• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jilbab(isasi) dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Studi Kultural (2016) Volume I No.1: 16–20

Jurnal Studi Kultural

http://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Jilbab(isasi)

dengan Kekuasaan sebagai Wacana yang Diperebutkan

(Suatu Kajian Multikulturalisme di Kota Bukittinggi Sumatera Barat)

Mangihut Siregar*

Universitas Udayana

Info Artikel

Sejarah artikel: Dikirim 13 Oktober 2015 Direvisi 10 November 2015 Diterima 17 November 2015

Kata Kunci: Multikulturalisme Wacana Hegemoni Identitas Jilbab

1.Pendahuluan

Negara Indonesia mengakui bahwa seluruh agama, suku, budaya yang berbagai macam yang ada di negeri tercinta ini merupakan suatu anugerah yang harus disyukuri. Hal ini dapat dilihat dari semboyan BhinnekaTunggal Ika yang mempunyai arti berbeda-beda tetapi tetap satu.

Semboyan ini mempunyai makna yang sangat dalam karena ada pengakuan yang berbeda-beda dari berbagai macam tetapi diikat satu kesatuan dan persatuan di mana satu sama lain saling menghargai, saling menerima antara kekhasan masing-masing identitas (baik suku, agama, ras dan golongan).

Dalam perkembangannya, perbedaan-perbedaan yang seharusnya dirayakan namun dalam perjalanannya sering menjadi masalah (api dalam sekam) dan menjadi alat

komodifikasi oleh agen baik secara pribadi maupun kelompok. Para agen menggunakan perbedaan untuk tujuannya tanpa mengindahkan dampak terhadap orang lain.

Terlebih setelah Negara Indonesia menganut sistem desentralisasi di mana kekuasaan itu bukan hanya berpusat di pemerintahan pusat tetapi sudah dibagi ke daerah-daerah sehingga di masing-masing daerah-daerah timbul raja-raja baru (kecil) yang sering berperilaku menjadi saingan pemerintah pusat.

Para raja-raja daerah ini tidak takut membuat aturan-aturan yang bertentangan dengan yang di atasnya baik yang tertulis ataupun tidak tertulis demi suatu tujuan yaitu kekuasaan. Demi kekuasaan perbedaan identitas, etnisitas selalu diproduksi. Perbedaan identitas dan etnisitas merupakan hal yang sangat seksi untuk diwacanakan sehingga masing-masing kelompok mempererat hubungannya untuk berhadapan dengan kelompok lain.

Pengelompokan didasarkan atas berbagai macam baik berdasarkan suku, agama, penduduk asli dan pendatang, minoritas dan mayoritas dan lain-lain, impaknya masing-masing kelompok saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.

Multikulturalisme merupakan hal yang sangat sulit ditemukan di Indonesia. Perbedaan dipahami sebatas beraneka macam belum sampai saling menghargai apalagi untuk dirayakan. Perbedaan harus dihindari bila perlu harus dihancurkan sehingga tidak jarang dijumpai konflik antara suku, agama, dan golongan.

Perbedaan yang terdapat di tengah masyarakat sering digunakan elite untuk mencapai hasratnya yaitu kekuasaan. Pada kelompok tertentu perbedaan diproduksi dan dipertentangkan untuk mengambil simpati masyarakat yang dominan sedangkan di sisi yang lain para elite mensyukuri perbedaan malah merangkul kaum minoritas. Sikap yang berbeda ini diperankan para elite untuk mendapatkan dukungan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Legislatif (Pileg).

Jilbabisasi merupakan salah satu contoh yang dipraktekkan para elite sebagai wacana yang diperebutkan. Wajib jilbab semakin popular menjelang Pilkada dan Pileg. Istilah wajib jilbab disosialisasikan para guru di bangku sekolah baik secara hegemoni maupun dengan cara dominasi. Menjadi suatu hal yang biasa dan wajar bagi orang yang bukan beragama Islam menggunakan jilbab dalam aktifitas sehari-hari. Mereka yang bukan Islam menerima wajib jilbab menjadi suatu keharusan padahal dari segi aturan tidak mempunyai dasar hukum.

Implikasi wajib jilbab yang berlaku di Kota bukittinggi mengakibatkan identitasnya semakin kabur. Jilbab yang menjadi identitas Islam secara umum mengalami pergeseran karena jilbab bukan lagi identitas Islam. Jilbab sudah masuk ke gereja dan juga vihara. Wacana wajib jilbab mengakibatkan kekacauan identitas.

© 2016 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

Abstrak

(2)

Perbedaan menjadi suatu hal yang perlu dipermasalahkan dan pada kesempatan yang lain pribadi/kelompok yang mempermasalahkannya mewacanakan sanggup menyelesaikannya bahkan merayakannya demi satu tujuan yaitu kekuasaan.

2. Diskusi

2.1. Pengertian Multikulturalisme

Multikulturalisme berbeda dengan pluralisme kultur. Pluralisme merupakan keberagaman sosial-budaya umat manusia. Keberagaman itu merupakan suatu realitas yang sudah lama ada dan tidak mungkin dihilangkan. Perbedaan itu dipercaya ada dan bukan untuk dirayakan tetapi sebatas dibedakan.

Meminjam defenisi yang diutarakan Lawrence Blum, profesor filasafat dari Universitas Massachusetts, Boston, Amerika Serikat dan penulis buku Antiracism, Multiculturalism, and Interracial Community: Three Educational Values For a Multicultural Society, menyatakan, multikulturalisme merupakan suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain [1].

Dari pengertian ini terlihat bahwa kondisi realitas sosial budaya yang beragam seperti yang dimaksud pluralisme, namun multikulturalisme itu di samping mengakui keberagaman juga diikuti oleh penghargaan dan perayaan atas keberagaman itu sendiri. Multikulturalisme merupakan satu sudut pandang untuk melihat kehidupan manusia yang penuh dengan keberagaman dan bagaimana merespon keberagaman tersebut.

Dalam multikulturalisme, keanekaragaman bukan sebagai ancaman, bukan kerugian, dan bukan juga sebagai rintangan tetapi sebagai suatu kekayaan, berkah, sebagai mozaik yang memperindah kehidupan. Perbedaan-perbedaan baik agama, ras, etnis, suku, golongan, dan lain-lain semua ditempatkan dalam posisi yang setara dan mempunyai hak yang sama.

Seperti yang diutarakan Lubis, [1], dalam multikulturalisme ditekankan penghargaan dan penghormatan atas hak-hak minoritas yang dilihat dari segi etnis, agama, ras, sexual preference atau warna kulit.

Perbedaan diamsalkan sebagai jenis-jenis bunga yang mekar yang berada dalam taman dan kehadiran bunga yang bermacam-macam semakin memperindah dan mengasrikan taman dan bukan sebaliknya.

Perbedaan-perbedaan yang ada bukan untuk dipermasalahkan melainkan sebagai kekayaan yang memperindah kehidupan. Perbedaan bukan untuk disingkirkan atau dihanguskan melainkan untuk dirawat, tidak dikerangkeng melainkan diberikan ruang.

Yang berbeda atau “yang lain” sebagai “yang lain” tidak harus disamakan atau diseragamkan atau dileburkan melainkan harus diamini. Masing-masing harus menghormati perbedaan dan memberikan ruang-ruang bagi yang berbeda demi pemenuhan hak-hak kaum minoritas.

2.2. Gambaran Umum Kota Bukittinggi

Kota Bukittinggi berada di Provinsi Sumatera Barat. Kota ini pernah menjadi Pusat Pemerintahan Republik Indonesia setelah Yogyakarta diduduki Belanda mulai Desember 1948 sampai Juni 1949.

Letaknya yang sangat strategis ditambah cuaca yang sangat sejuk, kota ini mendapat banyak sebutan di antaranya, kota wisata, kota pendidikan, kota perdagangan, dan kota kesehatan [2]. Sebagai kota wisata, daerah ini memiliki beberapa destinasi di antaranya, Jam Gadang, Ngarai Sihanok, Lubang Jepang, Pasar Bawah, Aur Kuning, Kebun Binatang,

Fort de Kock, dan lain-lain.

Banyaknya destinasi alam ditambah cuaca yang sejuk menjadikan kota ini menjadi tujuan wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Barat. Selain tujuan wisata yang ada di Bukittinggi, di daerah sekitarnya juga mempunyai destinasi yang mendukung Kota Bukittinggi sebagai kota wisata.

Kota Bukittinggi juga menjadi kota perdagangan bagi kota-kota yang ada di Sumatera. Pasar Aur Kuning dan Pasar Atas menjadi pusat perdagangan tekstil yang sangat terkenal. Harga yang kompetitif dan sangat lengkap mengakibatkan para pedagang dari kota yang lain datang untuk membeli barang dagangan dari Kota Bukittinggi.

(3)

2.3. Wajib Jilbab bagi Anak Sekolah

Merupakan suatu hal yang sudah biasa bagi anak sekolah mulai dari anak PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai perguruan tinggi baik negeri maupun swasta menggunakan jilbab bagi anak perempuan di Kota Bukittinggi. Secara umum jilbab merupakan suatu identitas bagi perempuan yang beragama Islam.

Identitas dalam hal ini yaitu soal konstruksi kultural karena sumber-sumber wacana yang membentuk pondasi material bagi formasi identitas bersifat kultural

[3].

Dengan pengertian ini seseorang menjadi individu melalui proses sosial atau dengan akulturasi sehingga menjadi sesuatu pribadi yang sebenarnya. Melalui akulturasi atau proses-proses lain si subjek (individu)

mengkonstruksi atau mengidentifikasikan dirinya

kepada pribadi lain menjadi identitasnya.

Identitas menjadi ciri khas satu kelompok yang dikonstruksi untuk membedakan kelompoknya dengan kelompok lain. Masing-masing kelompok mempunyai identitas tersendiri dan tidak dimiliki kelompok lain. Tidak ada satu identitas dimiliki oleh dua kelompok yang berbeda.

Merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji tentang wajib jilbab bagi semua anak sekolah (baik Islam atau non-Islam) di Kota Bukittinggi. Jilbab dikonstruksi sebagai suatu pakaian resmi atau sopan bagi perempuan yang beragama Islam sehingga jilbab menjadi suatu identitas.

Namun demikian, penggunaan jilbab di Kota Bukittinggi bukan lagi sebagai identitas Islam karena yang non-Islam juga diwajibkan memakai jilbab. Identitas yang ditunjukkan melalui jilbab menjadi kabur akibat dominasi dan hegemoni yang dipraktekkan dalam jilbab.

Wajib jilbab tidak diketahui dari mana asal-muasalnya dan apa dasar hukumnya, namun wacana ini selalu diproduksi. Meminjam pendapat Foucault tentang analisis arkeologis (mencari arche: yang utama, asal mula) sangat penting untuk menyingkap apa yang terdapat di balik yang tersembunyi dalam memunculkan berbagai wacana [4].

Merupakan suatu hal yang sangat perlu untuk menemukan landasan pengetahuan apa dan kuasa apa dalam wacana wajib jilbab di sekolah. Dari sudut undang-undang atau Perda misalnya, tidak ada satu pasal pun yang mewajibkan anak sekolah yang bukan

muslim wajib memakai jilbab namun dalam praktiknya menjadi suatu keharusan.

Wajib jilbab dan juga simbol-simbol Agama Islam lainnya selalu diwacanakan setiap menghadapi Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) dan juga Pemilihan Legislatif (Pileg) Kota Bukittinggi. Simbol-simbol agama digunakan para petarung untuk mengambil perhatian para pemilih. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa petarung merupakan orang yang agamais, orang yang setia menegakkan Syariat Islam.

Hal ini perlu diperebutkan untuk mengambil simpati masyarakat yang dominan Agama Islam. Dalam kampanye politiknya para petarung selalu mendengungkan akan menegakkan Syariat Islam di Bumi Bukittinggi, tidak membiarkan orang lain menodai kemurnian Ajaran Islam.

Di sisi yang lain para petarung juga mendekati masyarakat yang bukan muslim. Wacana yang diproduksi orang yang sama tentang wajib jilbab dan simbol-simbol muslim diganti menjadi orang yang sangat toleran, orang yang akan memperjuangkan keberagaman dan saling menghormati yang minoritas.

Bahasa yang dipergunakan yaitu, “Kita tinggal di Negara Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, kita bukan negara agama tetapi negara beragama yang bebas memeluk agamanya sesuai dengan kepercayaannya”, dan juga pernyataan-pernyataan lain yang sifatnya sangat multikulturalis.

Meminjam argumentasi Foucault tentang wacana, bahwa wacana tidak hanya mengatur apa yang bisa dikatakan dalam kondisi-kondisi sosial serta kultural tertentu, namun juga siapa yang dapat bicara, kapan dan di mana [2].

Orang yang sama membuat wacana yang berbeda dalam ruang yang berbeda. Hal yang demikian perlu dilakukan sebagai suatu strategi demi satu tujuan yaitu kekuasaan.

Para petarung mengesampingkan wacana yang akan menegakkan Syariat Islam di kelompok muslim diganti dengan wacana yang memperjuangkan hak-hak minoritas di kelompok non-muslim. Wacana yang diproduksi berganti-ganti bertujuan untuk menunjukkan bahwa petarung akan memperjuangkan kelompok yang dikunjungi.

(4)

kebenaran yang diwacanakan oleh para petarung. Seperti yang diutarakan Foucault [4] bahwa kekuasaan adalah soal praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu, di mana ruang lingkup tersebut ada banyak posisi yang strategis berkaitan dan senantiasa mengalami pergeseran.

Wacana wajib jilbab dan simbol-simbol di Agama Islam dalam situasi tertentu selalu diproduksi dan di sisi yang lain wacana yang menentang wajib jilbab juga diproduksi oleh orang yang sama. Pergeseran-pergeseran wacana ini sangat strategis dilakukan dan agen yang mewacanakan hal demikian dapat diterima dengan baik oleh kelompok yang berbeda.

Meminjam pendapat Barker [3], bahwa bahasa tidaklah secara akurat mencerminkan dunia tetapi bahasa itu digunakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan.

Bahasa yang digunakan para agen (dalam hal ini petarung) bermacam-macam makna bahkan mempunyai makna yang berlawanan di tempat yang berbeda untuk mencapai tujuannya.

Makna yang berlawanan diproduksi para agen dengan memerhatikan kapan wacana itu dikatakan, di mana dikatakan, dan kepada siapa dikatakan. Hal ini sangat diperlukan sehingga tujuan yang akan dicapai melalui wacana tercapai dengan baik.

Menurut Foucault ada empat domain yang membahayakan dalam hal diskursus: pertama politik (kekuasaan), kedua hasrat (seksualitas), ketiga

kegilaan, dan keempat palsu atau benar dalam istilah Nietzsche kehendak untuk berkuasa [5].

Kekuasaan tidak datang dari luar, tetapi dengan menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan dari dalam; dan memungkinkan semua itu terjadi. Kekuasaan berkaitan dengan pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan berkaitan dengan kekuasaan. Wacana wajib jilbab di satu sisi dan wacana tidak wajib jilbab di sisi yang lain berimplikasi kepada intoleransi masyarakat.

Masyarakat yang mayoritas menindas masyarakat minoritas dan masyarakat minoritas hanya pasrah menerima keadaan yang menimpa dirinya. Masyarakat menjadi bingung dan menganggap kelompoknya yang paling benar. Anggapan tersebut timbul diakibatkan oleh pengetahuan yang diberikan orang yang mempunyai kuasa.

2.4. Wajib Jilbab sebagai Suatu Hegemoni

Istilah hegemoni dicetuskan oleh Antonio Gramsci yang merupakan eksponen abad ke-20. Hegemoni

merupakan kesepakatan sementara dan serangkaian aliansi-aliansi yang terbentuk antar kelompok-kelompok sosial yang dimenangkan dan bukan merupakan pemberian [3].

Hegemoni menjadi suatu cara atau metode yang dilakukan sekelompok orang kepada kelompok lain sehingga suatu permasalahan dianggap menjadi hal yang wajar. Hegemoni harus terus diciptakan dan dimenangkan kembali [5].

Menurut Gramsci, untuk mempertahankan kekuasaan ada dua cara yaitu, dominasi dan hegemoni [6]. Dominasi bersifat pemaksaan dan kekerasan (coercive) sedangkan hegemoni bersifat halus dan nonfisik melalui kepatuhan dan kesadaran para elemen masyarakat. Kedua cara ini dilakukan para guru di sekolah di Kota Bukittinggi terhadap anak didiknya. Para anak didik akan mendapat tekanan oleh guru di sekolah apabila tidak menggunakan jilbab.

Anak didik yang memakai jilbab secara tidak benar apalagi tidak memakainya sama sekali akan diganjar dengan sebutan anak yang tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan dipulangkan dari sekolah. Ganjaran yang demikian menyebabkan anak sekolah dengan terpaksa memakai jilbab menjadi suatu identitas.

Selain berbentuk dominasi, wajib jilbab lebih dipraktikkan dengan cara hegemonik. Para guru mengajarkan kepada anak didik filosofi Minangkabau yang berbunyi, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijungjung” yang mempunyai arti, di mana kita tinggal wajib hukumnya untuk mengikuti aturan di daerah tersebut.

Dilanjutkan lagi dengan filosofi yang lain, “adat

bersandi sy’ara, sya’ra bersandi kitabullah”. Yang mempunyai arti, adat berdasarkan agama, dan agama berdasarkan kitab tuhan (Alquran). Kedua istilah/filosofi ini mau mengatakan bahwa setiap orang yang tinggal di Kota Bukittinggi wajib mengikuti adat yang berlaku di kota tersebut yaitu berazaskan Agama Islam.

Wajib jilbab diwacanakan oleh para petarung politik dan disosialisasikan para guru di bangku sekolah sebagai lembaga formal. Wajib jilbab dilakukan secara hegemonik sehingga orang yang seharusnya tidak layak menggunakan jilbab menjadi suatu hal yang wajar untuk menggunakannya.

(5)

legitimasi kelompoknya, dengan demikian kelompok lain menerima prinsip-prinsip, ide-ide, dan norma-norma atau nilainya menjadi milik mereka juga [7].

Masyarakat bukan muslim menganggap penggunaan wajib jilbab di sekolah merupakan hal yang wajar karena Kota Bukittinggi merupakan daerah yang mayoritas muslim. Masyarakat minoritas wajib mengikuti mayoritas yaitu budaya Minangkabau dan Agama Islam.

Implikasi dari wajib jilbab bagi bukan muslim mengakibatkan kekacauan identitas. Jilbab bukan lagi hanya identitas yang beragama Islam tetapi jilbab sudah masuk ke tempat ibadah yang bukan muslim. Merupakan hal yang biasa dijumpai di Kota Bukittinggi bagi anak sekolah menggunakan jilbab ke gereja dan vihara.

Hal ini terjadi disebabkan di sekolah-sekolah negeri yang ada di Kota Bukittinggi tidak menyediakan guru agama untuk mengajar mata pelajaran agama selain Agama Islam. Akibatnya anak didik yang beragama Katolik, Kristen, Hindu dan Buddha belajar agama di rumah ibadah masing-masing.

Pada saat mereka mau belajar agama di rumah ibadah masing-masing para anak didik tetap menggunakan jilbab sehingga jilbab masuk ke dalam gereja dan vihara.

3.Konklusi

Multikulturalisme merupakan masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini di Negara Indonesia. Wajib jilbab yang terjadi di Kota Bukittinggi merupakan salah satu contoh dari perbedaan agama, suku, ras yang sering digunakan untuk mencapai tujuan yaitu kekuasaan. Perbedaan belum bisa diterima apalagi dirayakan melainkan harus dihindari dan dihanguskan.

Wajib jilbab dan juga simbol-simbol Agama Islam merupakan wacana yang diproduksi oleh para petarung politik baik untuk memenangi Pilkada maupun Pileg.

Wacana ini disosialisasikan oleh para pengajar di tingkat PAUD sampai perguruan tinggi di bangku sekolah.

Wajib jilbab dilakukan dengan dominasi dan hegemoni. Dominasi dilakukan para pendidik dengan ganjaran kepada anak didiknya sebagai anak tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan dipulangkan dari sekolah. Bentuk hegemoni dilakukan dengan mengajarkan orang pendatang harus ikut kepada adat setempat, yang minoritas harus mengikuti yang mayoritas.

Implikasi dari wajib jilbab yang dilakukan secara hegemonik mengakibatkan kekacauan identitas. Jilbab bukan lagi sebagai identitas muslim sebab jilbab sudah masuk ke gereja dan vihara.

Masuknya jilbab ke gereja dan vihara akibat anak sekolah yang bukan muslim memakai jilbabnya sewaktu belajar agama di rumah ibadah. Jilbab(isasi) menjadi wacana yang diperebutkan demi kekuasaan sehingga identitas menjadi kacau.

Referensi

[1] Lubis, Akhyar Yusuf. 2015. Pemikiran Kritis Kontemporer dari Teori Kristis, Cultural Studies, Feminisme, Postkolonial Hingga Multikulturalisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bukittinggi

[3] Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. (Terjemahan B. Hendar Putranto) Yogyakarta: Kanisius.

[4] Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

[5] Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Teori & Praktik. (Terjemahan Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta.

[6] Santoso, Listiyono dkk. 2012. Seri Pemikiran Tokoh Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan Allgoritma Chaid Exhaustive untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi nasabah dalam menggunakan layanan internet banking Universitas Pendidikan Indonesia |

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Matematika. ©Melda Jaya Saragih 2014

Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah dan amelioran terhadap perubahan beberapa sifat kimia tanah dan produktivitas beberapa genotipe kedelai

tersentralisasi tiap-tiap DMBS single-level adalah proses-proses terpisah yang berjalan pada suatu trusted operating system , dan database multilevel didekomposisikan ke dalam

Praktek II (KP II) yang berjudul “ SISTEM KOMUNIKASI YANG MENGGUNAKAN SERAT OPTIK” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada Jurusan Elektro

yang menjadi tanggung jawabnya. 2) Mempunyai pengetahuan tentang perkembangan peserta didik.. 3) Mempunyai kemampuan untuk memperlakukan mereka sacara individu. Kemampuan

[r]

Salah satu bahan baku yang baik digunakan untuk pengolahan kayu lapis adalah kayu jabon atau kayu kelampayan karena jenis kayu ini termasuk kayu yang cepat tumbuh