• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDONESIA MEMERLUKAN UU PERJANJIAN INTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INDONESIA MEMERLUKAN UU PERJANJIAN INTER"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

INDONESIA MEMERLUKAN UNDANG-UNDANG PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG BARU: ANALISIS KRITIS TERHADAP UU NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL

Oleh: Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.

PENDAHULUAN

UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional telah 16 tahun menjadi ius constitutum di Indonesia semenjak diberlakukan pada tahun 2000. Duta Besar Harry Haryono yang pada saat itu adalah Direktur Perjanjian Internasional Departemen Luar Negeri melakukan diseminasi rancangan undang-undang ini di berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk mendapatkan masukan-masukan dari para akademisi. Pada saat itu Indonesia memang belum memiliki undang-undang yang mengatur tentang perjanjian internasional sehingga dasar hukum dalam pembuatan perjanjian internasional masih berpedoman pada Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960. UU Nomor 24 Tahun 2000 sebenarnya diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana pemahaman Pemerintah Indonesia terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi sehingga dapat menjadi pedoman bagi para penyusun rancangan undang-undang yang memiliki dimensi internasional.

(2)

internasional berintegrasi ke dalam sistem hukum di Indonesia dan bagaimana perjanjian internasional dapat diterapkan di pengadilan nasional Indonesia.

Dengan tidak memahami filosofi sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia dalam pengintegrasian dan penerapan perjanjian internasional maka alur dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 menjadi tidak konsisten dan sangat prosedural. Oleh karena itu, untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam menyusun rancangan undang-undang perjanjian internasional baru perlu ditelaah mengenai kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 dan sebagai solusi penulis ingin menunjukkan hal-hal apa saja yang seharusnya diatur di dalam rancangan undang-undang perjanjian internasional yang baru.

PEMBAHASAN

Kelemahan Substansial UU Nomor 24 Tahun 2000

Sebagaimana yang tersebut di atas, beberapa istilah dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 menjadi perhatian khusus karena beberapa kata yang telah dikenal luas dan baku seharusnya tidak perlu diubah dalam kata bahasa Indonesia karena ternyata di dalam praktiknya menimbulkan kesalahpahaman.

Sebagai contoh adalah ketika seorang penasihat hukum dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi untuk Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa kewenangan ratifikasi perjanjian internasional adalah DPR. Di tingkat internasional, kewenangan untuk mengadakan hubungan luar negeri ada pada lembaga eksekutif, termasuk meratifikasi perjanjian internasional. Kewenangan legislatif adalah memberikan persetujuan di tingkat nasional atas perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh lembaga eksekutif.

(3)

dari kata ‘ratification’ sehingga seakan-akan kewenangan untuk meratifikasi perjanjian internasional ada pada DPR.

Kelemahan yang sangat signifikan dalam UU ini adalah penyusun undang-undang tidak memahami makna yang terkandung dalam Pasal 11 UUDNRI 1945 bahwa Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR dalam membuat perjanjian. UU ini seharusnya menjabarkan apa filosofi yang terkandung dalam Pasal 11 ini yang meliputi bagaimana proses persetujuannya, apa bentuk dari persetujuan DPR dan apa akibat hukum dari persetujuan tersebut. Sayangnya, Pasal 11 ini tidak dijabarkan sama sekali dalam UU ini sehingga muncul perkara Nomor 33/PUU-IX/2011 tentang UU Nomor 38 Tahun 2008 tentang UU Pengesahan Piagam ASEAN di Mahkamah Konstitusi di mana pemohon beranggapan bahwa UU Nomor 38 Tahun 2008 adalah UU yang membuat Piagam ASEAN berlaku di Indonesia.

Dalam keterangan di Mahkamah Konstitusi penulis menyatakan bahwa berbeda antara undang-undang pengesahan atau ratifikasi dengan undang-undang transformasi. Undang-undang pengesahan perjanjian internasional berkaitan erat dengan Pasal 11 UUDNRI 1945 di mana Presiden dan DPR adalah sebagai ‘treaty-making power’, sedangkan undang-undang transformasi berhubungan dengan Pasal 20 UUDNRI 1945 di mana DPR memiliki kewenangan eksklutif sebagai ‘legislative power’. Sebenarnya yang menjadi permasalahan utama dari permohonan tersebut adalah nomenklatur yang berbentuk undang-undang sehingga pemohon beranggapan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili sebagaimana yang diatur dalam Pasal...

(4)

karena selama ini produk yang diterbitkan oleh DPR selalu dalam bentuk undang-undang. Pengesahan itu sendiri adalah terjemahan dari kata ‘ratification’. Oleh karena itu, undang-undang pengesahan perjanjian internasional sebenarnya adalah bentuk persetujuan formal dari DPR kepada Presiden yang akan meratifikasi perjanjian internasional. Menurut Dr. Agusman Damos, undang-undang pengesahan perjanjian internasional ini adalah legal basis bagi Presiden untuk meratifikasi perjanjian internasional.

Proses yang berjalan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sistem checks and balances yang ada pada sistem ketatanegaraan Amerika Serikat. Dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat, Presiden hanya memiliki kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dan/atau executive agreements. Jika Presiden ingin meratifikasi perjanjian internasional dan/atau executive agreements maka Presiden harus mendapat persetujuan dari Senat untuk perjanjian internasional dan Kongres untuk executive agreements. Ini merupakan cerminan dari sistem checks and balances agar Presiden tidak sembarangan dalam membuat perjanjian internasional sehingga dapat merugikan kepentingan nasional atau tradisi hukum yang berlaku dan telah lama berkembang di Amerika Serikat.

Hal yang membedakan dari proses persetujuan dari lembaga legislatif kedua negara tersebut adalah akibat hukum dari persetujuan yang diberikan. Persetujuan yang diberikan Senat akan memberikan pengaruh di tingkat nasional (baca: pengadilan) kecuali ditentukan lain, sedangkan di Indonesia persetujuan DPR tidak memberikan pengaruh apapun bagi perjanjian internasional di tingkat nasional.

(5)

undang-undang transformasi yang mengejahwantahkan isi dari perjanjian internasional.

Penulis melihat ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan rancangan undang-undang perjanjian yang baru adalah nomenklatur undang-undang seharusnya diubah dengan bentuk lain agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari. Selain itu, penyusun undang-undang harus taat asas, khususnya asas lex superior derogate legi priori, artinya jika Pasal 11 UUDNRI 1945 meminta istilah persetujuan maka di undang-undang perjanjian internasional yang baru juga mengatur istilah persetujuan ini.

Lebih lanjut, UU Nomor 24 Tahun 2000 juga tidak mengatur tentang makna ratifikasi dan akibat hukum dari ratifikasi perjanjian internasional bagi Indonesia. Dua hal ini sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada negara lain bagaimana kita memandang hukum internasional dari sudut pandang Indonesia. Untuk menyusun pasal-pasal yang berkaitan dengan ratifikasi dan akibat hukumnya maka perlu pemahaman konsep-konsep hukum untuk mendukung argumentasi kita.

Pendekatan awal dimulai dari Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional di mana ratifikasi didefinisikan sebagai pengikatan diri suatu negara pada perjanjian internasional di level internasional. Sebenarnya Konvensi ini telah secara jelas mengidentifikasi bahwa ratifikasi atas perjanjian internasional tidak membuat perjanjian internasional menjadi bagian dari hukum nasional karena tujuan utama dari ratifikasi adalah untuk membuat perjanjian internasional berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Konvensi Wina 1969.

(6)
(7)

yang terdampak langsung dari tindakan ratifikasi perjanjian internasional. Jika Australia dan Kanada perjanjian internasional tidak dapat diterapkan secara langsung di pengadilan tanpa adanya undang-undang, sebaliknya Perancis dan Belanda mengijinkan perjanjian internasional yang telah diratifikasi untuk diterapkan secara langsung di pengadilan jika telah mendapat persetujuan dari Parlemen dan dipublikasikan dalam lembaran negara. Selanjutnya, kewenangan pengadilan untuk menentukan sifat perjanjian internasional apakah self-executing atau non-self-executing.

(8)

internasional di pengadilan nasional memerlukan undang-undang transformasi. Sama halnya dengan negara-negara Australia, Kanada, Perancis dan Belanda bahwa ratifikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia hanyalah sebuah pengikatan diri di tingkat internasional yang bertujuan untuk membuat perjanjian internasional berlaku universal.

Penarikan diri terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi dan/atau ditandatangani dengan alasan merugikan kepentingan nasional tidak seharusnya diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 karena hal ini telah ada dalam Konvensi Wina 1969. Pemahaman bahwa perjanjian internasional hanya mengikat bagi negara-negara dalam kaitannya dengan hubungan luar negeri sebenarnya tidak terlalu mengganggu karena isu yang berkembang dalam penarikan diri bukan sepenuhnya isu hukum tetapi lebih banyak isu politik. Juga permasalahan suksesi negara yang diatur dalam salah satu pasal dari UU ini sebenarnya tidak perlu ada karena tidak relevan.

(9)

Perlunya Kesepakatan dalam Pemyusunan UU yang Baru

UU Nomor 24 Tahun 2000 adalah produk gagal dalam filosofi peraturan perundang-undangan karena UU ini gagal untuk menjadi pedoman hidup dan gagal untuk menjelaskan secara terperinci mengenai pemahaman Indonesia terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi, termasuk alur proses pengintegrasian perjanjian internasional dan penerapannya di pengadilan, sehingga substansi UU ini tampak tidak fokus dan terlalu prosedural.

Penulis beranggapan bahwa kegagalan ini karena para penyusun peraturan hukum belum sepakat dalam menentukan apakah penyusunan tersebut menggunakan pendekatan teori monisme atau dualisme. Ketidakpahaman penyusun undang-undang tentang bagaimana hukum internasional berevolusi dalam sistem hukum di Indonesia terbukti ketika muncul sebuah produk hukum tentang hak asasi manusia yaitu UU Nomor 39 Tahun 1999 di mana Pasal 7 menyatakan bahwa norma-norma hukum internasional yang menyangkut hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum nasional Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana caranya menerapkan pasal-pasal dalam perjanjian internasional jika secara filosofis perjanjian internasional tidak diakui sebagai salah satu sumber hukum dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(10)

tersebut adalah monisme, seperti Perancis, Belanda, Timor Leste, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia. Jerman adalah negara monisme untuk hukum kebiasaan internasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 25 Grungesetz tetapi menggunakan pendekatan dualisme untuk perjanjian internasional. Bagi negara yang tidak mengatur secara tegas dalam konstitusinya maka negara tersebut adalah dualisme karena keutamaan diberikan pada hukum nasional, seperti di Malaysia, Australia, Kanada dan Indonesia sendiri.

Selama 20 tahun belajar hukum internasional di Indonesia, pemahaman terhadap perjanjian internasional masih belum jelas secara filosofi dan konsep karena ada banyak pemahaman yang berbeda-beda ketika berbicara negara monisme dan dualisme. Bagi teman-teman di Universitas Padjadjaran menganggap bahwa Indonesia adalah negara monisme, namun di beberapa perguruan tinggi lain menganggap bahwa Indonesia adalah negara dualisme dengan berbagai macam alasan tetapi sulit untuk ditarik kesimpulan atau benang merahnya.

(11)

bersifat prosedural belaka tetapi benar-benar hal-hal yang lebih substantif, seperti hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif dalam pembuatan perjanjian internasional, proses pengintegrasian perjanjian internasional ke dalam sistem hukum nasional, proses penerapan perjanjian internasional di pengadilan, makna ratifikasi bagi Indonesia, arti undang-undang pengesahan/persetujuan perjanjian internasional. Selain itu, UU ini seharusnya menggunakan bahasa yang baku, dengan kata lain, tidak perlu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia karena mengakibatkan salah pengertian, semisal ratifikasi, reservasi, deklarasi dan lainnya.

Jika para pemangku kepentingan dalam penyusunan rancangan undang-undang perjanjian internasional yang baru sepakat bahwa kita adalah negara dualisme maka alur berfikir dalam penyusunan rancangan undang-undang ini menjadi lebih mudah bagi penyusun peraturan hukum di DPR karena konsepnya menjadi lebih jelas. Dengan konsep dualisme dalam penyusunan setiap rancangan peraturan hukum, Pemerintah Indonesia akan lebih mudah menjawab tentang status perjanjian internasional di Indonesia dan penerapan perjanjian internasional di pengadilan nasional.

(12)

mandiri dan langsung karena kewenangan tersebut dimiliki sepenuhnya oleh DPR ketika membuat undang-undang transformasi atas perjanjian internasional yang bersangkutan. Berbeda dengan proses transformasi di Kanada, di mana Kanada menggunakan pendekatan soft transformation, artinya berlakunya perjanjian internasional dapat dilakukan melalui tindakan legislatif dan tindakan yudikatif, artinya perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Federal Kanada tetapi belum disetujui oleh Parlemen Federal Kanada tetap dapat digunakan oleh hakim di pengadilan nasional sebagai bahan hukum untuk menginterpretasikan hukum nasional yang dianggap tidak sesuai dengan kewajiban internasional yang harus diemban oleh Pemerintah Kanada, dengan catatan bahwa jika isu hukum yang muncul berkaitan erat dengan hak dan kewajiban individu.

(13)

KESIMPULAN

Dari analisis di atas maka ada beberapa hal yang dapat menjadi kesimpulan, antara lain:

1. UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah undang-undang karena tidak fokus dan terlalu prosedural sehingga terkesan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam UU ini tumpang tindih dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Wina 1969.

2. UU Nomor 24 Tahun 2000 disusun dalam kondisi ketidakjelasan konsep berfikir berkaitan dengan faham yang dianut oleh Indonesia, apakah faham monisme atau faham dualisme sehingga kerangka dan alur bahasa hukum dalam UU ini menjadi membingungkan.

3. UU Nomor 24 Tahun 2000 secara substansi tidak memberikan pedoman apapun mengenai bagaimana pemahaman bangsa Indonesia terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi karena kurangnya pemahaman filosofi dan konseptual.

4. UU Nomor 24 Tahun 2000 harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku agar tidak menimbulkan salah pengertian terkait dengan istilah dan pemahaman perjanjian internasional secara utuh di Indonesia.

5. Rancangan undang-undang perjanjian yang baru harus mengatur hal-hal yang bersifat substanstif tentang pemahaman kita atas perjanjian internasional yang dimulai dari hubugan antara eksekutif dengan legislatif, proses pembuatan perjanjian internasional, undang-undang pengesahan/persetujuan, makna ratifikasi, kewenangan melakukan reservasi dan deklarasi, undang-undang transformasi dan penerapan perjanjian internasional di pengadilan.

(14)

monisme atau dualisme, dengan tujuan untuk memudahkan alur berfikir dan menuangkan proses berfikir tersebut ke dalam bahasa hukum.

SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Account Representative (AR) dapat disebut juga sebagai staf pendukung pelaksana dalam tiap Kantor Pelayanan Pajak Modern, bertanggung jawab dalam menganalisa dan memonitor

Sin embargo, si hay varias instancias abiertas, el número aumenta de a uno por cada instancia (38001, 38002, etcétera). El número de puerto es necesario para que el jugador del lado

Guna mendukung hak konstitusional pelajar bermasalah baik yang bermasalah secara hukum dan moral, maka perlu diadakan sekolah darurat agar pelajar bermasalah dapat

keputusan agar memenuhi tujuan dan keinginan masyarakat.Sistem pemerintahan desa Lolowonu Niko’otano masih menggunakan sistem lama, dimana berjalannya musyawarah

Sesuai atau tidaknya antara materi dengan media yang digunakan akan berdampak pada hasil pembelajaran siswa.. Keadaan

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan suami dari perspektif konseling feminis merupakan sebuah pilihan dan kekuatan yang

In the first two sites (non- irrigated winter wheat and irrigated maize fields) seasonal reference ET A data series are obtained by the WinEtro model.. In situ

Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa media interaktif adalah alat perantara yang dirancang dengan pemanfaatan komputer menggunakan unsur seperti