• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFFECT OF FINANCIAL PERFORMANCE, GROWTH, SURPLUS BUDGET FINANCING AND CAPITAL EXPENDITURE OF AREA TO THE DISTRICTCITY OF JAMBI PERIOD 2009-2012 Ajriani ¹ , Dwi Fitri Puspa¹, Herawati

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EFFECT OF FINANCIAL PERFORMANCE, GROWTH, SURPLUS BUDGET FINANCING AND CAPITAL EXPENDITURE OF AREA TO THE DISTRICTCITY OF JAMBI PERIOD 2009-2012 Ajriani ¹ , Dwi Fitri Puspa¹, Herawati"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

EFFECT OF FINANCIAL PERFORMANCE, GROWTH, SURPLUS BUDGET

FINANCING AND CAPITAL EXPENDITURE OF AREA TO

THE DISTRICT/CITY OF JAMBI PERIOD 2009-2012

Ajriani ¹ , Dwi Fitri Puspa¹, Herawati

2

¹ Program Management Studies , Graduate University of Bung Hatta

² Management Program , Graduate School of the University of Bung Hatta

E - mail :

E - mail : tekncu75@gmail.com

ABSTRACT

This study aimed to Influence Financial , Economic Growth , Surplus Budget Financing and

Capital Expenditure of Area to the District / City of Jambi period 2009-2012. Population and

sample of the study was the District / City of Jambi Province , with the observation period from

2009 to 2012. The sampling technique used in this study is the sampling population , ie all

populations were subjected to experiments . Year study period was from 2009 - 2012 (4 years),

then the amount of data is as much as 44 units. Results of Multiple Linear Regression Analysis with

Eviews 6 tools , discover , there is a significant positive effect of financial performance , economic

growth and finance the rest over budget on capital expenditure in the District / City of Jambi

Province . While in the area of variable not found a significant effect on capital expenditures in the

District / City of Jambi Province. The findings of the research hypothesis is relevant to previous

research and provide support and reinforcement and a new understanding of the influence of

financial performance , economic growth , finance the rest over the budget and the area of capital

expenditure

Keywords : financial performance , economic growth , and the remainder over the budget

financing of capital spending

A.

Pendahuluan

Menurut Peraturan Pemerintah No. 58 tahun

2005, belanja modal dikatakan sebagai pengeluaran

yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan

asset tetap dan asset lainnya yang mempunyai masa

manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan yang

digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti

dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung

dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan dan

hewan. Hal ini di perkuat oleh Permendagri No. 13

tahun 2006 Belanja modal yaitu pengeluaran yang

dilakukan dalam rangka Pembelian/pengadaan atau

pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai

nilai manfaat lebih dari dua belas bulan untuk

digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti

tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,

jalan, irigasi dan jaringan, dan asset tetap lainnya.

Namun dalam rangka mewujudkan pelayanan

publik kepada masyarakat pelaksanaan dan

kenyataan dilapangan masih belum optimal, hal ini

dapat disebabkan beberapa factor dimulai dari

adanya kepentingan dari pihak-pihak tertentu yang

secara politis ikut mempengaruhi penganggaran dari

belanja modal, seperti yang dinyatakan Keefer dan

Khemani (2003), tentang adanya kepentingan politik

dari lembaga legislatif yang terlibat dalam

penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi

belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif

dalam memecahkan masalah di masyarakat.

Masalah lain seperti diungkapkan oleh

Laporan Evaluasi Belanja Modal Tahun 2013

(2)

menyatakan rendahnya relisasi belanja modal juga

diakibatkan oleh pola perencanaan dan

penganggaran di daerah, mekanisme transfer dan

pelaksanaan program/kegiatan di daerah, masih

terdapat beberapa daerah yang belum menetapkan

dan menyampaikan perda APBD kepada

Kementerian Keuangan sampai dengan batas waktu

yang telah ditetapkan yaitu pada pada akhir Januari

tahun anggaran yang bersangkutan, sehingga daerah

tersebut dikenakan sanksi penundaan DAU sebesar

25% dari pagu per bulan sampai dengan daerah

tersebut menetapkan APBD. Selain itu Ditambah

adanya perbedaan program-program prioritas antara

pihak eksekutif dengan DPRD dalam pembahasan

Raperda APBD antara pemerintah daerah dengan

legislatif. Kesemua kondisi di atas telah

menghambat realisasi belanja modal di daerah.

Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi

pengalokasian belanja modal tersebut yaitu kinerja

keuangan. Halim (2008 ), hasil analisis kinerja

keuangan dapat digunakan untuk menilai

kemandirian keuangan daerah dalam membiayai

penyelenggaraan otonomi daerah serta dapat melihat

pertumbuhan dan perkembangan perolehan

pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama

periode waktu tertentu. Semakin baik Kinerja

keuangan daerah akan meningkatkan pendapatan

daerah. Penelitian Sularso ( 2011 ), menyatakan

bahwa besar kecilnya alokasi Belanja Modal yang

ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dipengaruhi oleh

Kinerja Keuangan Daerah.

Untuk menilai naik turunnya anggaran Belanja

Modal dapat juga dilakukan dengan memperhatikan

tingkat Pertumbuhan Ekonomi suatu daerah.

Menurut Kuncoro (2004) bahwa ada keterkaitan

antara pertumbuhan ekonomi dengan belanja modal

karena pembangunan sarana dan prasarana oleh

pemerintah daerah berpengaruh positif pada

pertumbuhan ekonomi seterusnya dengan

meningkatnya pertumbuhan ekonomi tentunya

diperlukan peningkatan belanja modal agar dapat

menjaga stabilitas perekonomian. Penelitian Yovita

dkk (2011), menyatakan bahwa pertumbuhan

ekonomi dalam bentuk PDRB memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap belanja modal. Sedangkan

penelitian Darwanto dkk (2007), menyatakan bahwa

pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi yang

positif namun tidak signifikan terhadap variabel

belanja modal.

Faktor lain yang diduga memiliki pengaruh

terhadap anggaran belanja modal yaitu Sisa Lebih

Pembiayaan Anggaran ( SiLPA ). Sebagaimana yang

dikutip dari Harian seputar Indonesia (21/12/2011)

menurut Prasetyantoko bahwa anggaran negara yang

menganggur bisa dialokasikan untuk belanja yang

memberikan nilai tambah dan mampu menstimulasi

laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam

Hubungan SilPA dengan Belanja Modal telah diteliti

oleh Ardhini (2011) bahwa SilPA berpengaruh

Positif terhadap Belanja Modal. Sejalan dengan itu,

hasil penelitian dari Kusnandar dan Dodik juga

menyatakan bahwa SilPA mempunyai pengaruh

yang positif terhadap penganggaran Belanja Modal.

Terakhir faktor yang juga dapat menentukan

besar kecilnya anggaran belanja modal diyakini

adalah luas wilayah suatu daerah. Daerah dengan

wilayah yang lebih luas tentulah membutuhkan

sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai

syarat untuk pelayanan kepada publik bila

dibandingkan dengan daerah yang memiliki wilayah

yang tidak begitu luas. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan

Dodik (2008) dengan hasil bahwa Luas Wilayah

(3)

Modal.

Berdasarkan permasalahan dan penelitian

terdahulu, peneliti tertarik dan termotivasi untuk

mengangkat kembali faktor-faktor yang

berhubungan atau mempengaruhi belanja modal,

yang dalam hal ini penulis menjadikan factor kinerja

keuangan, pertumbuhan ekonomi, SilPA dan Luas

Wilayah sebagai factor dominan yang

mempengaruhi atau yang menentukan belanja modal

pemerintah daerah

B.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan kajian di atas,

dapat dirumuskan permasalaan sebagai berikut :

1.

Bagaimana pengaruh kinerja keuangan terhadap

belanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi

Jambi?

2.

Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Jambi?

3.

Bagaimana pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap Belanja Modal pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi?

4.

Bagaimana pengaruh Luas Wilayah terhadap Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kota

di Provinsi Jambi?

B.

Kajian Teori dan Pengembangan

Hipotesis

1) Belanja Modal

Menurut Standar Akuntansi Pemerintah “ Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk

perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi”. Sedangkan menurut Halim (2004), “Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang

manfaatnya melebihi 1 (satu) tahun anggaran dan

akan menambah asset atau kekayaan daerah dan

selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat

rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok

belanja administrasi umum.

Dalam Standar akuntansi Pemerintah (SAP),

belanja modaldapat dikategorikan ke dalam 5 (lima)

kategori utama, yaitu :

1. Belanja Modal Tanah

Belanja Modal Tanah adalah

pengeluaran/biaya yang digunakan untuk

pengadaan/pembeliaan/pembebasan

penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,

pengosongan, pengurugan, perataan,

pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan

pengeluaran lainnya sehubungan dengan

perolehan hak atas tanah dan sampai tanah

dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah

pengeluaran/biaya yang digunakan untuk

pengadaan / penambahan / penggantian, dan

peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta

inventaris kantor yang memberikan manfaat

lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai

peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi

siap pakai.

3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah

pengeluaran / biaya yang digunakan untuk

pengadaan / penambahan / penggantian, dan

termasuk pengeluaran untuk perencanaan,

pengawasan dan pengelolaan pembangunan

gedung dan bangunan yang menambah

kapasitas sampai gedung dan bangunan

dimaksud dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

adalah pengeluaran/biaya yang digunakan

untuk pengadaan / penambahan / penggantian /

(4)

perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk

perencanaan, pengawasan dan pengelolaan

jalan irigasi dan jaringan yang menambah

kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan

dimaksud dalam kondisi siap pakai.

5. Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah

pengeluaran / biaya yang digunakan untuk

pengadaan / penambahan / penggantian

pembangunan / pembuatan serta perawatan fisik

lainnya yang tidak dikategorikan kedalam kriteria

belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung

dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan,

termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal

kontrak sewa beli, pembelian barang-barang

kesenian, barang purbakala dan barang untuk

museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku,

dan jurnal ilmiah.

Menurut Depatemen Keuangan Repulik

Indonesia (2013), beberapa hal yang menyebabkan

rendahnya penyerapan belanja modal adalah sebagai

berikut :

a. Adanya kegiatan/proyek yang belum dapat

didanai disebabkan oleh keterbatasan keuangan

daerah;

b. Terjadi efisiensi dalam belanja, dimana

kegiatan/proyek dalam belanja modal dapat

diselesaikan dengan biaya lebih rendah dari

pagu anggarannya;

c. Terdapat masalah pembebasan lahan dalam

kegiatan pembangunan proyek infrastruktur

pemerintah;

d. Ada masalah dalam proses pengadaan barang

dan jasa;

e. Sisa waktu yang tersedia tidak mencukupi untuk

menyelesaikan program/kegiatan belanja modal

daerah; dan

Petunjuk teknis pelaksanaan DAK yang

terlambat diterima daerah

2) Kinerja Keuangan

John Witmore (1987) kinerja adalah

pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari

seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu

pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan

suatu kondisi yang harus diketahui dan

dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk

mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi

dihubungkan dengan visi yang diemban suatu

organisasi atau perusahaan serta mengetahui

dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan

operasional.

Dalam membangun dan evaluasi terhadap

akuntabilitas kinerja di bidang keuangan daerah,

dapat menggunakan Pedoman Penyusunan

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang

diterapkan sesuai dengan berbagai aspek dan unsur

dalam bidang keuangan daerah, yang menyangkut

pencapaian kinerja komponen-komponen

Pendapatan Asli Daerah/PAD (khususnya padak

daerah dan retribusi daerah), pendapatan daerah

(Bagian Keuangan, Dispenda, dan lainnya). Dengan

demikian pencapaian kinerja keuangan daerah dapat

dilakukan pengukuran secara rinci dan

komprehensif serta dapat dipertanggungjawabkan

(akuntabel).

Beberapa rasio keuangan yang dapat

digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah

daerahyaitu rasio ke mandirian, rasio efektivitas

terhadap pendapatan asli daerah, rasioefisiensi

keuangan daerah, dan rasio aktivitas (Halim,

2007:233).

a) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah ditunjukan

oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah

(5)

berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan

pemerintah pusat dalam konteks otonomi daerah

bisa dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU)

maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Semakin

tinggi rasio kemandirian maka tingkat

ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak

ekstern semakin rendah, dan demikian pula

sebaliknya. Rasio kemudian dapat diformulasikan

sebagai berikut.

b) Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD

Rasio efektivitas menggambarkan

kemampuan pemerintah daerah dalam

merealisasikan PAD yang direncanakan

dibandingkan dengan target yang ditetapkan

berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio

efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah

daerah.

Rasio efisiensi adalah rasio yang

menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya

yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan

dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja

pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan

pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang

dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%.

Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah

daerah semakin baik.

Elemen biaya yang dikeluarkan untuk

memungut PAD dalam konteks ini adalah seluruh

biaya yang dikeluarkan oleh dinas-dinas pengumpul

PAD. Biaya tersebut termasuk biaya langsung

maupun biaya tidak langsung. Biaya langsung

misalnya gaji dan upah karyawan bagian

pemungutan pajak dan retribusi daerah, sedangkan

biaya tidak langsung misalnya biaya-biaya

penyuluhan dan biaya iklan layanan yang ditunjukan

untuk meningkatkan pendapatan daerah.

c) Debt Service Coverage Ratio (DSCR)

DSCR merupakan perbandingan antara

penjumlahan PAD, Bagian Daerah (BD) dari pajak

bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas

tanah dan bangunan (BPHBT), penerimaan sumber

daya alam dan bagian daerah lainnya serta DAU

setelah dikurangi belanja wajib (BW), dengan

penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya

pinjaman lainnya yang jatuh tempo. Biaya Wajib

(BW) dalam hal ini berasal dari jumlah belanja rutin

dan dana alokasi khusus (DAK).

d) Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio)

Rasio pertumbuhan (growth Ratio)

mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah

daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan

keberhasilan yang telah dicapai dari satu periode ke

periode berikutnya.

Keterangan:

= tahun sekarang

= tahun sebelumnya

3) Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi akan diukur

melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun

ke tahun. Adapun cara menghitung laju

pertumbuhan dilakukan dengan tiga metode yaitu,

cara tahunan, cara rata-rata setiap tahun, dan cara

compoundingfactor. Pengukuran pertumbuhan

ekonomi secara konvensional biasanya dengan

(6)

Domestik Regional Bruto (PDRB).

Para ekonom aliran klasik yang telah

mempelajari gejala pertumbuhan ekonomi, melihat

bahwa terdapat faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dalam

pembahasan teori produksi (Teori EkonomiMikro),

telah diperkenalkan dengan fungsi produksi klasik

sederhana (Pratama dan Manurung, 2008: 136):

Q = f (K,L)

dimana:

Q = output

K = barang modal

L = tenaga kerja

Untuk analisis pertumbuhan ekonomi (analisis

makro), model klasik tersebutdapat dikembangkan

lebih lanjut, sehingga dapat ditulis persamaan:

Q = f (K,L,T,U)

dimana:

Q = output atau PDB

K = barang modal

L = tenaga kerja

T = teknologi

U = uang

4) Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SILPA)

Sisa lebih pembiayaan anggaran ( SilPA )

menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun

2005 merupakan Selisih lebih realisasi penerimaan

dan pengeluaran anggaran selama satu periode

anggaran. SiLPA juga bisa terjadi akibat asimetri

informasi antara eksekutif dan legislatif. Sebab,

ternyata ada akumulasi dana yang masih belum bisa

dijabarkan oleh eksekutif dan tidak diketahui

legislatif. Akibatnya, dana yang dijabarkan dalam

pengalokasian anggaran hanya sebagian dari dana

yang sesungguhnya ada dan dimiliki daerah. SiLPA

tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan

pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit

anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil

daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan

kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung

(belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja

pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang

sampai dengan akhir tahun anggaran belum

diselesaikan.

Menurut hasil Evaluasi Belanja modal oleh

Departemen Keuangan Republik Indonesia (2013),

menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

menyebabkan terjadinya pelampauan realisasi

pendapatan (SILPA) terhadap anggaran pendapatan

dalam APBD antara lain adalah :

a) Terlambatnya informasi transfer ke daerah

sehingga pemerintah daerah baru mengetahui

alokasi transfer setelah tahun anggaran berjalan,

b) Adanya regulasi pengalihan PBB dan BPHTB

ke daerah

c) Terdapat pelampauan pencapaian target

Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal

dari pajak dan retribusi daerah,

d) Terlambatnya informasi transfer dana

penyesuaian (contoh: Dana Penyesuaian

Infrastruktur Daerah (DPID)) sehingga

Pemerintah daerah baru mengetahui alokasi

transfer setelah tahun anggaran berjalan, dan

e)

Terdapat pelampauan Lain-Lain PAD yang sah yang berasal dari pendapatan bunga bank

5). Luas Wilayah

Wilayah dapat diartikan juga suatu ruang

geografis dengan fungsi atau batasan administrasi

tertentu, ditinjau dari fungsional suatu wilayah,

wilayah merupakansuatu sistem kompleks yang

terdiri dari sistem ekonomi, system ekologi, sistem

sosial politik (Blair dalam Abdurrahman, 2005).

Sedangkan Miraza (2005) wilayah memiliki sumber

daya alam dan sumber daya manusia serta posisi

(7)

efisien dan efektif melalui perencanaan yang

komprehensif. Secara normatif, wilayah juga

didefinisikan sebagai ruang yang merupakan

kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait

padanya yang batas dan sistemnya ditentukan

berdasarkan aspek administrasi atau aspek

fungsional (Undang-Undang Penataan Ruang No.26,

2007).

Berdasarkan semua landasan kajian teori

diatas, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis

penelitian sebagai berikut :

1) Kinerja Keuangan berpengaruh signifikan

terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Jambi

2) Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan

terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Jambi

3) SilPA berpengaruh signifikan terhadap

Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kota

di Provinsi Jambi

4) Luas Wilayah Berpengaruh Positif terhadap

Anggaran Belanja Modalpada Kabupaten/Kota

di Provinsi Jambi

Adapun kerangka konseptual dalam

penelitian dapat dirancang sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Konseptual

C. Metode Penelitian

Didalam penelitian ini yang menjadi populasi

adalah seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi

terdiri dari 9 (sembilan) Kabupaten dan 2 (dua)

Kota.Teknik pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode sensus, yaitu

semua populasi dijadikan objek penelitian. Periode

penelitian dari tahun 2009 – 2012.

Definisi Operasional Variabel

a) Belanja Modal (Y).

Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja

modal merupakan belanja Pemerintah Daerah

yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran

dan akan menambah aset atau kekayaan daerah

dan selanjutnya akan menambah belanja yang

bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada

kelompok belanja administrasi umum. Belanja

modal diukur dengan formula sebagai berikut :

Belanja Modal meliputi belanja Tanah + Belanja

Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan

Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan Jaringan

+ Belanja Aset Tetap Lainnya

b) Kinerja Keuangan (X1).

Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja

yang menggunakan indikator keuangan, yang

diukur dengan menggunakan tingkat

kemandirian/kemampuan pembiayaan dengan

formula sebagai berikut ( Halim; 2008 );

c)

Pertumbuhan Ekonomi

(X

2

).

Laju pertumbuhan PDRB merupakan laju

pertumbuhan dari tahun ke tahun yang dihitung

dengan formula ( Todoro; 2002 ) :

PE = PDRBt - PDRBt-1 PDRBt-1

Keterangan :

PE = Pertumbuhan Ekonomi

PDRBt = Pendapatan Domestik Bruto Tahun Bersangkutan.

(8)

d)

Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (X3)

.

SilPA ini menurut Peraturan Pemerintah Nomor

58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi

penerimaan dan pengeluaran anggaran selama

satu periode anggaran. SiLPA diukur dengan

formula sebagai berikut :

SilPA = RealisasiPenerimaan Daerah –

RealisasiPembiayaan ( belanja )

e)

Luas Wilayah (X4)

.

SilPA ini menurut Peraturan Pemerintah Nomor

58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi

penerimaan dan pengeluaran anggaran selama

satu periode anggaran. SiLPA diukur dengan

formula sebagai berikut :

SilPA = RealisasiPenerimaan Daerah –

RealisasiPembiayaan ( belanja )

D. Teknik Analisis Data

Dalam Teknik Analisis Alat bantu yang

digunakan dalam pengolahan data adalah

Eviews 6 yang merupakan program yang cocok

digunakan untuk mengolah data panel.

1) Analisis deskriptif ini bertujuan untuk

menjelaskan karakteristik masing-masing

variabel penelitian. Dengan cara menyajikan

data ke dalam tabel distribusi frekuensi maka

pembaca akan dapat mengetahui perkembangan

atau trand maisng-masing variabel penelitian

seperti kinerja keuangan, pertumbuhan

ekonomi, sisa lebih pendapatan, luas wilayah

dan belanja modal pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Jambi selama 4 tahun terakhir baik

dalam bentuk nilai minimum, nilai maksimum,

nilai rata-rata (Mean) dan nilai standar deviasi

sebagai simpang baku data.

2). Uji Persyaratan analisis, yang meliputi :

1)

Uji Normalitas,

2)

Uji Multikolinearitas

3)

Uji Autokorelasi

3). Pengujian hipotesis dengan regresi linear

berganda

, regresi sederhana dan regresi

bertingkat yang meliputi Uji : Uji F, Uji R

2

, dan Uji Hipotesis (Uji t)

E.

Pengujian Hipotesis

1)

Hasil Pengujian Deskripsi variabel

Dari hasil uji Deskriptif statistik dapat

diketahui gambaran umum dari data yang

digunakan dalam penelitian ini dan melalui uji

deskriptif statistik dapat dilihat beberapa ukuran

atau penilaian data seperti nilai rata-rata, dan

standar deviasi yang digunakan dalam penelitian

ini. Hasil deskriptif statistik dapat dilihat dalam

tabel di bawah ini :

Tabel. 1 Statistik Deskriptif

Berdasarkan hasil ringkasan pengujian di

atas, diperoleh informasi dari jumlah data yang

dipooling dari tahun 2009 sampai dengan tahun

2012 masing-masing variabel penelitian yang

meliputi modal kerja, kinerja Keuangan,

pertumbuhan ekonomi, silpa dan luas wilayah

adalah sebanyak 44 obsevasi dengan penilaian cross

sections masing-masing variabel 11. Penilaian

variabel belanja modal memiliki rentang

penyebaran data dengan nilai dari 24,874 sampai

dengan 27,513 yang merupakan nilai terendah dan

nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata dan median

masing-masing sebesar 25,887 dan 25,888

sementara nilai tingkat standar deviasi sebesar

(9)

rentang penyebaran data antara 3,287 sampai

dengan 6,969, juga cerminan dari nilai terendah dan

nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata dan median

masing-masing sebesar 4,274 dan 4,268 dengan

tingkat standar deviasi sebesar 0,671. Berikutnya

untuk variabel pertumbuhan ekonomi memiliki

rentang penyebaran data dengan nilai dari -0,251

sampai dengan 0.230, yang merupakan nilai

terendah dan nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata

dan median masing-masing sebesar 0,153 dan 0,162

dengan nilai standar deviasi sebesar 0,073.

Selanjutnya untuk variabel silpa atau sisa lebih

memiliki rentang penyebaran data antara 0,000

sampai dengan 19,979, yang merupakan nilai

terendah dan nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata

dan median masing-masing sebesar 13,284 dan

17,429 dengan nila standar deviasi sebesar 7,821.

Kemudian untuk variabel luas wilayah variabel

memiliki rentang penyebaran data antara 5,325

sampai dengan 8,774, yang merupakan nilai

terendah dan nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata

dan median masing-masing sebesar 8,035 dan 8,580

dengan nila standar deviasi sebesar 1,160.

2) Uji Persyaratan Analisis

Uji Persyaratan analisis dimaksudkan untuk

mengetahui seberapa besar gangguan yang

nantinya akan membiaskan hasil penelitian

dalam sebuah model regresi yang akan

dibentuk. pengujian ini meliputi uji normalitas,

uji multikolinearitas, uji autokorelasi. Berikut

hasil ringkasan pengujian :

Tabel. 2

Uji Persyaratan Analisis

Dari hasil masing-masing pengujian terkait

dengan uji persyaratan analisis terlihat semua

terpenuhi, dengan demikian dapat dikatakan

masalah gangguan data dalam model regresi atau

model penelitian ini relatif tidak ada atau model

regresi yang dibentuk sudah layak untuk mengukur

dan melihat pengaruh variabel independen terhadap

variabel dependen.

3)

Uji Hipotesis Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis regresi

linear berganda dalam menjawab hipótesis yang ada

dengan alat bantú Program Eviews 6, untuk

mengetahui pengaruh dari variabel bebas

(independen) terhadap variabel terikat (dependen).

Berikut hasil Pengujian disajikan pada Tabel 3

berikut ini :

Tabel. 3

Hasil Analisis Regresi Linear Berganda

Dari Tabel 3, hasil pengujian data dengan

analisis regresi linear berganda dengan alat bantu

Eviews 6, ditemukan nilai koefisien regresi dari

masing-masing variabel penelitian dimulai dari

variabel kinerja keuangan dengan nilai koefisien

0.215, koefisien regresi dari variabel pertumbuhan

ekonomi dengan nilai koefisien regresi sebesar

2,435, koefisien regresi dari variabel silpa adalah

sebesar 0,023, dan nilai koefisien regresi variabel

luas wilayah sebesar 0,022. Sementara nilai nilai

konstanta (a) sebesar 24,096. Dari hasil pengujian

diatas dapat dibentuk model persamaan penelitian,

seperti berikut ini :

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4+ e

(10)

E. Pembahasan

1)

Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Belanja Modal

Berdasarkan Tabel 3 di atas, hasil dari analisis

regresi linear berganda ditemukan nilai koefisien

regresi dari variabel kinerja keuangan adalah sebesar

0.215 nilai ini meupkan kontribusi dari kinerja

keuangan dalam membentuk atau mempengaruhi

belanja modal dengan nilai probabilitas (P) 0,027 <

dari alpha 5% yang merupakan kesalahan menolak

data. Dengan demikian dapat dikatakan terdapat

pengaruh positif yang signifikan antara kinerja

keuangan terhadap belanja modal pada

Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Hal ini

menunjukkan jika terjadi peningkatan kinerja

keuangan pada pemerintah daerah kabupaten atau

kota sehubungan dengan peningkatan pendapatan

asli daerah (PAD) maupun pendapatan lain dalam

bentuk dana perimbangan, maka peningkatan ini

akan diikuti oleh peningkatan tingkat belanja modal

pemeriantah mendukung semua pengeluaran terkait

guna memaksimalkan pelayanan dan kebutuhan

serta kesejahteraan masyarakat. Namun sebaliknya

jika terjadi penurunan kinerja keuangan dalam

bentuk rendahnya penerimaan dari pendapatan asli

daerah dan pendapatan lain sebagaimana disebutkan

di atas, maka hal ini juga akan berdampak terhadap

penurunan dukungan atas realisasi belanja modal

atau pengeluaran pemerintah daerah dalam

mendanai investasi maupun pembiayaan rutin yang

akhirnya juga akan berimbas berkurangnya

pemberian pelayanan dan kesejahteraan kepada

masyarakat.

2)

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja Modal

Berdasarkan Tabel 3 di atas, hasil dari

analisis regresi linear berganda menemukan nilai

koefisien regresi dari variabel pertumbuhan

ekonomi adalah sebesar 2,435, dimana nilai ini

menunjukkan besarnya kontribusi atau besarnya

pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap belanja

modal, dengan nilai probabilitas (P) 0,0086 < dari

alpha 5%, oleh karena itu dapat disimpulkan

terdapat pengaruh positif yang signifikan

pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal pada

Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Ini dapat artinya

jika semakin tinggi pertumbuhan ekonomi daerah

yang ditunjukan dengan tingginya nilai pendapatan

domestik regional bruto (PDRB) pada

Kabupaten/Kota Provinsi Jambi, maka hal ini akan

dapat meningkatkan semakin tingginya kemampuan

daerah dalam membiayai seluruh pengeluaran yang

ada yaitu dalam bentuk belanja modal. Namun jika

semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi

daerah yang dicerminkan rendahnya tingkat PDRB,

maka hal ini juga akan berdampak terhadap

rendahnya dukungan atas anggaran dan realisasi

belanja mdoal yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota

Provinsi Jambi tersebut.

3)

Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja Modal

Berdasarkan Tabel 3 di atas, hasil dari analisis

regresi linear berganda ditemukan nilai koefisien

regresi dari variabel sisa lebih pembiayaan anggaran

(SILPA) sebesar 0,023 dimana koefisien ini

merupakan besarnya pengaruh yang diberikan oleh

variabel Silpa terhadap naik turunnya belanja modal,

dengan nilai probabilitas (P) 0,003 < dari alpha 5%,

dengan demikian dapat dinyatakan terdapat

pengaruh positif yang signifikan antara sisa lebih

pembiayaan anggaran (SILPA) dengan belanja

modal pada Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Hal ini

dapat dijelaskan apabila semakin tinggi terjadi sisa

lebih pembiayaan anggaran (SILPA) pada

(11)

dukungan pelaksanaan kegiatan belanja modal pada

tahun tersebut dan rendahnya realisasi dari dana

perimbangan yang diterima, maka hal ini akan dapat

memberi peningkatan pembentukan anggaran

belanja modal daerah tersebut pada tahun yang akan

datang. Sebaliknya jika semakin rendah terjadinya

sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) pada suatu

daerah, maka hal ini juga akan berdampak

rendahnya anggaran belanja modal pada tahun

berikutnya atau relatif konstans.

4)

Pengaruh Luas Wilayah terhadap Anggaran Belanja Modal

Sesui dengan hasil análisis regresi liner

berganda pada Tabel 3, diperoleh nilai koefisien

regresi dari variabel luas wilayah sebesar 0,022 yang

merupakan kemampuan dari variabel ini dalam

menjelaskan variabel belanja modal atau besarnya

kontribusi pengaruh yang diberikan kepada variabel

belanja modal, dengan nilai probabilitas (P) 0,700 >

dari alpha 5%, dengan demikian dapat dikatakan

tidak terdapat pengaruh positif yang signifikan

variabel luas wilayah terhadap belanja modal pada

Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Hal ini

menunjukkan juga dapat dijelaskan bahwa luas

wilayah dalam hal tidak merupakan indicator yang

terbukti dalam menentukan atau mempengaruhi

belanja modal pada Kabupaten/Kota Provinsi Jambi.

Hal ini dapat dinyatakan bahwa pemerintah

daerah otonomi yang ada di negara kita pada saat

dan setalh terjadi pemekaran lebih disibukkan

dengan permasalahan internal antar daerah baik

perembutan perbatasan daerah, SDA dan SDM

sehingga kurang dapat memaksimalkan penerimaan

baik dari PAD maupun dari penerimaan dana

perimbangan dan penerimaan lain yang pada

akhirnya kurang dapat merealisasikan anggaran

belanja modal secara optimal. Dan pada akhirnya

juga kurang dapat menjadikan wilayah kerjanya

berkembang dari hasil pembangunan yang telah

dilaksanakan. Dalam artian luas wilayah dalam

penelitian ini tidak mampu mengukur peningkatan

dan penurunan belanja modal secara signifikan pada

pemerintahan daerah Kabupaten/Kota Provinsi

Jambi.

G. Kesimpulan

1. Hasil studi empiris ini padaa hipotesis pertama

menemukan, terdapat pengaruh yang signifikan

positif kinerja keuangan terhadap belanja modal

pemerintahan daerah pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Jambi pada kesalahan menolak data

5%.

2. Untuk pengujian hipotesis kedua, hasil

penelitian menemukan terdapat pengaruh yang

signifikan positif pertumbuhan ekonomi

terhadap belanja modal pemerintahan daerah

pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi pada

kesalahan menolak data 5%.

3. Sedangkan pengujian hipotesis ketiga, hasil

penelitian menemukan terdapat pengaruh yang

signifikan positif sisa lebih pembiayaan

anggaran (SILPA) terhadap belanja modal

pemerintahan daerah pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Jambi pada kesalahan menolak data 5%

4. Pengujian hipotesis keempat penelitian ini,

menemukan tidak terdapat pengaruh yang

signifikan positif luas wilayah terhadap belanja

modal pemerintahan daerah pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi pada

kesalahan menolak data 5%.

H. Keterbatasan dan Saran

a) Pengambilan populasi dan sampel penelitian

pada wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Jambi

masih belum dapat mengeneralisasi temuan

penelitian ini secara lebih baik, disamping itu

(12)

atau pendapatan asli daerah yang relatif tidak

sama, dimana masing-masing kabupaten dan

kota belum miliki penerimaan dari unsur PAD

yang seimbang atau sama, hal ini berdampak

terhadap timbulnya masalah klasik yang ada

pada model penelitian yang secara tidak lansung

akan mempengaruhi model kemampuan variabel

independen dalam menjelaskan variabel

dependen. Oleh karena itu untuk penelitian yang

akan datang perlu adanya penyesuaian atas

pemilihan daerah yang memiliki PAD yang

relatif sama atau seimbang, agar hasil penelitian

yang diperoleh akan dapat menjastifikasi temuan

penelitian secara lebih baik.

b) Populasi dan sampel yang digunakan masih

relatif kecil yaitu wilayah Kabupaten/Kota

Provinsi Jambi, sehingga data yang ada kurang

dapat mewakili hasil penelitian ini secara

keseluruhan atau kurang dapat mengeneralisir

hasil penelitian secara baik. Untuk itu untuk

penelitian yang akan datang perlunya

memperhitungkan peningkatan jumlah populasi

dan sampel, dimana pengambilan populasi dan

sampel lebih luas atau besar dapat digunakan

seperti dari daerah wilayah Sumatera Bagian

Selatan, seperti menambahkan daerah yang

masih sekawasan seperti dari propinsi Aceh,

Sumatera Utara dan Propinsi Riau, sehingga

data penelitian akan lebih besar dan dapat

mewakili variabel dengan hasil penelitian yang

lebih baik.

c) Temuan penelitian ini juga mengindikasikan

adanya variabel lain yang juga dapat

mempengaruhi tingkat kemandirian daerah

dalam mengelolah pemerintahaan daerah selain

dari variabel pajak daerah, retribusi daerah dan

pendapatan lain yang disahkan hal ini terlihat

dari nilai koefisien determinan yang masih

36,8%, dengan demikan diharapkan kepada

peneliti yang akan datang dapat

mengembangkan model penelitian ini dengan

cara mencari atau menemukan beberapa variabel

lain sebagai variabel tambahan atau variabel

intervening yang diperkirakan dapat

memperbaiki model penelitian ini menjadi lebih

baik.

d) Adapun terkait dengan masalah interpretasi

ekonomi dari persamaan model yang digunakan.

Untuk lebih mendapatkan gambaran yang

komprehensif, sebaiknya jumlah data time series

ditambah tidak hanya data 4 tahun. Untuk data

cross section yang juga data panel yang

digunakan kurang dapat memenuhi syarat secara

optimal. Karenanya dikemudian hari seharusnya

jumlah propinsi yang digunakan juga ditambah.

Namun hal tersebut juga tidak lepas dari

permasalahan kemudahan data yang diperoleh.

Selain itu koefisien masing-masing variabel

dianggap sama untuk semua wilayah mungkin

kurang dapat mewakili analisa yang didapat

terkait dengan peran semua variabel bagi daerah

di era otonomi dalam menilai tingkat

kemandirian daerah.

Daftar Pustaka

Ardhini, Sri Handayani, Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal

untuk Pelayanan Publik Dalam

perspektif Teori Keagenan (study pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah

Badan Pusat Statistik.. 2003. Laporan

Perekonomian Provins Jambi. Jambi:

BPS Provinsi Jambi

__________________ 2013, Jambi Dalam Angka 2012, Jambi: BPS Provinsi Jambi

(13)

dilakukan Daerah: Direktorat Pembangunan Otonomi Daerah. ]

Darwanto, Yustikasari (2007), Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian anggaran

Belanja Modal, Simposium Nasional

Akuntansi X, Unhas Makasar 26-28 Juli 2007

Dirjend Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI (2013), Laporan Evaluasi Belanja Modal Daerah

Halim, Abdul (2005) Kajian Tentang Keuangan Daerah Pemerintah Kota Malang,

Tesis.

Halim, A (2008), Analisis Investasi ( Belanja Modal

) sector Publik-Pemerintah Daerah,

Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah.

Havid Sularso, Restianto (2011), Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.

Media Riset akuntansi, Vol. 1 No.2, agustus 2011.

Ida Metayani dan Rusmanto (2013), Pengaruh

Pendapatan Asli daerah, Dana

Alokasi Umum dan SiLPA terhadap Belanja Modal pada KAbupaten Kota

di Pulau Kalimantan, Jurnal Investasi,

Vol. 9 No. 2 Desember 2013

Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The Political Economy of Public Expenditures.

Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor

People. The World Bank.

Kusnandar, Dodik Siswantoro (2012), Pengaruh Dana Alokasi Umum,Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembayaran Anggaran dan Luas Wilayah terhadap

Belanja Modal, Jurnal Universitas

Indonesia

Kuncoro, Mudrajad (2004), Otonomi Daerah dan

Pembangunan Daerah

(Reformasi, Perencanaan, Strategi

dan Peluang), Penerbit Erlangga,

Jakarta.

Yovita, Utomo ( 2011 ), Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU terhadap

Pengalokasian Anggaran Belanja

Modal ( Studi Empiris pada

Pemerintah Provinsi se Indonesia periode 2008 – 2010 )

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan

daerah. Jakarta :Pustaka Yustisia.

________________. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintahan Daerah. Jakarta:

Pustaka Ardhani, Pungki

_______________ Undang Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara. Jakarta Ardhani, Pungki

_______________ Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab

Keuangan Negara. Jakarta Ardhani,

Pungki

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan

Gambar

Gambar 1. Kerangka Konseptual
tabel di bawah ini :
Tabel. 3 Kemudian untuk variabel luas wilayah variabel Hasil Analisis Regresi Linear Berganda

Referensi

Dokumen terkait

Dalam studi komersialisasi bencana Lumpur Lapindo ini memfokuskan pada makna dan upaya seseorang untuk melakukan aktifitas komersil.. Serta bagaimana seseorang

[r]

buruh, yang telah diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000. Tentang Serikat Pekerja/Serikat

Berdasarkan hal tersebut, keinginan sosial sebagai salah satu faktor yang dapat meningkatkan partisipasi sehingga adanya keterlibatan yang tinggi dalam

Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yan memiliki posisi penting dan strategis terutama dalam penurunan angka kematian ibu, angka kesakitan dan kematian bayi.Bidan

Dalam konteks profesi Auditor, komitmen profesional merupakan pedoman bagi setiap Auditor untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip kode etik profesi akuntansi sebagai

Judul Skripsi : Pengaruh Suhu dan Lama Thawing terhadap Kualitas Spermatozoa Sapi Madura.. Pembimbing

Preliminary tests showed a good correspondence between estimated temperatures and measured ground surface temperatures (RMS error less than 20 C) except for some