• Tidak ada hasil yang ditemukan

Renaisans atau Kanonisasi di Sejarah Sa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Renaisans atau Kanonisasi di Sejarah Sa"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

“Renaisans” atau “Kanonisasi” di Sejarah Sastra Jawa abad 18-19?

Melihat sejarah sastra Jawa yang telah berlalu mungkin ada beberapa orang yang kurang tertarik dengan alasan terlalu kuno atau lainnya. Namun ada isu menarik seputar sejarah sastra Jawa yang menurut penulis juga tidak kalah menariknya dengan isu sejarah-sejarah lainya. Kita ambil isu sejarah Demokrasi Terpimpin yang diberlakukan oleh Soekarno pada tahun 1958 misalnya sebagai perbandingan atau pemantik awal tulisan ini. Kala Demokrasi Terpimpin

dicanangkan oleh Soekarno pada 1958, tujuan dari sistem ini jika dilihat dengan seksama dari buku Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008” adalah untuk mengembalikan kepemimpinan Soekarno yang “katanya” selama beberapa tahun (1945-1956) tidak mempunyai “power”.Di masa setelah

kemerdekaan 1945 ini memang sistem yang diberlakukan lebih mengarah pada parlemen dan perdana menteri, yang saat itu dikendalikan oleh tokoh-tokoh revolusioner Indonesia. Sehingga mengakibatkan parlemen dan perdana menteri memiliki andil besar dalam menentukan pemerintahan dan kebijakan. Melihat itu, Soekarnokhawatir dan merasa tidak berdaya, yang akhirnya menerapkan sistem demokrasi terpimpin, yakni presiden lebih memiliki andil besar dalam pemerintahan dan kebijakan.

Respon positif dan negatif dari penerapan sistem Demokrasi Terpimpin pun banyak terlontarkan dari internal Indonesia maupun luar Indonesia.Dari internal Indonesia saat itu yang cukup menarik di antaranya adalah pemberontakan yang terjadi di luar Jawa: PRRI, Permesta, dsb, dan juga sikap Hatta sahabat dwitunggal Soekarno, yang mengundurkan diri dari wakil presiden pada 1956. Amerika sebagai negara besar pada waktu itu merasa bimbang dengan

kepemimpian Soekarno. Apakah Amerika akan membantu pemberontak untuk menumbangkan Soekarno atau ikut mendukung Soekarno untuk

membuat imagebaik yang saat itu juga disokong oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Sehingga dalam satu isu ini pun menurut penulis campur tangan asing, utamanya Amerika di Indonesia cukup bermain.

(2)

menggunakan istilah sultan. Jika dilihat dari faktor campur tangan asing dalam perpecahan kerajaan Jawa, kolonial Belanda lah yang menjadi penyebab

pertikaian ini yakni melalui perjanjian Giyanti.

Dalam perkembangan sejarah sastra Jawa, sebagaimana yang penulis ungkapkan di awal paragraf, sesungguhnya tidak kalah menarik dengan isu sejarah lainya. Penulis mencoba melihat pada periodisasi sastra Jawa yang dilakukan oleh ahli sastra Jawa Dr. Pigeaud. Ia merupakan salah satu ahli kesusasastraan Jawa cukup terkenal, terutama dengan karyanya The Literature of Java. Ia mencoba membagi periode sejarah sastra Jawa menjadi empat, periode Pra Islam, periode Jawa-Bali, periode Sastra Pasisiran, dan periode Renaisans. Pigeaud inilah sebenarnya orang yang memunculkan istilah renaisans dalam sastra Jawa, yang kemudian dirujuk oleh ahli sastra Jawa lainya.

Dalam hal ini, penulis sebenarnya sedang tergelitik dengan istilah yang diambil oleh Pigeaud dalam periodisasi sastra Jawa nya. Pigeaud memunculkan istilah “renaisans” sebagaimana renaisans di Eropa,yang memang menginspirasi masyarakat Eropa abad 14-17M untuk bangkit dari penindasan yang dilakukan oleh Gereja.Namun sungguh ironi, jika renaisans sastra Jawa ini dianggap sebagai sebuah kebangkitan kembali sastra Jawa. Padahal renaisans itu sendiri merupakan sebuah kanonisasi yang dilakukan oleh para orientalis dari Eropa dalam merusak pengaruh kuat Islam di Jawa abad 19.

Kembali lagi ke istilah renaisans yang muncul di Eropa. Penulis mencoba mengkupas sedikit istilah ini dari tulisan Aprillia dalam Jurnal Seni Imajinasi keluaran Jurusan Seni Rupa, FBS UNNES Semarang (2006). Dalam tulisan Aprillia dijelaskan bahwa pada abad Pertengahan di Eropa muncul sebuah gerakan massa yang menuntut kebebasan berpikir seperti zaman Yunani.Pada abad Pertangahan ini memang Gereja yang memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan bidang kehidupan, termasuk wajib menaati setiap aturan-aturan yang dikeluarkan pemimpin-pemimpin Gereja. Zaman ini juga terkenal dengan pencerahan dari zaman kegelapan (Gereja) yang banyak melakukan kedikatoran terhadap rakyat Eropa atas nama agama. Ideologi yang didengungkan pada masa ini adalah humanisme, di mana segala sesuatu dipusatkan pada manusia (antroposentris). Istilah renaissance sendiri berarti kelahiran baru, suatu

(3)

Istilah Renaisans Sastra Jawa sendiri menurut Pigeaud dalam Margana (2004) merupakan sebuah masa di mana terjadi banyak reproduksi dan produksi karya sastra Jawa oleh para Pujangga Jawa di istana Kartasura, Surakarta dan

Yogyakarta abad 18-19[1]. Masa ini dianggap oleh Pigeaud sebagai masa keemasan (golden age) dari masa kegelapan (dark age) dalam perkembangan kesusasteraan Jawa dari masa Hindu-Budha-Jawa hingga abad 19. Sehingga renaisans mengabaikan kesusasteraan Islam abad 15-17.

Melihat kembali pujangga Jawa yang cukup aktif dan produktif dalam penulisan ulang karya lama Hindu-Budha-Jawa atau karya baru pada masa ini cukup banyak. Di antaranya adalah Yasadipura I dan II, Ranggawarsita, Pakubuwana IV dan V, dan beberapa raja di kerajaan Jawa lainya (Pakualaman,

Mangkunegaran, dan Kasultanan Yogyakarta). Pada abad 18-19 ini, semua naskah yang dihasilkan menggunakan medium bahasa Jawa Baru tingkatan Krama yang menjadi ciri khas bahasa istana keraton Jawa abad 18-19.

Selain itu, jika kita lihat beberapa naskah yang dihasilkan dalam periode “renaisans” versi Pigeaud, dapat terhitung cukup banyak. Beberapa naskah di antaranya adalah Serat Baratayuda gubahan dari kakawin Bharatayuda, Serat Rama gubahan dari kakawin Ramayana, dan beberapa kakawin lainya yang telah digubah oleh Pujangga Jawa ke bahasa Jawa Baru[2] juga babad-babad dan karya lainya yang ada di tempat-tempat penyimpanan naskah Jawa saat ini.

Konteks sejarah pada abad 18-19 saat itu, jika kita bersikap kritis bersamaan pula dengan mulai runtuhnya kekuasaan politik kerajaan Jawa pasca terbaginya kerajaan Jawa menjadi dua kerajaan senior, Kasunanan di Surakarta, dan Kasultanan Ngayogyakarta. Kekuasaan politik penuh kemudian dipegang oleh kolonial Belanda dengan memegang kendali atas kekuasaan raja. Hal ini terbukti beberapa kebijakan kolonial Belanda dan Inggris mulai gencar di abad 19 ini dan sudah lewat kendali dari keraton. Maka penulis tidak menutup kemungkinan bahwa proses penulisan ulang karya-karya sastra Jawa dari masa Hindu-Budha-Jawa di abad 18-19 ini merupakan sebuah proyek budaya untuk menutupi kekalahan kerajaan.

(4)

sarjana-sarjana kolonial dalam membentuk ilmu pengetahuan kolonial. Periode ini mempunyai banyak intrik. Dan Nancy mempertegas upaya ini sebagai bentuk “kanonisasi” atau upaya konstruksi hegemoni kolonial di Jawa[3] agar

meninggalkan dan melupakan tradisi Islam yang sudah menguat di Jawa dan kerajaan Jawa, kemudian dapat beralih ke misionaris Injil.

Opini yang coba dilawan adalah bahwa dengan masuknya Islam di Jawa,

membawa penurunan besar bagi kesusasteraan Jawa, sehingga disebut sebagai zaman kegelapan (dark age) oleh Pigeaud. Masa kegelapan ini diperkuat dengan teori renaisans Pigeaud yang menganggap bahwa Islam datang merusak tatanan juga kesusasteraan Hindu-Budha-Jawa abad 15 ke bawah. Memang jika dilihat, banyak ilmuwan Barat memiliki kecondongan untuk gandrung terhadap karya sastra Hindhu-Budha-Jawa daripada karya Islam, sebagaimana Gericke, Roorda, Winter, Wilken, Berg, Pigeaud, Zoetmulder, dan lain-lain. Bisa dilihat dalam beberapa buku karya mereka, yang lebih fokus pada sastra Jawa Kuno. Namun hal ini juga tidak menjustifikasi mereka bahwa mereka memiliki sentimen agama dalam penelitian. Karena keberpihakan menurut penulis juga suatu hak masing-masing, terlepas dari keobjektifan seorang akademisi.

Kembali lagi bagaimana perdebatan para ahli terhadap pendapat Pigeaud tentang renaisans banyak yang harus ditunjukkan. Nancy ketika mendalami naskah Jawa di kraton Surakarta sejak 1980, menginventarisasi naskah Jawa sebanyak 1450 judul. Dari jumlah banyak naskah itu, hanya terdapat 17 naskah yang merupakan hasil dari penyalinan teks Klasik Jawa Kuno ke Jawa Modern, dan sebaliknya 500 naskah yang tergolong Islam ia temukan di dalam kumpulan itu[4]. Sehingga dengan demikian, ia menganggap bahwa sarjana kolonial gagal dalam menunjukkan pentingnya teks Islam itu. Hal ini juga memperkuat proses politik yang terjadi dalam teori sejarah kesusasteraan Jawa abad 18-19, untuk lebih mengunggulkan teks Hindhu-Budha-Jawa. Selain itu Nancy juga

beranggapan bahwa di pesantren Jawa juga memproduksi karya-karya sastra yang belum atau tidak tereksplore oleh sarjana kolonial[5].

(5)

sejarah juga dapat mempengaruhi pribadi dan jati diri masyarakat. Istilah kanonisasi yang dijelaskan oleh Nancy, menurut penulis cukup adil, tidak hanya memihak pada ilmuwan kolonial, namun juga masyarakat pribumi yang masa itu menganut tradisi Islam[6].

Mohammad Sahlan

Penulis adalah mahasiswa aktif S1 Sastra Nusantara dan aktif di PMII Komisariat Gadjah Mada

[1] Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 54.

[2] Lihat karya sastra lainya di katalog-katalog naskah yang ada di Indonesia khususnya di abad 18-19: museum Sonobudoyo, perpustakaan keraton Yogyakarta, perpustakaan Pakualaman, perpustakaan Mangkunegaran, perpustakaan Kasunanan Surakarta, perpusnas RI, dan lain sebagainya.

[3]Margana, Pujangga Jawa dan Bayang-bayang Kolonial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 67

[4]Ibid., hlm. 68.

[5]Ibid., hlm.69

[6] Pembahasan selengkapnya bagaimana perdebatan istilah renaisans dan campur tangan kolonial Belanda dalam kesusasteraan Jawa abad 18-19 dengan data-data yang lebih banyak dan luas bisa dilihat pada buku karya Margana (2004) “Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial” terbitan Pustaka Pelajar. Lihat pada bab III, IV, dan V.

DAFTAR ACUAN

Aprillia. (2006). “Pertentangan Ideologi Pada Masa Renaisans dengan Ideologi Pada Abad Pertegahan Dalam Karya Seni.” Jurnal Seni Imajinasi, Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, UNNES. Vol 2, No 1.

Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

339 Nora Saiva Jannana, Ria Susi Nur Fadhilah Manajemen Arsip sebagai Bagian Hidup Organisasi: Studi Kasus di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Magelang Menurut Peraturan

Pada proses dekomposisi tandan kosong kelapa sawit, kandungan unsur hara kalium yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan kandungan nitrogen dan phosfor pada awal bulan

6. Wajib mengikuti seluruh tahapan tes psikologi yang terdiri dari tes tertulis dan dinamika kelompok. Wajib mengikuti tes psikologi di perguruan tinggi masing-masing peserta

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan diagram keterkaitan masalah di atas maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan faktor penyebab terjadinya variasi

Kawasan Kampung Madras dan Kawasan Kota Lama Labuhan Deli memiliki nilai faktor pendukung wisata yang sedang karena pada kedua kawasan tersebut, ketersediaan fasilitas

Rencana Kinerja Tahunan yang merupakan dokumen Perencanaan untuk periode 1 tahun yang memuat sasaran/capaian program, indikator kinerja, program dan kegiatan dimana merupakan

Jadi, yang dimaksud dengan Pendidikan Islam dalam penelitian ini merupakan upaya memberikan pemahaman mengenai konsep bersosialisasi, berkomunikasi dan berinteraksi

Media massa tidak serta merta memublikasikan suatu berita begitu saja tanpa melalui proses penyuntingan dan memikirkan dampak apa yang akan ditimbulkan dari