• Tidak ada hasil yang ditemukan

Artikel Hukum Tentang Narkotika Tentang Narkotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Artikel Hukum Tentang Narkotika Tentang Narkotika"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

DOCUMENT OF SARAH SERENA KAMAL 1 Jebakan Operasi Tangkap Tangan (OTT)

Dalam

Kasus Tindak Pidana Narkotika

Oleh :

Sarah Serena Kamal

Pasal 1 butir 23 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Indonesia Nomor 12 Tahun 2009

tentang Pengawasan dan Pengendalian Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara

Republik Indonesia, mendefinisikan “tertangkap tangan”, sebagai berikut : “tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengansegera sesudah beberapa

saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan olehkhalayak ramai sebagai

orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan bendayang

diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan

bahwaia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana

itu.” Jika mengacu kepada definisi tersebut, maka siapa pun orang yang tertangkap tangan

dianggap secara subjektif oleh aparat kepolisian telah melakukan tindak pidana. Dalam

konteks ini, aparat kepolisian menggunakan azas hukum yang berlaku, yakni azas

“Presumption Of Guilt” (Praduga Bersalah).Dimana sang tersangka dianggap “bersalah”, dikarenakan “barang bukti” ada bersama padanya saat tersangka tersebut tertangkap tangan oleh aparat kepolisian. Umumnya, fenomena semacam ini banyak terjadi dalam kasus tindak

pidana Narkotika.

Mereka yang terkena operasi “tertangkap tangan” dalam kasus tindak pidana

Narkotika, umumnya dikenakan Pasal 112 ayat 1 Undang-undang Tindak Pidana Narkotika

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotiika sebagai berikut: “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I

bukan tanaman, dipidana denganpidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). “ Halamana bila

mengacu kepada Pasal tersebut, maka mereka yang tertangkap tangan dalam kasus tindak

pidana narkotika, dianggap memiliki, menyimpan, menguasai dan menyediakan Narkotika

hanya dikarenakan barang bukti ada padanya. Namun demikian, dalam kasus operasi

(2)

DOCUMENT OF SARAH SERENA KAMAL 2 Innocence” (Praduga tak Bersalah), hal ini dikarekanan tidak selamanya “barang bukti” yang ditemukan pada saat “operasi tertangkap tangan” adalah milik tersangka.

Kebiasaan yang terjadi, pada saat pemeriksaan kasus tangkap tangan Tindak Pidana

Narkotika, di Pengadilan, saksi-saski yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah

aparat kepolisian yang terlibat pada operasi tangkap tangan tersebut. Halmana tentu

kesaksian-kesaksian tersebut bisa dianggap “meragukan” apabila tidak dukung dengan fakta

atau bukti pendukung lainnya. Padahal jika kita merujuk pada pendapat dari LB Curzon, dalam

bukunya yang berjudul “Criminal Law” (London, M & E, Pitman Publishing : 1997, menyatakan sebagai berikut : “Bahwa untuk dapat mempertanggung jawabkan seseorang dan karenanya mengenakan pidana terhadap nya, tidak boleh ada keraguan sedikit pun pada diri hakim

tentang kesalahan terdakwa.” Apabila ada keraguan, maka hakim akan menggunakan hukuman yang paling meringnkan bagi terdakwa (Asas In Dubio Pro Rea).

Pertanyaan nya apakah mungkin ada keraguan pada diri hakim pada kasus

tertanggakp tangan tindak pidana Narkotika ? Jawabannya adalah : “ Mungkin saja.” Dalam

ilmu hukum, ada adagium yang berbunyi sebagai berikut : JUDEX DEBET JUDICARE

SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA The judge ought to give judgment according

to the allegations and the proofs (seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan

fakta-fakta dan pernyataan). Jika merujuk kepada adagium tersebut maka dapat disimpulkan

fakta-fakta maupun pernyataan tersangka/terdakwa yang terungkap dalam persidangan,

dapat memberikan keraguan pada hakim tentang “kesalahan tersangka/terdakwa.”

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pasal 183 KUHAP, berbunyi sebagai

berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurang nya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya.” Halmana apabila dalam fakta-fakta persidangan yang terungkap, hakim hanya menemukan satu alat

bukti saja, maka dengan demikian keraguan dalam diri hakim pun timbul, sehingga berlaku

lah asas In Dubio Pro Rea.

Pertanyaan berikutnya, apakah adanya saksi dari kepolisian serta barang bukti yang

ada pada tersangka saat tertangkap tangan, masih memberikan kemungkinan keraguan pada

diri hakim dalam perkara tersebut? Jawabannya : “Mungkin saja.” Hal ini dapat mungkin terjadi, apabila dalam fakta persidangan, aparat kepolisian yang dihadirkan oleh Jaksa

Penuntut Umum tidak dapat menjelaskan asal muasal tersangka mendapatkan barang bukti

tersebut. Yang hanya bisa dijelaskan oleh para saksi adalah barang bukti tersebut ada pada

(3)

DOCUMENT OF SARAH SERENA KAMAL 3

terdakwa mendapatkan barang bukti tersebut. Selain itu pula, tidak ada nya sidik jari

tersangka/terdakwa pada barang bukti aquo, semakin memperkuat keraguan pada diri hakim,

apakah memang tersangka/terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 112 ayat 1

Undang-undang Tindak Pidana Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.

Walaupun barang bukti ada dalam “penguasaan” Tersangka/Terdakwa, namun dengan tidak adanya sidik jari terdakwa dalam”bungkusan barang bukti” tersebut, membuat

hakim menjadi ragu, apakah unsur memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Narkotika Golongan I bukan tanaman, dalam Pasal 112 ayat 1 tersebut diatas, dapat

dibebankan pada Terdakwa. Terlebih lagi hasil tes urine dari Tersangka/Tersebut

adalah”Negatf.” Sehingga timbulah dugaan baru berdasar fakta persidangan yang terungkap,

bahwa barang bukti tersebut berada dalam penguasaan terdakwa karena adanya “jebakan.”

Dugaan tersebut semakin kuat, saat Jaksa Penuntut Umum tidak mampu menghadirkan ke

muka persidangan, orang yang telah melaporkan Tersangka/Terdakwa kepada aparat

kepolisian, sebelum menangkap tangan Tersangka/Terdakwa.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka tepatlah kiranya pendapat dari Dr. Chairul

Huda, SH, MH, dalam bukunya “Dari Tiada pidana tanpa kesalahan menuju kepada tiada

pertanggung jawaban pidana tanpa kesalahan” (tinjauan kritis terhadap teori pemisahan

tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana) pada hal 64 menyebutkan :

Mempertanggung jawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggung jawaban pidana tidak hanya berarti “rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”.

Apabila fakta-fakta persidangan justru menunjukkan tidak tercapainya “rightfully

accused,” maka hakim selaku gerbang terakhir, wajib menggunakan asas In Dubio Pro Rea, demi kebenaran dan keadilan hukum. Halmana dalam kerangka itu, ada beberapa

Yurisprudnsi Mahkamah Agung, yang keberatan apabila keterangan kesaksian dari kepolisian

dapat dianggap cukup sebagai alat bukti yang sah, yaitu : Putusan Nomor

1531K/Pid.Sus/2010 dan Putusan Nomor: 2591 K/Pid.Sus/2010. Kedua Yurisprudensi Mahkamah Agung ini beranggapan bahwa : “pemeriksaan perkara atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Narkotika telah menjadi suatu ketentuan hukum tetap

saksi-saksi memberatkan yang berasal dari hanya pihak Kepolisian saja tidak dapat diterima

(4)

DOCUMENT OF SARAH SERENA KAMAL 4

Adapun alasan-alasan yang dijelaskan Mahkamah Agung dalam putusan nya tersebut

sebagai berikut :

- Bahwa pihak kepolisian dalam pemeriksaan perkara mempunyai kepentingan terhadap

perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadilan, sehingga

keterangannya pasti memberatkan atau menyudutkan, bisa merekayasa keterangan.

Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang benar-benar memberikan

keterangan secara bebas, netral, objektif dan jujur (vide Penjelasan Pasal 185 KUHAP).

- Bahwa secara formal kehadiran polisi di persidangan pada dasarnya digunakan pada

saat memberikan keterangan yang sifatnya Verbalisan.

- Bahwa oleh karena itu, mengapa pembuat undang-undang tidak membenarkan

cara-cara penanganan seperti itu, karena pembuat undang-undang sudah memikirkan dan

mengantisipasi, bahwa pada suatu ketika akan terjadi praktek rekayasa alat

bukti/barang bukti untuk menjadikan orang menjadi tersangka. Apabila hal ini

dibenarkan maka mudahnya orang jadi tersangka, sehingga polisi dapat

memanfaatkannya sebagai alat pemerasan dan sebagainya

Secara tidak langsung, kedua putusan mahkamah agung tersebut merupakan wujud

daripada adagium hukum yang berbunyi sebagai berikut : JUDEX SET LEX LAGUENS – The judge is the speaking law (sang hakim ialah hukum yang berbicara). Halamana dapat

diartikan, bahwa berdaarkan kedua putusan mahkamah agung tersebut, maka tidak

selamanya tersangka/terdakwa tertangkap tangan bersalah hanya karena barang bukti pada

dirinya, karena bisa jadi justru tersangka/terdakwa tersebut adalah”korban” dari oknum tertentu yang ingin menjebak tersangka/terdakwa tersebut

Berdasarkan fakta-fakta aquo, yang diperkuat oleh adagium hukum yang berbunyi

sebagai berikut : IUDEX NON ULTRA PETITA ATAU ULTRA PETITA NON COGNOSCITUR

(hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang

didasarkan kepadanya), maka adalah tepat dan benar kiranya putusan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Sidoarjo, dalam perkara Nomor : 806/Pid.Sus/2016/PN.SDA dalam

putusannya tertanggal 5 April 2017, yang telah memutus bebas Terdakwa (Vrijspraak),

dimana menurut pertimbangan majelis tersebut dalam putusannya, majelis hakim

berpandangan bahwa tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat

dakwaannya, yakni melanggar ketentuan Pasal 112 ayat 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun

2009, tentang Tindak Pidana Narkotika, dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

menurut hukum. Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian

(yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim (Vide

(5)

DOCUMENT OF SARAH SERENA KAMAL 5 bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana

Dengan menjatuhkan putusan tersebut, maka secara tidak langsung, majelis hakim

Pengadilan Negeri Sidoarjo, telah menerapkan adagium sebagai berikut : “JUDEX

HERBERE DEBET DUOS SALES, SALEM SAPIENTIAE, NE SIT INSIPIDUS, ET SALEM CONSCIENTIAE, NE SIT DIABOLUS” – A judge should have two silts; the salt of wisdom, lest he be foolish; and the salt of conscience, lest he be devilish (seorang hakim

harus mempunyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati

nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam). Halmana dalam perkara nakotika tersebut,

majelis hakim telah membuat kebijakan berdasarkan hati nuraninya dengan melihat pada

fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, sehingga mampu memberikan rasa keadilan

bagi Tersangka/Terdakwa, yang sebenarnyarnya adalah korban “jebakan tangkap tangan”

dari oknum oknum yang tidak bertanggung jawab.

Keadilan yang terwujud dalam bentuk putusan kasus tindak pidana Narkotika di

Pengadilan Negeri Sidoarjo, secara tidak langsung merupakan implementasi adagium hukum

yang berbunyi sebagai berikut : “QUID LEGES SINE MORIBUS” yang apabila diartikan kurang lebih memiliki makna apalah artinya suatu peraturan perundang-undangan kalau tidak

disertai dengan moralitas. Jadi, makna penting keberadaan perundang-undangan ditujukan

pada tercapainya moralitas, dimana moralitas utama dalam penegakan hukum adalah

tercapainya Rasa Keadilan, baik itu keadilan bagi terdakwa yang dihadapkan dimuka

persidangan maupun keadilan bagi masyarakat lainnya. Halmana rasa keadilan dalam kasus

tindak pidana narkortika, seringkali terabaikan hanya karena mengandalkan keterangan

aparat kepolisian pada saat proses pembuktian,yang belum tentu benar adanya seperti

halnya kasus tindak pidana narkotika dengan perkara Nomor : 806/Pid.Sus/PN.SDA/2016 di

Sidoarjo tersebut. Karenanya, putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, secara

tidak langsung telah memberikan wacana baru pada masyarakat hukum kita, bahwa tidak

selamanya praduga bersalah (presumption of guilt), dapat diterapkan dalam kasus tertangkap

tangan tindak pidana narkotika, karena ada kemungkinan terduga/tersangka/terdakwa

tersebut justru adalah “korban” dari pelaku sebenarnya yang ingin menjebak terduga/tersangka/terdakwa tersebut. Oleh karenanya, proses penyelidikan dan penyidikan

tertangkap tangan harus lebih diperinci lagi, agar ke depan, tidak ada lagi orang yang tidak

bisa bersalah harus di hukum bukan karena kesalahan nya, melainkan karena kesalahan

orang lain. Hal tersebut tentunya merupakan wujudu daripada adagium hukum sebagai

berikut: “Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang

(6)

DOCUMENT OF SARAH SERENA KAMAL 6 bersalah “presumption of innocence” pada kasus tertangkap tangan dalam tindak pidana

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara yaang peneliti lakukan upaya yang bisa diberikan oleh Kepala Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Jambi untuk pustakawan yang bermasalah naik

Area penyimpanan, persiapan, dan aplikasi harus mempunyai ventilasi yang baik , hal ini untuk mencegah pembentukan uap dengan konsentrasi tinggi yang melebihi batas limit

Media pembelajaran lagu dapat dieksploitasi untuk membantu peningkatan keterampilan menulis cerpen dengan metode sugesti-imajinasi, lagu dapat memberikan sugesti yang

Analisa data gempa melalui inversi waveform tiga komponen dilakukan dengan menggunakan software ISOLA yang bertujuan untuk mengestimasi CMT dan pola Bidang Patahan

Enkapsulasi adalah teknik pembungkusan eksplan yang dapat berupa embrio somatik, meristem atau tunas pucuk dengan suatu pembungkus khusus sehingga eksplan tidak

66 Tahun 2010 Pasal 220B ayat (1) dinyatakan bahwa : Pengelolaan keuangan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian

Mengambil teori ini dengan menyatakan bahwa jika suatu komunitas yang ada focus pada kekuatan dan kesuksesan maka akan bisa menemukan energy yang lebih besar

Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan bermakna antara asupan sugar-sweetened beverages dengan indeks massa tubuh pada anak usia