• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan dalam Perspektif Budaya. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan dalam Perspektif Budaya. pdf"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1

HUBUNGAN BUDAYA DAN PENDIDIKAN Oleh: Djamaluddin Perawironegoro

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Budaya sebagaimana didefinisikan oleh para antropolog adalah segala sesuatu yang membedakan manusia (sebagai kelompok) dengan spesies-spesies lainnya.1

Edward B. Tylor mendefinisikan budaya semisal dengan peradaban yang bararti suatu keseluruhan yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.2

Diungkapkan oleh Tilaar bahwa para ahli antropologi pendidikan seperti Theodore Brameld melihat keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan, masyarakat, dan kebudayaan.3

Menurut Ki Hajar Dewantara, dalam suatu Kongres Pendidikan Antar Indonesia pada tahun 1949, beliau mengatakan antara lain bahwa pendidikan dan pengajaran adalah usaha kebudayaan semata-mata, bahwa perguruan itu ialah taman persemaian benih-benih kebudayaan bagi suatu bangasa.4

Pendidikan tidak dapat terlepas dari kebudayaan dan hanya dapat terlaksana dalam suatu masyarakat. Pendidikan dapat dikatakan sebagai proses pembudayaan, mengingat bahwa dalam kebudayaan terdapat proses penanaman nilai-nilai kehidupan yang dipegang teguh peserta didik untuk menentukan kualitas kehidupannya.

Dalam kaitannya antara pendidikan dan pembudayaan maka kajian ini adalah suatu usaha untuk mencari landasan pada proses pembudayaan yang

1

Kusdi, Budaya Organisasi: Teori, Penelitian dan Praktek, Cet. Pertama, (Jakarta, Salemba Empat, 2011). hlm. 9

2

H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategri Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 39

3

H.A.R Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: hlm. 7 4

(2)

2

terdapat dalam Surah Ali Imron ayat 112. Sehingga kajian ini mendapatkan pemahaman mengenai hakikat kebudayaan dalam perspektif Al-Qur‟an.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah para mufassir menjelaskan kata “tsuqifuu”surah Ali Imron ayat 112?

b. Apa hakikat “tsaqafa” dalam surah Ali Imron ayat 112?

c. Adakah keterkaitan antara surah Ali Imron dengan ayat-ayat lain mengenai pembudayaan dan pendidikan?

3. Tujuan Pembahasan

Dengan rumusan masalah sebagaimana disebutkan, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah:

a. Untuk mengetahui tafsir dari surah Ali Imron ayat 112

b. Untuk mengetahui maksud dari “tsaqafa” dalam surah Ali Imron ayat 112 c. Untuk mengetahui keterkaitan antara surah Ali Imron ayat 112 dengan

ayat-ayat yang lain dalam proses pembudayaan dan pendidikan.

B. PEMBAHASAN

Allah Swt berfirman dalam surah Ali Imron ayat 112 yang berbunyi:

Dalam Shafwatu-t-tafaasir karya Ali Ash-Shabuni, ayat tersebut menunjukkan perintah Allah Swt kepada Ahli Kitab agar berpegang dengan

agama Allah, dan pada syari‟at yang lurus. Sedangkan kepada orang-orang yang

beriman Allah Swt mengajak untuk melakukan kewajiban berda‟wah,

(3)

3

mengingatkan apa yang menimpa orang-orang Yahudi dari kehinaan dan kekerdilan disebabkan kedengkian dan permusuhan.5

Dalam tafsir Jalalain, disebutkan bahwa dimanapun mereka berada maka tidaklah mereka mendapatkan kemuliaan dan tidak pula pegangan, kecuali jika mereka berpegang pada agama Allah dan janji atas orang-orang beriman. Yang demikian itu janji mereka untuk keamanan yaitu dengan membayar jizyah atau tidak ada bagi mereka perlindungan selain dengan hal tersebut.6

Sedangkan Ibnu Katsir, mentafsirkan ayat tersebut dengan mewajibkan bagi mereka (Orang-orang Yahudi) kehinaan dan kekerdilan dimanapun mereka berada dan tidak mendapatkan keamanan, kecuali jika mereka berada pada janji dari Allah, yaitu ikatan janji bagi mereka dengan membayar jizyah atas diri mereka, juga kewajiban mereka untuk menjalankan hukum-hukum agama. Dan keamanan dari mereka untuk mereka, sebagaimana dalam perjanjian-perjanjian dan tawanan jika mengamankannya salah seorang dari orang-orang Islam, meskipun perempuan. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas, Ikrimah, „Athaa, Adh -Dhahaak, Al-Hasan, Qatadah, As-Suda, dan Rabi‟ bin Anas, mengartikan “hablun min Allahi wa hablun min an-Naas” dengan janji dari Allah dan janji dari manusia.7

Demikian juga Ali Ash-Shabuni yang mentafsirkan ayat tersebut bahwa bagi mereka kehinaan dan dan kenistaan dimanapun mereka berada , dan meliputi mereka sebagaimana rumah yang diliputi kehancuran oleh penghuninya, kecuali jika mereka berpegang pada janji Allah dan Janji orang-orang muslim. Ash-Shabuni juga mengutip pendapat Ibun Abbas.8

Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasysyaaf, mengatakan bahwa “hablun mina Allahi” adalah suatu kondisi. Dengan kata lain kecuali mereka berpegang teguh atau berpedoman atau berpegang dengan cinta dari Allah, demikian itu

5

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatu-t-Tafaasir: Tafsiiru-l-Qur’an Al-Karim, Juz.1 (Cairo:

Daaru Shabuni li-th-Thiba‟ah Wa-n-Nasyr Wa-t-Tawzi‟, 1997), hlm. 201

6

Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Abdu Rahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, (Beirut: Daru Shaadir, 2003), hlm. 64

7

Imadu-d-Diin Abi al-Fida Ismail ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim. Juz 1.

(Cairo: Al-Maktabah at-Tawfiiqiyah, t.t), hlm. 74 8

(4)

4

pengecualian atas kondisi yang lebih umum. Maknanya adalah bahwa mereka ditimpakan kehinaan secara umum kecuali dalam pegangan mereka atas janji Allah dan janji manusia, dengan kata lain, tidaklah mereka mendapatkan kemuliaan kecuali dalam satu hal ini yaitu kembalinya mereka pada janji, dan penerimaan mereka atas jizyah.9

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengartikan ayat tersebut yaitu setelah menjelaskan keadaan kebanyakan orang-orang Yahudi saat menghadapi orang-orang Islam, di sini dijelaskan keadaan mereka setiap waktu dan saat yang telah mendarah daging, membudaya, dan melekat pada diri mereka. Yaitu bahwa: Mereka diliputi, sebagaimana satu bangunan meliputi penghuninya, diliputi oleh kenistaan, yakni ketundukan akibat kekalahan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepadaAllah, yakni ajaran agama-Nya, atau tunduk membayar jizyah (pajak) sebagai warga negara yang berhak memeroleh keamanan setelah tunduk pada pemerintahan Islam dan tali dengan manusia, yakni pembelaan dari kelompok manusia.10

Dari beberapa tafsir tersebut dapat difahami bahwa apa yang menimpa orang-orang Yahudi dari kehinaan dan kenistaan adalah bersumber pada pengingkarannya terhadap janji dari Allah - dalam hal ini adalah agama yang dibawakan oleh Nabinya – dan janji terhadap sesama manusia yaitu untuk membayara jizyah sebagai jaminan atas keamanan mereka berada di antara orang-orang Islam.

191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah). (Q.S. Al-Baqarah: 191)

9

Abu Qasim Jaarullah Mahmud bin Umar Az-Zamakhsyari al-Khowarizmi, Al-Kasysyaf ‘an

Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyuuni-l-Aqaawiil fi wujuuhi-t-Takwil, Juz. 1, (al-Fajaalah: Maktabah Misra, t.t), hlm. 353

10

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera

(5)

5

57. jika kamu menemui mereka dalam peperangan, Maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka

61. di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya. (Q.S. Al-Ahzab: 61)

Lima ayat tersebut di atas, tiga diantaranya mengartikan “tsaqafa” dengan bertemu atau berjumpa. Yaitu pada Al-Baqarah: 91, Al-Anfaal: 57, dan Al-Ahzab 61. Sedangkan An- Nisa‟: 91, mengartikannya dengan alasan yang nyata. Dan Al -Mumtahanah: 2, mengartikannya dengan menangkap.

Dalam kitab “Shahih Bukhori” terdapat satu hadits yang menyebut kata

(6)

6

Selain dalam Kitab Shahih Bukhori, hadits tersebut juga terdapat pada Al-Mustadrak ‘ala Shahihayni, yang ditulis oleh Muhammad ibnu Abdullah Abu Abdillah Al-Haakim An-Naysabur, dalam bab hijrah, dengan nomor hadits 4272. Dalam kitab Mushannaf ‘Abdu Razaq yaitu pada hadits. Dalam kitab Dalaail an-Nubuwwah disebutkan dengan nomor hadits 729. Dalam kitab Musykaalu al-Atsar Li-th-Thahawi menyebutkan hadits tersebut dengan nomor hadits 3446. Dalam kitab Jaami’ al-Ushul min Ahaadiitsi Ar-Rasul dengan nomor hadits 9203. Dalam Musnaad ash-Shahabah fi al-Kutub at-Tis’ah juz 8 halaman 230.

Bukhari menjelaskan kata “tsaqifun” tersebut diartikan dengan “haadziqun fathanun” yang berarti pandai dan cerdas. Dan “laqinun” diartikan dengan daya faham yang cepat, penyampaian yang baik atas apa yang didengarkannya dan diketahuinya. Demikian juga dalam Dalaail an-Nubuwwah, Musykaalu al-Atsar Li-th-Thahawi , dimaknai sama dengan pendapat Bukhari.

Menarik untuk melihat makna dari kata “tsuqifuu” pada surah Ali Imron 112, yang diartikan dalam tafsir jalalayn sebagai “wajaduu” yang berarti berada,

atau “wujiduu wa laquu” dalam tafsir Qurthubi yang berarti didapatkan dan bertemu,12 Thobari mengartikan “laquu” yang berarti bertemu.13 Dan tsaqifun dalam Shahih Bukhari diartikan dengan kepandaian dan kecerdasan.

Sedangkan menurut bahasa kata “tsuqifuu” bermula dari kata “tsaqafa” yang berarti cerdas,14 memahami dengan cepat,15 didapatkan dan diketahui.16

Dengan demikian dapat diartikan kata “tsuqifuu” sebagai dibudayakan. Karena dalam budaya terdapat kecerdasan dan pengetahuan yang dalam tentang

11Muhammad bin Isma‟il Abu Abdullah Al

-Bukhari Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Ash-Shahih

Al-Mukhtashar, Juz 3, Bab Hijratu-n-Nabiy Shallaallahu ‘alayhi wa sallam, (Beirut: Daaru Ibnu Katsir, 1987), hlm. 1417.

12

Abu Ahmad bin Muhammad al-Anshari, Tafsir al-Qurthubi, Juz. 3, (Cairo: Maktabah al-Iman, t.t), hlm. 82

13Abu Ja‟far bin Jarir ath

-Thabari, Tafsir ath-Thabari: Jaami’ al-Bayaan ‘an Takwiili Ayi al

-Qur’an, Juz. 2, (Beirut: Ad-Daar Asy-Syamiyah, 1997), hlm. 359 14

Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim bin Mandzur al-Afriqi al-Mishri, Lisaanu-l-Arab, Al-Mujallad 1. (Beirut: Daaru Shaadir, 1997), hlm. 340

15

Loise Maluf, Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alaam, (Beirut: Daaru-l-Masyriq, 1986), hlm. 71

16

(7)

7

kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat yang tidak hanya kepada sesama manusia, namun juga Tuhan.

Kepada Tuhan menjadi penekanan disini, demikian karena pada saat ini terdapat pergeseran pemahaman akan budaya yang cenderung diartikan hanya sebagai hubungan terbatas antara manusia, sehingga melupakan Tuhan. Maka jikalau demikian tidak jauh berbeda dengan apa yang ditimpakan kepada orang-orang Yahudi tersebut dari kerendahan dan kenistaan. Jikalau kita menginginkan keselamatan tidak berhenti pada hubungan dari manusia yang dijalin, tetapi juga hubungan dengan Allah Swt.

Jikalau dilanjutkan dari ayat tersebut, adalah lantaran orang-orang Yahudi tersebut kufur yaitu lawan syukur atas tanda-tanda dari Allah, dan mereka membunuh Nabi-nabi mereka tanpa alasan yang benar. Dan perbuatan ini dikategorikan maksiat (durhaka) juga melampaui batas.

Dalam prespektif budaya pemimpin memiliki peranan untuk menjadi teladan, sehingga dengan teladannya dalam menghadapi masalah-masalah internal ataupun eksternal, dapat dijadikan pelajaran bagi anggota organisasi untuk memecahkan masalahnya ketika berada dalam masalah. Pertanyaannya adalah mengapa mereka membunuh Nabi-nabi mereka?

Dari beberapa keterangan tersebut dapat dimengerti bahwa pembudayaan pada hakikatnya adalah usaha untuk menjalin hubungan yang intim dengan menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangannya, dan hubungan dari antara manusia.

Terkait dengan ayat lain yang menggunakan kata “hablun” yaitu dalam surah Ali Imron ayat 103, yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berpegang pada tali (agama) Allah Swt. Yang diikuti berikutnya dengan larangan untuk bercerai berai, dan mengingat nikmat yang Allah Swt telah diberikan.

Dalam Indeks Al-Qur‟an yang ditulis oleh Dawam Raharjo yang berjudul Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci,memuat

(8)

8

dalam pengembangan strategi kebudayaan yang bertolah dari psikoanalisis, konsep Id, Superego dan Ego dapat dijadikan kerangka, baik untuk memahami struktur nilai dalam al-Qur‟an maupaun dalam mengembangkan satrategi penyadaran masyarakat tentang naluri-naluri dasar manusia yang perlu dikendanlikan, yang memberi bimbingan ke pembentukan masyarakat yang lebih manusiawi, maupun tentang pengendalian yang dilakukan oleh Ego. Ini semua sebenarnya dapat dilakukan dengan pendalaman makna taqwa, sebagai konsep kepribadian yang dimuliakan sebagaimana dalam surah al-Hujurat ayat 13 yang berisi tentang penciptaan Allah Swt berbagai bangsa dan suku-suku dengan tujuan untuk saling mengetahui.

Ayat tersebut adalah merupakan pengikat atas tiga ayat sebelumnya yaitu pada dasarnya sesama orang beriman adalah saudara, sebab itu perdamaian adalah hal yang penting dan ketaqwaan. Dan hal-hal untuk itu adalah agar diantara orang-orang beriman tidak saling menghina baik itu atas individu atau kelompok, tidak merendahkan diri, tidak memberikan panggilan-panggilan yang tidak layak, menjauhi perbuatan prasangka, bertajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), dan berghibah (membicarakan kejelekan orang lain tanpa kehadiran orang yang dijelekkan).

Asumsi-asumsi dalam diri manusialah yang menuntutnya untuk menghina, menjelekkan, merendahkan diri, mengolok-olok, berprasangka, mencari-cari kesalahan, dan ghibah. Atau sebaliknya, memuji, memuliakan, menunjukkan sikap-sikap positif, menyampaikan kelebihan seseorang pada yang lain. Demikian itu, adalah kenyataan bahwa tidak terdapat cara lain untuk mengendalikannya, selain penanaman nilai ketaqwaan dalam diri manusia. Taqwa menjadi penting, karena ketika seseorang mendalami nilai-nilai ketaqwaannya sehingga menjadi taken for granted dalam dirinya. Maka ia akan menjadi pribadi yang mulia.

(9)

9

agar sesama manusia untuk saling berbagi pengetahuan. Setiap kelompok pasti memiliki hasil olah fikir kelompoknya yang disampaikan secara turun menurun pada generasi-generasi berikutnya, oleh karena itu maka hal tersebut untuk dibagikan satu sama lain.

Proses “ta’aruf” adalah proses saling mengetahui, untuk saling

mengetahui dapat dimaknai sebagai proses belajar. Pendidikan adalah proses pembelajaran dengan memberikan pengaruh melalui media yang ada untuk membantu perkembangan peserta didik. Dalam hal ini adalah pembelajaran mengenai keadaan suku dan qabilah.17Boleh jadi, ayat ini dijadikan landasan untuk mempelajari ilmu-ilmu sosial. Karena dengan mengetahui hakikat kelompok, ritmenya, pemahamannya, tradisi dan budayanya, akan memberikan wawasan dan pengetahuan untuk mengelola umat manusia.

Pada akhirnya, Allah Swt mengikat semua itu dengan ungkapan “inna akramakum ‘inda Allah atqaakumu”, kata taqwa adalah inti dari pendidikan dan

pengetahuan, atau bahkan menjadi sesuatu yang diharapkan taken for granted dalam diri manusia. Sehingga apa yang dilakukan pada proses pembelajaran memberikan makna keterkaitan tidak hanya manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, tetapi juga mengaitkan manusia dengan Tuhan.

C. KESIMPULAN

1. Surah Ali Imron ayat 112 menjelaskan atas kondisi orang-orang Yahudi yang ditimpakan kepada mereka kehinaan dimanapun mereka dibudayakan, kecuali jikalau mereka berpegang pada janji (agama) Allah, dan berpegang pada janji diantara manusia.

2. Dalam surah Ali Imron ayat 112, menjelaskan keberadaan orang-orang Yahudi tersebut dengan pengetahuan (budaya), namun yang demikian itu

17

Pada mulanya ilmu pengetahuan dalam perspektif modern memiliki dua cabang, yaitu natural science dan budaya. Natural science yaitu apa yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan alam seperti fisika, kimia, dan biologi. Sedangkan budaya yaitu ilmu pengetahuan terkait dengan hasil olah, cipta, karya, manusia dalam menjaga keberlangsungan hidupnya atau sekarang kita sebut dengan ilmu sosial. Ilmu sosial tidak dapat dimengerti dengan baik, kecuali dengan mempelajari, mengamati, mendata, atau dengan kata lain menggunakan metode-metode ilmiah untuk

(10)

10

mereka ingkari dengan membunuh Nabi-nabi mereka. Nabi adalah pemimpin bagi mereka yang Allah utus untuk menjadi teladan bagi mereka, namun mereka membunuhnya. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pembunuhan atas Nabi adalah sikap pembunuhan terhapdap pendidik orang-orang Yahudi.

3. Lima ayat yang lain menjelaskan berikut: tiga diantaranya mengartikan

tsaqafa” dengan bertemu atau berjumpa. Yaitu pada Al-Baqarah: 91, Al-Anfaal: 57, dan Al-Ahzab 61. Sedangkan An- Nisa‟: 91, mengartikannya dengan alasan yang nyata. Dan Al-Mumtahanah: 2, mengartikannya dengan menangkap.

4. Satu hadits yang baru penulis temukan dengan menggunakan kata

tsaqafa” yaitu sebagai kata sifat “tsaqifun” yang berarti pandai dan cerdas. Sifat tersebut dinisbahkan kepada Abdullah bin Abu Bakar yang menemani Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar pada prosesi Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah.

5. Boleh jadi kata “tsaqafa” memiliki isyarat makna sebagai budaya, dimana budaya merupakan hasil olah pikir manusia yang disampaikan secara turun menurun untuk dipelajari, diketahui, dan dikerjakan. Bukankah bangsa Yahudi adalah bangsa dengan kecerdasan yang tinggi?

6. Dalam surah Al-Hujuurat Allah Swt menganjurkan kepada umat manusia untuk saling mengetahui, saling belajar, atas suku-suku dan bangsa-bangsa

yang beraneka ragam, dengan menggunakan “ta’arafuu”. Yaitu suatu anjuran untuk mempelajari apa yang terkait dengan bangsa-bangsa tersebut, diantaranya adalah budayanya.

7. Budaya adalah pelajaran, pendidikan, dan pengetahuan yang bermula dari kelompok atau komunitas.

(11)

11

9. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa hakikat dari pendidikan yang terkait dengan pembudayaan adalah memaknai budaya sebagai hubungan yang diberikan oleh Allah Swt, dan hubungan diantara manusia. Hubungan dengan Allah adalah melaksanakan apa yang Allah Swt dan Rasul-NYa perintahkan dalam Al-Qur‟an dan Hadits, dan menjauhi larangan-Nya. Dan selain itu adalah menjaga hubungan diantara manusia.

(12)

12

Daftar Rujukan

Al-Qur‟an al-Karim

Al-Anshari, Abu Ahmad bin Muhammad, Tafsir al-Qurthubi, Juz. 3, Cairo: Maktabah al-Iman, t.t

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwatu-t-Tafaasir: Tafsiiru-l-Qur’an Al-Karim, Juz.1 Cairo: Daaru Shabuni li-th-Thiba‟ah Wa-n-Nasyr Wa-t-Tawzi‟, 1997 Ath-Thabari, Abu Ja‟far bin Jarir, Tafsir ath-Thabari: Jaami’ al-Bayaan ‘an

Takwiili Ayi al-Qur’an, Juz. 2, Beirut: Ad-Daar Asy-Syamiyah, 1997 Az-Zamakhsyari, Abu Qasim Jaarullah Mahmud bin Umar, Al-Kasysyaf ‘an

Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyuuni-l-Aqaawiil fi wujuuhi-t-Takwil, Juz. 1, al-Fajaalah: Maktabah Misra, t.t

Raharjo. M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep -Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996

Ibnu Katsir, Imadu-d-Diin Abi al-Fida Ismail, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziim. Juz 1. Cairo: Al-Maktabah at-Tawfiiqiyah, t.t

Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Mahily dan Jalaluddin Abdu Rahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tafsir Jalalayn, Beirut: Daru Shaadir, 2003 Kusdi, Budaya Organisasi: Teori, Penelitian dan Praktek, Cet. Pertama, Jakarta,

Salemba Empat, 2011.

Maluf, Loise, Al-Munjid fi Lughah wa al-‘Alaam, Beirut: Daaru-l-Masyriq, 1986 Mandzur, Abu al-Fadhl Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisaanu-l-Arab,

Al-Mujallad 1. Beirut: Daaru Shaadir, 1997 Maktabah Syamilah, Ver. 2.11

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002

Tilaar, H.A.R, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia: Strategri Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: P.T Remaja Rosdakarya, 2002

Yusuf, Muhammad, Qur’an In Word, ver. 1.3

Referensi

Dokumen terkait

13 Bandhie Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm.. Pelaksanaan pendidikan inklusi pada mata pelajaran PAI di SMP N 10 Pekalongan dapat

Dapat diartikan bahwa Nilai Ekonomis tanah belum dapat menggantikan Nilai Historis tanah dan rumah yang telah secara turun-menurun ditempati, disebabkan bahwa tanah dan rumah

Matriks serat nano yang digunakan untuk media ekstrak jernang sebagai penyembuh luka seperti pada Gambar 3A dan 3B.. Gambar 3A menunjukkan matriks serat nano masih

Laporan Tugas Akhir yang ditulis dengan judul “RANCANG BANGUN MIXER ALIRAN CYCLONE PADA CONVERTER KIT UNTUK PENGUJIAN MESIN BENSIN DENGAN BAHAN BAKAR LIQUIDIFIED

Vania Ardelia, 111211132043, Intensi Berhenti Merokok pada Wanita Emerging Adult Ditinjau Dari Prediktor Theory of Planned Behavior, Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas

Biodegradasi limbah minyak bumi menggunakan biokompos dapat menurunkan Total Petroleum Hidrokarbon sebesar 95,19% selama 35 hari dengan laju degradasi yaitu 0,502%

Kunjungan ANC men- jadi salah satu faktor risiko yang mening- katkan kejadian perdarahan pasca persalin- an karena apabila ibu melakukan pelayanan ANC secara teratur

Menurut Werther dan Davis (2004:379) ”Disiplin kerja adalah suatu tindakan manajemen memberikan semangat kepada pelaksanaan standar organisasi, pelatihan mengarah kepada