• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjalanan Lembaga Sensor Film Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perjalanan Lembaga Sensor Film Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Perjalanan Sensor Film Di Indonesia (oleh: Ambar Kusuma Ningrum)

ambarkusum@gmail.com

“Sampai pertengahan 1980-an ketika perhatian masyarakat bergeser pada monopoli impor, aspek yang senantiasa didiskusikan dengan intensif dalam sinema Indonesia adalah sensor.”1

Lembaga sensor merupakan suatu hal yang paling nyata dari kontrol pemerintah terhadap bentuk dan muatan film. Suatu kelembagaan yang mengatasnamakan film di Indonesia telah hadir mulai sejak Indonesia dijajah oleh pemerintahan Belanda. Terbentuknya lembaga tersebut dikarenakan semakin berkembangnya film di Indonesia pada masa itu. Diawali pada tanggal 5 Desember 1900 yang menjadikan tanggal itu istimewa. Karena pada tanggal itu Perusahaan Bioskop Belanda mulai mengoperasikan bioskop di sebuah ruma di Kebon Jae, Tanah Abang, di sebelah pabrik kereta (bengkel mobil) Maatschappij Fuchss.2

Pada tahun 1916 pemerintahan Belanda mengeluarkan Ordonansi yang mengatur tentang film dan penyelenggaraan usaha bioskop. Ordonansi tersebut banyak mengalami pembaharuan. Namun, pembaharuan tersebut belum sampai pada tahap suatu film layak tonton atau tidak. Pada akhirnya Ordonansi tersebut mengalami penyempurnaan dan melahirkan Film Commisie (vide Staadblad No 507)3 yang mengharuskan semua film sebelum diputar di bioskop wajib disensor terlebih dahulu. Pada saat ini Film Commisie mempunyai fungsi untuk melindungi masyarakat kulit putih dari serangan kaum pribumi agar masyarakat Indonesia pada masa itu tidak mempunyai keinginan untuk merdeka.

Pada masa ini, film-film yang masuk di Indonesia kebanyakan film dari Amerika. Oleh sebab itu mekanisme dari Film Commisie ini adalah adanya pengguntingan film dan adanya hukuman kepada pelanggar keputusan komisi, merupakan cara tersendiri dari pemerintah kolonial untuk menghambat masuknya secara luas film-film produksi Amerika yang beraliran genre.4 Film Commisie sendiri menentukan kategori sensor film, yaitu lolos sensor, lolos sementara, dan tidak lolos. Disini film lolos sementara dimaksudkan bahwa film tersebut yang sebelumnya diperbolehkan diputar di suatu daerah tertentu tetapi karena timbulnya gejolak-gejolak di daerah tertentu maka film yang sebelumnya boleh diputar bisa ditarik dari peredarannya. Namun lembaga ini hanya berjalan sampai lengsernya pemerintahan Belanda di Indonesia. Setelah Jepang masuk ke Indonesia, Film Commisie dibubarkan dan digantikan dengan Hodo-Dan.

1 Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer di Sinema Indonesia. Media Pressindo: Yogyakarta. Hal: 89

2Sejarah LSF, http://www.lsf.go.id/film.php?module=profil, diakses 28 Mei 2012 3Ibid

(2)

Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia lembaga sensornya pun mengalami perubahan fungsi dan nama. Terdapat dua lembaga dalam masa ini, yang pertama dibentuk oleh NICA dengan nama Panitia Pengawas Film dari menghidupkannya lagi Film Commissie. Fungsi yang diterapkan oleh lembaga ini pun masih sama seperti Film Commissie. Sedangkan yang kedua Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk Badan Pemeriksaan Film. Fungsi dibentuknya Badan Pemeriksaan Film sebagai filter yang diberikan oleh propaganda pihak asing melalui film. Sehingga bangsa Indonesia diharapkan tidak terkontaminasi akan propanda seperti keberpihakkan bangsa Indonesia kepada pihak penjajah.

Tahun terus berlalu, Indonesia pun akhirnya mendapatkan pengakuan kedaulatan. Lembaga sensor film pun dipegang oleh pemerintahan Indonesia secara penuh. Pada tahun 1950 dibentuknya Panitia Sensor Film Pusat oleh pemerintah dengan tetap mengacu kebijakan yang diterapkan pada masa Hindia Belanda tetapi hanya ditambahkan beberapa saja sesuai stabilitas yang terjadi di Indonesia. Panitia ini ternyata berorientasi pada kepentingan kekuasaan belaka. Salah satu contohnya adalah pemotongan film “Darah dan Doa” karya Usmar Ismail5. Film ini berhubungan dengan Perjanjian Renville serta memaparkan perjuangan long march pasukan Siliwangi dan sikap pasukan Darul Islam. Dianggap berhubungan dengan politik adalah kala itu film ini dapat dijadikan pemicu upaya penyelesaian damai dengan Darul Islam.6

Pada tahun 1953 melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 2 Juni 1953 Nomor 18977/Kab, pemerintah membentuk suatu Panitia Perancang Undang-Undang Perfilman (PPUF) yang pada tahun berikutnya PPUF diganti menjadi Dewan Film Indonesia dengan tugas memberikan pertimbangan-pertimbangan dan nasehat-nasehat kepada Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan dalam bidang perfilman.7 Untuk memajukan perfilman Indonesia pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk menyempurnakan lembaga-lembaga sensor film tersebut. Seiring berjalannya waktu pun lembaga-lembaga sensor bukan merupakan lembaga yang mutlak. Lembaga ini harus mengikuti perkembangan jaman yang ada di Indonesia. Artinya lembaga ini bersifat luwes namun tetap pada kontrol dari pemerintahan. Pada masa itu, pemerintah pun mendukung resolusi-resolusi MPRS tentang pers, radio, film dan TV. Terdapat hasil sidang mengenai perfilman yaitu selekas mungkin mengadakan undang-undang perfilman yang mengatur politik impor, ekspor, produksi, dan peredaran film sesuai dasar dan tujuan revolusi Indonesia, serta membantuk perkembangan industri film nasional, dan yang terakhir menyempurnakan produksi film PFN untuk konsumsi dalam dan luar negeri.8

5 Alkhajar, Eka Nada Shofa. (2010). Masa-Masa Suram Dunia Perfilman Indonesia. Thesis. Surakarta. Pascasarjana Ilmu

Komunikasi UNS.

(3)

Orde baru pun menghampiri Indonesia. Segala regulasi yang terjadi di Indonesia dirubah mengikuti Orde Baru termasuk regulasi mengenai perfilman dan tentunya sensor dalam film itu sendiri. Pada tanggal 5 Agustus 1964 telah diterbitkan Penetapan Presiden Nomor 1/1964 yang secara garis besar menyatakan bahwa film merupakan alat penerangan. Berdasarkan Penetapan Presiden tersebut muncullah Instruksi Presiden No. 012/1964 yang menjelaskan bahwa ada pemindahan tangan mengenai penanganan film yang semula berada di bawah Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan menjadi naungan Menteri Penerangan. Penpres juga menjelaskan mengenai aturan-aturan tema film yang lolos sensor, aturan tersebut berbunyi:

“Film yang dibuat di Indonesia wajib: (a) menjadi pendukung, pembela, dan penyebaran dasar-dasar dan ideologi Pancasila dan Manifesto Politik beserta pedoman-pedoman pelaksanaannya; (b) menggambarkan hal-hal yang mengandung pemberitaan dan usulan terhadap keadaan dan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah memelihara agar supaya pemberitaan dan ulasan itu bersifat konstruktif dan tetap berpedoman pada Manifesto Politik serta pedoman-pedoman pelaksanannya dan (c) memperlihatkan syarat-syarat ketertiban umum dan peraturan-peraturan yang berlaku.” 9

Dengan adanya Penpres tersebut tema film seperti dimatikan kreativitasnya dalam mengeksplorasi. Hanya yang berideologikan politik pemerintah saja yang lolos sensor. Kemudian film yang mendukung ideologi Pancasila serta berhubungan dengan manifesto politik yang dapat berterbangan di kancah perfilman Indonesia. Saat itu memang Orde Baru, dimana film dijadikan propaganda untuk mendukung pemerintahan Indonesia. Sayangnya, film dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan negara atau penguasa pada saat itu10. Film seperti mobil remote control pemerintah dengan pemerintah sebagai pemegang kendali akan semua hasil dari film tersebut. Pemerintah mengambil alih penuh dari pensensoran film. Film yang lolos sensor harus sesuai dengan keinginan pemerintah untuk dijadikan alat propaganda bagi masyarakat Indonesia. Beruntunganya, film merupakan media massa yang paling efektif. Karena semua lapisan masyarakat mencari alternatif hiburan dengan menonton film. Dan alur cerita yang mudah menjadikan film dapat dinikmati semua lapisan masyarakat, yang pastinya melalui lembaga sensor terlebih dahulu.

Menindaklanjuti Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/65 pada tanggal 21 Mei 1965 dibentuklah suatu lembaga yang bernama Badan Sensor Film (BSF) yang mengatur tentang penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia. Badan ini terdiri dari 24 orang perwakilan pemerintah dan sembilan dari partai politik.11 Adapun fungsi dan tugas BSF tetap menitik beratkan pada upaya menghindarkan masyarakat dari pengaruh buruk film, dan memperjelas eksistensi dan

9Ibid 10Ibid

(4)

fungsi film dalam turut memantapkan program nation and character building. Disebutkan bahwa sebuah film dapat menonjolkan sisi nasionalisme terhadap Indonesia. Kebanyakan produksi film masa ini menceritakan tentang masalah nasional yang ujung-ujungnya menjadi masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia sendiri. Film bisa menjadi elemen penting dalam pembangunan watak bangsa. Sebagaimana harapan Kurnianingrat kepada produser-produser nasional, agar film-film Indonesia hendaknya lebih mendekati kehidupana masyarakat sehingga disamping penghibur, film-film juga ikut dalam membantu membangun masyarakat dan negara kita, juga agar produser lebih banyak menyajikan film-film ilmiah populer, film perjuangan bangsa, film-film hiburan sehat dan film anak-anak.12

Bagaimanapun juga BSF tetap bagian cerita penyensoran milik Orde Baru. BSF saat itu memiliki mekanisme dalam penyensoran dimulai dari pra-produksi sampai tahap pra-editing dan paling terakhir final film tersebut. Skenario sebuah film harus mempunyai rekomendasi dari Direktorat Film Departemen Penerangan sebelum syuting dimulai. Hal ini dilakukan untuk melindungi penyumbang dana terhadap film tertentu yang terutama dilarang BSF. Dikarenakan pengurangan subsidi mulai tahun 1970-an untuk film. Setelah selesai syuting, rush copy (film yang belum diedit) harus diserahkan pada lembaga yang sama untuk memperoleh petunjuk tentang bagian mana yang harus diedit.13 Setelah film mencapai titik final baru diberikan kepada BSF untuk diloloskan atau malah tidak diloloskan walaupun sudah melalui beberapa tahap diatas.

Sepanjang tahun 1970-an BSF membuka diri kepada masyarakat Indonesia. BSF menanamkan kepada masyarakat bahwa lembaga ini memang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan hiburan yang layak tanpa pengaruh buruk dari film. Agustus 1971, BSF memulai melakukan transparansi terhadap mekanisme yang dijalankan dengan menerbitkan buletin Berskala BSF. Buletin diharapkan dapat diakses oleh publik terhadap cara kerja dan diskusi di dalam BSF. Namun sayangnya, tahun 1973 buletin ini berhenti bukan dikarenakan alasan pendanaan ataupun ketiadaan minat pengolalanya. Melainkan mekanisme yang dilakukan BSF tidak lagi menjadi suatu rahasia. Jadi siapapun orang yang membaca buletin ini akan paham tentang mekanisme pensensoran film. Bagi orang yang ingin mengakses mekanisme tersebut dapat langsung meminta izin khusus dari Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Dirjen RTF).14

Badan ini banyak mengalami perubahan anggota, termasuk perubahan anggota dari unsur pemerintahan. Tahun 1971 yang beriringan juga dengan melemahnya partai politik dalam sistem politik Indonesia, wakil dari unsur partai politik dikeluarkan dari BSF. BSF pada tahun 1971-1972

12 Alkhajar, Eka Nada Shofa. (2010). Masa-Masa Suram Dunia Perfilman Indonesia. Thesis. Surakarta. Pascasarjana Ilmu

Komunikasi UNS

13 Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer di Sinema Indonesia. Media Pressindo: Yogyakarta.Hal: 90

(5)

yang anggotanya meliputi seniman dan intelektual terkemuka, merupakan yang paling liberal dan terbuka sejak 1965.

Dengan matinya buletin Berskala BSF membuktikkan juga otonomi relatif BSF merosot. BSF pada tahun 1973 kembali tunduk akan manifesto politik pemerintahan dan terdominasi oleh kepentingan departemen pemerintah. BSF menjadi bawahan dari Dirjen RTF.

Penjelasan diatas belum sampai menyentuh pada lapisan daerah. Seperti yang telah diketahui terdapat beberapa kasus penghentian peredaran film pada tahun sebelum dan sesudah 1965 oleh komandan militer lokal dan pemerintahan lokal. Padahal film-film tersebut sudah lolos dari BSF. Oleh sebab itu pada tahun 1970-an dibuatlah suatu regulasi untuk mengatur kebijakan daerah mengenai film. Baru pada tahun 1975 Badan Pembinaan Perfilman Daerah (BAPFIDA) didirikan pada tingkat provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur, dan dikepalai oleh kepala wilayah departemen termasuk aparat keamanan dengan fungsi adalah untuk menjamin keamanan dari pangsa pasar yang adil di tingkat provinsi.15 Pada tahun 1977, wewenang BAPFIDA bertambah, lembaga ini berhak untuk menyensor film yang diputar di wilayahnya. Namun, hanya sekedar untuk melarang film tersebut beredar di provinsi dan untuk masalah pemotongan atau mengubah film tetap menjadi kewenangan BSF.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 55B/Kep/Menpen/75 tanggal 20 Mei 1975, tugas BSF adalah sebagai badan penyensor pemerintah atas film yang akan diedarkan/dipertunjukkan kepada umum dan wilayah Indonesia maupun yang akan diekspor. BSF sendiri mempunyai fungsi untuk mengeluarkan surat tanda lulus sensor film, menolak perederan dan atau pengeksporan film, memotong bagian-bagian film, dan menarik fim dari peredaran. Dalam laporan tahun 1975-1976, BSF dalam rangka mendapatkan respon dari masyarakat, yang dalam hal ini adalah pejabat-pejabat pemerintaha serta para pemuka masyarakat, BSF mengirim tim-timnya ke daerah untuk mengetahui dan menampung secara langsung tanggapan-tanggapan dan reaksi-reaksi masyarakat atas hasil karya BSF serta keluhan-keluhan terhadap film dan jenis-jenis film tertentu yang dimanfaatkan oleh BSF sebagai bentuk evaluasi terhadap keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan BSF selanjutnya.16

Sepak terjang dari BSF belum berhenti sampai disini, pada tahun 1977 Pedoman Sensor didasarkan pada Keputusan Menteri, salah satunya contoh yang diatas. Sementara itu pedoman yang lain ditetapkan oleh BSF sendiri yang disebut Kode Etik BSF pada 1980, yang kemudian diperluas dalam Kode Etik Produksi Film Nasional pada tahun 1981.17 Namun untuk permasalahan tugas dan 15 Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer di Sinema Indonesia. Media Pressindo: Yogyakarta. Hal: 91

16 Deppen. (1977). Perfilman Indonesia 1976. Deppen RTF: Jakarta. Hal: 314

(6)

fungsi, masih mengikuti pedoman kerja berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No 03A/ Kep/Menpen/1977.

Perjalanan belum berakhir, tibalah dimana perfilman mengalami pembenahan mengikuti perhatian yang diberikan masyarakat. Mulai dari tahun 1990-an banyak stasiun televisi swasta yang meminta perhatian kepada pemerintah. Dirasa perlu adanya perbaikan akan mekanisme untuk Badan Sensor Film. Untuk mengatasi perubahan yang terjadi di masyarakat, mulailah digiatkan persiapan dan penyelenggaraan jajak pendapat tentang perlunya Undang-undang tentang Perfilman. Jajak pendapatpun berlangsung dan sampai pada tanggal 30 Maret 1992 ditetapkanlah Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman. Undang-Undang-undang tersebut membuat Badan Sensor Film bekerja lebih spesifik, detail, dan berusaha lebih memihak kepada masyarat serta film maker.

Dari segala macam pasal dan bab yang berada di Undang-Undang tersebut, terdapat empat pengertian pokok yang menjadi rujukan semua peraturan dan ketentuan di bidang perfilman. Salah satu pengertiannya tentang sensor film. Sensor film adalah penelitian dan penilaian terhadap film dan reklame film untuk menentukan dapat atau tidaknya sebuah film dipertunjukkan dan/atau ditayangkan kepada umum, baik secara utuh maupun setelah peniadaan bagian gambar atau suara tertentu.18

Dengan pengetian yang serinci itu, film lebih dikerucutkan dan mendetail akan pengertiannya. Terlebih dengan adanya pengertian dari sensor film sebagai acuan yang digunakan oleh Badan Sensor Film yang sejak tahun 1994 mengalami perubahan nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF). Aturan-aturan penyensoran telah menjadi detail, komprehensif, dan bersifat publik, serta meningkatkan peran sensor dalam industri film dan juga kejelasan pembatasan regulasi pemerintah. Tugas penyensoran tidak hanya sekadar memotong atau menghapus apa-apa yang tidak patut ditonton oleh masyarakat, khususnya remaja dan anak-anak, tetapi sekaligus membimbing dan mengajak masyarakat untuk dapat mengembangkan sikap kritis dalam menapis atau lebih tepat lagi dalam melakukan self censorship.19

Menjelang tahun 1998-2001, Indonesia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Segala kebijakan dirubah walaupun tetap mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945. Namun, masa ini benar-benar membuka pintu kebebasan. Sayangnya, kesempatan itu dilewati tanpa rasa tanggung jawab. Tidak ingin ketinggalan, film pun menginginkan kebebasan tersebut. Produksi film berani menampilkan adegan yang disebut bebas tanpa tanggung jawab tetapi secara bertahap. Perfilman Indonesia sempat mengalami koleps perhatian dari pemerintah dan tidak luwes dengan masih berpegang teguh akan kebijakan Orde Baru. Memang dibawah Departemen Penerangan

18“Sejarah LSF”, http://www.lsf.go.id/film.php?module=profil, diakses 28 Mei 2012

(7)

perfilman seperti dikendalikan. Namun, sisi baiknya ada yang menaruh perhatian pada perfilman Indonesia. Sampai pada suatu waktu di mana titik kulminasi sudah mencapai puncaknya, masyarakat Indonesia terkejut dan menyadari bahwa banyak perubahan perlu dilakukan untuk memperbaiki dunia film kita, khususnya yang berkaitan dengan aspek etika dan moral dalam membuat dan mempertunjukkan atau menayangkan film untuk umum.20

Dengan memperhatikan perkembangan film dan LSF yang sekarang, sering terjadi sedikit peperangan antar keduanya. Banyak beberapa film yang lolos sensor dan tidak lolos sensor. Sesuai wewenang LSF bahwa sebuah film diluluskan sepenuhnya, dipotong sebagian gambar tertentu, ditiadakan suara tertentu, dan ditolaknya seluruh film; untuk diedarkan, diekspor, dipertunjukkan, dan ditayangkan21, Sebagai penonton sudah menyadari dengan adanya penyensoran tersebut, yang paling mudah diketahui adalah peniadaan suara tertentu. Terdapat mekanisme yang dilakukan oleh LSF, yang dikatakan oleh Akhlis Suryapati (anggota LSF) dalam Eric Sasono (2012), yaitu

“Anggota LSF bekerja dibagi dalam kelompok-kelompok sensor dan mereka mendapat jadwal untuk menyensor film-film yang masuk. Mereka akan meluluskan atau tidak meluluskan sebuah film dan kemudian akan membuat surat untuk ditandatangani oleh Ketua LSF. Apabila ada film yang tak bisa diputuskan di tingkat komite sensor, maka film itu biasanya dibicarakan di tingkat pelaksana harian. Apabila pada tingkat pelaksana harian tidak juga diputuskan, maka biasanya keputusan diambil di tingkat pleno, dimana seluruh anggota LSF yang berjumlah 45 orang itu akan diundang untuk membicarakannya.”22

Namun yang jadi pertanyaan adalah mengapa film yang bergenre horror dengan menampilkan adegan panas dapat lulus sensor dan disaksikan masyarakat Indonesia. Berdasarkan Pedoman dan Kriteria Penyensoran diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994, Bab IV Pasal 19 disebutkan bahwa adegan yang dapat menimbulkan birahi dan terlalu terbuka agar untuk dipotong. Namun, adegan itu tetap tidak dipotong. Mekanisme yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film terlalu terpaku dengan Orde Baru. Bahwa tema sebuah film yang tentang seks tidak boleh lebih dari 50 persen. Sayangnya, sineas ini adalah yang terpandai di kalangannya. Dengan tidak menampilkan cerita yang berbau seks sebanyak lima puluh persen, hanya sebagian. Namun, dengan genre seperti itu banyak bertebaran di Indonesia.

Terjadi kesalahpahaman antara peraturan yang dibuat dengan eksekutor peraturan tersebut. Selain itu yang juga penting adalah standar penyensoran LSF yang masih bersandar kepada peraturan yang dibuat pada masa Orde Baru. Peraturan penyensoran yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah, hingga kini belum dibuatkan yang baru sehingga kecurigaan masih

20Ibid

21 Effendy, Heru. (2008). Industri Perfilman Indonesia. PT Gelora Aksara: Jakarta. Hal: 9

(8)

mendominasi perlakuan terhadap pembuat film.23 LSF kali ini sedang mengalami gelombang birokrasi. LSF masih direbutkan oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun, ada kecenderungan Lembaga Sensor Film berada di naungan Kemendikbud. Alasannya mudah karena film sangat dekat dengan unsur budaya.

Itu semua hanyalah peraturan yang sulit berjalan efektif. Karena tidak ada pengawasan secara langsung tentang peraturan yang dibuat oleh LSF. Di setiap film selalu disebutkan batas umur untuk dapat menyaksikan film tersebut. Realita di lapangan menunjukkan bahwa film yang telah lolos sensor dengan label “Untuk Dewasa” nyatanya masih bisa ditonton oleh siapa saja, termasuk anak-anak usia sekolah dasar (di bawah 15 tahun).24 Padahal undang-undang pun juga sudah menjelaskan bagi yang melanggar akan dikenakan sangsi. Peraturan tetap peraturan. Tidak semua masyarakat Indonesia mengerti tentang peraturan tersebut. Seharusnya pemerintah tidak perlu merevisi segala undang-undang untuk perfilman, buatlah peraturan tentang pemantauan terhadap penonton film di pintu masuk tiap-tiap bioskop. Dengan regulasi yang seperti ini perlindungan kepada masyarakat Indonesia dapat berjalan. Seperti fungsi yang diuraikan oleh LSF.

LSF melakukan perjalan yang cukup berliku. Terdapat beberapa perubahan akan kebijaknnya. Berarti lembaga ini melakukan suatu evaluasi karena tidak ingin melakukan kesalahan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, dengan adanya Lembaga Sensor Film seperti ini bangsa Indonesia dapat melihat film yang sudah difilter oleh lembaga ini dan dirasakan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Tanpa LSF pun dipastikan film dengan tema apapun, genre apapun, adegan apapun dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Filmmaker pun akan membuat film seapik dan sesuai dengan undang-undang penyensoran agar filmnya dapat dinikmati masyarakat Indonesia dan tidak mengalami kerugian. Namun, ada baiknya jika LSF melakukan suatu transparansi terhadap pemilihan anggota, alasan memilih film lulus sensor, dan mekanisme pengambilan keputusan di dalam lembaga ini. Dan melakukan sebuah perlindungan terhadap konsumen.

23Ibid

(9)

Daftar Pustaka

Irawanto, Budi. (1999). Film, Ideologi, dan Militer Hegemoni Militer di Sinema Indonesia. Media Pressindo: Yogyakarta.

Arief, M Sarief. (2009). Politik Film di Hindia Belanda. Komunitas Bambu: Jakarta.

Alkhajar, Eka Nada Shofa. (2010). Masa-Masa Suram Dunia Perfilman Indonesia. Thesis. Surakarta. Pascasarjana Ilmu Komunikasi UNS.

Deppen. (1977). Perfilman Indonesia 1976. Deppen RTF: Jakarta. Effendy, Heru. (2008). Industri Perfilman Indonesia. Erlangga: Jakarta.

________. Sejarah LSF, http://www.lsf.go.id/film.php?module=profil, diakses 28 Mei 2012

Sasono, Eric. (2012, 9 April). PelaranganPrisonand Paradise. http://gemarnonton.wordpress.com/

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud dengan pelaksanaan pempelajaran di sisi adalah pelaksanaan komponen-komponen pokok pembelajaran yang meliputi komponen tujuan pembelajaran, materi

Kemudian Kusuma dan Gusniarti (2008) menjelaskan apabila individu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya berarti individu tersebut mampu menyelaraskan

Hasil yang diperoleh adalah, nilai rata-rata postes kelas eksperimen setelah diterapkan model pembelajaran berbasis masalahberbantuan peta pikiran (mind map) sebesar

Misalnya, pada tahun 2007 Pemerintah Republik Uzbekistan menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Federasi Rusia bahwa kegiatan kerja dan perlindungan hak-hak migran

mendukung pengembangan teknologi dalam akti%itas operasional Amazon seperti& infrastruktur - dan ofware *evelopment  & memungkinkan setiap akti%itas operasional

SKRIPSI PENGARUH SUHU DAN WAKTU REAKSI DEMINERALISASI TERHADAP NILAI KADAR ABU KITOSAN DARI CANGKANG KERANG KAMPAK Atrina pectinate THE EFFECT OF TEMPERATURE AND TIME

Tumbuhan emergen yang tumbuh dengan meluas telah memainkan peranan yang penting dalam penyingkiran bahan tercemar pada paya tiruan kerana ia dapat bertoleransi