sosial
Saronson (1991) menerangkan bahwa dukungan sosial dapat
dianggap sebagai sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang
diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya. Dari keadaan tersebut
individu akan mengetahui bahwa orang lain memperhatikan, menghargai,
dan mencintainya.
Menurut Gonollen dan Bloney (As’ari, 2005), dukungan sosial
adalah derajat dukungan yang diberikan kepada individu khususnya
sewaktu dibutuhkan oleh orang-orang yang memiliki hubungan emosional
yang dekat dengan orang tersebut. Katc dan Kahn (2000) berpendapat,
dukungan sosial adalah perasaan positif, menyukai, kepercayaan, dan
yang bersangkutan, pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan
langsung dalam bentuk tertentu. Dukungan sosial merupakan transaksi
interpersonal yang mencakup afeksi positif, dan penegasan.
Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai
peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti
seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson and
Johnson berpendapat bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan
seperti materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap
kesejahteraan manusia. Dukungan sosial jugs dimaksudkan sebagai
keberadaan dan kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya
untuk membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu.
Berdasarkan teori-teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Dukungan Sosial adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa materi,
emosi, dan informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti
seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja atupun atasan atau
orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Bantuan atau
pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang mengalami masalah
merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan dicintai.
2. Dukungan sosial orangtua
Dukungan sosial dapat diperoleh dari pasangan suami, istri, anak, anggota
keluarga lain, teman, komunitas, atau masyarakat. Rodin dan Salovey
keluarga. Orang tua sebagai bagian dalam keluarga merupakan individu
dewasa yang paling dekat dengan anak. Santrock (2002) menjelaskan
bahwa orang tua sebagai tokoh penting dengan siapa anak menjalin
hubungan dan merupakan sebuah sistem dukungan ketika anak menjajaki
dunia sosial yang lebih luas dan kompleks. Dukungan sosial yang diberikan
orang tua memainkan peranan penting terhadap penyesuaian psikologis
anak (Malecki,2003).
3. Bentuk dukungan sosial orangtua
a. Dukungan Instrumental
Menurut Hause (Newman, 1987), dukungan instrumental adalah
merupakan tindakan atau materi yang diberikan oleh orang lain yang
memungkinkan pemenuhan tanggung jawab yang dapat membantu
untuk mengatur situasi yang menekan.
b. Dukungan Informasi
Menurut Hause (Newman, 1987), dukungan informasi adalah
komunikasi tentang opini atau kenyataan yang relevan tentang
kesulitan-kesulitan pada saat ini, misalnya nasehat dan
informasi-informasi yang dapat menjadikan individu lebih mampu untuk
mengatasi sesuatu
c. Dukungan Penghargaan
Dukungan penghargaan adalah dukungan yang terjadi bila ada ekspresi
bahwa dukungan ini dapat ditunjukan dengan cara menghargai ,
mendorong seseorang mengungkap ide, menyetujui ide, menghargai
gagasan atau kemampuan yang dimiliki seseorang. Harga diri seseorang
dapat ditingkatkan dengan mengkomunikasikan padanya bahwa ia
bernilai dan diterima meskipun ada kesalahan
d. Dukungan Emosi
Menurut Cabb (Nindra, 2003), dukungan sosial emosional merupakan
pernyataan tentang cinta, perhatian, penghargaan, simpati dan menjadi
bagian dari kelompok yang berfungsi untuk memperbaiki perasaan
negatif yang khususnya disebabkan oleh stress.
e. Dukungan Integrasi Sosial
Dukungan Integrasi Sosial adalah perasaan individu sebagai bagian dari
kelompok. Cohen dan Wills (dalam Orford,1992) menyatakan bahwa
dukungan ini dapat berupa menghabiskan waktu bersama-sama dalam
aktivitas, juga melakukan rekreasi di waktu sengang. Barren dan
Ainlaiy (dalam Orford,1992) juga menambahkan bahwa dukungan ini
dapat meliputi membuat lelucon, membicarakan minat, melakukan
kegiatan yang mendatangkan kesenangan.
E. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Sebagai sebuah konstruk psikologi ,konsep diri didefenisikan secara
diri sebagai pengertian, harapan, dan penilaian seseorang mengenai
bagaimana diri yang dicita-citakan dan dirinya dalam realita yang
sesungguhnya secara fisik maupun psikologis.
Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada
evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Sementara itu, Atwater (1987)
menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang
meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan
nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Selanjutnya, Atwater
mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image,
kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya
sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan
seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain
melihat dirinya.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan konsep diri adalah
pandangan individu tentang diri sendiri yang meliputi 3 dimensi yaitu;
pengetahuan, harapan, dan penilaian.
2. Konsep Diri Anak
Konsep-diri pada anak-anak antara lain diperoleh dari penilaian orang lain
atau lingkungannya. Karena itu, teori pendidikannya mengatakan, sebagian
besar cara belajar anak-anak itu adalah imitasi, mengkopi dan
merefleksikan rangsangan atau stimuli dari luar (pengalaman
dengan celaan, ia belajar memaki, jika anak dibesarkan dengan ketakutan,
ia belajar gelisah, jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar
mengenali tujuan, jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar
memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Menurut Cooley (1991), pendapat dan penilaian dari luar itu berperan
penting dalam proses pembentukan konsep diri, baik bagi orang dewasa
terlebih bagi anak-anak. Pendapat orang lain berperan membentuk persepsi
seseorang atas dirinya. Penilaian atau kritik orang lain berperan membentuk
persepsi seseorang atas dirinya. Keadaan atau situasi berperan membentuk
persepsi seseorang atas dirinya. Konsep-diri yang terbentuk dalam masa
kanak-kanak umumnya sulit untuk diubah. Ia menjadi semacam apa yang
kita sebut bawaan, watak, sifat, atauculture.
3. Dimensi Konsep Diri
Para ahli psikologi juga berbeda pendapat dalam menetapkan
dimensi-dimensi konsep diri. Namun, secara umum sejumlah ahli menyebutkan 3
dimensi konsep diri, meskipun dengan menggunakan istilah yang
berbeda-beda. Calhoun dan Acocella (1990) misalnya, menyebutkan 3 dimensi
utama dari konsep diri, yaitu: dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan,
dan dimensi penilaian. Paul J. Centi (1993) menyebutkan ketiga dimensi
konsep diri dengan istilah: dimensi gambaran diri (self¬image), dimensi
Sebagian ahli lain menyebutnya dengan istilah: citra diri, harga diri, dan diri
ideal.
Maka dapat disimpulkan, dimensi konsep diri meliputi :
a.Pengetahuan
Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui
tentang diri sendiri atau penjelasan dari "siapa saya" yang akan memberi
gambaran tentang diri saya. Gambaran diri tersebut pada gilirannya akan
membentuk citra diri. Gambaran diri tersebut merupakan kesimpulan dari
pandangan kita dalam berbagai peran yang kita pegang, seperti sebagai
orangtua, suami atau istri, karyawan, pelajar, dan seterusnya; pandangan
kita tentang watak kepribadian yang kita rasakan ada pada diri kita,
seperti jujur, setia, gembira, bersahabat, aktif, dan seterusnya; pandangan
kita tentang sikap yang ada pada diri kita; kemampuan yang kita miliki,
kecakapan yang kita kuasai, dan berbagai karakteristik lainnya yang kita
lihat melekat pada diri kita. Singkatnya, dimensi pengetahuan (kognitif)
dari konsep diri mencakup segala sesuatu yang kita pikirkan tentang diri
kita sebagai pribadi, seperti "saya pintar", "saya cantik", "saya anak baik",
dan seterusnya.
Persepsi kita tentang diri kita seringkali tidak sama dengan
kenyataan adanya diri yang sebenarnya. Penglihatan tentang diri kita
hanyalah merupakan rumusan, definisi atau versi subjektif pribadi kita
tentang diri kita sendiri. Penglihatan itu dapat sesuai atau tidak sesuai
diri yang kita miliki tentang diri kita seringkali tidak sesuai dengan
gambaran orang lain atau masyarakat tentang diri kita. Sebab, dihadapan
orang lain atau masyarakat kita seringkali berusaha menyembunyikan
atau menutupi segi-segi tertentu dari diri kita untuk menciptakan kesan
yang lebih baik. Akibatnya, di mata orang lain atau masyarakat kita kerap
tidak tampak sebagaimana kita melihat diri sendiri (Centi, 1993).
Gambaran yang kita berikan tentang diri kita juga tidak bersifat
permanen, terutama gambaran yang menyangkut kualitas diri kita dan
membandingkannya dengan kualitas diri anggota kelompok . Bayangkan
bila kita memberi gambaran tentang diri sebagai "anak yang pandai"
karena memiliki nilai tertinggi ketika lulus dari suatu SMA. Namun,
ketika memasuki perguruan tinggi yang sangat sarat dengan persaingan
dan merasakan kita dikelilingi oleh siswa-siswa dari sejumlah SMA lain
yang lebih pandai, maka tiba-tiba kita mungkin merubah gambaran diri
sebagai "mahasiswa yang tidak begitu pandai".
b.Harapan .
Dimensi kedua dari konsep diri adalah dimensi harapan atau diri
yang dicita-citakan dimasa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah
pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang sama kita juga
mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi apa
Pengharapan ini merupakan diri-ideal (self-ideal) atau diri yang
dicita-citakan.
Cita-cita diri (self-ideal) terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan,
keinginan bagi diri kita, atau menjadi manusia seperti apa yang kita
inginkan. Tetapi, perlu diingat bahwa cita-cita diri belum tentu sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya dimiliki seseorang. Meskipun demikian,
cita-cita diri akan menentukan konsep diri dan menjadi faktor paling
penting dalam menentukan perilaku individu. Apapun standar diri ideal
yang kita tetapkan, sadar atau tidak kita akan senantiasa berusaha untuk
dapat memenuhinya.
Oleh sebab itu, dalam menetapkan standar diri ideal haruslah lebih
realistis, sesuai dengan potensi atau kemampuan diri yang dimiliki, tidak
terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah.
c. Penilaian
Dimensi ketiga konsep diri adalah penilaian kita terhadap diri kita
sendiri. Penilaian diri sendiri merupakan pandangan kita tentang harga
atau kewajaran kita sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella,
setiap hari kita berperan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai
apakah kita bertentangan dengan : 1) pengharapan bagi diri kita sendiri
(saya dapat menjadi apa), 2) standar yang kita tetapkan bagi diri kita
sendiri (saya seharusnya menjadi apa). Hasil dari penilaian tersebut
membentuk apa yang disebut dengan rasa harga diri, yaitu seberapa besar
gambaran kita tentang siapa kita dan tentang seharusnya kita menjadi atau
dapat menjadi apa, akan semakin rendah rasa harga diri kita (Rogers,
1959).
Konsep diri kita memang tidak pernah terumuskan secara jelas dan
stabil. Pemahaman diri selalu berubah-ubah, mengikuti perubahan
pengalaman yang terjadi hampir setiap saat. Seorang siswa yang memiliki
harga diri tinggi tiba-tiba dapat berubah menjadi rendah diri ketika gagal
ujian dalam suatu mata pelajaran penting. Sebaliknya, ada siswa yang
kurang berprestasi dalam studi dan dihinggapi rasa rendah diri, tiba-tiba
merasa memiliki harga diri tinggi ketika ia berhasil memenangkan suatu
lomba seni atau olah raga.
4. Konsep diri positif dan konsep diri negatif
Dimensi-dimensi yang dikatakan di atas dalam perkembangannya dapat
membentuk konsep diri individu baik positif maupun negatif
(Calhoun,1995). Menurut Hurlock (1992) konsep diri merupakan
pengertian, harapan, penilainan individu mengenai dirinya sendiri. Oleh
karena itu, konsep diri baik positif maupun negatif akan tampak dalam
harapan, pengertian , dan penilaian tersebut.
a. Konsep diri negatif
Menurut Calhoun & Acocella individu dengan konsep diri negatif
memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Ia benar-benar tidak tahu siapa
dirinya dan kelemahannya.
Harapan individu yang memiliki konsep diri negatif tidak realistis.
Individu ini memiliki keinginan yang sedemikian rupa sehingga pada
kenyataannya ia tidak mencapai apapun yang berharga. Bila ia
mengalami kegagalan, maka kegagalan tersebut akan merusak dirinya.
Individu dengan konsep diri negatif memiliki pandangan negatif
terhadap dirinya. Apapun keadaan dirinya tidak pernah cukup baik.
Mereka juga memiliki pengertian tidak tepat tentang dirinya,
pengharapan yang tidak realistis, dan harga diri yang rendah. Individu
memandang dirinya tidak memiliki potensi, memiliki motivasi yang
rendah untuk belajar, mudah cemas dan putus asa, serta tidak mampu
mengaktualisasikan potensinya.
Individu dengan konsep diri negatif mengganggap suatu
keberhasilan diperoleh bukan karena kemampuan melainkan kebetulan
(Beane & Lipka 1986).
b. Konsep diri positif
Menurut Hurlock (1978:238), konsep diri yang positif akan berkembang jika seseorang mengembangkan sifat-sifat yang berkaitan dengan ‘good self esteem’, ‘good self confidence’, dan kemampuan melihat diri secara realistik.
Seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu. Dasarkonsep diripositif adalah penerimaan diri.
5. Pembentukan Konsep Diri
Konsep diri terbentuk karena suatu proses umpan-balik dari individu lain. Artinya konsep diri terbentuk dari pengalaman individu dalam membangun relasi dengan orang lain. Dalam berinteraksi ini, seiap individu akan menerima tanggapan. Tanggapan yang diberikan tersebut akan menjadikan cermin bagi individu untuk menilai dan memandang dirinya sendiri. Dengan demikian, konsep diri seseorang sebenarnya terbentuk karena hasil belajar atau karena dipelajari.
Menurut Hurlock (1994) pembentukan konsep diri setiap orang berlangsung dalam beberapa tahap, yakni masa bayi (0-2 tahun), awal kanak-kanak (2-6 tahun), akhir masa kanak-kanak (6-10 tahun), masa puber
(10-13 tahun), dan masa remaja (13-18 tahun).
Pertama, masa bayi. Pada masa ini konsep diri individu dipengaruhi
oleh orangtua terutama ibunya. Lingkungan individu terbatas yakni hanya
pada rumah, dan ibu bagi bayi merupakan teman paling dekat. Maka
kepribadian ibu dalam kaitan dengan hubungan ibu-bayi akan sangat
mempengaruhi pola konsep diri sang bayi. Masa bayi merupakan masa
peletakan dasar kepribadian dimana struktur kepribadian dewasa akan
Kedua, awal masa kanak-kanak. Pola konsep diri yang dasarnya telah
diletakan pada bayi mulai terbentuk pada awal masa kanak-kanak.
Orangtua, saudara kandung dan sanak saudara merupakan dunia sosial bagi
anak-anak. Karena itu, penerimaan dan perlakuan terhadap diri mereka
merupakan faktor yang penting dalam pembentukan konsep diri. Pada
masa ini konsep diri anak dipengaruhi oleh sikap dan cara teman-teman
memperlakukannya. Sikap awal teman-teman dan keluarga berperan
penting karena dasar konsep diri yang telah diletakan pada awal agak sulit
diubah.
Ketiga, Ketika anak-anak masuk sekolah, maka cakrawala sosialnya
semakin meluas. Faktor-faktor baru mulai mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya. Akibatnya, anak harus seringkali memperbaiki konsep diri.
Pada masa ini anak mulai mengangumi tokoh-tokoh dalam sejarah, cerita
khayal dalam film, tokoh olahraga, atau tokoh nasional. Anak-anak
kemudian membentuk konsep diri yang ideal. Konsep diri anak pada akhir
masa kanak-kanak mengalami perubahan dari konsep diri mengikuti pola
yang digariskan orangtua, guru, dan teman menjadi konsep diri mengikuti
pola dari tokoh-tokoh yang dibaca dan didengar.
Keempat, masa puber yakni suatu tahap perkembangan dimana terjadi
kematangan organ-organ seksual dan tercapai kemampuan reproduksi.
Masa ini ditandai dengan perubahan fisik yang pesat. Perubahan pesat yang
terjadi pada masa puber menimbulkan keraguan, perasaan tidak mampu dan
Kelima, masa remaja yakni dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa. Masa remaja adalah masa dimana anak secara seksual
menjadi matang. Pada masa ini anak membentuk kelompok dan konsep diri
anak dipengaruhi oleh kelompoknya. Banyak remaja menggunakan standar
kelompok sebagai dasar konsep mereka menilai dirinya sendiri. Remaja
mempunyai penilaian yang realistis mengenai kekuatan dan kelemahan. Hal
ini memberi perasaan kesinambungan dan memungkinkan remaja tidak
memandang diri hari ini berbeda dengan hari lain. Konsep diri bertambah
stabil dalam masa remaja dan hanya sedikit perubahan. Dengan
bertambahnya usia, memang ada perubahan tetapi perubahan ini bersifat
kuantitatif, dalam arti bahwa sifat-sifat yang diinginkan akan diperkuat dan
sifat-sifat yang tidak diinginkan akan diperlemah. Dengan kata lain, pada
masa remaja konsep diri telah kokoh bentuknya.
6. Konsep Diri Ideal
Konsep diri ideal adalah aspirasi anak tentang sosok dan kepribadian yang didambakannya dan bukan apa yang ingin dicapainya (Hurlock,1994). Namun ada kalanya konsep diri ideal seorang anak berubah, hal tersebut disebabkan oleh :
a. Anak mengidentifikasi diri dengan berbagai model. Model berganti maka konsep diri pun berubah.
menilai seseorang, mereka sulit untuk menganggap satu orang sebagai teladan sehingga memilih karakteristik dari berbagai model dan digabungkan.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan
konsep diri, antara lain:
a. Usia
Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia, dimana
perbedaan ini lebih banyak berhubungan dengan tugas-tugas
perkembangan. Pada masa kanak-kanak, konsep diri seseorang
menyangkut hal-hal disekitar diri dan keluarganya. Pada masa remaja,
konsep diri sangat dipengaruhi oleh teman sebaya dan orang yang
dipujanya.
Sedangkan remaja yang kematangannya terlambat, yang
diperlakukan seperti anak-anak, merasa tidak dipahami sehingga
cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri. Sedangkan
masa dewasa konsep dirinya sangat dipengaruhi oleh status sosial dan
pekerjaan, dan pada usia tua konsep dirinya lebih banyak dipengaruhi
oleh keadaan fisik, perubahan mental maupun sosial (Syaiful, 2008).
b. Inteligensi
Inteligensi mempengaruhi penyesuaian diri seseorang terhadap
intreligensinya semakain baik penyesuaian dirinya dan lebih mampu
bereaksi terhadap rangsangan lingkungan atau orang lain dengan cara
yang dapat diterima. Hal ini jelas akan meningkatkan konsep dirinya,
demikian pula sebaliknya (Syaiful, 2008).
c. Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan
meningkatkan prestisenya. Jika prestisenya meningkat maka konsep
dirinya akan berubah (Syaiful, 2008).
d. Status Sosial Ekonomi
Status sosial seseorang mempengaruhi bagaimana penerimaan orang
lain terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat mempengaruhi
konsep diri seseorang. Penerimaan lingkungan terhadap seseorang
cenderung didasarkan pada status sosial ekonominya. Maka dapat
dikatakan individu yang status sosialnya tinggi akan mempunyai konsep
diri yang lebih positif dibandingkan individu yang status sosialnya
rendah.
Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap anak-anak dari
ekonomi sosial tinggi menunjukkan bahwa mereka memiliki konsep diri
yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari status
ekonomi rendah. Hasilnya adalah 51 % anak dari ekonomi tinggi
mempunyai konsep diri yang tinggi. Dan hanya 38 % anak dari tingkat
ekonomi rendah memiliki tingkat konsep diri yang tinggi (dalam Skripsi
e. Hubungan Keluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan orang tua juga
salah satu anggota keluarga akan mengidentifikasikan diri dengan orang
lain dan ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama. Bila tokoh
ini sesama jenis, maka akan tergolong untuk mengembangkan konsep
diri yang layak untuk jenis seksnya.
f. Orang Lain
Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu.
Bagaimana orang lain mengenal kita, akan membentuk konsep diri.
Sullivan (dalam Rakhmat, 2005:101) menjelaskan bahwa individu yang
diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan dirinya,
akan cenderung bersikap menghormati dan menerima dirinya.
Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan dirinya,
menyalahkan dan menolaknya, ia akan cenderung kurang menyukai
dirinya. Miyamoto dan Dornbusch (dalam Rakhmat, 2005:101)
mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri
dengan skala lima angka dari yang palin jelek sampai yang paling baik.
Yang dinilai adalah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan
kesukaan orang lain terhadap dirinya. Dengan skala yang sama mereka
juga menilai orang lain. Ternyata, orang-orang yang dinilai baik oleh
orang lain, cenderung memberikan skor yang tinggi juga dalam menilai
dirinya. Artinya, harga diri sesuai dengan penilaian orang lain terhadap
F. Dinamika antar variabel
Tingkat keberhasilan seseorang dalam belajar dapat dilihat dari prestasi
belajar yang diraihnya. Prestasi belajar sendiri diketahui dari evaluasi belajar
yang dilakukan dengan pengukuran yang dibuat dan biasanya dirangkum dalam
sebuah buku raport.
Prestasi belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal dalam
diri siswa. Faktor internal adalah faktor-faktor yang bersumber dalam diri
siswa. Salah satu faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar adalah
intelegensi anak. Tingkat intelegensi sangat menentukan tingkat keberhasilan
belajar siswa ( Syah, 2006). Semakin tinggi tingkat intelegensi siswa, semakin
besar peluangnya untuk mencapai keberhasilan. Hal yang sama juga diungkap
oleh Ekowati (2006) yang mengatakan bahwa terdapat kontribusi positif antara
intelegensi dan hasil belajar siswa.
Faktor internal lainnya yang mempengaruhi prestasi belajar anak ialah
konsep diri. Sejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan bahwa
konsep diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Siswa yang
memiliki konsep diri positif, memperlihatkan prestasi yang baik di sekolah,
atau siswa yang berprestasi tinggi di sekolah memiliki penilaian diri yang
tinggi, serta menunjukkan hubungan antarpribadi yang positif pula. Mereka
menentukan target prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan
akademis dengan belajar keras dan tekun, serta aktivitas-aktivitas mereka selalu
Coopersmith (1967) juga membuktikan ada hubungan yang erat antara
konsep diri dan prestasi belajar siswa. Siswa yang mengalami dyslexia
menunjukan konsep diri yang rendah. Hal itu berkaitan mengenaiself- efficacy
-nya, yaitu keyakinan akan kompetensi pribadi dalam situasi yang khusus.
Seorang yang memiliki konsep diripositif maka self-efficacy-nya akan tinggi.
Siswa yang menganggap self-efficacy-nya rendah cenderung menghubungkan
kegagalan dengan kurangnya kemampuan. Siswa yang berpegang teguh pada
rasaself-efficacy yang rendah akan menghancurkan motivasinya jika kegagalan
dihubungkan dengan kurangnya kemampuan (Bandura dalam Woolfolk,1995).
Pada umumnya hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan sikap siswa
yang berprestasi tinggi dalam memandang dirinya. Siswa yang berprestasi
kurang akan memandang dirinya sebagai orang yang tidak memiliki
kemampuan dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
sekitarnya.
Adanya perbedaan pandangan dalam memandang diri menyebabkan
perbedaan dalam memandang keberhasilan yang dicapai. Siswa yang
memandang dirinya negatif akan memandang keberhasilan sebagai suatu
kebetulan saja, sedangkan siswa yang memandang dirinya positif akan
menganggap keberhasilan sebagai adanya kemampuan. Pandangan inilah yang
mendorong siswa untuk lebih giat dalam belajar sehingga mencapai prestasi
belajar yang lebih baik.
Faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar ialah dukungan sosial
dukungan sosial terpenting berasal dari keluarga. Orangtua sebagai bagian
dalam keluarga merupakan individu dewasa yang paling dekat dengan anak dan
salah satu sumber dukungan sosial bagi anak dari keluarga. Orford (1992)
mengemukakan bahwa dukungan sosial orangtua sangat berpengaruh terhadap
prestasi belajar anak. Dukungan yang biasa diberikan orangtua terhadap
anaknya ialah dukungan instrumental dan emosional. Menurut Cabb (dalam
Nindra, 2003) dukungan instrumental yang diberikan orang tua membuat anak
menjalankan kegiatan belajarnya dengan baik karena pemenuhan kebutuhan
sekolahnya sehingga membantu kelancaran proses belajar mengajar. Begitupun
dengan pemenuhan kebutuhan emosional dalam bentuk cinta, perhatian,
penghargaan, dukungan yang diberikan orangtua mengajarkan anak bagaimana
menilai dirinya sendiri yang akhirnya membantunya untuk mencapai cita-cita
juga prestasi yang baik serta membentuk perkembangan kepribadian yang
positif bagi anak (Calhoun dan Acocella, 1990).
G. Hipotesis
Berdasar teori-teori di atas maka hipotesis penelitian ini berbunyi :
Ada hubungan positif antara prestasi belajar dengan intelegensi, konsep diri,
dan dukungan sosial yang diberikan orang tua. Makin tinggi intelegensi, konsep
diri, dan dukungan sosial yang diberikan orang tua terhadap anak, ,maka makin
40 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional karena ada hubungan
antara variable independen terhadap variabel dependen.
B. Identifikasi Variabel
1. Variable Dependen
Variable Dependen adalah variable yang dianggap dipengaruhi oleh
variabel lain. Dalam penelitian ini yang termasuk variable dependen
adalah Prestasi Belajar.
2. Variable Independen
Variable Independen adalah variable yang dianggap mempengaruhi
variabel lain. Dalam penelitian ini yang termasuk variable independen
adalah variable Intelegensi, Konsep Diri, dan Dukungan Sosial.
C. Definisi Operasional
1. Inteligensi
Suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional
yang dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
Dalam penelitian ini, intelegensi siswa akan diukur mengunakan alat tes
Semakin tinggi nilai yang diperoleh subjek, maka makin tinggi tingkat
intelegensi subjek.
1. Dukungan Sosial
Bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi, dan informasi yang
diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat,
teman, saudara, rekan kerja atupun atasan atau orang yang dicintai oleh
individu yang bersangkutan dengan tujuan individu yang mengalami
masalah merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan dicintai.
Dalam penelitian ini peneliti membuat skala dukungan sosial orangtua yang
akan diisi oleh para subjek
Semakin tinggi nilai yang diperoleh subjek, maka semakin besar dukungan
sosial yang diterima dari orangtua.
3. Konsep diri
Pandangan individu tentang diri sendiri yang memiliki 3 dimensi, yaitu;
pengetahuan, harapan , dan penilaian.
Dalam penelitian ini peneliti membuat skala konsep diri yang akan diisi
oleh para subjek.
Semakin tinggi nilai yang diperoleh subjek, maka semakin positif konsep
diri subjek.
2. Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dilakukan,
Dalam penelitian ini pengukuran prestasi belajar dilakukan dengan mendata
nilai pelajaran Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yang
terangkum Dalam nilai raport pada saat subjek kelas 1.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas dua Sekolah Dasar dari SD Kanisius
Demangan Baru, Kanisius Sorowajan, dan Kanisius Condong Catur tahun
ajaran 2010/ 2011 yang berjumlah 133 anak.
E. Metode Pengumpulan Data
1. Intelegensi
Metode pengetesan digunakan untuk mengumpulkan data berupa hasil
IQ siswa. Metode pengetesan ini menggunakan alat tes IQ CPM.
CPM atau Colour Progessive Matrices adalah sebuah alat tes yang dibuat
oleh Raven yang terdiri dari 36 item.
2. Dukungan Sosial orangtua
Metode yang digunakan untuk mengukur dukungan sosial orangtua
ialah skala. Peneliti membuat skala Dukungan Sosial yang terdiri dari 15
item. Awalnya peneliti membuat 20 item untuk skala Dukungan Sosial,
namun setelah melalui prosestryout,item berkurang menjadi 15.
Dalam skala dukungan sosial dapat dilihat seberapa besar anak
menerima dukungan sosial dari orang tua. Subjek diminta untuk
memberikan tanda pada dua kemungkinan jawaban yang tersedia sesuai
dengan keadaan diri subjek. Pilihan jawaban itu ialah “Sering” dan
“Jarang”. Dengan memberikan dua pilihan jawaban anak akan lebih mudah
untuk memilih jawaban yang sesuai dengan dirinya dibandingkan bila
diberi beberapa variasi jawaban lain. Hal tersebut dikarenakan anak-anak
belum dapat membedakan maksud dari variasi pilihan jawaban yang
disediakan.
Skala ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama memuat identitas subjek
yang meliputi nama lengkap,kelas, no absen, jenis kelamin, dan umur
subjek. Sementara bagian kedua berupa sejumlah pertanyaan seputar
Dukungan Sosial subjek.
3. Konsep Diri
Metode yang digunakan untuk mengukur konsep diri subjek ialah skala.
Skala Konsep Diri terdiri dari 23 item. Awalnya peneliti membuat 24 item
Konsep Diri dapat dilihat seberapa besar pengertian dan penilainan anak
tentang dirinya sendiri. Subjek diminta untuk memberikan tanda pada dua
kemungkinan jawaban yang tersedia sesuai dengan keadaan diri subjek.
Pilihan jawaban itu ialah “Sesuai” dan “Tidak Sesuai”. Dengan
memberikan dua pilihan jawaban anak akan lebih mudah untuk memilih
jawaban yang sesuai dengan dirinya dibandingkan bila diberi beberapa
variasi jawaban lain. Hal tersebut dikarenakan anak-anak belum dapat
membedakan maksud dari variasi pilihan jawaban yang disediakan.
Pertanyaan yang digunakan dalam skala ini merupakan pertanyaan
favorable untuk mengarahkan anak pada pembentukan konsep diri positif.
Skala ini terdiri dari dua bagian, bagian pertama memuat identitas subjek
yang meliputi nama lengkap,kelas, no absen, jenis kelamin, dan umur
subjek. Sementara bagian kedua berupa sejumlah pertanyaan seputar
konsep diri subjek.
4. Prestasi Belajar
Untuk melihat hasil prestasi belajar subjek, peneliti mengumpulkan data
siswa berupa nilai raport Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan
Matematika pada kelas I semester 2. Peneliti meminta data tersebut pada
F. Validitas dan Realibilitas Instumen
1. Validitas
Validitas tes adalah tingkat suatu tes mampu mengukur apa yang
hendak diukur (Arikunta,2003). Suatu alat ukur dapat dikatakan
mempunyai validitas yang tinggi apabila dapat menjalani fungsi ukur atau
dapat memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud
pengukurannya (Azwar,1999).
Validitas yang digunakan dalam menguji Skala Dukungan Sosial
dan Konsep Diri dalam penelitian ini adalah validitas isi yang menunjuk
pada sejauh mana item-item dalam alat ukur mencakup keseluruhan
kawasan isi objek yang hendak diukur (Azwar,2004).
Validitas isi diestimasi melalui pengujian isi tes oleh professional
judgement atau proses penilaian oleh orang yang dianggap ahli dalam
menilai apakah item-item tersebut benar-benar mewakili mengukur seluruh
aspek yang hendak diukur (Azwar,2004).Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakanprofessional judgment, yaitu penilaian dosen pembimbing.
2. Seleksi Item
Item yang tidak memperlihatkan kualitas yang baik harus
disingkirkan atau direvisi terlebih dahulu sebelum menjadi bagian dari
skala. Hanya item yang mempunyai kualitas yang baik yang boleh
digunakan dalam skala. Kualitas yang dimaksud adalah konsistensi antara
item dengan tes secara keseluruhan atau sering disebut sebagai korelasi