i
CAMPUR KODE BAHASA JAWA KE DALAM BAHASA INDONESIA PADA TUTURAN TOKOH PARIYEM
DALAM NOVEL PENGAKUAN PARIYEM KARYA LINUS SURYADI AG
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Ayu Primasandi NIM: 074114009
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
vi
Tulisan ini saya persembahkan untuk:
Bapak dan Ibuku tercinta,
vii ABSTRAK
Primasandi, Ayu. 2011. “Campur Kode Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia
pada Tuturan Tokoh Pariyem dalam Novel Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Ag”. Skripsi Strata 1 (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian tentang campur kode pada tuturan tokoh Pariyem dalam Novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag ini memiliki dua tujuan sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan satuan lingual apa saja campur kode terjadi dalam Novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Kedua, mendeskripsikan latar belakang sebab-sebab terjadinya campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag.
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan strategis, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Data diperoleh dengan metode simak, yaitu campur kode pada tuturan tokoh Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem. Teknik lanjutan dari metode simak tersebut adalah teknik simak bebas libat cakap, yaitu peneliti berperan sebagai pengamat dan tidak terlibat dalam peristiwa tuturan yang bahasanya sedang diteliti. Teknik simak bebas libat cakap ini dilaksanakan dengan teknik catat, yaitu mencatat data pada kartu data. Analisis data dilakukan dengan metode padan referensial, metode padan pragmatik, dan metode padan translasional. Teknik yang digunakan pada metode ini adalah teknik hubung banding menyamakan hal pokok. Teknik hubung banding menyamakan hal pokok ini digunakan untuk menemukan campur kode yang digunakan dalam novel Pengakuan Pariyem. Data yang sudah dianalisis disajikan dengan metode informal, yaitu penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa yang apabila dibaca dapat langsung dipahami.
Hasil penelitian tentang campur kode pada tuturan tokoh Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag ini adalah sebagai berikut. Pertama, campur kode meliputi satuan lingual kata, frasa, baster, bentuk ulang, dan peribahasa. Campur kode berupa kata meliputi kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), dan kata tugas. Campur kode yang berupa kata benda meliputi kata benda yang menyatakan sapaan, kata benda yang menyatakan nama benda, dan kata benda yang menyatakan pelaku atau orang yang melakukan pekerjaan. Campur kode berupa kata kerja terjadi pada kata kerja yang menyatakan aksi atau perbuatan dan kata kerja yang menyatakan keadaan. Campur kode berupa kata sifat terjadi pada kata sifat yang menyatakan penilaian, kata sifat yang menyatakan perasaan batin, dan kata sifat yang menyatakan warna. Campur kode berupa kata tugas hanya ditemukan yang berupa artikel yaitu, ta, lho, ha, lha, dan ya.
viii
ulang meliputi bentuk dasar, bentuk berimbuhan, bentuk berubah bunyi, dan bentuk semu. Campur kode berupa peribahasa meliputi pepatah, perumpamaan, dan ungkapan.
ix ABSTRACT
Primasandi, Ayu. 2011. “Code Mixing of Javanesse language to the Indonesian
Language of the Speech Acts of Pariyem in Linus Suryadi Ag’s Novel Pengakuan Pariyem”. An Undergraduate Thesis. Indonesian Letters Study Programme, Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters. Sanata Dharma University.
This research on code mixing of the speech acts of Pariyem as the main
character in Linus Suryadi Ag’s novel Pengakuan Pariyem has two aims as
follows. First, to describe on what lingual units code mixing appears in Linus Suryadi Ag’s Pengakuan Pariyem. Second, to describe the backgrounds of the
code mixing appearances in Linus Suryadi Ag’s Pengakuan Pariyem.
This research uses three strategic steps, which are: the data collection step, the data analysis step, and the presentation on the data analysis results step. On the data collection step, the data are collected through scrutinizing method, which is by scrutinizing the uses of language and code mixing of Pariyem’s speech acts in Pengakuan Pariyem. The advanced technique of scrutinizing method is conversation-free scrutinizingtechnique, on which the writer only has the role of an observer and is not involved in the speech acts that are being scrutinized. Conversation-free scrutinizing technique uses note-taking technique to take notes of the data using data cards. The analysis on the data is done by using equal referential method. Equal-related technique is used to find the code mixing appeared in the novel Pengakuan Pariyem. The data that have been analyzed are presented using informal method, which is by presenting the data analysis results through common words that can be directly understood to read.
The results of this research on code mixing of the speech acts of Pariyem as
the main character in Linus Suryadi Ag’s novel Pengakuan Pariyem are found as
follows. First, code mixing includes words lingual units, phrases, basters, repetitions, and proverbs. Code mixing as words includes nouns, verbs, adjectives, and adverbs. Code mixing as nouns includes nouns showing greetings, nouns showing names of things, and nouns showing the doers or the people doing actions. Code mixing as verbs includes verbs showing actions and verbs showing states. Code mixing as adjectives includes adjectives showing judgments, adjectives showing feelings, and adjectives showing colours. Code mixing as adverbs are only found in articles, such as ta, lho, ha, lha, and ya.
Code mixing as phrases includes noun phrases, verb phrases, prepositional phrases, and adverbial phrases. Code mixing as basters happens on the patterns as follows: prefix + word, word + suffix, and phrase + suffix. Code mixing as repetitions includes basic repetitions, affixed repetitions, sound change quasi-repetitions, and quasi-repetitions. Code mixing as proverbs includes aphorisms, parables, and idioms.
x
xi
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain terima kasih dan puji syukur yang teramat besar pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Selain dukungan yang istimewa dari Yang Maha Punya, tugas akhir ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan berbagai pihak yang dengan setia dan penuh doa menyemangati penulis. Oleh karena itu, banyak terima kasih penulis ucapkan kepada:
1. Drs. Hery Antono, M.Hum., selaku pembimbing I yang dengan sabar menerima keluh kesah penulis dan menjadi pemberi solusi yang baik bagi penulis selama penulisan tugas akhir,
2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku pembimbing II yang dengan sabar memberi masukan dan motivasi bagi penulis,
3. Bapak dan Ibu dosen Sastra Indonesia, Drs. B. Rahmanto, M.Hum., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dra. F. Tjandrasih, M.Hum., Drs. F.X. Santosa, M.S., Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum., dan Drs. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., terima kasih atas kesempatan berbagi ilmu dan pengalaman selama penulis menjalani studi di Program Studi Sastra Indonesia,
4. Staf Sekretariat Fakultas Sastra yang membantu penulis dalam kelancaran mencari informasi akademik selama penulis kuliah,
xii
6. Keluarga tercinta, Bapak Mathias Sugeng Riyadi dan Ibu Anastasia Kris Riyani, yang selalu berdoa, sabar, penuh cinta, dan percaya atas pilihan minat studi penulis, serta adik yang baik, Adita Primasti Putri,
7. Yohanes Carol & Theresia Denty, sahabat terbaik dan saudara seperjuangan yang tak henti-hentinya membagi kasih dan kerelaan bagi penulis kemarin, saat ini, dan seterusnya,
8. Teman-teman angkatan 2007, Fitri Nganthi Wani, Maria Vinora, Rosa Sekar Mangalandum, Petrus Sepi Kogoya, Bitbit Pakarisa, Elisabet Adinda, dan lain-lain yang dalam suka dan duka tetap kompak dan saling mendukung,
9. Teman-teman Kos Legi 1 terutama Florentina Noviani, Irene Ossi, Sylvia Puput, dan Cyrilla Sarah atas hari-hari bersama-sama mengerjakan skripsi, dan
10.Semua pihak yang belum dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa meski diselesaikan dengan usaha terbaik dari penulis, tugas akhir ini masih belum sempurna. Segala kekurangan, ketidaktelitian, dan kekekeliruan dalam tugas akhir ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya. Dengan rendah hati, penulis menerima saran dan kritik.
Yogyakarta, 30 Juni 2011
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR... xi
DAFTAR ISI... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah... 6
1.3 Tujuan Penelitian... 6
1.4 Manfaat Penelitian... 6
1.5 Tinjauan Pustaka... 7
1.6 Landasan Teori... 10
1.6.1 Pengertian Bilingualisme... 10
1.6.2 Pengertian Campur Kode dan Alih Kode... 11
1.6.3 Jenis Campur Kode berdasarkan Satuan Lingual... 12
1.6.4 Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Campur Kode... 13
1.7 Metode Penelitian... 17
xiv
1.7.2 Tahap Analisis Data... 18
1.7.3 Tahap Penyajian Analisis Data... 20
1.8 Sistematika Penyajian... 20
BAB II CAMPUR KODE BERDASARKAN SATUAN LINGUAL DALAM NOVEL PENGAKUAN PARIYEM... 22
2.1 Pengantar... 22
2.2 Kuantitas Penggunaan Campur Kode di dalam Novel Pengakuan Pariyem... 22
2.3 Bentuk Campur Kode dalam Novel Pengakuan Pariyem berdasarkan Satuan Lingualnya... 24
2.3.1 Campur Kode berupa Kata... 24
2.3.2 Campur Kode berupa Frasa... 34
2.3.3 Campur Kode berupa Baster... 38
2.3.4 Campur Kode berupa Bentuk Ulang... 40
2.3.5 Campur Kode berupa Peribahasa... 42
BAB III LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL PENGAKUAN PARIYEM... 45
3.1 Pengantar... 45
3.2 Faktor Kebahasaan... 45
3.2.1 Low Frequency of Word... 46
3.2.2 Oversight... 48
3.3 Faktor Non-Kebahasaan... 50
3.3.1 Need For Synonim... 50
xv
3.3.3 Adanya Situasi Formal... 52
3.3.4 Faktor Kebiasaan... 53
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 56
4.1 Kesimpulan... 56
4.2 Saran... 57
DAFTAR PUSTAKA... 59
LAMPIRAN I ... 62
LAMPIRAN II... 72
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa dalam penggunaannya merupakan modal utama demi terjalinnya sebuah komunikasi. Bahasa dalam penggunaannya juga sudah melekat dalam diri penutur. Hal ini sesuai dengan pendapat Lyons (1995:2) bahwa bahasa adalah sesuatu yang cenderung kita anggap sudah benar dan semestinya; sesuatu yang sudah kita kenal sejak kecil dengan mempraktikkannya dan tanpa memikirkannya.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, penggunaan bahasa dapat dibedakan dalam dua ragam bahasa, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis (Sugono, 2002: 14). Penggunaan bahasa Indonesia lisan dan tulis saat ini diakui telah mendapat pengaruh dari bahasa nusantara dan bahasa asing. Namun, selama pemasukan unsur bahasa daerah Nusantara atau bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia mengisi kekosongan atau memperkaya kesinoniman dalam kosa kata atau bangun kalimat, maka gejala itu dianggap wajar (Tim Depdikbud, 1997:8).
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan, disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Biasanya, ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi.
Fenomena bahasa berupa campur kode dalam ragam bahasa tulis tersebut terdapat pada novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Novel ini mengisahkan seorang tokoh bernama Pariyem, seorang pembantu sebuah keluarga kaya di Yogyakarta. Tokoh Pariyem secara berulang-ulang menceritakan latar belakang asalnya, di mana dan kapan dia dilahirkan, bahkan penggambaran situasi ketika dia dilahirkan. Novel ini mengangkat latar cerita dengan budaya Jawa yang terlihat dari penggambaran latar belakang tokoh, penggambaran latar situasi tempat dan waktu, serta tuturan-tuturan dalam penceritaan.
Novel ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1981. Novel ini merupakan karya sastra yang unik karena berupa prosa lirik. Linus Suryadi, sang pengarang, begitu banyak memasukkan unsur Jawa ke dalamnya. Novel ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Belanda dengan judul De Bekentenis van Pariyem pada tahun 1985 yang diterjemahkan oleh Maria Thermorshuizen.
menulis di bawah pengaruh tulisan-tulisan Goenawan Moehamad, Sapardi Djoko Damono, dan Taufik Ismail. Akhirnya beliau mengambil ciri khas tulisannya sendiri yang tampak dari karya-karyanya yang sarat akan suasana kejawaan. Bahkan menurut Ashadi Siregar dalam bagian akhir novel Pengakuan Pariyem (2002:313), bagi Linus, aspek kebudayaan Jawa merupakan sesuatu yang sangat besar untuk dimaksimalkan penggunaannya bagi karya sastranya.
Novel Pengakuan Pariyem merupakan karya sastra yang masterpiece pada sekitar tahun 80-an. Karena menjadi idola pada tahunnya, prosa lirik ini diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa seperti, bahasa Belanda dengan judul De Bekentenis van Pariyem oleh Maria Thermorhuizen, bahasa Inggris dengan judul
Pariyem‟s Confession oleh Jennifer Mary Lindsay, dan dalam bahasa Perancis
yang diterjemahkan oleh Henri Chambert-Loir atas dukungan UNESCO menjadi Les Confession de Pariyem. Beberapa paragraf terjemahan karya ini terdapat di Menagerie, no.1, Lontar Foundation, Jakarta, 1992. Karya ini menjadi salah satu karya yang terkenal dan fenomenal pada waktu itu karena karya ini berupa prosa lirik dan mempelopori munculnya banyak karya sastra yang bersifat kedaerahan. Linus Suryadi secara dominan menuangkan khas kedaerahan Jawa pada karya-karyanya, tidak hanya dalam novel Pengakuan Pariyem yang berupa prosa lirik, namun juga dalam beberapa esai seperti Regol Megal-Megol, Nafas Budaya Yogya, Dari Pujangga ke Penulis Jawa, dan Tirta Kamandanu.
sebagian dari hidup Linus selaku pengarang. Di dalam novel tersebut, Linus bercerita dengan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa Jawa.
Contoh campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag adalah sebagai berikut
(1) O, manakah iman, manakah wewaler Tuhan Bila nyawa tak punya lagi tempat aman? (hal 17) (2) O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
di pinggir sumur saya nembang (hal 19)
Pada contoh (1) terdapat kata wewaler ‗larangan, pamali, pantangan‘ berasal dari kata bahasa Jawa. Pada contoh (2) terdapat kata Gusti nyuwun ngapura ‗Tuhan,
mohon ampun‘ berasal dari klausa bahasa Jawa. Pada contoh ini juga terdapat kata nembang ‗menyanyikan lagu‘ yang berasal dari kata bahasa Jawa.
Alasan pertama dalam pemilihan topik campur kode pada tuturan tokoh Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem ini yaitu karena penulis ingin mengetahui pada satuan lingual apa saja campur kode dalam novel ini terjadi. Berikut contoh tuturan Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem,
(3) Saya tak tahu apa jawabannya, Tapi coba, sampeyan permalukan di tengah-tengah banyak orang. (hal 56) (4) Saya sudah punya ngelmu krasan, kok
ngelmu hidup yang sudah ditinggalkan. (hal 54) (5) Sikap congkak dan sombong diri
tanda orang itu kurang pekerti
“Wani ngalah luhur wekasanipun” (hal 49)
perumpamaan wani ngalah luhur wekasanipun „orang yang rendah hati dan mengalah akan dimuliakan‟.
Alasan Kedua dari pemilihan topik tentang campur kode pada tuturan tokoh Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem adalah penulis ingin mengetahui latar belakang penggunaan campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem ini. Berikut contohnya:
(6) Fajar telah terbit di timur
Sejak subuh hari para tamu pun pulang Begitupun nDoro Kanjeng dan nDoro Ayu
esuk uthuk-uthuk turun ke Ngayogyakarta. (hal 210)
(7) Betapa senangnya hati saya
nDoro Putri tidur seamben dengan saya Dia betah dan krasan tinggal di desa dan, O, makan dan jajan apa adanya
Tak pernah mencacat, dia nrima saja betapa senangnya hati saya (hal 211)
Pada contoh (6) pengarang menggunakan istilah esuk uthuk-uthuk ‗pagi-pagi buta‘ untuk menggambarkan keadaan pagi pada latar penceritaan yang tidak terlalu subuh namun juga belum terlalu pagi. Penjelasan latar situasi penceritaan ini lebih memilih menggunakan bahasa Jawa karena merupakan kebiasaan untuk menceritakan situasi pagi hari yang digambarkan dalam cerita. Pada contoh (7) pengarang menggunakan istilah seamben ‗seranjang‘, krasan ‗betah‘, dan nrima
‗menerima‘ karena ingin menunjukkan bahwa penutur yang merupakan seorang pembantu memiliki kesantaian dalam berbicara.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
1.2.1 Dalam satuan lingual apa sajakah campur kode terjadi dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag?
1.2.2 Mengapa terjadi campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag?
1.3Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan umum untuk menganalisis fenomena campur kode penggunaan bahasa Indoenesia, dalam hal ini akan diteliti terjadinya penggunaan bahasa Indonesia yang menggunakan unsur bahasa Jawa. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Mendeskripsikan satuan lingual apa saja campur kode terjadi dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag
1.3.2 Mendeskripsikan sebab-sebab terjadinya campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag.
1.4Manfaat Hasil Penelitian
sosiolingustik dan stilistika. Pada penegasan kajian sosiolinguistik, penelitian ini diharapkan dapat menguatkan bahwa latar belakang seseorang penutur dapat mempengaruhi tuturan yang digunakannya. Dalam hal ini, latar belakang budaya, sosial, agama, lingkungan tempat tinggal, dan pendidikan memperkuat bagaimana seseorang bertutur. Selain itu, penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan kajian stilistika, yakni bahwa dengan penggunaan bahasa daerah, yang secara khusus tampak dalam penelitian ini adalah bahasa Jawa, dapat memunculkan keindahan dan sopan santun dalam bertutur. Penggunaan campur kode ini juga menunjukkan adanya keinginan untuk mengungkapkan makna dengan lebih tepat. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk membaca tindak campur kode yang muncul pada karya sastra lain selain novel Pengakuan Pariyem. Selain itu, pembaca juga bisa memiliki pemahaman
mengapa terkadang dalam komunikasi terjadi tindak campur kode.
1.5Tinjauan Pustaka
Hendriawan (2009) dalam skripsinya yang berjudul ―Campur Kode pada
Penulisan Blog www.seleb.tv‖ menulis bahwa campur kode terjadi bila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan yang mendukung suatu tuturan disisipi oleh unsur bahasa lainnya. Permasalahanan yang dibahas dalam skripsinya, yakni (1) apa sajakah jenis campur kode, (2) apa sajakah wujud campur kode, dan (3) faktor apakah yang melatarbelakangi terjadinya campur kode.
Yuniawan dalam jurnal Humaniora, Volume 17 No.1 (2005: 89-99) menulis
tentang ―Campur Kode pada Masyarakat Etnik Jawa-Sunda: Kajian
Sosiolinguistik dalam Ranah Pemerintahan di Kabupaten Brebes‖. Pada penelitian ini, Yuniawan menemukan wujud campur kode masyarakat etnik Jawa-Sunda yang berada dalam ranah pemerintahan, yang terdiri dari (1) campur kode BJw-dB dalam BI, (2) campur kode dB dalam BI, (3) campur kode BJw-dB dalam BS-dB, (4) campur kode BS-dB dalam BJw-BS-dB, (5) campur kode BJw-Ng dalam BI, dan (6) campur kode BJw-Kr dalam BI.
Setyawati dalam jurnal Jalabahasa, Volume 6, No.1 (2010:63-72) menulis
Ciptini (2003) dalam tesisnya meneliti tentang ―Jenis dan Alasan
Penggunaan Campur Kode dalam Komunikasi Hubungan Kerja Rektor
Universitas Negeri Semarang‖. Permasalahan yang dibahas dalam tesis tersebut yaitu jenis dan alasan apa saja yang menyebabkan digunakannya campur kode dalam komunikasi hubungan kerja rektor Universitas Negeri Semarang. Ada dua macam campur kode yang digunakan oleh rektor Universitas Negeri Semarang dalam komunikasi formal, yaitu (1) campur kode serumpun, dan (2) campur kode tak serumpun. Penggunaan campur kode tersebut terjadi pada penyisipan berupa kata, frasa, baster, dan idiom. Alasan penggunaan campur kode adalah untuk menunjukkan wawasan penutur yang luas, rasa kedaerahan, perasaan senang dan tidak senang, menghormati seseorang, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dalam skripsi ini dibahas campur kode bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia pada tuturan tokoh Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Permasalahan yang diangkat adalah campur kode pada tuturan tokoh Pariyem yang terdapat pada novel Pengakuan Pariyem terjadi dalam satuan lingual apa saja dan sebab-sebab terjadinya campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Meskipun penelitian ini tidak mengembangkan
1.6Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, (1) pengertian bilingualisme, (2) pengertian alih kode dan campur kode, (3) jenis campur kode berdasarkan satuan lingualnya, (4) faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode.
1.6.1 Pengertian Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harafiah, yang dimaksud dengan bilingualisme, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73 dalam Chaer 2004:84).
Bloomfield dalam Chaer (2004:85) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Haugen (1961) mendukung pernyataan Bloomfield tentang bilingualisme dengan definisinya, yaitu tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Namun, menurut Haugen selanjutnya, seorang bilingual tidak secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja.
1.6.2 Pengertian Campur Kode dan Alih Kode
Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Pengalihan kode ini, dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum disebabkan oleh (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3) perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, dan (5) perubahan topik pembicara (Chaer, 2004:108).
Pembicaraan mengenai alih kode tidak terlepas dari pembahasan tentang campur kode. Kedua peristiwa yang lazim terjadi dalam masyarakat bilingual ini mempunyai kesamaan yang besar, sehingga seringkali sukar dibedakan. Hall dan Hill dalam Chaer (2004:114) dalam penelitian mereka mengenai masyarakat bilingual bahasa Spanyol dan Nahuali di kelompok Indian Meksiko, mengatakan bahwa tidak ada harapan untuk membedakan antara alih kode dan campur kode.
Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah penggunaan dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Dalam alih kode setiap bahasa yang digunakan masih menduduki fungsi otonominya sendiri, sedangkan dalam campur kode, kode utama atau dasar masih menduduki fungsi otonomnya, sedangkan kode lain yang terlibat hanya berupa serpihan.
Campur kode adalah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu (Nababan, 1984:32).
Fasold dalam Chaer (2004:115) berpendapat bahwa campur kode ialah fenomena yang lebih lembut daripada fenomena alih kode. Dalam campur kode terdapat serpihan-serpihan yaitu bahasa yang digunakan oleh seorang penutur, tetapi pada dasarnya dia menggunakan satu bahasa yang tertentu. Serpihan di sini dapat berbentuk kata, frasa, atau unit bahasa yang lebih besar.
Terdapat dua tipe campur kode menurut Soewito (1985) yaitu campur kode intern (inner code-mixing) dan campur kode ekstern (outer code-mixing). Campur kode intern yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa daerah. Campur kode ekstern (outer code-mixing) yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asing di luar bahasa penutur.
1.6.3 Jenis Campur Kode berdasarkan Satuan Lingual
Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya, Suwito (1985:78) membedakan campur kode menjadi beberapa macam, antara lain:
1. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata 2. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa 3. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster
4. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan kata 5. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan 6. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa
1.6.4 Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Campur Kode 1.6.4.1 Menurut Dell Hymes
Faktor penyebab campur kode menggunakan teori Dell Hymes (1972). Dell Hymes menggambarkan komponen tutur dalam suatu akronim bahasa Inggris yang terdolong dalam delapan unsur, sehingga menghasilkan akronim speaking, dengan huruf-huruf pertamanya sebagai berikut (Sumarsono, 2002:326-335).
a. S(etting and scene)
Latar mengacu pada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur dan biasanya
b. P(articipants)
Partisipan adalah orang-orang yang terlibat dalam pertuturan. Beberapa kaidah wicara di beberapa etnik tertentu menuntut spesifikasi tiga partisipan, yaitu pengirim, penerima, pendengar, atau sumber bicara, juru bicara, dan penerima.
c. E(nds)
Menurut Hymes, tujuan suatu peristiwa dari sudut pandang guyup tidak perlu serupa dengan tujuan mereka yang terkait dalam guyup itu. Strategi para partisipan merupakan faktor yang menentukan dalam pembentukan peristiwa tutur.
d. A(ct sequences)
e. K(ey) (tone or spirit of act)
Kunci mengacu kepada cara, nada, atau jiwa (semangat) tindak tutur dilakukan. Kunci itu serupa dengan modalitas dalam kategori gramatika. Tindak tutur bisa berbeda karena kunci, misalnya antara serius dan santai, hormat dan tak hormat, sederhana dan angkuh atau sombong, dan sebagainya. Pentingnya kunci terlihat jika ada konflik antara kunci dengan isi tindak tutur; kunci akan mengalahkan isi.
f. I(nstrumentalities)
Instrumentalitis mengacu kepada medium penyampaian tutur: lisan, tertulis, telegram, telepon, dan sebagainya. Dalam hal ini, orang harus membedakan cara menggunakannya.
g. N(orms of interaction and interpretation)
Semua kaidah yang mengatur pertuturan bersifat imperatif (memerintah). Maksudnya adalah perilaku khas dan sopan santun tutur yang mengikat yang berlaku dalam guyup. Interpretasi memiliki norma dan menurut Hymes mengimplikasikan sistem kepercayaan dari guyup.
h. G(enres)
mengimplikasikan kemungkinan pengidentifikasian ciri-ciri formal (bentuk) yang secara tradisi sudah dikenal oleh warga guyup. Richards dkk (1985) mengemukakan, di dalam analisis wacana, genre adalah sekelompok peristiwa tutur yang oleh guyup tutur dianggap mempunyai tipe yang sama. Hymes menambahkan, genre sering terjadi bersama-sama dengan peristiwa tutur, tetapi harus tetap diperlakukan berbeda dari peristiwa tutur.
1.6.4.2 Menurut Weinreich
Selain itu, Weinreich (1953) menjelaskan mengapa seseorang harus meminjam kata-kata dari bahasa lain. Hal ini pada dasarnya memiliki dua faktor, yaitu faktor internal (kebahasaan) dan faktor eksternal (non-kebahasaan).
a. Faktor Internal (Kebahasaan)
Latar belakang kebahasaan yang menyebabkan orang menggunakan campur kode adalah sebagai berikut.
1. Low frequency of word, yaitu kata-kata bahasa asing digunakan karena lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya.
2. Pernicious homonimy, yaitu jika penutur menggunakan kata dari bahasanya sendiri maka kata tersebut dapat menimbulkan masalah homonim yaitu makna ambigu.
b. Faktor Eksternal (Non-Kebahasaan)
Latar belakang non-kebahasaan yang menyebabkan orang menggunakan campur kode adalah.
1. Need for synonim, yaitu penutur menggunakan bahasa lain untuk memperhalus maksud tuturan.
2. Social value, yaitu penutur sengaja mengambil kata dari bahasa lain dengan mempertimbangkan faktor sosial
3. Perkembangan dan perkenalan dengan budaya baru
1.7Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap strategis, yaitu: tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Berikut diuraikan masing-masing tahap penelitian tersebut.
1.7.1 Tahap Pengumpulan Data
Data berupa teks diperoleh dari novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Pemerolehan data dilakukan dengan metode simak. Metode penyediaan data ini diberi nama metode simak karena penjaringan data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Kesuma, 2007:43). Dalam penelitian ini dilakukan penyimakan terhadap campur kode dalam tuturan Pariyem dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Teknik lanjutan dari metode simak
Teknik simak bebas libat cakap adalah penjaringan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa tanpa ikut berpartisipasi dalam proses pembicaraan. Dalam teknik ini, peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati (Kesuma, 2007:44. Lih. Sudaryanto, 1988:4). Dalam teknik simak bebas libat cakap digunakan teknik lanjutan yaitu teknik catat.
Teknik catat adalah teknik menjaring data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Kesuma, 2007:45). Teknik catat ini merupakan upaya transkripsi yang merupakan akhir dari pengumpulan data. Selain transkripsi, tahap akhir dari pengumpulan data adalah pengklasifikasian data. Data diklasifikasikan berdasarkan satuan lingualnya.
1.7.2 Tahap Analisis Data
Tahapan analisis data adalah langkah yang dilakukan peneliti setelah data terkumpul sebagai upaya untuk menangani masalah yang ada dalam data. Analisis data untuk penelitian ini menggunakan metode padan.
Metode padan, yang disebut pula metode identitas, adalah metode analisis data yang alat penentunya berada di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan atau diteliti (Sudaryanto, 1993:13). Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan referensial, metode padan pragmatis, dan metode padan translasional.
mengidentifikasi satuan kebahasaan dari data yang ditunjuk. Contoh penerapannya sebagi berikut.
(8) Saya lebih patut sebagai biyung emban (Suryadi, 2002:23)
Kalimat (8) menunjukkan kata biyung emban ‗ibu pengasuh‘ merupakan satuan lingual berupa frasa. Penentuan satuan lingual pada kalimat tersebutlah yang merupakan penentuan identitas berupa metode padan referensial.
Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya lawan atau mitra bicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra wicaranya ketika satuan kebahasaan itu dituturkan oleh pembicara (Kesuma, 2007:49). Contoh penerapannya adalah sebagai berikut.
(9) Dasar perempuan suka celelekan
Diberi tahu malah ngikik ketawa (Suryadi, 2002:120)
Contoh (9) menekankan pada penggunaan kata celelekan ‗tidak bisa bersungguh
-sungguh‘ untuk menunjukkan bahwa penggunaan kata bahasa Jawa lebih
mendukung pada maksud yang ingin disampaikan penutur tentang sifat lawan bicaranya yang tidak bisa diajak serius.
Metode padan translasional adalah metode padan yang alat penentunya bahasa lain (Kesuma, 2007:49). Contoh penerapan metode padan translasional adalah sebagai berikut.
wanodya dalam bahasa Jawa merujuk pada maksud yang sama dengan kata
wanita dalam bahasa Indonesia.
Teknik lanjutan yang digunakan dalam metode ini adalah teknik hubung banding menyamakan hal pokok. Teknik hubung banding menyamakan hal pokok adalah teknik analisis data yang alat penentunya berupa daya banding menyamakan hal pokok di antara satuan-satuan kebahasaan yang ditentukan identitasnya (Kesuma, 2007: 54).
1.7.3 Tahap Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data disajikan dengan metode informal. Penyajian hasil analisis data secara informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa sehingga apabila dibaca langsung dapat dipahami (Kesuma, 2007: 71).
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari empat bab.
Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan perihal latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
ulang, campur kode berupa baster, campur kode berupa klausa, dan campur kode berupa ungkapan.
Bab III berisi uraian mengenai sebab-sebab terjadinya campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi Ag. Alasan penutur menggunakan campur kode ada dua, yaitu adanya faktor internal (kebahasaan) dan faktor eksternal (non-kebahasaan).
BAB II
CAMPUR KODE BERDASARKAN SATUAN LINGUAL DALAM NOVEL PENGAKUAN PARIYEM
2.1 Pengantar
Ada dua tipe campur kode, menurut Soewito (1985), yaitu campur kode intern yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa daerah dan campur kode ekstern yaitu campur kode yang bersumber dari bahasa asing di luar bahasa penutur. Sesuai dengan latar belakang penulis dan latar belakang situasi penulisan karya, campur kode yang terjadi dalam novel Pengakuan Pariyem cenderung mengarah pada tipe pertama, yakni campur kode intern.
Campur kode yang terjadi dalam novel Pengakuan Pariyem merupakan campur kode intern yang terjadi dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Campur kode tidak hanya terjadi dalam tataran kata, melainkan juga dalam satuan lingual lainnya seperti frasa, kalimat, dan klausa. Pada bagian ini akan diungkapkan campur kode yang terjadi dalam novel Pengakuan Pariyem berdasarkan satuan lingualnya
Wujud Campur Kode Jumlah
Kata 167
Frasa 15
Baster 18
Bentuk Ulang 25
Peribahasa 19
Total 244
Tabel 1.1 kuantitas penggunaan campur kode
Dari tabel 1.1, dapat dilihat seringnya penggunaan campur kode berupa kata dan peribahasa dalam tuturan pada novel Pengakuan Pariyem. Peristiwa campur kode tersebut sering digunakan oleh tokoh Pariyem dalam komunikasi sehari-harinya dengan orang di sekitarnya. Penggunaan campur kode berupa kata, frasa, baster, dan peribahasa tersebut mewakili latar belakang tokoh untuk mengungkapkan sesuatu kepada lawan bicaranya.
Peristiwa campur kode berupa percampuran dari bahasa Jawa ini terjadi karena penutur1 memiliki latar belakang budaya Jawa yang kental. Selain itu, dalam suatu komunikasi, penutur ingin mengungkapkan maksud tuturan dengan lebih sopan ataupun lebih kasar yang berarti ‗menegaskan‘. Dalam hal ini, bentuk tutur bahasa Jawa secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni bentuk hormat dan bentuk biasa.
1
Rahardi (2001:59-60) mengungkapkan tingkat tutur bahasa Jawa menjadi tiga, yaitu tingkat tutur ngoko yang memiliki makna rasa yang tak berjarak antara orang pertama atau penutur dengan orang kedua atau mitra tutur, tingkat tutur krama yang memancarkan arti penuh sopan-santun antara sang penutur dengan
mitra tutur, dan tingkat tutur madya yang berada di antara tingkat tutur krama dan tingkat tutur ngoko yang menunjukkan perasaan sopan tetapi tingkatnya tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah.
Berdasarkan kuantitas penggunaan campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem, berikut dipaparkan bentuk campur kode berdasarkan satuan lingualnya
yang terdapat dalam novel Pengakuan Pariyem.
2.3 Bentuk Campur Kode dalam Novel Pengakuan Pariyem berdasarkan Satuan Lingualnya
Berdasarkan satuan lingualnya, campur kode yang ditemukan dalam Novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
2.3.1 Campur Kode berupa Kata
2.3.1.1Campur Kode Berupa Kata Benda ( Nomina )
Kata benda (nomina) adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian (Hasan Alwi, 2003:213). Campur kode berupa kata benda yang terdapat dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
2.3.1.1.1 Kata Benda yang Menyatakan Sapaan
Kata benda yang menyatakan sapaan dalam bahasa Jawa sama dengan kata benda berupa yang menyatakan sapaan dalam bahasa Indonesia. Contoh kata benda yang menyatakan sapaan dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
(11)―Jangan sampeyan bertanya
‗Kenapa dua adik saya tak bernama
Bambang dan Endang saja?‘ (Suryadi, 2002:5) (12)Sedangkan pada hari siang
ketimbang ngrasani para tetangga dan bergunjing perkara bendoronya ongkang-ongkang di amben dapur
sinambe kalaning nganggur (Suryadi, 2002:21)
(13)Demikian pun bapak dan simbok saya
tanpa rasa sesal dan rasa curiga (Suryadi, 2002:26)
Campur kode berupa kata benda yang menyatakan sapaan tampak dalam contoh (11) kata sampeyan ‗Anda‘, contoh (12) kata bendoro ‗Tuan‘, dan contoh (13) kata simbok ‗Ibu‘.
2.3.1.1.2 Kata Benda yang Menyatakan Nama Benda
(14)Ongkang-ongkang di amben dapur
Sinambi kalaning nganggur (Suryadi, 2002:21)
(15)Hasrat mangku wanodya bangkit –mana tahan- (Suryadi, 2002:25) (16)Saya songkokkan di dada
sebagai kutang menyongkok penthil (Suryadi, 2002:28) (17)Waktu prabu Ajisaka menggelar iketnya
prabu Dewata Cengkar sampai terjungkal (Suryadi, 2002:44) (18)Suatu hari wong bule datang (Suryadi, 2002:110)
(19)Yang dekat Alun-alun Lor jalan kaki
yang jauh dari luar kota naik colt (Suryadi, 2002:121) (20)Dengan rasa bangga dan lega –pulanglah-
Numpak andhong ditarik dua jaran (Suryadi, 2002:125)
Campur kode yang berupa kata benda yang menyatakan nama benda tampak pada contoh (14) kata amben ‗balai-balai‘, contoh (15) kata wanodya ‗wanita‘, contoh (16) kata kuthang ‗pakaian dalam wanita (BH)‘ dan kata penthil ‗puting susu‘, contoh (17) kata iket ‗ikat kepala‘, contoh (18) kata wong ‗orang‘, contoh (19) kata colt ‗merk angkutan umum‘, dan contoh (20) kata jaran ‗kuda‘.
2.3.1.1.3 Kata Benda yang Menyatakan Pelaku atau Orang yang Sedang Melakukan Pekerjaan
Contoh campur kode berupa kata benda yang menyatakan pelaku atau orang yang sedang melakukan pekerjaan adalah sebagai berikut.
(21)―Sedang simbok saya jadi ledhek
Parjinah nama kecilnya (Suryadi, 2002:24) (22)―Iyem‖ panggilan sehari-harinya
dari Wonosari Gunung Kidul
(23)nDoro Kanjeng langka absen, lho
menghadiri sarasehan para sindhen (Suryadi, 2002:70)
Campur kode berupa kata benda yang menyatakan pelaku atau orang yang sedang melakukan pekerjaan tampak pada contoh (21) kata ledhek yang memiliki arti penandak; penari (perempuan) dalam kethoprak, contoh (22) kata babu
‗pembantu‘, dan contoh (23) kata sindhen ‗penyanyi yang diiringi dengan musik gamelan‘.
2.3.1.2Berupa Kata Kerja (Verba)
Kata kerja atau verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan (aksi), atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas. Verba, khususnya yang bermakna keadaan, tidak dapat diberi prefix ter- yang berarti paling. Verba juga tidak dapat bergabung dengan kata-kata yang menyatakan makna kesangatan (Alwi, 2003:87).
Secara umum verba dapat diidentifikasi dan dibedakan dari kelas kata yang lain, terutama dari adjektiva, karena cirinya sebagai berikut (Depdikbud, 1988:76).
a. Verba berfungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat walaupun dapat juga mempunyai fungsi lain.
b. Verba mengandung makna dasar perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas.
Campur kode berupa verba yang ditemukan dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
2.3.1.2.1 Kata Kerja yang Menyatakan Aksi atau Perbuatan
Contoh campur kode berupa kata kerja yang menyatakan aksi atau perbuatan adalah sebagai berikut.
(24)Saya sudah membereskan meja makan Cuci pakaian, asah-asah, setlika sudah saya kerjakan dengan setia
kini saya berhak tidur –ngaso- (Suryadi, 2002:30) (25)Karsa mrentul di dalam sanubari
sebagai puting susu disedot lelaki Muncul ke luar ia membutuhkan papan sebagai ludah insan cipokan
merembus ke luar tak terkendalikan (Suryadi, 2002:32) (26)―Saya ingat hari terjadinya
Dan saya ingat hari pasarannya Kamis Pahing persisnya
jatuh pada bulan purnama Dan sejak itu, tiap kali kangen
dia terus mengajak sare sama saya (Suryadi, 2002:40) (27)―Ah ya, Raden Bagus Ario Atmojo
Begitu bila nDoro Ayu bercerita
pada para tamu yang sowan ke ndalemnya Dia kuliah di Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada (Suryadi, 2002:41) (28)―nDoro Kanjeng wong wicaksono, lho
Sering benar diminta kasih wejangan Dalam upacara ngundhuh pengantin upacara tetesan dan supitan
Dalam upacara layat kematian
dan dalam upacara ruwatan (Suryadi, 2002:65) (29)Ki dalang Kimpul dari Sleman
Sedang bapak ngetoprak di Tempel
pulangnya saban seminggu sekali (Suryadi, 2002:81) (30)―Sekadar mencari angin malam
Makan nasi goreng pada bu Luntur di Alun-alun Lor Ngayogyakarta Minum teh nas-gi-thel bergula batu di pojok wetan Paku Alaman Makan nasi gudeg dan teh jahe di depan pasar gede Beringharjo Sehabis nonton gambar hidup di gedung Ratih atau Indra Atau nonton seni pertunjukan di Senisono atau Purna Budaya Atau mirsani pagelaran wayang
di Alun-alun Kidul Ngayogyakarta (Suryadi, 2002:97) (31)Ah, ya betapa lucu mereka
pertengkaran mulut sebagai buahnya Lalu masing-masing pada wadul
kepada Romo dan Ibunya (Suryadi, 2002:144)
Adapun verba yang menyatakan aksi atau perbuatan dalam contoh (24) sampai contoh (31) adalah, ngaso ‗beristirahat‘, cipokan ‗ciuman‘, sare ‗tidur‘, sowan
‗berkunjung‘, ngundhuh ‗memetik; menjemput pengantin dari rumah pengantin
perempuan‘, ngetoprak ‗bermain ketoprak‘, mirsani ‗menyaksikan‘, dan wadul
‗mengadu‘.
2.3.1.2.2 Kata Kerja yang Menyatakan Keadaan
Contoh campur kode berupa kata kerja yang menyatakan keadaan adalah sebagai berikut.
(32)Apabila saya menyapa Den Baguse bayang matanya penuh alam mimpi Dia menelan ludah berkali-kali
saya pun menggelinding –turun- mBeboro mencari tumpangan raga
Sebagai babu nDoro Kanjeng Cokro Sentono di nDalem Suryomentaraman Ngayogyakarta Tapi dengan putra sulungnya main asmara
dan kini meteng sebagai buahnya (Suryadi, 2002:181)
Campur kode berupa kata kerja yang menyatakan keadaan tampak pada contoh (32) kata ngaceng yang berarti tegang atau ereksi, dan contoh (33) kata meteng yang berarti hamil.
2.3.1.3Berupa Kata Sifat (Adjektiva)
Kata sifat atau adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam suatu kalimat. Adjektiva dapat diikuti kata keterangan sekali, serta dapat dibentuk menjadi kata ulang berimbuhan gabung se-nya (Hasan Alwi, 2003:171).
Ciri-ciri adjektiva adalah sebagai berikut (Depdikbud, 1988:209).
a. Adjektiva dapat diberi keterangan pembanding seperti lebih, kurang, dan paling: lebih besar, kurang baik, paling mahal.
b. Adjektiva dapat diberi keterangan penguat seperti sangat, amat, benar, sekali, dan terlalu: sangat indah, amat tinggi, pandai benar, murah sekali, terlalu murah.
c. Adjektiva dapat diingkari dengan kata ingkar tidak: tidak bodoh, tidak salah, tidak benar.
d. Adjektiva dapat diulang dengan awalan se- dan akhiran –nya: sebaik-baiknya, serendah-rendahnya, sejelek-jeleknya.
-(w)i, -iah, -if, -al, dan –ik: honorer, duniawi, ilmiah, negatif, formal. Campur kode berupa kata kerja yang ditemukan dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
2.3.1.3.1 Adjektiva yang Menyatakan Penilaian
Contoh campur kode berupa kata sifat yang mengatakan penilaian adalah sebagai berikut.
(34)Bapak saya biasa berperan bambangan
banyak benar wanita kepencut sama bapak saya Apalagi bila dia sudah gandrung – ura-ura-
para penonton terharu hilang kata (Suryadi, 2002:24) (35)Perasaannya peka
sepeka pita kaset
Dan rangkulannya jembar
sejembar pergaulannya (Suryadi, 2002:65)
(36)Ibarat minyak dan air tak bisa lebur tak bisa akur
selalu kerah –congkrah- (Suryadi, 2002:76) (37)Agar jejeg imannya
dan landhep batinnya (Suryadi, 2002:105) (38)Dasar perempuan suka celelekan
diberi tahu malah ngikik ketawa (Suryadi, 2002:120)
Campur kode berupa adjektiva yang menyatakan penilaian tampak pada contoh (34) sampai (38) diatas yaitu, gandrung ‗kasmaran, tergila-gila‘, jembar ‗lebar‘, kerah ‗berkelahi‘, serta jejeg ‗tegak lurus‘, landhep ‗tajam‘ dan celelekan
2.3.1.3.2 Adjektiva yang Menyatakan Perasaan Batin
Contoh campur kode yang berupa adjektiva yang menyatakan perasaan batin adalah sebagai berikut.
(39)Tapi saya juga pasang gaya: Melepas setagen berganti kain cobot kebaya ganti yang lain
Wuah, wuah, dia pasti terus merajuk tidak jarang dia pun ngamuk-ngamuk
Bilangnya, dia tresna banget sama saya (Suryadi, 2002:47) (40)Dan hanya kepada sampeyan, lho, mas
lelakon semua ini saya ceritakan Tak saya sidhem, tak saya dekam
saya krasan yang serba tentram (Suryadi, 2002:63) (41)Begitupun Nyai Kondhang kuning
Dari Kricak Lor Ngayogyakarta
Suaranya anyles bikin gemes (Suryadi, 2002:71) (42)Dalam kantuk yang menggandhul
Hati saya sumeleh, bersyukur (Suryadi, 2002:77) (43)Apakah karena terbawa oleh naluri
Lelaki itu karem banget kekuasaan (Suryadi, 2002:152)
Campur kode berupa adjektiva yang menyatakan perasaan batin tampak pada contoh (39) kata tresna ‗cinta‘, contoh (40) kata krasan ‗betah‘, contoh (41) kata anyles ‗sejuk sekali‘, contoh (42) kata sumeleh ‗tawakal‘, dan contoh (43) kata karem ‗suka sekali akan; sudah menjadi kegemaran‘.
2.3.1.3.3 Adjektiva yang Menyatakan Warna
Contoh campur kode berupa adjektiva yang menyatakan warna adalah sebagai berikut.
(44)Membeli telur godhog sunduk
Campur kode berupa adjektiva yang menyatakan warna dalam novel Pengakuan Pariyem hanya ditemukan satu data yakni contoh (44) kata abang ‗merah‘.
2.3.1.4Berupa Kata Tugas
Kata tugas hanya mempunyai arti gramatikal, tetapi tidak memiliki arti leksikal. Ini berarti bahwa arti suatu kata tugas ditentukan bukan oleh kata itu secara lepas, tetapi oleh kaitannya dengan kata lain dalam frasa atau kalimat. Kata seperti dan, ke, karena, dan dari termasuk dalam kelas kata tugas (Alwi, 2003:287). Ciri lain dari kata tugas adalah bahwa hampir semua kata tugas tidak dapat mengalami perubahan bentuk.
Berdasarkan peranannya dalam frasa atau kalimat, kata tugas dibagi menjadi lima kelompok, yaitu preposisi (kata depan), konjungsi (kata sambung), interjeksi (kata seru), artikula (kata sandang), dan partikel penegas.
Dalam novel Pengakuan Pariyem, jenis kata tugas yang ditemukan berupa partikel, sebagaimana terlihat pada contoh berikut.
(45)Kalau memang sudah nasib saya Sebagai babu, apa ta, repotnya? Gusti Allah Maha Adil, kok
Saya nrima ing pandum (Suryadi, 2002:29) (46)Dan saya langka mencaci orang, lho
kecuali orangnya memang sontoloyo (Suryadi, 2002:34) (47)―Ketlingsut ke mana kamu, yu Iyem?
Sudah 5 tahun di Yogya kok hilang
Kepencut sama wong lanang apa, ha?‖ (Suryadi, 2002:120) (48)Dalam gelora hasrat yang berkobar
dan kudu melahirkan bayi kembali – Lha, ya, mau bagaimana lagi, ta enak, kok
kepenak (Suryadi, 2002:218)
Kata tugas berupa partikel yang ditemukan dalam novel Pengakuan Pariyem pada contoh (45) sampai contoh (48) adalah ta, lho, ha, lha, dan ya.
2.3.2 Campur Kode berupa Frasa
Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Kentjono, 1984:57). Sama halnya dengan kata, frasa dapat berdiri sendiri. Pada umumnya frasa dapat diperluas. Contoh penyisipan kata pada frasa merupakan bentuk perluasan frasa. Dalam bahasa Indonesia, kata terakhir dalam frasa umumnya mempunyai tekanan yang lebih keras dari kata lain dalam frasa itu (Kentjono, 1984:58).
Dalam novel Pengakuan Pariyem, campur kode yang terjadi pada satuan lingual frasa adalah sebagai berikut.
2.3.2.1 Campur Kode Berupa Frasa Nomina
Menurut Ramlan (1995:167), frasa nomina adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata nominal. Menurut Wijana (2009:29), frasa nomina adalah kelompok kata yang unsur pusatnya nomina. Unsur pusatnya tidak selalu monomorfemik, tetapi mungkin pula polimorfemik.
(49)O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
Saya lebih patut sebagai biyung emban (Suryadi, 2002:23) (50)Gusti Allah, Maha Adil, kok (Suryadi, 2002:29)
(51)Tapinya kosong melompong
buahnya kanthong bolong (Suryadi, 2002:59) (52)Hatinya longgar
selonggar kathok kolor (Suryadi, 2002:65) (53)Pikirannya tajam
setajam keris warangan (Suryadi, 2002:65) (54)―Sejak siang hujan riwis-riwis
Jatuh di jagad Ngayogyakarta (Suryadi, 2002:41)
Campur kode berupa frasa nomina dalam novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (49) frasa biyung emban ‗ibu pengasuh‘, contoh (50) frasa gusti allah
‗Tuhan Allah‘, contoh (51) frasa kanthong bolong ‗kantung berlubang‘, contoh (52) frasa kathok kolor ‗celana longgar‘, contoh (53) frasa keris warangan ‗keris yang dilumuri arsenicum, digunakan supaya keris tidak lekas berkarat‘, dan contoh (54) frasa hujan riwis-riwis ‗hujan rintik-rintik‘.
2.3.2.2 Campur Kode Berupa Frasa Verbal
Frasa verba adalah frasa yang berdistribusi yang sama dengan kata verba (Ramlan, 1995:168). Menurut Wijana (2009:48), frasa verbal adalah kelompok kata yang unsur pusatnya verbal.
Contoh campur kode berupa frasa verbal dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut:
(55)Tapi tongseng dan nasi goreng, ojo takon
(56)Dengan berpokrol bambu, waton mangap Bergaya atos pula: akhirnya uanglah
Yang menjadi kunci kepribadiannya (Suryadi, 2002:134)
Campur kode berupa frasa verbal dalam novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (55) frasa ojo takon ‗jangan bertanya‘ dan contoh (56) frasa waton mangap
‗asal buka mulut; asal bicara‘.
2.3.2.3 Campur Kode Berupa Frasa Adjektival
Frasa adjektival adalah frasa yang memiliki distribusi yang sama dengan kata adjektival (Ramlan, 1995:176). Campur kode berupa frasa adjektival dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut:
(57)Dia punya katuranggan raden Gatotkaca : gantheng tapi lembut
Kalem tapi pun sembodo Guwayanya suntrut
dan pasuryannya bercahaya (Suryadi, 2002:43) (58)Bagaikan iket kepala Sala-Ngayogya
dijereng jembar, dipakai pun longgar (Suryadi, 2002:44) (59)Saya tak ayem tentrem karenanya
saya tak krasan ketemu siapa saja (Suryadi, 2002:60) (60)Tapi juga di Pendhopo Kecamatan, Kabupaten
Pendhopo Kalurahan dan rumah gedheg kampung Lha, ya, jangan heran saya hafal nama-nama
nDoro Putri demen banget cerita sama saya (Suryadi, 2002:154)
Campur kode berupa frasa adjektival dalam novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (57) sampai contoh (60), yaitu frasa guwayanya suntrut ‗airmukanya
muram‘, frasa dijereng jembar ‗dibentang lebar‘, frasa ayem tentrem ‗tenang,
2.3.2.4 Campur Kode Berupa Frasa Preposisional
Frasa preposisional adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan preposisi. Campur kode berupa frasa preposisional yang terdapat dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut:
(61) ketimbang ngrasani para tetangga dan bergunjing para bendoronya
ongkang-ongkang di amben dapur (Suryadi, 2002:21) (62)O, bapak, O, simbok
anakmu kungkum di sendhang
menanggung beban sendirian (Suryadi, 2002:87)
Campur kode berupa frasa preposisional dalam novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (61) frasa di amben ‗di balai-balai‘, dan contoh (62) frasa di sendhang ‗di mata air‘.
2.3.2.5 Campur Kode Berupa Frasa Adverbial
Frasa adverbial atau keterangan adalah frasa yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata keterangan (Ramlan, 1995:177). Campur kode frasa adverbial yang ditemukan pada novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut:
(63) ―Sejak esuk uthuk-uthuk
saya memasang gendang telinga (Suryadi, 2002:hal36) (64) Begitupun nDoro Kanjeng dan nDoro Ayu
esuk uthuk-uthuk turun ke Ngayogyakarta (Suryadi, 2002:210)
Campur kode berupa frasa adverbial dalam novel Pengakuan Pariyem ditemukan dua dan sama, yakni pada contoh (63) dan contoh (64) frasa esuk uthuk-uthuk
2.3.3 Campur Kode Berupa Baster
Campur kode berupa baster dalam hal ini terjadi dalam pembentukan bentuk dasar dari bahasa asing maupun bahasa daerah ke dalam proses afiksasi. Berdasarkan data yang telah diperoleh, bentuk baster yang terdapat pada novel Pengakuan Pariyem dibagi atas pola berikut.
a. Awalan + kata b. Kata + akhiran c. Frasa + akhiran
2.3.3.1Campur Kode Berupa Baster dengan Pola Awalan + Kata
Contoh campur kode berupa baster dengan pola awalan + kata adalah sebagai berikut.
(65) ya, ya, Raden Bagus Ario Atmojo namanya Kalau sudah merah matanya
seolah jagad gelap gulita
Hasratnya tak bisa dipenggak, ditunda
biar dengan bujuk rayu dan janji segala (Suryadi, 2002:47) (66) Tanpa kehilangan rasa gembira
keindahan terbabar bersama jua Dan hidup mengalir penuh citra: Rasanya intim, rasanya jenaka
kesahajaan pun ada di dalamnya (Suryadi, 2002:78) (67) Ah, ya, kang Kliwon pintar, kok
habis bantingan saya diongklok (Suryadi, 2002:96)
2.3.3.2Campur Kode Berupa Baster dengan Pola Kata + Akhiran
Contoh campur kode berupa baster dengan pola kata + akhiran adalah sebagai berikut.
(68) Saya bayangkan dan saya kenangkan: Banyak sindhen kawentar berkumpul gelungan munthil-munthil dan bengesan
Dengan berkebaya dan jarikan lurik (Suryadi, 2002:70) (69) Demikianpun kami perempuan bertiga:
nDoro Ayu, nDoro Putri, dan saya
ada dalam uyuk-uyukan berebutan (Suryadi, 2002:125) (70) ―Oh, adhuh! Ini anak saya‖
Saya pun berpura-pura: ―Sakit benar gronjolannya!‖
Saya pun merintih kesakitan (Suryadi, 2002:125)
Campur kode berupa baster dengan pola kata + akhiran dalam novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (68) benges + -an ‗berhias‘ dan jarik + -an
‗berkain sarung (untuk wanita)‘, contoh (69) uyuk-uyuk + -an ‗berdesakan‘, dan contoh (70) gronjolan + -nya ‗rontaannya‘.
2.3.3.3Campur Kode Berupa Baster dengan Pola Frasa + Akhiran
Contoh campur kode berupa baster dengan pola frasa + akhiran adalah sebagai berikut.
(71) Lha, kalau numpak sepeda motor Yamaha ngebut banternya luar biasa (Suryadi, 2002:42)
2.3.4 Campur Kode Berupa Bentuk Ulang
Campur kode berupa bentuk ulang dalam novel Pengakuan Pariyem berupa bentuk ulang kata bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia. Berikut campur kode berupa bentuk ulang yang ditemukan dalam novel Pengakuan Pariyem.
2.3.4.1 Campur Kode Berupa Bentuk Ulang Dasar
Bentuk ulang dasar ialah kata ulang yang terjadi dari pengulangan seluruh bentuk dasar kata. Kata ulang dasar disebut dwilingga.
Campur kode berupa bentuk ulang dasar yang terdapat dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
(72) Hidup yang prasojo saja
tak usah yang aeng-aeng (Suryadi, 2002:hal 28) (73) O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
badan saya jentol-jentol semua (Suryadi, 2002:85) (74) Sampai kelon yang terakhir
saya tidak meteng-meteng lho (Suryadi, 2002:96)
Campur kode berupa bentuk ulang dasar dalam novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (72) kata aeng-aeng ‗aneh-aneh‘, contoh (73) kata jentol-jentol ‗bentol-bentol‘, dan contoh (74) kata meteng-meteng ‗hamil-hamil‘.
2.3.4.2 Campur Kode Berupa Bentuk Ulang Berimbuhan
Bentuk ulang berimbuhan ialah kata ulang yang dalam proses perulangannya mendapatkan imbuhan. Contoh campur kode berupa bentuk ulang berimbuhan pada novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
Kata wong Jawa –micarani- Sahabat karibnya banyak sekali
tapi dia masih mbok-mboken, lho (Suryadi, 2002:138) (76) Kenapa hati saya kelara-lara
Terjaring dalam kegelapan (Suryadi, 2002:86)
Campur kode berupa bentuk ulang berimbuhan pada novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (75) kata mbok-mboken ‗masih bergantung kepada ibu‘ dan contoh (76) kata kelara-lara ‗sangat sedih‘.
2.3.4.3Campur Kode Berupa Bentuk Ulang Berubah Bunyi
Bentuk ulang berubah bunyi ialah kata ulang yang dalam proses perulangannya terjadi perubahan bunyi atau variasi vokal. Contoh campur kode berupa bentuk ulang berubah bunyi dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
(77) Di kamarnya, penuh buku-buku asing
yang mosak-masik dan apek bau tembakau (Suryadi, 2002:41) (78) Mulut mangap centha-centhe – santai- (Suryadi, 2002:76) (79) sedang mulutnya sibuk pula berbicara
Hanya, tampaknya saja klemar-klemer (Suryadi, 2002:114) (80) Sejumlah pemuda mesam-mesem
menyaksikan adegan kami pula (Suryadi, 2002:120) (81) diambilnya rokok kretek dan geretan
Kempas-kempus mulutnya nyedot kebul (Suryadi, 2002:138)
mesam-mesem ‗tersenyum-senyum‘, dan contoh (81) kata kempas-kempus ‗meniup berulang-ulang‘.
2.3.4.4Campur Kode Berupa Bentuk Ulang Semu
Bentuk ulang semu ialah kata yang seolah-olah diulang bentuknya tetapi sebenarnya tidak diulang. Contoh campur kode berupa bentuk ulang semu dalam novel Pengakuan Pariyem adalah sebagai berikut.
(82) Mending muter radio amatir
yang menyiarkan uyon-uyon Manasuka (Suryadi, 2002:21) (83) Saya sudah membereskan meja makan
cuci pakaian, asah-asah, setlika (Suryadi, 2002:30) (84) Di dalam hati yang melang-melang -sengsara Akan rontok jagad yang tua (Suryadi, 2002:60) (85) Dalam upacara layat kematian
dan dalam upacara ruwatan
Dia sering diminta kasih ular-ular (Suryadi, 2002:65)
Campur kode berupa bentuk ulang semu dalam novel Pengakuan Pariyem tampak pada contoh (82) kata uyon-uyon ‗gendhing gamelan dengan tidak memakai
tarian‘, contoh (83) kata asah-asah ‗mencuci alat dapur dan alat makan‘, contoh (84) kata melang-melang ‗was-was; khawatir‘, dan contoh (85) kata ular-ular
‗kata pengantar; pidato pendahuluan‘.
2.3.5 Campur Kode Berupa Peribahasa
Peribahasa adalah kalimat atau kelompok perkataan yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu maksud yang tentu (Poerwadarminta dalam Tarigan, 1985:156).
Peribahasa dibagi atas tiga jenis, yaitu pepatah, perumpamaan, dan ungkapan. Pepatah adalah sejenis peribahasa yang mengandung nasihat atau ajaran yang berasal dari orang tua-tua. Perumpaan adalah ibarat, amsal; persamaan (perbandingan); peribahasa yang berupa perbandingan. Ungkapan adalah perkataan atau kelompok kata yang khusus untuk menyatakan sesuatu maksud dengan arti kiasan (Poerwadarminta dalam Tarigan, 1985:157-164).
Campur kode berupa peribahasa yaitu penyelipan suatu peribahasa dalam bentuk pepatah, perumpamaan, dan ungkapan dari suatu bahasa ke dalam bahasa inti yang dimasukinya. Dalam novel Pengakuan Pariyem, campur kode berupa peribahasa ditemukan pada contoh berikut:
2.3.5.1 Campur Kode Berupa Pepatah
(86) Lantas nDoro Ayu pun angkat suara:
“Kacang mangsa ninggala lanjaran” (Suryadi, 2002:191) (87) Dan nDoro Ayu tersenyum, berperibahasa:
2.3.5.2 Campur Kode Berupa Perumpamaan
(88) Ibarat idu geni, kata-katanya masah (Suryadi, 2002:66) (89) O, betapa tak pantas saya bayangkan
Ibarat kere munggah bale (Suryadi, 2002:200)
Campur kode berupa perumpamaan tampak pada contoh (88) idu geni ‗k
ata-katanya bertuah‘, dan contoh (89) Ibarat kere munggah bale ‗orang miskin yang
naik derajat‘.
2.3.5.3Campur Kode Berupa Ungkapan
(90) saya sudah punya ngelmu krasan, kok
Ngelmu hidup yang sudah ditinggalkan (Suryadi, 2002:54)
Campur kode berupa ungkapan tampak pada contoh (90) ngelmu krasan
BAB III
LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL PENGAKUAN PARIYEM
3.1 Pengantar
Campur kode adalah tindakan sengaja mencampurkan dua bahasa tanpa perubahan topik yang sedang dibicarakan (Wardhaugh, 1992:108). Kesengajaan penggunaan pencampuran dua bahasa tersebut dilatarbelakangi oleh dua faktor utama yaitu faktor kebahasaan dan faktor non-kebahasaan (Weinreich, 1953).
Latar belakang penyebab terjadinya campur kode berdasarkan faktor kebahasaan terdiri atas, (1) low frequency of word dan (2) oversight. Latar belakang penyebab terjadinya campur kode berdasarkan faktor non-kebahasaan terdiri atas, (1) need for synonim, (2) social value, (3) adanya situasi formal, dan (4) faktor kebiasaan.
Berikut ini dipaparkan uraian tentang latar belakang penggunaan campur kode dalam novel Pengakuan Pariyem.
3.2 Faktor Kebahasaan
3.2.1 Low Frequency of Word
Faktor low frequency of word adalah penggunaan kata-kata dalam bahasa asing karena kata-kata tersebut lebih mudah diingat dan lebih stabil maknanya. Contoh penggunaan campur kode pada novel Pengakuan Pariyem yang pembentukannya dilatarbelakangi oleh faktor low frequency of word adalah sebagai berikut.
(91) Dia menelan ludah berkali-kali Anunya lalu ngaceng, lho
membikin dia cegukan (Suryadi, 2002:35) (92) Dia meteng tapi tak ada pria
Yang mau mengakui pokalnya (Suryadi, 2002:51) (93) Sambil cengengesan, tangannya usil
pinggul simbol kebagian cethotan (Suryadi, 2002:74) (94) O, Allah, Gusti nyuwun ngapura
badan saya jentol-jentol semua
O. kami kelon di sarang semut (Suryadi, 2002:85)
Campur kode tampak pada contoh (91) yaitu kata ngaceng ‗tegang,
dipahami dalam tuturan di lingkungan bahasa Jawa, dibandingkan jika penutur menggunakan bahasa Indonesia yang nilai rasanya menjadi lebih formal dan cenderung ilmiah.
Contoh (92) menggunakan kata meteng dan pokal secara berurutan berarti
‗hamil‘ dan ‗ulah‘(Suryadi, 2002:276). Pada dasarnya pada contoh ini, yang ditekankan oleh penutur adalah keadaan hamil. Kata meteng dalam tingkat tutur bahasa Jawa berada pada tingkat ngoko. Pemakaian bahasa Jawa tingkat ngoko terutama jika jelas-jelas penutur tidak perlu menghormati latar belakang lawan bicara (Pudjosumarmo, 1979:13). Oleh karena itu, pembentukan campur kode berupa kata meteng lebih stabil maknanya bagi lawan tutur yang memiliki derajat yang sama dengan penutur.
Pada contoh (93) pembentukan campur kode tampak pada kata cengengesan ‗tertawa-tawa, tidak mau bersungguh-sungguh‘(Suryadi, 2002:244) dan kata cethotan ‗cubitan di paha atau di pantat‘(Suryadi, 2002:245). Penggunaan kata dalam bahasa Jawa dalam tuturan dengan lawan bicara dianggap penutur bernilai rasa santai dan lebih akrab. Selain itu, dengan menggunakan bahasa Jawa untuk menggambarkan situasi cerita yang lucu, pemilihan kata tersebut menjadi tepat dan tidak bertele-tele.
Campur kode pada contoh (94) tampak pada kata jentol-jentol ‗bentol