• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASESMEN PSIKO-EDUKASIONAL SEBAGAI DASAR PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASESMEN PSIKO-EDUKASIONAL SEBAGAI DASAR PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

165

ASESMEN PSIKO-EDUKASIONAL SEBAGAI DASAR PENANGANAN

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Pinkan Margaretha Indira1

Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak. Anak Berkebutuhan Khusus adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang

membutuhkan perhatian dan penanganan intensif agar dapat mengoptimalkan potensinya untuk menjadi warga negara yang berkontribusi aktif. Kebijakan di Indonesia telah berupaya mengakomodasinya, tetapi sistematika penanganan di lapangan masih membutuhkan bany ak perbaikan. Tulisan ini mengusulkan tahapan asesmen psiko-edukasional sebagai dasar penanganan bagi anak berkebutuhan khusus, berikut dipaparkan tantangan aplikasinya.

Kata kunci: asesmen, anak berkebutuhan khusus, psiko-edukasional.

Pendahuluan

Kesadaran akan keberadaan dari anak-anak berkebutuhan khusus tampaknya semakin menguat di masyarakat Indonesia sekitar satu dekade terakhir. Secara legal, pemerintah pun telah meletakkan dasar hukum yang memberi hak yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menerima pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 – Amandemen, pasal 31 ayat 1-2; UU No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak pasal 49; dan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 32 ayat 1. Upaya menyediakan pendidikan bagi mereka diawali dengan sekolah khusus bagi anak tuna netra di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1901, kemudian pada tahun 1927 didirikan sekolah khusus bagi anak-anak dengan intelektual disabilitas, lalu pada tahun 1930 didirikan sekolah khusus bagi anak-anak tuna rungu. Sejak kemerdekaan Indonesia hingga saat ini telah berdiri sekolah-sekolah khusus yang dikelola pemerintah ataupun swasta, yang mencoba menyediakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Selain pendidikan, profesional dalam bidang psikologi, dan kedokteran (psikiatri, pediatri, neurologi), juga mengkaji mengenai anak berkebutuhan

▸ Baca selengkapnya: ayat alkitab untuk anak berkebutuhan khusus

(2)

166

khusus dari perspektif keilmuannya masing-masing, untuk kemudian mengambil peran dalam penanganannya. Salah satu contoh tahapan kolaborasi dari berbagai profesional untuk penanganan pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah ketika anak berpindah tingkat kelas atau naik kelas, guru dan psikolog sekolah perlu bekerjasama untuk menyiapkan anak menghadapi situasi kelas atau sekolah yang baru, serta menyiapkan kelas atau sekolah yang baru untuk memahami karakteristik dan situasi anak (Kellems, Springer, Wilkins, & Anderson, 2015).

Informasi berupa buku, artikel elektronik, video, website, bahkan film yang membahas mengenai anak berkebutuhan khusus juga dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas melalui berbagai media. Stigma-stigma negatif tentang anak berkebutuhan khusus yang membuat orang tua cenderung menyembunyikan mereka, belakangan ini tampak mulai bergeser ke arah yang positif. Beberapa orang tua tampak mulai tidak segan membawa anak-anak mereka yang berkekhususan ke tempat-tempat publik, membentuk kelompok-kelompok dukungan sosial untuk anak-anak dengan kondisi yang serupa, serta mengupayakan penanganan optimal (kesehatan, pendidikan, terapi) bagi perkembangan anak-anak mereka. Pusat-pusat terapi pun marak dibuka dan menawarkan berbagai jenis intervensi bagi anak berkebutuhan khusus.

Pergerakan dari berbagai lapisan masyarakat tersebut sebagai respon terhadap keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus, di satu sisi merupakan angin segar yang membawa pengharapan bagi semakin terbukanya kesempatan untuk anak berkebutuhan khusus memperoleh hak-haknya sebagaimana warga negara lainnya. Namun di sisi lain, upaya-upaya penanganan yang dilakukan tampaknya masih cenderung terpecah-pecah berpijak pada perspektif atau bidang masing-masing, sehingga efektivitas dan efisiensi dari intervensi yang diberikan pun tampak belum optimal. Para profesional yang menangani anak berkebutuhan khusus (dokter anak, psikolog, psikiater, terapis, guru khusus) masih cenderung bekerja secara individual, meski di beberapa pusat tumbuh kembang anak telah mulai dikembangkan penanganan yang melibatkan profesional dari disiplin ilmu yang berbeda.

(3)

167

Intervensi yang efektif dan efisien membutuhkan dasar asesmen yang komprehensif dari berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan anak berkebutuhan khusus. Van Tiel (2011) mengemukakan bahwa pendekatan multidisplin dibutuhkan untuk melakukan deteksi, diagnosis, intervensi dan pendidikan bagi anak gifted (salah satu jenis kekhususan). Selain bidang medis, dua disiplin ilmu yang sangat berperan dalam penanganan anak berkebutuhan khusus adalah psikologi dan pendidikan. Oleh karena itu perlu dilakukan kolaborasi antara keduanya dalam melakukan asesmen sebagai dasar intervensi, yang selanjutnya akan disebut sebagai asesmen psikoedukasional dalam tulisan ini. Asesmen psikoedukasional menyediakan estimasi tentang level kemampuan kognitif dan prestasi edukasional dari klien, berikut rekomendasi yang relevan untuk pendidikannya, berdasarkan informasi latar belakang, sejarah pendidikan, data dari tes intelegensi, prestasi akademik, skala pengamatan perilaku /emosi, dan perilaku adaptif. Bahkan adanya perbedaan bahasa yang dikuasai anak juga menjadi pertimbangan dalam asesmen psikoedukasional seperti yang dilaporkan oleh Olvera dan Gomez-Cerrillo (2015).

Istilah psikoedukasional perlu dipahami dalam arti yang berbeda dengan psikoedukasi. Di kalangan psikologi, istilah psikoedukasi dapat dimaknakan sebagai upaya pemberian edukasi atau pendidikan mengenai aspek-aspek psikologis dari sesuatu hal, misalnya psikoedukasi tentang gangguan autisme pada orang tua. Pada tulisan ini, psikoedukasional yang dimaksud adalah perspektif kolaborasi antara psikologi dan edukasi dalam mendekati anak berkebutuhan khusus. Kata ‘asesmen’ lebih dipilih daripada ‘pengetesan/testing’, karena menurut Sattler (2008) meski keduanya melibatkan identifikasi pertanyaan-pertanyaan kritis, area tertentu yang diamati, dan pengumpulan data, kata ‘pengetesan’ melibatkan pengadministrasian dan penyekoran tes, dan lebih berfokus pada mengumpulkan data. Sementara kata ‘asesmen’ meliputi beberapa teknik-teknik (tes formal, tes informal, observasi, dan wawancara), tidak hanya berfokus pada pengumpulan data, tetapi juga mengintegrasikan temuan, menginterpretasikan data, dan mensintesa hasil. Asesmen tidak hanya menghasilkan temuan, tetapi memberikan makna pada temuan itu dalam

(4)

168

konteks kehidupan anak. Konteks kehidupan anak tentunya sangat terkait dengan pembelajaran atau pendidikan sebagai tugas perkembangan utamanya.

Asesmen psiko-edukasional yang dilakukan dalam pendidikan khusus meliputi asesmen psikologis (faktor kognitif dan emosional), asesmen edukasional (prestasi akademik dan perilaku akademik, gaya belajar, ketrampilan-ketrampilan hidup dan fungsional), dilengkapi dengan asesmen medis untuk mengetahui fungsi -fungsi biologis, sehingga diperoleh data mengenai kompetensi yang dimiliki atau tidak dimiliki anak, berikut mengecek adanya permasalahan dalam fungsi akademik, adaptasi sosial dan perilaku, serta perkembangan fisik (Adinugroho-Horstman, 2012). Asesmen yang komprehensif merupakan upaya yang perlu dilakukan agar anak berkebutuhan khusus tidak dijadikan sasaran trial-error, yang tentunya berdampak bagi perkembangan anak tersebut beserta kehidupan keluarganya. Pemberian intervensi bagi anak berkebutuhan khusus merupakan pengambilan keputusan yang penting bagi kehidupan anak dan keluarganya, oleh karena itu para profesional yang terlibat dalam asesmen, diagnosa dan intervensi perlu mendasari semua keputusannya pada data-data asesmen yang sahih dan menyeluruh. Pengambilan keputusan yang efektif merupakan capaian penting dalam proses asesmen psiko-edukasional (Sattler, 2008).

Tahapan-tahapan proses asesmen psiko-edukasional

Untuk memahami asesmen psiko-edukasional, tulisan ini akan membahas tahapan-tahapan yang biasanya terjadi dalam proses asesmen tersebut, mengacu pada alur model pengambilan keputusan untuk asesmen psiko-edukasional dan klinis yang dikemukakan oleh Sattler (2008).

1. Tahap 1 : mereviu informasi rujukan

Anak biasanya dirujuk untuk memperoleh asesmen psiko-edukasional oleh guru atau orang tua yang mencermati adanya permasalahan dalam perkembangan atau pembelajaran anak. Profesional yang akan melakukan asesmen perlu membangun rapport (hubungan baik) dengan pemberi rujukan, agar diperoleh informasi yang jelas dan detil mengenai gejala masalah yang terjadi pada anak, dan juga agar pemberi rujukan memiliki keyakinan terhadap proses asesmen yang

(5)

169

dilakukan untuk kemudian menjadi lebih kooperatif dalam mengimplementasikan intervensi yang direkomendasikan. Informasi dari pemberi rujukan itulah yang akan menjadi dasar formulasi strategi asesmen. Tidaklah cukup jika pemberi rujukan, misalnya guru, hanya memberi informasi bahwa anak mengalami kesulitan belajar. Perlu digali lebih lanjut dalam area-area apa kesulitan belajar yang dimaksud, apa contoh-contoh konkrit dari masalah tersebut. Pada beberapa kasus, berdasarkan informasi yang diberikan pemberi rujukan, bahkan dapat direkomendasikan penanganan langsung (di kelas atau di rumah), yang jika hasilnya terbukti ada perubahan positif, maka anak tidak perlu melanjutkan asesmen formal.

2. Tahap 2 : memutuskan menerima rujukan / tindak lanjut rujukan

Respon terhadap rujukan yang diterima perlu memperhatikan kompetensi dari profesional yang akan melakukan asesmen. Misalnya, jika permasalahan anak setelah diklarifikasi ternyata terkait dengan luka pada kepala, maka lebih baik anak diases oleh profesional yang kompeten di bidang neuropsikologi daripada bidang psiko-edukasional. Perlu dipertimbangkan juga apakah permasalahan anak dapat diases menggunakan tes informal (misal: contoh pekerjaan anak, hasil tes di kelas), atau memang membutuhkan tes formal?. Jika anak menunjukkan perubahan yang tiba-tiba dan signifikan dalam kemampuan kognitif, kondisi fisik, perilaku dan kepribadian, yang diindikasi terkait dengan kondisi fisik, maka perlu dipertimbangkan untuk merujuk anak kepada profesional di bidang medis.

3. Tahap 3 : mencari informasi latar belakang

Pengetahuan menyeluruh mengenai masalah anak dan riwayat hidupnya merupakan kunci dalam merencanakan dan melaksanakan asesmen yang tepat. Penting untuk memperoleh informasi mengenai perkembangan anak secara fisik, sosial, psikologis, bahasa, dan pendidikan. Informasi-informasi tersebut dapat diperoleh dari orang tua atau pengasuh anak, dari anak jika ia telah cukup usianya (misal anak akhir atau remaja), guru, dan orang lain yang dekat dan berperan

(6)

170

dalam pengasuhan anak. Riwayat keluarga terkait dengan masalah yang dirujuk juga perlu diketahui.

4. Tahap 4 : mempertimbangkan pengaruh dari orang lain yang relevan dalam kehidupan anak

Untuk memperoleh evaluasi yang komprehensif tentang masalah anak, merupakan hal yang penting untuk mewawancarai orang tua, saudara kandung, guru atau orang dewasa lain yang dikenal anak. Pada wawancara tersebut, carilah informasi mengenai bagaimana mereka memandang masalah yang dialami anak, apa yang telah mereka lakukan untuk mengatasi masalah tersebut, dan peran apa yang diemban oleh setiap pihak terhadap berlangsungnya masalah. Jika ditemukan perbedaan pendapat dari orang-orang dewasa tersebut mengenai masalah anak, perlu dipertimbangkan sebagai contoh-contoh perilaku yang berbeda dari anak, bukan semata-mata sebagai kesalahan perspektif.

5. Tahap 5 : mengobservasi anak dalam berbagai seting.

Anak perlu diobservasi di beberapa seting sekolah dan rumah, karena informasi hasil observasi akan menolong untuk menjadikan hasil evaluasi terhadap anak sesuatu yang khas atau kontekstual, dan mendukung tercapainya obyekti fitas informasi hasil tes. Tidak hanya perilaku anak yang diobservasi, tetapi juga bagaimana interaksi anak dengan orang lain (anak ataupun orang dewasa) di berbagai setting tersebut.

6. Tahap 6 : memilih dan mengadministrasikan asesmen test battery.

Strategi asesmen yang efektif mensyaratkan kemampuan profesional untuk memilih prosedur asesmen yang dapat mencapai tujuan asesmen, sesuai dengan rujukan yang diberikan. Pemilihan test battery (rangkaian tes-tes) harus didasarkan pada informasi tentang anak, seperti usia anak, kemampuan fisik, kefasihan berbahasa, budaya, dan hasil-hasil tes sebelumnya, juga dapat dipertimbangkan laporan dari guru, orang tua, ataupun catatan medis tentang anak. Perlu dipertimbangkan kekuatan dan kelemahan dari setiap alat tes.

(7)

171

7. Tahap 7 : menginterpretasikan hasil-hasil asesmen.

Setelah mengadministrasikan, melakukan penyekoran, maka hasil tes perlu diinterpretasikan. Interpretasi tidak boleh hanya berdasarkan skor dari prosedur formal, tetapi perlu dilengkapi dengan penilaian profesional mengenai cara anak berbicara, kualitas suara, bahasa, keterampilan motorik, tampilan fisik, postur,

gesture, afek, dan keterampilan sosial interpersonal; demikian juga penilaian tentang situasi keluarga, sekolah dan komunitas dimana anak berada. Dibutuhkan pengetahuan mengenai psikologi perkembangan, teori kepribadian, psikopatologi, psikometri dan tes individual untuk menginterpretasi hasil tes. Proses interpretasi melibatkan kegiatan mengintegrasikan data hasil asesmen, membuat penilaian tentang arti data, dan mengeksplorasi implikasi dari data untuk diagnosis, penempatan dan intervensi. Semua informasi yang dikumpulkan harus diinterpretasikan dalam konteks anak secara keseluruhan. Selain melibatkan berbagai data hasil asesmen, dibutuhkan juga alat pengambilan keputusan yang dapat digunakan oleh tim profesional sehingga keputusan hasil asesmen benar-benar merupakan pemecahan masalah yang efektif (Algozzine, Newton, Horner, Todd, & Algozzine, 2012).

8. Tahap 8 : mengembangkan strategi intervensi dan rekomendasi.

Setelah menginterpretasikan temuan hasil asesmen, maka dilakukan formulasi intervensi dan rekomendasi. Di seting sekolah, tahap ini dapat dilakukan bersama-sama dengan tim dari berbagai disiplin ilmu terkait untuk merancang Individualized

Education Program (IEP). Perancangan intervensi dan rekomendasi perlu

memperhatikan beberapa hal yaitu mendasarkan rancangan pada temuan hasil asesmen; mempertimbangkan faktor-faktor di sekolah yang dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk belajar; mempertimbangkan layanan-layanan yang tersedia di sekolah, di keluarga ataupun di komunitas dimana anak berada; serta menerapkan informasi-informasi yang relevan dari bidang psikologi sekolah, psikologi abnormal, psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi

(8)

172

pendidikan, pendidikan khusus, dan pengalaman-pengalaman praktis terkait anak berkebutuhan khusus.

9. Tahap 9 : menuliskan laporan.

Setelah proses evaluasi, harus dibuat laporan yang secara jelas mengkomunikasikan temuan, interpretasi, dan rekomendasi. Dibutuhkan kemampuan komunikasi, agar laporan dapat dipahami oleh berbagai pihak terkait, seperti orang tua, guru, konselor, terapis, psikiater, dokter anak, pekerja sosial, profesional lain, bahkan anak yang diases jika telah cukup usianya.

10. Tahap 10 : tindak lanjut dari rekomendasi yang diberikan dan melakukan evaluasi ulang.

Setelah laporan selesai dibuat, maka perlu dikomunikasikan kepada pihak terkait termasuk pemberi rujukan. Menyajikan temuan hasil asesmen perlu dilakukan dengan cara-cara yang dapat membuat pihak terkait paham dan terdorong untuk berpartisipasi, bukannya menjadi semakin cemas dan defensif. Rekomendasi yang diberikan juga perlu dimonitor dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk menguji efektifitasnya. Rekomendasi berdasarkan hasil asesmen pada anak berkebutuhan khusus bukanlah solusi akhir dari masalah anak, tetapi merupakan langkah awal untuk suatu proses intervensi berkelanjutan. Proses intervensi tersebut sangat terbuka untuk dilakukan modifikasi seiring dengan perubahan-perubahan yang dialami anak, atau jika intervensi menjadi tidak lagi efektif.

Tantangan untuk asesmen psiko-edukasional di Indonesia

Penulis mencoba untuk merefleksikan pemahaman mengenai asesmen psiko-edukasional yang telah diuraikan diatas terhadap praktek asesmen bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang telah diamati dan dipelajari sejauh ini, untuk menyarikan beberapa catatan yang bertujuan mengembangkan praktek layanan asesmen tersebut, sebagai berikut:

1. Kurangnya kesadaran profesional dari berbagai disiplin ilmu terkait penanganan anak berkebutuhan khusus untuk berkolaborasi. Kolaborasi yang dimaksud bukan

(9)

173

sekedar “sama-sama bekerja” tetapi benar-benar “bekerja bersama” untuk memberikan penanganan, mulai dari asesmen, diagnosa, hingga intervensi yang kolaboratif. Para profesional cenderung menangani anak tanpa kolaborasi, hanya menggunakan keahlian masing-masing, akibatnya satu anak yang sama dapat memeroleh beberapa ‘label diagnosa’ dari ahli-ahli yang berbeda. Situasi itu tentunya membingungkan bagi orangtua dan berdampak merugikan bagi anak karena akhirnya ia mengembangkan identitas dirinya berdasarkan label tersebut. Aspek sosialisasinya terganggu dan penerimaan dari orang-orang sekitarnya juga dipengaruhi oleh label-label diagnosa yang belum tentu sahih.

2. Catatan tentang perkembangan anak baik dari sisi fisik/motorik, kognitif, sosial-emosi, kesehatan, dan pendidikan, seringkali tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga dalam proses asesmen, data-data riwayat perkembangan anak tersebut menjadi kurang atau tidak tersedia. Kurang lengkapnya data sangat mempengaruhi akurasi dari diagnosa dan penanganan yang dapat diberikan untuk membantu anak dan keluarganya.

3. Pihak-pihak yang terkait dengan kehidupan anak sehari-hari terkadang tidak cukup kooperatif untuk memberikan informasi mengenai perspektif mereka tentang masalah anak, padahal informasi-informasi tersebut merupakan hal yang esensi dalam proses asesmen. Untuk memperoleh dinamika permasalahan anak, diperlukan data yang komprehensif, dari berbagai seting kehidupan anak. Institusi pendidikan dimana anak bersekolah terkadang juga tidak cukup kooperatif untuk menyediakan waktu atau kesempatan dan informasi yang dibutuhkan dalam proses asesmen, dengan alasan jadwal akademik yang padat. Pihak profesional yang diminta melakukan asesmen terhadap anak, dianggap sebagai satu pihak yang dapat langsung memahami dan memberikan solusi bagi masalah anak, tanpa kerjasama dengan pihak lain.

4. Satu aspek penting dalam asesmen anak berkebutuhan khusus adalah alat-alat tes terstandarisasi yang telah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia, merupakan alat-alat versi lama, yang item-itemnya tidak dianalisis secara kontinu, dan norma yang dikembangkan pun belum diperbaharui. Profesional dalam bidang psikologi

(10)

174

yang menggunakan alat-alat tes tersebut, terkadang tidak dijamin memiliki kepekaan dengan kondisi item dan norma itu ketika melakukan interpretasi hasil pengetesan. Padahal untuk tes terstandarisasi, kesahihan interpretasi skor hasil bergantung pada norma yang digunakan. Pengembangan alat-alat tes bagi anak berkebutuhan khusus di konteks Indonesia merupakan kebutuhan yang penting dan mendesak terkait dengan penegakan diagnosa dan penanganan komprehensif bagi mereka.

5. Pengembangan strategi intervensi yang dilakukan untuk penanganan anak berkebutuhan khusus masih dilakukan parsial, artinya belum merupakan hasil kolaborasi profesional dari berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan kondisi kekhususan anak (guru, psikolog, psikiater, terapis, orthopedagog, orangtua dan anak jika sudah cukup usianya). Akibatnya hasil intervensinya kemungkinan besar menjadi kurang optimal dan ‘masa/usia emas’ anak pun beresiko terlewati.

6. Laporan hasil asesmen yang dibuat, terkadang tidak informatif bagi orangtua dan guru dari anak berkebutuhan khusus, sehingga kurang dapat diaplikasikan untuk intervensi bagi pengembangan potensi anak tersebut. Bahkan laporan hasil asesmen dari profesional yang berbeda, terkadang kontradiktif, dan membingungkan bagi orang tua.

Penutup

Beberapa catatan refleksi diatas tentunya tidak dimaksudkan untuk sekedar mengkritisi situasi terkait penanganan anak berkebutuhan khusus, melainkan

(11)

175

merupakan upaya reflektif yang dilanjutkan dengan motivasi agar setiap profesional yang terkait dengan anak berkebutuhan khusus – dokter anak, psikiater anak, terapis, psikolog anak, guru – mengkontribusikan sesuatu, sesuai dengan bidang ilmu masing-masing, agar terjadi perbaikan-perbaikan, sehingga di kemudian hari, semakin cerah harapan bagi masa depan anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Be the change you want to be..!

Daftar Pustaka

Adinugroho-Horstman, A.D. (2012). Modul asesmen, diagnosa dan penanganan anak

berkebutuhan khusus. Jakarta: CAE.

Algozzine, B., Newton, S., Horner, R.H., Todd, A.W., & Algozzine, K. (2012). Development and technical characteristics of a team-decision making assessment tool: decision observarion, recording, and analysis (dora). Journal

of Psychoeducational Assessment. 30(3), 237-249.

Olvera, P., & Gomez-Cerrillo, L. (2011). A bilingual (english & spanish) psychoeducational assessment model grounded in cattell-horn carroll theory: a cross battery approach. Contemporary School Psychology. 15. 117-127 Kellems, R.O, Springer, B., Wilkins, M.K., Anderson, C. (2015). Collaboration in

transition assessment: school psychologist and special educators working together to improve outcomes for students with disabilities. Preventing School Failure. 0 (0), 1-7.

Sattler, J.M. (2008). Assessment of children, cognitive foundation, 5th Ed. San Diego: Jerome M. Sattler, Publisher, Inc.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

daerah daerah yang sangat jauh letaknya dari awal agama islam diajarkan, sedangkan dari sisi keburukannya adalah, dalam penaklukan yang dilakukan dinasti umayah,

Dilihat dari unsur pembentuknya konstruksi frasa dalam bahasa Arab ada 25 macam, yaitu: frasa na’at man’ut, frasa ‘athfy, frasa badaly, frasa zharfy, frasa syibhul

Menurut pendapat ibu apakah pemeriksaan Pap’smear merupakan metode yang tepat untuk deteksi dini kanker serviks?. Evaluated ( Clinical

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah Pengadaan Jasa Konsultan Perencanaan Wilayah I Rehabilitasi Sedang/Berat Bangunan Sekolah (SD/SMP)

Penyewa akan lebih tertarik untuk bekerja sama jika karyawan yang memberikan pelayanan jasa tersebut menunjukan rasa empati yang tinggi dalam melayani, sikap dari

berupa perlakuan yang berbeda pada kelas ekperimen dan kelas kontrol pada proses pembelajaran Fisika materi Vektor. Kelas eksperimen diberikan model

• Mampu melakukan pengukuran waktu kerja dengan metode sampel kerja ( work sampling) dengan menghitung waktu normal dan waktu baku sesuai dengan waktu observasi yang diperoleh.

Penelitian ini dilatar belakangi menurunnya jumlah hotel di Kabupaten Semarang. Hal ini mengindikasikan hotel tersebut tidak dapat memuaskan pelanggan. Secara umum