AZAS
LEGALTTAS
SEBAGAI PILAR NEGARA
HUKUM
OIeh: H. Bayi priyono
ABSTRAK
l\I:g1.
hukum
Indonesia dikonsepsikan- secara tegas sebagai negaraI I
hukum,
yang
prismatis,.
menggabungk.r,
".gi_;;i
positif
antararechts.taat dengan
kepastial
-hykgmnVa
d,anthe
*L
oj
U_
dengan rasakeadilannya secara
integratif,
bukan hanya
rechtJiatian
bukan
hanya,k:!
"!
r"-:.?.ebagai negarahukum
Indlnesi"
-.i"ri*"
asas kepastianhukum,
yangtitik
beratnya pad.arechtstaat, sekaligus menenma asas rasa keadiian, yang
titik
beratnyJ pada theruk
;f
h;. '
'- '
Dalam
penegakanhukum
modern, asas kepastian
hutum
tidak
boleh dijadikan_satu-satunya dasarputusan hakim.
Karena ada keharusan agarputusan hakim
didasarkanjuga
pada asas keadilan
Jan
kemanfaatan.Berlakunya
asas
legalitas memberikan
"ii"f
ferfnAu.rgan
kepada masyarakat. Perundang-undangan pidana menyediakan konsesi melindungirakyat dari
pelaksanaankekuasaan
t""p"
Uut*--a-i
pemerintah
atau kekr.rasaan negara. Fungsi
instrumental
dapat dipersefsi seUagai.tidak
ada perbuatan pidana yang
tidak dituntut".
eri""rpi..".i"t
berarti
tidak
ada perbuatan pidana,tidak
ada pidana tanpa t et<oat.n unaang_unaangtetih
dahulu. Asas legalitas mengimperasikan-bahwa suatukaiian
hukum
harus jelas dan tegas, sehingga kaidah tersebutut""
-"_iiiti
Lpastran
hukum.
Ini
berarti, kebijakan apapun yang telah ditetapkanaula_ suat,
kebijakan legislasi, sepanjangkebijakan
itu
substansinyatiaat
i..u-uskan
secara
jelas
dan tegas, maka seoaniangitu
pula
t"Uii.f.." i"r""tut
menyimpang dari asas legalitas,kareninya
-it".rgg..
."""
l"f."ti"r,
i
rr.r-.
Kata
kunci:
azas legalitas, negarahukum,
kepastianhukum,
dan keadilan
PENDAHULUAN
Negara hukum Indonesia dikonsepsikan
secara.tegas sebagai negara hukum
yang prismatis, menggabungkan segi_segi positifanlae
rechtstaat dengan kepastian hukumnvadan the rule of
law
dengan rasa keadilann;a secara integratif, bukan hanya rechtstaatdin
bukan hanya the rule of law. pasal 1 ayat (3)UUD 1945 hasil
perubahan
menyebutkanbahwa
Indonesia
adalah .negara
hukum,, titik, tanpakala
rechtstaat yang diletakkan di dalam kurung. Halitu
harus diartikan bahwakeadilan, yang titik beratnya pada the rute
of
/aw.
Pengertian
yang
demikian
dipertegas pula di datam pasat 28H UUD 194S yangj;ga
menekankanpentingnya
kemanfaatandin
keadilan, sedangkan pasal 2gD menekankan pentingnya kepastian hukum yang adil.Memang
KUHp
sebagaimana
terlihat dalam.Pasali
ayat (1) menggunakan prinsip kepastianhukum
di
bawah
asas
legalitas. Akan tetapi,sejak berlakunya Undang-UndangNomor
14
Tahun1970,
selatn menerapKanbunyi
undang-undang,
hakim
diwaji6kanuntuk
menggali nilai-nilai keadilandi
dalammasyarakat. Hal itu menunjukkan bahwa selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan
negara hukum
Indonesia
menerima kepastian hukum,yang
titik
beratnya rechtstaat,sekaligus menerima
asasdsas paoa
JURNALTRANSFORMASI PEMER]NTAHAN \ I/OL. 5 NO' 2\OKTOBER2OI3: I6] 169
pada rasa keadilan. Dengan kata lain, dalam penegakan
hukum
modern,asas
kepastianhukum
tidak
boleh
dijadikan
satu-satunyadasar
putusan hakim. Kenapa? Karena ada keharusanagar
putusan hakim
didasarkan juga pada asas keadilan dan kemanfaatanDengan demikian
jelas
bahwa
Prin-siD
itu
kemudian diakomodasi
dalamsistem
peradilan
di
Indonesia.
Hanyasaja,
akomodasiatas
keduanya
kemudianjustru
menimbulkandilema. Sebab,
yangmenjadi sumber masalah
dalam
praktik adalah kedua prinsipitu
bukan diperlakukansecara
integratif
melainkan
altematif.Akomodasi
yang
memberi
tempat
padakedua
prinsip
tersebut
menimbulkanaigmbuitas
orientasi konsep
yang
sering dipergunakan aparat penegakhukum
untuk mencari "kemenangan"semata
dan
bukan "kebenaran" dalam perkara-perkara pidanaProses mencari
kemenangan
bagiadvokat,
jaksa,
dan
hakim sering
di-lakukan melalui manipulasi
atas
pilihanantara
kepastian
hukum
dan
rasakeadilan.
Di
sinilahletak
paling rawan bagiterjadinya mafia peradilan Audicial corruption)
atau
mafia
hukum. Dengan
keleluasaan memilih pilihan antara kepastian hukum ataurasa keadilan, maka terbuka kemungkinan bagi
para penegak hukum itu untuk menegosiasikan putusan tertentu melalui politik transaksional, baik berimbalan uang maupun
yang
lalnnya.Jika
keinginan memvonissatu
kasus sudahditentukan melalui
transaksi maka
tinggalmemilih apakahisivonisitubisadidukungdengan asas kepastian hukum ataukah asas keadilan
yang
bisa
saja
dikarang-karang sesukanya. Jadi, mafia peradilan yang terus saja terjadiini
sebenamya dilakukanmelalui
cara-cara manipulasiatas
konsep-konsep itu. Jika satu kasus korupsi misalnya, dapat dimenangKan menurut kehendak dalam proses mafia melaluiprinsip kepastian hukum, proses
mafianyamengarahkan
putusan pengadilan
untukmenggunakan hukum-hukum
tertulis
danbukti
formal. Tetapi
sebaliknya,jika
kasusitu
tak
bisa
dimenangkan,
dalam
artinegatif pula bagi proses mafia, yang
di-pergunakanadalah dalil-dalil
tentang
rasa keadilan. Parahdan
sangat memprihatinkan untuk dikatakan, tetapi itulah kenyataannya.ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Pnrlsrp
Poxox
Necana HurumDalam perspektif negara hukum,
asas nullum delictum nulla poena sine praevia legepoenali
l
atauasas
legalitas merupakan halyang tidak
dapat
dielakkan,namun
secara historis dapat drjelaskan bahwa tumbuh danberkembangnya asas legalitas atau Principle
of
Legality sebagai
asas
mendasar dalam hukum pidana pada sebagian sistem peradilan pidana muncul padaAbad
Pencerahan atauZaman Aufklarung,
yaitu
Abad
ke-15
yang didominasioteh
pandangan realism.Hal
initidak terlepas dari pengaruh perubahan peta
pemikiran
politik
dan
filsafat
hukum
yang berkembangdi
daratan Eropa.
Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungankepada masyarakat.
Peru nd a ng-u nd a nganpidana menyediakan konsesi melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan tanpa batas dari pemerintah
atau
kekuasaannegara.
Tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang, ini merupakan fungsi melindungi dariasas
legalitas.Di
sampingfungsi
itu,
asas legalitasjuga
memiliki
fungsi
instrumental.Dalam
fungsi
kedua,
pada
batas-batas koridor yang ditentukan oleh undang-undang,pehksanaan
kekuasaan penegakan hukumpidana tegas dijustifikasi. Dengan 1 terminologi "asas nulla poena" tersebut dipergunakan oleh PAF.
Lamintang
untuk menjelaskan maknayang
terkandung
dalam ketentuan
Pasal1
ayat
(1)
KUHP
(lihat
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasarHukum Pidana, Citra
AdityaBakti,
Bandung,1997,
h1m.130.) Ungkapanlain,
fungsi
instrumental
dapat
dipersepsisebagai "tidak
ada
perbuatanpidana
yang tidak dituntut". Seorang pakar hukum pidana Jerman antara tahun 1775-1833, Anselm von Feuerbach, sehubungan dengan kedua fungsi itu merumuskan asas legalitas secara mantapdalam
bahasa
Latin
sebagaimana
telah disebutkandi
atas,
prinsip tersebut
berarti tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa kekuatan undang-undang lebih dahulu. Semboyanini
kemudianpopuler
di
dalam KUHP negara- negara dengan sistem Eropaagar
ac,ara
hukum, menciptakan keadilan
dan
kejujuranbagi terdakwa, efekli'fnya defterent function dari
sanksi pidana, tercegahnya penyalahgunaan kekuasaan, dan kokohnya penerapan prinsip rule of law. Tata hukum Indonesla, utamanva meletakan asas legalitas dalam
pasal
lavat
(1)
KUHP
Kemudiandalam
pasangannya,asas ini
mensyaratkan
terikatnya hakim pada undang-undang. ini menegaskanBeri hire,ro: Asa, Le9alita., sebasai ...
Moeljatno
tidak
memberi
penjelasanlebih
jauh
menyangkut
tidak
6erlakusurutnya
peraturan_peraturan
hukumpidana.
Hal
yang
sama
menyangkutpenerapan hukum
adat,
dikatakan
olehR.
Soesitobahwa
pasal
1
ayat
(t)
KUHp,ini. merupakan perundang_unoangan hukum
proana modem
yang
menuntut
ketentuan_ketentuan
hukum
pidana
harus
ditetapkan dalam undang-undang yang sah, yang berarti Danwa tarangan_larangan menurut adat, tidakberlaku
untuk
menghukumorang.
Menurut Sudarto, PasatI
ayat (1) KUHp teriebut berisi dua hal, yaitu:1
. Statu tindak pioana
harus dirumuskanldisebutkan
dalam
peraturan perundang-undangan;2,
Peraturan perundang_undanganini
harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.4[5]^
.Demikian
halnya dengan
WrjonoProjodikoro
mengungkapkanbahwa
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini terdapat dua asas dari hukum pidana, yaitu:proses
peradilan
pidana
ataupidana dijalankan menurut
acara,proses,
atau
prosedur
yang telah
diaturoleh undang-undang, yaitu pasal 3 KUHAp
Pasat
1
ayat
(1)
KUHp
yang
me_ngandung
asas
legalitas, menurut
pA.F.Lamintang rumusannya
datam
bahasatseianda berbunyi
'Geen
feit
is
strafbaardan uit
kracht
van eene
daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling,,, yanganinya tiada suatu
perbuatanyang
dapatdipidana,
kecuali
berdasarkan
Ketentuanf
'q.13
menurut
undang_undang
yangrefleoln
dahulu
daripada
perbuatannyartu
sendiri. Menurut Moeljatno
biasanvaasas
..legalitas
ini
mengandung
tiga pengert'an, yaitu:1.
T.idakada
perbuatanyang
dilarang dan 0tancamdengan pidana
kalau
hal
ituterlebih dahulu belum dinyatakan dalam aruran undang_undang;
1.
Bahwa
sanksi
pidana
atau sanctie hanyadapat
ditentukan undang-undang;2.
Bahwa
ketentuan
sanksitidak
boleh berlaku
surut terugwerkende kracht.straf-dengan
pidana
inialau
geen2.
Untuk
menentukanpidana tidak
boleh (kiyas);adanya
perbuatandigunakan
analogi3.
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlakusurut.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian
yang
pertama,
harus
ada
peraturan undangundang.jadi,
peraturan hukum yangtertulis
lebih
dahulu
yang
Oengan
jetai
tampak datam pasat .l KUHp Dengin adanya
ketentuan
ini,
konsekuensinya
perbuatanperbuatan pidana menurut hukum
adat, tidak dapat dipidana, sebab tidak ditentukan oengan peraturan tertulis. Mengenai analogi, dipandangdad
sudut
psikologisbagi oraig
yang menggunakannya ada perbedaan yangbesar dengan
penafsiranekstensif.
Dalam analogi, sudah tidak berpegang paoa aturan yang ada lagi, sedangkan penafsiran ekstensif masih berpegang pada bunyinya aturan..
Wrjono
projodikoro sesunggunnya samadengan
Moeljatno maupunSudarto
namundalam
hal
ini
menekankan
pada
sanksipidananya,
bukan
perbuatan
atau
tindakpidananya. Menurut Bambang
poernomo bahwa banyak pengertian yang dipat diberikan KepadaPasal
1
ayat
(1) KUHe
antara lainmempunyai makna:
1
.
''.'nullum delictum, nulta poena sine praeviatege
poenati",tiada delik, tiada
pidana, tanpa.peraturan yang mengancam pidana tebih dahulu (sifat umum adagium di dalam ilmu hukum pidana);2.
"undang-undang
hukum pidana
tidakmempunyai kekuatan berlaku surut',;
3.
"lex.temporis.delicti", yang artinya undang_ unoang bertaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu".
... .
Menurut
.Lamintang,
dalam
hal
inioletasl(an
bahwa
ketentuanpidana
dalam Pasal 1 ayat(1)
KUHPltu
mengandung tigaJURNAL TK4NSFORMISI PEMENNI/HAN \ YOL, 5 NO, 2 \ OKTOBER 2OI3: I6] 169
buah asas yang sangat penting, yaitu:
1.
bahwa hukum pidana
yang
berlaku
di negarakita
itu
merupakan suatu hukum yang tertulis;2.
bahwa
undang-undang
pidana
yangbedaku
di
negara
kita
itu
tidak
dapat diberlakukan surut;3.
bahwa penafsiran secara analogis itu tidakboleh
dipergunakandalam
menafsirkan undang-undang pidana.Sehubungan
dengan
penggunaanistilah
\veftelijke
be
paling"
dalam
naskahaslinya, menurut Lamintang
tidak
dapalditerjemahkan
dengan
undang-
undang dalam arti formal saja atau dalam arti sempit,namun
undang-undangdalam
arti
materiil, meliputi peraturan perundang-u ndangan yanglebih
rendah.8[9]. Dengan demikian, apabila pandangan Lamintang tersebut diikuti, makaasas
legalitasjuga
berlaku dalam
konteksperaturan pemerintah maupun
peraturandaerah.
Penerjemahanyang
dilakukan oleh Moeljatno menyangkutmakna
\veftelijk
be paling" tampaknya lebih tepat, karena diartikanperundang-
undangan,
setidak-tidaknyamendekati
istilah
peraturan
perundang-undangan
yang
dipakai
dalam
Undang-Undang
tentang
Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan. Terlepasdari
makna secara terminologis, maupun etimologis asaslegaiitas
yang
dirumuskan
dalam
Pasal1
ayat
(1)
KUHP,dalam konteks
ini
yangjuga
perlu
diketengahkanyaitu
menyangkuttujuan
diadakannya
asas
legalitas.
Halini
tidak
saja
menyangkutaspek
historis,namun
juga
kepentingan
negara
yangmengintroduksi
asas
legalitas
dalamperaturan
peru ndang-undangan
pidananya.Dalam
hal ini,
Bambang Poernomo
me-ngetengahkan
empat
sifat
ajaran
yangdikandung
oleh
asas
legalitas,
yaituasas
legalitas hukum pidana
yang mendasarkan titik berat pada:1.
perlindungan individu untuk memperolehkepastian
dan
persamaan
hukum terhadap penguasa agar tidaksewenang-wenang. Adagium
yang
dipakai
oleh ajaran ini menurulG.W
Paton dinamakan'nulla poena sine
lege",
sedangkanmenurut
L.B.
Cuzon
dinamakan'nullum crimen
sine lege". Perlindunganindividu
diwujudkanadanya
keharusandibuat
undang-undang
lebih
dahulu,untuk
menentukan
perbuatan
pidana ataupun pemidanaan;dasar
dan
tujuan
pemidanaan
agar dengan sanksi pidana itu, hukum pidana bermanfaatbagi
masyarakatserta
tidakada
pelanggaran hukumyang
dilakukanoleh
anggota
masyarakat,
karena
itumasyarakat harus mengetahui lebih dahulu
rumusan
peraturan
yang
memuat tentang perbuatan pidanadan
ancamanpidananya.
Adagium
yang
dipakaioleh
ajaran
ini
dicetuskan
oleh
VonFeuerbach
yang
dinamakan
"nullum delictum nullapoena
sine praevia lege"atau menu
rut
tulisan
van
Elemmelendinamakan "nullum
crimen nulla
poenasine praevia lege poenale";
dua
unsuryang
sama pentingnya, yaitu bahwayang
diatur
oleh
hukum
pidanatidak
hanya
memuat ketentuan tentang perbuatan pidanasaja agar orang
maumenghindari
perbuatan
itu,
tetapijuga
harus
diatur
mengenai
ancaman pidananya agar penguasa tidaksewenang-wenang
dalam
menjatuhkan
pidana.Di
dalam ajaran
ini
terdapat
filsafat keseimbangan antara pembatasan hukumbagi
rakyat
dan
penguasa.
Adagiumdalam ajaran
ini
berpangkal
dari Feuerbach yang disusun kembali menjaditiga
postulatoleh
van Der
Donkdengannama
"rondom
den
regehnulla
poenasine lege, nulla poena sine crimen, nullum crimen sine poena legali";
perlindungan hukum lebih utama kepada
negara
dan
masyarakat
daripada kepentingan individu, dengan pokok pikirantertuju pad a a crime is socially dangerous
act of commission or omission as prescibed
in ciminallaw.Pad a ajaran iniasas legalitas diberikan ciri bukan perlindungan individu, akan tetapi kepada negara dan masyarakat,
bukan
kejahatanyang
ditetapkan olehundang- undang saja, tetapi
menurutketentuan
hukum
berdasarkan
ukuran membahayakan masyarakat. Karena itu,tidak mungkin
ada
perbuatan jahat yang timbul kemudian daoat meloloskan diri darituntutan hukum. Adagium dalam ajaran ini
menurut
G.W.
Paton dinamakan nullumcimen
sine Doena.Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut
Barda
Nawawi
Arief
bahwa
perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat(1)
KUHp mengandung didalamnya asasLex
TemporisDelicti
atau asas
nonretroaktif.
Laranganberlakunya
hukum
atau
undang-undang prdanasecara
retroaktifini
dilatarbelakangi oleh ide perlindungan HAM. Berdasarkan halini, prinsip tersebut tercantum di dalam pasal 11 UDHR, Pasat 15 ayat ('t
)
tCCpR, pasat22 ayat(1) dan
Pasal24 ayat(1)
Statuta Romatentang
lCC.10[11]. Pasat1
ayat (1)
KUHp seperti telah dikutipdi
atas dapat dijelaskanbahwa, Pertama,
suatu
perbuatan
dapatdipidana
jika
termasuk ketentuan
oidanamenu
rut
undang-undang.Hal
ini
berarti pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan. Kedua, ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan perkataan lain, ketentuan Didanaitu
harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Ketentuan tersebuttidak
berlakusurut ll[12], baik
mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya. Ketiga,pasal
1ayat
(2)
KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentinganterdakwa. Menurut
Schaffmeiserdan
NicoKeizer, guru besar hukum pidana dari Belanda,
pemerhati kebijakan kriminal Indonesia. daoat
dipilah
tujuh aspek
asas
legalitas
dalam Pasal 1 KUHP Peftama, tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang. Kedua, tidak ada penerapanundang- undang pidana
berdasarkan analogi. Ketiga,tidak dapat
dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Keempat, tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas sesuai syarat /ex cefta,yailu
undang-undang harusdirumuskan
setajam
dan
sejelas
mungkinserta
harus
dipercaya. Kemudian
yang kelima, bahwa tidak ada kekuatan surut atau nonretroaktif, disebut juga delicti lex temporis.Keenam,
tidak
ada
pidana
lain
kecualiyang
ditenlukan
undang-undang. Terakhifpenuntutan
pidana hanya menu
rut
carayang
ditentukan undang,undang.Dari
sudutpandang Sudarto dikemukakan bahwa larangan memberlakukan
suatu
perundangan secara retroaktif didasarkan padadua
pertimbanganpemikiran.
Peftama,
menjamin
kebebasan individu dari kesewenang-wenanganpenguasaBali priyono: As6 Legatit8 sebagai
.._
maupun
peradilan.Kedua, pidana
itu
jugasebagai paksaan
fisik atau psychol
lschsdwang.
Dengan
adanya
ancaman
pidana terhadap orang yang melakukantindak pidana,pengusaha berusaha mempengaruhicalon pelaku tindak pidana untuk tidak melakukan suatu tindak
pidana. Dengan kata lain, peraturan perundangan diadakan guna mencegah terjadinya suatu tindak
pidana karena si calon pelaku menjaditakut akan
ancaman yang diatur dalam ketentuan tersebut.
Pemberlakuan peraturan pidana secara retroaktif
oleh pembentuk undang-undang dapat dikatakan
inkonstitusional atau bertentangan dengan DUD, sebab pemberlakuan tersebut berarti mengingkari
keberadaan negara Indonesia sebagai negara hukum seperti diatur oteh DUD '1945.
Berdasarkan konsepsi
dan
pengertianasas
legalitas seperti dikemukakandi
atas,asas
legalitas
sesungguhnya
menutup berlakunya hukumtidak tertulis yang
hidupdi
dalam
masyarakat. Termasukyang
tidak dimungkinkandalam
hal ini, yaitu
kategori menentukanperbuatan seseorang
sebagai tindak pidana berdasarkan perasaan keadilanmasyarakat
atau
kepatutan
menu
rut masyarakatdan
kategori-kategorilain
yangtidak
ditentukanoleh
peraturan perundang-undangan. Dalam maknanya yang demikian,ajaran
sifat
melawanhukum
materiil dalamfungsinya
yang
negatif maupun
positif sebenarnyatidak
dimungkinkanoleh
asas legalitas.Menurut Barda NawawiArief bahwa terjadi pergeseran asas legalitas
di
Indonesia dalamhal ini
asas
legalitas makin melemah. Asaslegalitas dalam KUHP
Indonesia
bertolakdari ide atau nilai
dasar "kepastian hukum,,.Dalam realitanya,asas legalitas ini mengalami berbagai bentuk pelunakan atau penghalusan
atau
pergeseran
atau
perluasan
dan menghadapi berbagai tantangan, anlara lain :1.
bentuk
pelunakan
atau
penghalusan pertama terdapat di dalam KUHp sendiri,yaitu
denganadanya
pasal
1
ayat
(2)KUHP;
2.
dalam
praktek
yurisprudensidan
per-kembanganteori,
dikenal adanya ajaran sifat melawan hukum yang materiil;3.
dalam hukum positifdan perkembangannyadi
Indonesia,
asas
legalitas
tidaksemata:maia
diartikan
sebagai
nuttumJURNAL TRANSFOKAAy PEMENNAHAN \ YOL. 5 NO. 2 \ OKTOBER 20 ]3: 16I-169
delictum
sinelege,
tetapijuga
sebagainullum delictum srne
lus
atau
tidak semata-mata dilihat sebagai asas legalitasformal,
tetapi
juga
legalitas
materiil,yaitu
dengan mengakui hukum
pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum;4.
dalam
dokumen
internasional
danKUHP negara
lain juga
terlihatperkembangan
atau
pengakuan
kearah asas
legalitas materiilyang
dapat dilihat padaPasall5
ayat(2)
ICCPR dan KUHP Kanada;5.
di beberapa KUHP negara lain yaitu anlara lain KUHP Belanda, Yunani, Portugal adaketentuan mengenai "pemaafan
ataupengampunan hakim" yang dikenal dengan
berbagai istilah,
antara
lain
"Rechtelijk pardon", "Judicial pardon", "Dispensa de pena", atau "Nonimposing of penally" yang merupakan bentuk "Judicial corrective to the legality principle";6.
ada
perubahan fundamentaldi
KUHAPPrancis
pada tahun 1975
dengan Undang-Undang Nomor 75-624, tanggal11 Juli
1975
yang
menambahkan ketentuan mengenai "pemyataan bersalahtanpa
menjatuhkan
pidana"
disebut the declaration of gulit without imposing apenalty.
Apabila
mengikuti perkembangan yang telah dikemukakanoleh
Barda Nawawi Arief tersebut dalam kondisi rumusan asas legalitasyang
ditegaskandalam Pasal
1
ayat
(1) KUHP, maka yang muncul inkonsistensi. Tidakberlebihan
apabila
pada
bagian
akhir
dari tulisan Barda NawawiArief
mengungkapkanbahwa "menarik untuk didiskusikan dan dikaji ulang kebijakan asas legalitas di Indonesia atau
kebijakan hukum pidana lainnya yang bertolak dari ide kepastian hukum".13[14]. Hal tersebut walaupun merupakan ajakan untuk mengkaji lebih mendalam, tetapi hakikatnya menunjukan ketidakpuasan atau ketidaksetujuan. Sekaligus menunjukan kritik yang fundamental terhadap
hukum
pidana,yang secara
ekstrem dapat berakhir pada upaya untuk menyesuaikan asas legalitas dengan dinamika pemikiran hukum maupun realitas hukum.Dengan
demikian
dapat
dikatakanbahwa
suatu
negara
yang
menganutasas
nullum
delictum
dalam
arti
yang sebenamyatidak
mungkin menganut ajaransifat
melawan hukum
yang
materiil
dalamfungsinya
yang
positif,
Bahkan
apabilamengikuti pendapat Barda Nawawi
Ariefdi
atas,
dianutnya ajaran
sifat
melawanhukum
dalam
pengertian materiil
yangnegatif
juga
sudah
merupakan pergeseranatau
melemahkan
asas
legalitas.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depkumham Rl,melalui "Pengkajian tentang Asas-asas pidana Indonesia, dalam Perkembangan Masyarakat
Masa
Kini
dan
Mendatang" berposisi dan mengklaim bahwa:Sebagian
besar pihak, baik para
ahlihukum pidana
dari
kalangan akademisimaupun praktisi, hingga kini mengharapkan
agar
a)atan
perbuatan
melawanhukum
materiil
tidak
dipergunakandalam fungsi
positifnya,artinya
apabilaperbuatan
dari
pelaku ternyata
tidakmemenuhirumusan deliknya atau tidak ada pelanggaran terhadap peraturan tertulisnya
ataupun
tidak
ada
pengaturannyadalam
undang-undang,
sehinggaformil
perbuatannya
adalah
tidakwedenechtelijk, meskipun
materiil
per-buatannya adalah melawan hukum atau dipandang tercela, maka terhadap pelakutidak dapat
dikenakan
atau
di.jatuhkanpidana
mengingat berlakunya
asas legalitas tersebut.PeNenrpal
Asrs
Lecalms
DALAM HuKUMProene or hlooruesn
Perlu
disadari
bahwa
Wet
Boekvan
Strafrecht
(WvS)
merupakanpeninggalan
kolonial
Belanda.
Sehinggadalam
pelaksanaannya
memerlukanbeberapa
penyesuaian
dalam
konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasalyang
tidak
diberlakukan
dan
diamande-men
dengan
menambah pasal-pasal yangdianggap
masih kurang. Dalam
perkem-bangannya,
kebijakan
mengamandemenpasal-pasal
KUHP
ini
ditinggalkan
den-gan
membentuk undang-undang
baru.Sehingga muncul
apa
yang disebut
den-gan
tindak pidana
di
luar
KUHP
Tetapiternyata
pengaturantindak
pidana
di
luarKUHP
ini
membentuk
sistem
tersendiriyang
menyimpang
dari
ketentuan
umumbuku I
KUHP
Baik
itu
mengenaiasas
hukumnya
maupun
ketentuan pemidanaannya. Sebagai peraturanpening-galan
Belanda,
asas
legalitas
kemudian menjadi problem dalam penerapannya.Asas
legalitas dihadapkanpada
realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHp maupun ketentuan pidanadi
luarnya masihmenyisakan
bidang
perbuatan
yang
olehmasyarakat
dianggap sebagai
perbuatanyang
dilarang,
sementara
undang-undangtertulis
tidak
mengatur laranganitu.
Tetapi,dalam sejarah hukum pidana
Indonesia, keberadaan pengadilanadat
memungkinkan diterapkannya pidana adatdan
hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) walaupuntindak
pidana
adat
itu
tidak diatur
dalamKUHP Oleh
karena
itu,
asas
legalitas dalam praktekdi
Indonesiatidak
diterapkansecara
murni
seperti
yang
dikehendakiPasal
1
KUHP Jauh sebelum
Indonesiamerdeka,
eksistensi
peradilan
adat
telahdiakui ketika
pendudukan
Belanda.Pengakuan peradilan
adat
ini
dituangkandalam berbagai
peraturan
yang dikeluarkan pemerintah pendudukan Belanda.Di
awal-awal
kemerdekaan.Deradilan-peradilan
adat
masih
tetap
eksis.sementara
KUHP
(Wetboek
vanStrafrecht) diberlakukan
untuk
mengisikekosongan
hukum.
UUDS
1950
danVU
Nomor
1
Tahun
1951
dianggapmengukuhkan keberadaan
peradilan
adattersebut. Namun
sejak
diberlakukannyaVU 14
Tahun '1970 tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman,peradilan
adat
dihapuskan.
Akibatnyapraktis, eksistensi peradilan
adat
sudahberakhir melalui
VU
Nomor
14
Tahun1970
tentang
Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman.Dalam
prakteknya, peradilanadat
ini
menjadikanhukum
adatdan
hukum
yang
hidup dalam
masyarakatsebagai
dasar untuk
menuntut
danmenghukum
seseorang.
Dengan
katalain,
seseorangyang
dianggap
melanggarhukum
adat
(pidana
adat) dapat
diajukanke
pengadilan
dan
diberi
hukuman.Karena praktek inilah,
yang
menjadikanR-KUHP
2005
mencantumkan
,hukumyang
hidup dalam
masyarakat'
sebagai penyrmpangan asas legalitas.Bayi ptirono. Asas Legatit6 sebogoi...
PENUTUP
Perlu pula untuk
dikemukakan mengenaiadanya
pendapatpara
dokturum hukum pidana yang pro dan kontra terhadapeksistensi
asas
legalitas
tersebut
didalam KUHP
Indonesia. Hampir
semuadapat
digolongkan
pro
dianutnya
asaslegalitas,
dan
khusus
untuk
Indonesia, dapat disebut seorang penulis,yaitu
Utrechtyang
keberatan
dianutnya
asas
tersebutdi
Indonesia. Alasannya
ialah
banyaksekali
perbuatanyang
sepatutnya dipidana(strafwaardig)
tidak
dipidana
karenaadanya
asas tersebut. Begitu
pula
asastersebut
menghalangi
berlakunya
hukumpidana
adat yang masih hidup dan
akanhidup. Menurut
pendapat
Andi
Hamzah,adanya
asas
tersebut
di
dalam
KUHpIndonesia
merupakan
djlema,
karenamemang
dilihat
dari
segi
yang
satuseperti
digambarkanoleh
Utrecht
tentangnukum
adat
yang masih
hidup,
danmenurut
pendapat
Andi
Hamzah
tidakmungkin
dikodifikasikanseluruhnya
karenaperbedaan
anla?
adapt
pelbagai
sukubangsa,
tetapi dilihat dari segi yang
lain,yaitu
kepastian
hukum
dan
perlindungan terhadaphak asasi
manusiadari
perlakuanyang tidak
wajar
dan
tidak
adil
daripenguasa
dan
hakim
sehingga
diperlukan adanya asas itu.Lagipula
sebagai Negara
berkembangyang
pengalamandan
pengetahuan parahakim masih sering
dipandang
kurang sempuma sehingga sangat berbahayajika asasitu
ditinggalkan. Dalam kehidupan hukum diIndonesia yang tidak saja mengenal pengertian
hukum secara tertulis,
tetapi
mencakup ketentuan-ketentuanhukum
tidak
tertulisyang
masih hidup dalam
masyarakat(adat),
maka
keberadaan
hukum
adatmasih sangat
memegang peranan
tinggi,apalagi masih
terdapatnya keharusan bagihakim untuk
menilai
norma-norma
dari perbuatantercela dalam
suatu
masyarakat(adat),
meskipun perbuatan tersebut
tidakada
pengaturannya
dalam
ketentuanformil
(tertulis).
Kadangkala
ditemuinyasuatu
perbuatan
yang
menurut masyarakatadat
tertentu
adalah tercel
asifatnya,
tetapi
tidak
ada
pengaturannya dalam KUHPatau
bahkan sebaliknya suatuJURNAL TRANSI;ORI,4ASI PEMER]NTAIIAN I YOL. 5 )IO 2 \OKTOBLR )OI3 ]6] I69
perbuatan
yang
menurut
KUHP
dalammelawan
hukum
atau
tercela
sifatnya,tetapr menurut ukuran
masyarakat(ad
at) tertentujusku tidak dianggap sebagai hal yang tercela.Ditegaskan
oleh
Jimly
Ashidiqie,Asas
Legalitas
masih
harus
dipandangperlu
eksistensinyadalam sistem
HukumPidana
Indonesia,
dalam setiap
NegaraHukum,
dipersyaratkan
berlakunya
asaslegalitas
daiam
segala
bentuknya
(dueprocess
of
law),
yaitu
segala
tinda-kan
pemerintahanharus
didasarkan
atasperaturan
peru ndang-u ndangan
yangsah
dan
tertulis.
Peraturan
perundang-undangantertulis harus
ada
dan
berlakulebih dulu atau
mendahuluitindakan
atauperbuatan administrasi
yang
dilakukan.Dengan
demikian,
setiap
perbuatan
atautindakan
administrasi
harus
didasarkanalas
aturan
atau
?u/es
and
procedures'(regels).
Prinsip
normatif
demiki-an
nampaknya
sangat
kaku
dan
dapatmenyebabkan
birokrasi menjadi
lamban.Maka
mengingat lambannya
birokrasi
diIndonesia,
Romli
Atmasasmita
menekank-an
pentingnya rekayasa birokrasi
danfeKayasa masyarakat
yang
dilandaskanpada sistem
norma,
sistem
perilaku.
dansistem nilai yang bersumber pada Pancasila
sebagai
ideologi
bangsa
Indonesia,Kinerja
Beraucratic
of
Social
Engineeringdengan
tiga
karakter tersebut
di
atas dapat dijelaskan antaralain: setiap
langkah pemerintah (penguasa)dalam
pembentukan hukum dan penegakan hukum merupakan ke-buakan berlandaskan sistem norma dan logika berupa asas dan kaidah, dan kekuatannorma-tif
dari hukum harus dapat diwujudkan dalam perubahan perilaku masyarakat dan birokrasike
arah cita-cita membangun negara hukumyang
demokratis. Negara hukum demokratis dapat terbentuk jika dipenuhi secara konsisten tiga pilar yaitu penegakan berdasarkan hukum (rule by law), perlindungan HAM (enforcement of human nghts) dan akses masyarakat mem-peroleh keadilan (access fo lustlce).Dalam
konteks lndonesia,
ketiga
pilar dimaksud harus diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.lkatan
Pancasila tersebut merupakan sistem nilai tertinggi dalam perubahan sislem norma dan sistem perilakuyang berkeadilan sosial. Hanya dengan sudut pandang ini, maka dapat diciptakan kepatuhan
hukum
pada
masyarakat
dan
birokrasi sehingga mewujudkansislem
birokrasi yangbersih
dan
bebas KKN.
Jalinan Beraucraticof
Social
Engineering
yang
dilandaskan pada ketiga karakter sistem tersebutdi
atas merupakan modal dasar ketahanan nasionalbangsa
Indonesia
dalam
memelihara dan mempertahankan kedaulatan negara.Berdasarkan pembahasan
terkait
diatas bahwa
Asas
Legalitas masih diperlukan sebagai pilar negara hukum, hal ini disebabkanselain
adanya
suatu
kepastian
hukum,juga
menghindari
adanya
suatu
bentukl(esewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum maupun penguasa dalam konteks yang lebih luas,
Asas
legalitas mengimperasikan bahwasuatu
kaidah hukum harusjelas dan
tegas,sehingga
kaidah tersebut
akan
memiliki kepastian hukum, Ini berarti, kebUakan apapun yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan legislasi, sepanjang kebijakan itu substansinyatidak
terumuskansecara
jelas dan
tegas, maka sepanjangitu
pula
kebijakan lersebut menyimpangdari asas
legalitas, karenanyamelanggar
asas
kepastian hukum.
Lebih luaslagi,
kontradiktif dengan konsep negarahukum
dalam artian
rule
of
/ary
maupun rechtstaat itu sendiri. Selain itu, citFciti ruleof
/aw maupun rechfstaat lelah pula menujukkan dengan
jelas
pengakuandan
perlindungan HAM yang bertumpu pada prinsip kebebasandan
persamaan. Berdasarkanhal
tersebut,asas
legalitas
merupakanhal
yang
harusada
di
dalam sistem hukum pidana, karenaDAFTAR PUSTAKA
Bambang Poemomo, Asas-asas
HukumPidana, Ghalia
Indonesia,
Jakarta,1994.
Barda
Nawawi
Arief, Kapita
SelektaHukum Pidana,
Citra Aditya
Bakti,Bandung, 2003.
Komariah
Emong
Sapardjaja,
Ajaran
SifatMelawan Hukum Materiel Dalam Hukum
Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang
Penerapan
dan
Perkentbangannyadalam Yurisprudensi Alumni, Bandung,
2002.
Moh
Mahfud
MD,
dalam
'Ijandra
Sridjaja Pradjonggo,Sifat
Melawan
HukumDalam Tindak P idana Korups i, Indonesia Lawyer Club, Surabaya, Cetakan Kedua
2010.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Iakarta, 2002.
Rayi Ptiyono : Asas Legalitas sebogai...
Atmasasmita, Pengadilan
Hak
AsasiManusia
dan
Penegakannya
di Indonesia, BPHN, Jakarta, 2002, hlm.3.) Atmasasmita, Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi TerhadapTeori
HukumPembangunan
dan kori
HukumPro gres iJ. Genta Publishing, Yogyakarta,
2012
Terminologi "asas
nulla poena"
lersebtt dipergunakanoleh
p.A.F.
Lamintanguntuk
menjclaskan
makna
yangterkandung dalam ketentuan
pasal
Iayat
(l)
KUHP (Iihat pA.F. Lamintang,Dasar-dasar
Hukum
pidana,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997,Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
2003.
-
H. BAYI PRIYONO, SH, MM adatah Dosenpada
Institut Pemerintahan Dalam Neoeri (IPDN), Jatinangor.Romli