EFFECT OF FINANCIAL PERFORMANCE, GROWTH, SURPLUS BUDGET
FINANCING AND CAPITAL EXPENDITURE OF AREA TO
THE DISTRICT/CITY OF JAMBI PERIOD 2009-2012
Ajriani ¹ , Dwi Fitri Puspa¹, Herawati
2¹ Program Management Studies , Graduate University of Bung Hatta
² Management Program , Graduate School of the University of Bung Hatta
E - mail :
E - mail : tekncu75@gmail.com
ABSTRACT
This study aimed to Influence Financial , Economic Growth , Surplus Budget Financing and
Capital Expenditure of Area to the District / City of Jambi period 2009-2012. Population and
sample of the study was the District / City of Jambi Province , with the observation period from
2009 to 2012. The sampling technique used in this study is the sampling population , ie all
populations were subjected to experiments . Year study period was from 2009 - 2012 (4 years),
then the amount of data is as much as 44 units. Results of Multiple Linear Regression Analysis with
Eviews 6 tools , discover , there is a significant positive effect of financial performance , economic
growth and finance the rest over budget on capital expenditure in the District / City of Jambi
Province . While in the area of variable not found a significant effect on capital expenditures in the
District / City of Jambi Province. The findings of the research hypothesis is relevant to previous
research and provide support and reinforcement and a new understanding of the influence of
financial performance , economic growth , finance the rest over the budget and the area of capital
expenditure
Keywords : financial performance , economic growth , and the remainder over the budget
financing of capital spending
A.
Pendahuluan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 58 tahun
2005, belanja modal dikatakan sebagai pengeluaran
yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan
asset tetap dan asset lainnya yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan yang
digunakan dalam kegiatan pemerintahan seperti
dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung
dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan dan
hewan. Hal ini di perkuat oleh Permendagri No. 13
tahun 2006 Belanja modal yaitu pengeluaran yang
dilakukan dalam rangka Pembelian/pengadaan atau
pembangunan asset tetap berwujud yang mempunyai
nilai manfaat lebih dari dua belas bulan untuk
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti
tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jalan, irigasi dan jaringan, dan asset tetap lainnya.
Namun dalam rangka mewujudkan pelayanan
publik kepada masyarakat pelaksanaan dan
kenyataan dilapangan masih belum optimal, hal ini
dapat disebabkan beberapa factor dimulai dari
adanya kepentingan dari pihak-pihak tertentu yang
secara politis ikut mempengaruhi penganggaran dari
belanja modal, seperti yang dinyatakan Keefer dan
Khemani (2003), tentang adanya kepentingan politik
dari lembaga legislatif yang terlibat dalam
penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi
belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif
dalam memecahkan masalah di masyarakat.
Masalah lain seperti diungkapkan oleh
Laporan Evaluasi Belanja Modal Tahun 2013
menyatakan rendahnya relisasi belanja modal juga
diakibatkan oleh pola perencanaan dan
penganggaran di daerah, mekanisme transfer dan
pelaksanaan program/kegiatan di daerah, masih
terdapat beberapa daerah yang belum menetapkan
dan menyampaikan perda APBD kepada
Kementerian Keuangan sampai dengan batas waktu
yang telah ditetapkan yaitu pada pada akhir Januari
tahun anggaran yang bersangkutan, sehingga daerah
tersebut dikenakan sanksi penundaan DAU sebesar
25% dari pagu per bulan sampai dengan daerah
tersebut menetapkan APBD. Selain itu Ditambah
adanya perbedaan program-program prioritas antara
pihak eksekutif dengan DPRD dalam pembahasan
Raperda APBD antara pemerintah daerah dengan
legislatif. Kesemua kondisi di atas telah
menghambat realisasi belanja modal di daerah.
Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi
pengalokasian belanja modal tersebut yaitu kinerja
keuangan. Halim (2008 ), hasil analisis kinerja
keuangan dapat digunakan untuk menilai
kemandirian keuangan daerah dalam membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah serta dapat melihat
pertumbuhan dan perkembangan perolehan
pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama
periode waktu tertentu. Semakin baik Kinerja
keuangan daerah akan meningkatkan pendapatan
daerah. Penelitian Sularso ( 2011 ), menyatakan
bahwa besar kecilnya alokasi Belanja Modal yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dipengaruhi oleh
Kinerja Keuangan Daerah.
Untuk menilai naik turunnya anggaran Belanja
Modal dapat juga dilakukan dengan memperhatikan
tingkat Pertumbuhan Ekonomi suatu daerah.
Menurut Kuncoro (2004) bahwa ada keterkaitan
antara pertumbuhan ekonomi dengan belanja modal
karena pembangunan sarana dan prasarana oleh
pemerintah daerah berpengaruh positif pada
pertumbuhan ekonomi seterusnya dengan
meningkatnya pertumbuhan ekonomi tentunya
diperlukan peningkatan belanja modal agar dapat
menjaga stabilitas perekonomian. Penelitian Yovita
dkk (2011), menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi dalam bentuk PDRB memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap belanja modal. Sedangkan
penelitian Darwanto dkk (2007), menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi mempunyai korelasi yang
positif namun tidak signifikan terhadap variabel
belanja modal.
Faktor lain yang diduga memiliki pengaruh
terhadap anggaran belanja modal yaitu Sisa Lebih
Pembiayaan Anggaran ( SiLPA ). Sebagaimana yang
dikutip dari Harian seputar Indonesia (21/12/2011)
menurut Prasetyantoko bahwa anggaran negara yang
menganggur bisa dialokasikan untuk belanja yang
memberikan nilai tambah dan mampu menstimulasi
laju pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam
Hubungan SilPA dengan Belanja Modal telah diteliti
oleh Ardhini (2011) bahwa SilPA berpengaruh
Positif terhadap Belanja Modal. Sejalan dengan itu,
hasil penelitian dari Kusnandar dan Dodik juga
menyatakan bahwa SilPA mempunyai pengaruh
yang positif terhadap penganggaran Belanja Modal.
Terakhir faktor yang juga dapat menentukan
besar kecilnya anggaran belanja modal diyakini
adalah luas wilayah suatu daerah. Daerah dengan
wilayah yang lebih luas tentulah membutuhkan
sarana dan prasarana yang lebih banyak sebagai
syarat untuk pelayanan kepada publik bila
dibandingkan dengan daerah yang memiliki wilayah
yang tidak begitu luas. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan
Dodik (2008) dengan hasil bahwa Luas Wilayah
Modal.
Berdasarkan permasalahan dan penelitian
terdahulu, peneliti tertarik dan termotivasi untuk
mengangkat kembali faktor-faktor yang
berhubungan atau mempengaruhi belanja modal,
yang dalam hal ini penulis menjadikan factor kinerja
keuangan, pertumbuhan ekonomi, SilPA dan Luas
Wilayah sebagai factor dominan yang
mempengaruhi atau yang menentukan belanja modal
pemerintah daerah
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan kajian di atas,
dapat dirumuskan permasalaan sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengaruh kinerja keuangan terhadapbelanja modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi
Jambi?
2.
Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota diProvinsi Jambi?
3.
Bagaimana pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran terhadap Belanja Modal padaKabupaten/Kota di Provinsi Jambi?
4.
Bagaimana pengaruh Luas Wilayah terhadap Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kotadi Provinsi Jambi?
B.
Kajian Teori dan Pengembangan
Hipotesis
1) Belanja Modal
Menurut Standar Akuntansi Pemerintah “ Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk
perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi”. Sedangkan menurut Halim (2004), “Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang
manfaatnya melebihi 1 (satu) tahun anggaran dan
akan menambah asset atau kekayaan daerah dan
selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat
rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok
belanja administrasi umum.
Dalam Standar akuntansi Pemerintah (SAP),
belanja modaldapat dikategorikan ke dalam 5 (lima)
kategori utama, yaitu :
1. Belanja Modal Tanah
Belanja Modal Tanah adalah
pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan/pembeliaan/pembebasan
penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,
pengosongan, pengurugan, perataan,
pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan
pengeluaran lainnya sehubungan dengan
perolehan hak atas tanah dan sampai tanah
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin
Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah
pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan / penambahan / penggantian, dan
peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta
inventaris kantor yang memberikan manfaat
lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai
peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi
siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan
Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah
pengeluaran / biaya yang digunakan untuk
pengadaan / penambahan / penggantian, dan
termasuk pengeluaran untuk perencanaan,
pengawasan dan pengelolaan pembangunan
gedung dan bangunan yang menambah
kapasitas sampai gedung dan bangunan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
adalah pengeluaran/biaya yang digunakan
untuk pengadaan / penambahan / penggantian /
perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk
perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
jalan irigasi dan jaringan yang menambah
kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.
5. Belanja Modal Fisik Lainnya
Belanja Modal Fisik Lainnya adalah
pengeluaran / biaya yang digunakan untuk
pengadaan / penambahan / penggantian
pembangunan / pembuatan serta perawatan fisik
lainnya yang tidak dikategorikan kedalam kriteria
belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung
dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan,
termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal
kontrak sewa beli, pembelian barang-barang
kesenian, barang purbakala dan barang untuk
museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku,
dan jurnal ilmiah.
Menurut Depatemen Keuangan Repulik
Indonesia (2013), beberapa hal yang menyebabkan
rendahnya penyerapan belanja modal adalah sebagai
berikut :
a. Adanya kegiatan/proyek yang belum dapat
didanai disebabkan oleh keterbatasan keuangan
daerah;
b. Terjadi efisiensi dalam belanja, dimana
kegiatan/proyek dalam belanja modal dapat
diselesaikan dengan biaya lebih rendah dari
pagu anggarannya;
c. Terdapat masalah pembebasan lahan dalam
kegiatan pembangunan proyek infrastruktur
pemerintah;
d. Ada masalah dalam proses pengadaan barang
dan jasa;
e. Sisa waktu yang tersedia tidak mencukupi untuk
menyelesaikan program/kegiatan belanja modal
daerah; dan
Petunjuk teknis pelaksanaan DAK yang
terlambat diterima daerah
2) Kinerja Keuangan
John Witmore (1987) kinerja adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari
seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu
pameran umum keterampilan. Kinerja merupakan
suatu kondisi yang harus diketahui dan
dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk
mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi
dihubungkan dengan visi yang diemban suatu
organisasi atau perusahaan serta mengetahui
dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan
operasional.
Dalam membangun dan evaluasi terhadap
akuntabilitas kinerja di bidang keuangan daerah,
dapat menggunakan Pedoman Penyusunan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang
diterapkan sesuai dengan berbagai aspek dan unsur
dalam bidang keuangan daerah, yang menyangkut
pencapaian kinerja komponen-komponen
Pendapatan Asli Daerah/PAD (khususnya padak
daerah dan retribusi daerah), pendapatan daerah
(Bagian Keuangan, Dispenda, dan lainnya). Dengan
demikian pencapaian kinerja keuangan daerah dapat
dilakukan pengukuran secara rinci dan
komprehensif serta dapat dipertanggungjawabkan
(akuntabel).
Beberapa rasio keuangan yang dapat
digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah
daerahyaitu rasio ke mandirian, rasio efektivitas
terhadap pendapatan asli daerah, rasioefisiensi
keuangan daerah, dan rasio aktivitas (Halim,
2007:233).
a) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah ditunjukan
oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah
berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan
pemerintah pusat dalam konteks otonomi daerah
bisa dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU)
maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Semakin
tinggi rasio kemandirian maka tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak
ekstern semakin rendah, dan demikian pula
sebaliknya. Rasio kemudian dapat diformulasikan
sebagai berikut.
b) Rasio Efektivitas dan Efisiensi PAD
Rasio efektivitas menggambarkan
kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan PAD yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan
berdasarkan potensi riil daerah. Semakin tinggi rasio
efektivitas, maka semakin baik kinerja pemerintah
daerah.
Rasio efisiensi adalah rasio yang
menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan
dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja
pemerintah daerah dalam melakukan pemungutan
pendapatan dikategorikan efisien apabila rasio yang
dicapai kurang dari 1 (satu) atau dibawah 100%.
Semakin kecil rasio efisiensi berarti kinerja pemerintah
daerah semakin baik.
Elemen biaya yang dikeluarkan untuk
memungut PAD dalam konteks ini adalah seluruh
biaya yang dikeluarkan oleh dinas-dinas pengumpul
PAD. Biaya tersebut termasuk biaya langsung
maupun biaya tidak langsung. Biaya langsung
misalnya gaji dan upah karyawan bagian
pemungutan pajak dan retribusi daerah, sedangkan
biaya tidak langsung misalnya biaya-biaya
penyuluhan dan biaya iklan layanan yang ditunjukan
untuk meningkatkan pendapatan daerah.
c) Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
DSCR merupakan perbandingan antara
penjumlahan PAD, Bagian Daerah (BD) dari pajak
bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan (BPHBT), penerimaan sumber
daya alam dan bagian daerah lainnya serta DAU
setelah dikurangi belanja wajib (BW), dengan
penjumlahan angsuran pokok, bunga dan biaya
pinjaman lainnya yang jatuh tempo. Biaya Wajib
(BW) dalam hal ini berasal dari jumlah belanja rutin
dan dana alokasi khusus (DAK).
d) Rasio Pertumbuhan (Growth Ratio)
Rasio pertumbuhan (growth Ratio)
mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah
daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilan yang telah dicapai dari satu periode ke
periode berikutnya.
Keterangan:
= tahun sekarang
= tahun sebelumnya
3) Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi akan diukur
melalui indikator perkembangan PDRB dari tahun
ke tahun. Adapun cara menghitung laju
pertumbuhan dilakukan dengan tiga metode yaitu,
cara tahunan, cara rata-rata setiap tahun, dan cara
compoundingfactor. Pengukuran pertumbuhan
ekonomi secara konvensional biasanya dengan
Domestik Regional Bruto (PDRB).
Para ekonom aliran klasik yang telah
mempelajari gejala pertumbuhan ekonomi, melihat
bahwa terdapat faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dalam
pembahasan teori produksi (Teori EkonomiMikro),
telah diperkenalkan dengan fungsi produksi klasik
sederhana (Pratama dan Manurung, 2008: 136):
Q = f (K,L)
dimana:
Q = output
K = barang modal
L = tenaga kerja
Untuk analisis pertumbuhan ekonomi (analisis
makro), model klasik tersebutdapat dikembangkan
lebih lanjut, sehingga dapat ditulis persamaan:
Q = f (K,L,T,U)
dimana:
Q = output atau PDB
K = barang modal
L = tenaga kerja
T = teknologi
U = uang
4) Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (SILPA)
Sisa lebih pembiayaan anggaran ( SilPA )
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun
2005 merupakan Selisih lebih realisasi penerimaan
dan pengeluaran anggaran selama satu periode
anggaran. SiLPA juga bisa terjadi akibat asimetri
informasi antara eksekutif dan legislatif. Sebab,
ternyata ada akumulasi dana yang masih belum bisa
dijabarkan oleh eksekutif dan tidak diketahui
legislatif. Akibatnya, dana yang dijabarkan dalam
pengalokasian anggaran hanya sebagian dari dana
yang sesungguhnya ada dan dimiliki daerah. SiLPA
tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan
pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit
anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil
daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan
kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung
(belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja
pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang
sampai dengan akhir tahun anggaran belum
diselesaikan.
Menurut hasil Evaluasi Belanja modal oleh
Departemen Keuangan Republik Indonesia (2013),
menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya pelampauan realisasi
pendapatan (SILPA) terhadap anggaran pendapatan
dalam APBD antara lain adalah :
a) Terlambatnya informasi transfer ke daerah
sehingga pemerintah daerah baru mengetahui
alokasi transfer setelah tahun anggaran berjalan,
b) Adanya regulasi pengalihan PBB dan BPHTB
ke daerah
c) Terdapat pelampauan pencapaian target
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal
dari pajak dan retribusi daerah,
d) Terlambatnya informasi transfer dana
penyesuaian (contoh: Dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah (DPID)) sehingga
Pemerintah daerah baru mengetahui alokasi
transfer setelah tahun anggaran berjalan, dan
e)
Terdapat pelampauan Lain-Lain PAD yang sah yang berasal dari pendapatan bunga bank5). Luas Wilayah
Wilayah dapat diartikan juga suatu ruang
geografis dengan fungsi atau batasan administrasi
tertentu, ditinjau dari fungsional suatu wilayah,
wilayah merupakansuatu sistem kompleks yang
terdiri dari sistem ekonomi, system ekologi, sistem
sosial politik (Blair dalam Abdurrahman, 2005).
Sedangkan Miraza (2005) wilayah memiliki sumber
daya alam dan sumber daya manusia serta posisi
efisien dan efektif melalui perencanaan yang
komprehensif. Secara normatif, wilayah juga
didefinisikan sebagai ruang yang merupakan
kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administrasi atau aspek
fungsional (Undang-Undang Penataan Ruang No.26,
2007).
Berdasarkan semua landasan kajian teori
diatas, maka dapat dirumuskan beberapa hipotesis
penelitian sebagai berikut :
1) Kinerja Keuangan berpengaruh signifikan
terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi
2) Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan
terhadap belanja modal pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi
3) SilPA berpengaruh signifikan terhadap
Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kota
di Provinsi Jambi
4) Luas Wilayah Berpengaruh Positif terhadap
Anggaran Belanja Modalpada Kabupaten/Kota
di Provinsi Jambi
Adapun kerangka konseptual dalam
penelitian dapat dirancang sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Konseptual
C. Metode Penelitian
Didalam penelitian ini yang menjadi populasi
adalah seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi
terdiri dari 9 (sembilan) Kabupaten dan 2 (dua)
Kota.Teknik pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode sensus, yaitu
semua populasi dijadikan objek penelitian. Periode
penelitian dari tahun 2009 – 2012.
Definisi Operasional Variabel
a) Belanja Modal (Y).
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja
modal merupakan belanja Pemerintah Daerah
yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran
dan akan menambah aset atau kekayaan daerah
dan selanjutnya akan menambah belanja yang
bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada
kelompok belanja administrasi umum. Belanja
modal diukur dengan formula sebagai berikut :
Belanja Modal meliputi belanja Tanah + Belanja
Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan
Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan Jaringan
+ Belanja Aset Tetap Lainnya
b) Kinerja Keuangan (X1).
Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja
yang menggunakan indikator keuangan, yang
diukur dengan menggunakan tingkat
kemandirian/kemampuan pembiayaan dengan
formula sebagai berikut ( Halim; 2008 );
c)
Pertumbuhan Ekonomi(X
2).
Laju pertumbuhan PDRB merupakan laju
pertumbuhan dari tahun ke tahun yang dihitung
dengan formula ( Todoro; 2002 ) :
PE = PDRBt - PDRBt-1 PDRBt-1
Keterangan :
PE = Pertumbuhan Ekonomi
PDRBt = Pendapatan Domestik Bruto Tahun Bersangkutan.
d)
Sisa Lebih Pembayaran Anggaran (X3).
SilPA ini menurut Peraturan Pemerintah Nomor
58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama
satu periode anggaran. SiLPA diukur dengan
formula sebagai berikut :
SilPA = RealisasiPenerimaan Daerah –
RealisasiPembiayaan ( belanja )
e)
Luas Wilayah (X4).
SilPA ini menurut Peraturan Pemerintah Nomor
58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama
satu periode anggaran. SiLPA diukur dengan
formula sebagai berikut :
SilPA = RealisasiPenerimaan Daerah –
RealisasiPembiayaan ( belanja )
D. Teknik Analisis Data
Dalam Teknik Analisis Alat bantu yang
digunakan dalam pengolahan data adalah
Eviews 6 yang merupakan program yang cocok
digunakan untuk mengolah data panel.
1) Analisis deskriptif ini bertujuan untuk
menjelaskan karakteristik masing-masing
variabel penelitian. Dengan cara menyajikan
data ke dalam tabel distribusi frekuensi maka
pembaca akan dapat mengetahui perkembangan
atau trand maisng-masing variabel penelitian
seperti kinerja keuangan, pertumbuhan
ekonomi, sisa lebih pendapatan, luas wilayah
dan belanja modal pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi selama 4 tahun terakhir baik
dalam bentuk nilai minimum, nilai maksimum,
nilai rata-rata (Mean) dan nilai standar deviasi
sebagai simpang baku data.
2). Uji Persyaratan analisis, yang meliputi :
1)
Uji Normalitas,
2)
Uji Multikolinearitas
3)
Uji Autokorelasi
3). Pengujian hipotesis dengan regresi linear
berganda
, regresi sederhana dan regresi
bertingkat yang meliputi Uji : Uji F, Uji R
2, dan Uji Hipotesis (Uji t)
E.
Pengujian Hipotesis1)
Hasil Pengujian Deskripsi variabelDari hasil uji Deskriptif statistik dapat
diketahui gambaran umum dari data yang
digunakan dalam penelitian ini dan melalui uji
deskriptif statistik dapat dilihat beberapa ukuran
atau penilaian data seperti nilai rata-rata, dan
standar deviasi yang digunakan dalam penelitian
ini. Hasil deskriptif statistik dapat dilihat dalam
tabel di bawah ini :
Tabel. 1 Statistik Deskriptif
Berdasarkan hasil ringkasan pengujian di
atas, diperoleh informasi dari jumlah data yang
dipooling dari tahun 2009 sampai dengan tahun
2012 masing-masing variabel penelitian yang
meliputi modal kerja, kinerja Keuangan,
pertumbuhan ekonomi, silpa dan luas wilayah
adalah sebanyak 44 obsevasi dengan penilaian cross
sections masing-masing variabel 11. Penilaian
variabel belanja modal memiliki rentang
penyebaran data dengan nilai dari 24,874 sampai
dengan 27,513 yang merupakan nilai terendah dan
nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata dan median
masing-masing sebesar 25,887 dan 25,888
sementara nilai tingkat standar deviasi sebesar
rentang penyebaran data antara 3,287 sampai
dengan 6,969, juga cerminan dari nilai terendah dan
nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata dan median
masing-masing sebesar 4,274 dan 4,268 dengan
tingkat standar deviasi sebesar 0,671. Berikutnya
untuk variabel pertumbuhan ekonomi memiliki
rentang penyebaran data dengan nilai dari -0,251
sampai dengan 0.230, yang merupakan nilai
terendah dan nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata
dan median masing-masing sebesar 0,153 dan 0,162
dengan nilai standar deviasi sebesar 0,073.
Selanjutnya untuk variabel silpa atau sisa lebih
memiliki rentang penyebaran data antara 0,000
sampai dengan 19,979, yang merupakan nilai
terendah dan nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata
dan median masing-masing sebesar 13,284 dan
17,429 dengan nila standar deviasi sebesar 7,821.
Kemudian untuk variabel luas wilayah variabel
memiliki rentang penyebaran data antara 5,325
sampai dengan 8,774, yang merupakan nilai
terendah dan nilai tertinggi, dengan nilai rata-rata
dan median masing-masing sebesar 8,035 dan 8,580
dengan nila standar deviasi sebesar 1,160.
2) Uji Persyaratan Analisis
Uji Persyaratan analisis dimaksudkan untuk
mengetahui seberapa besar gangguan yang
nantinya akan membiaskan hasil penelitian
dalam sebuah model regresi yang akan
dibentuk. pengujian ini meliputi uji normalitas,
uji multikolinearitas, uji autokorelasi. Berikut
hasil ringkasan pengujian :
Tabel. 2
Uji Persyaratan Analisis
Dari hasil masing-masing pengujian terkait
dengan uji persyaratan analisis terlihat semua
terpenuhi, dengan demikian dapat dikatakan
masalah gangguan data dalam model regresi atau
model penelitian ini relatif tidak ada atau model
regresi yang dibentuk sudah layak untuk mengukur
dan melihat pengaruh variabel independen terhadap
variabel dependen.
3)
Uji Hipotesis Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis regresi
linear berganda dalam menjawab hipótesis yang ada
dengan alat bantú Program Eviews 6, untuk
mengetahui pengaruh dari variabel bebas
(independen) terhadap variabel terikat (dependen).
Berikut hasil Pengujian disajikan pada Tabel 3
berikut ini :
Tabel. 3
Hasil Analisis Regresi Linear Berganda
Dari Tabel 3, hasil pengujian data dengan
analisis regresi linear berganda dengan alat bantu
Eviews 6, ditemukan nilai koefisien regresi dari
masing-masing variabel penelitian dimulai dari
variabel kinerja keuangan dengan nilai koefisien
0.215, koefisien regresi dari variabel pertumbuhan
ekonomi dengan nilai koefisien regresi sebesar
2,435, koefisien regresi dari variabel silpa adalah
sebesar 0,023, dan nilai koefisien regresi variabel
luas wilayah sebesar 0,022. Sementara nilai nilai
konstanta (a) sebesar 24,096. Dari hasil pengujian
diatas dapat dibentuk model persamaan penelitian,
seperti berikut ini :
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4+ e
E. Pembahasan
1)
Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Belanja ModalBerdasarkan Tabel 3 di atas, hasil dari analisis
regresi linear berganda ditemukan nilai koefisien
regresi dari variabel kinerja keuangan adalah sebesar
0.215 nilai ini meupkan kontribusi dari kinerja
keuangan dalam membentuk atau mempengaruhi
belanja modal dengan nilai probabilitas (P) 0,027 <
dari alpha 5% yang merupakan kesalahan menolak
data. Dengan demikian dapat dikatakan terdapat
pengaruh positif yang signifikan antara kinerja
keuangan terhadap belanja modal pada
Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Hal ini
menunjukkan jika terjadi peningkatan kinerja
keuangan pada pemerintah daerah kabupaten atau
kota sehubungan dengan peningkatan pendapatan
asli daerah (PAD) maupun pendapatan lain dalam
bentuk dana perimbangan, maka peningkatan ini
akan diikuti oleh peningkatan tingkat belanja modal
pemeriantah mendukung semua pengeluaran terkait
guna memaksimalkan pelayanan dan kebutuhan
serta kesejahteraan masyarakat. Namun sebaliknya
jika terjadi penurunan kinerja keuangan dalam
bentuk rendahnya penerimaan dari pendapatan asli
daerah dan pendapatan lain sebagaimana disebutkan
di atas, maka hal ini juga akan berdampak terhadap
penurunan dukungan atas realisasi belanja modal
atau pengeluaran pemerintah daerah dalam
mendanai investasi maupun pembiayaan rutin yang
akhirnya juga akan berimbas berkurangnya
pemberian pelayanan dan kesejahteraan kepada
masyarakat.
2)
Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Belanja ModalBerdasarkan Tabel 3 di atas, hasil dari
analisis regresi linear berganda menemukan nilai
koefisien regresi dari variabel pertumbuhan
ekonomi adalah sebesar 2,435, dimana nilai ini
menunjukkan besarnya kontribusi atau besarnya
pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap belanja
modal, dengan nilai probabilitas (P) 0,0086 < dari
alpha 5%, oleh karena itu dapat disimpulkan
terdapat pengaruh positif yang signifikan
pertumbuhan ekonomi terhadap belanja modal pada
Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Ini dapat artinya
jika semakin tinggi pertumbuhan ekonomi daerah
yang ditunjukan dengan tingginya nilai pendapatan
domestik regional bruto (PDRB) pada
Kabupaten/Kota Provinsi Jambi, maka hal ini akan
dapat meningkatkan semakin tingginya kemampuan
daerah dalam membiayai seluruh pengeluaran yang
ada yaitu dalam bentuk belanja modal. Namun jika
semakin rendah tingkat pertumbuhan ekonomi
daerah yang dicerminkan rendahnya tingkat PDRB,
maka hal ini juga akan berdampak terhadap
rendahnya dukungan atas anggaran dan realisasi
belanja mdoal yang dimiliki oleh Kabupaten/Kota
Provinsi Jambi tersebut.
3)
Pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Terhadap Belanja ModalBerdasarkan Tabel 3 di atas, hasil dari analisis
regresi linear berganda ditemukan nilai koefisien
regresi dari variabel sisa lebih pembiayaan anggaran
(SILPA) sebesar 0,023 dimana koefisien ini
merupakan besarnya pengaruh yang diberikan oleh
variabel Silpa terhadap naik turunnya belanja modal,
dengan nilai probabilitas (P) 0,003 < dari alpha 5%,
dengan demikian dapat dinyatakan terdapat
pengaruh positif yang signifikan antara sisa lebih
pembiayaan anggaran (SILPA) dengan belanja
modal pada Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Hal ini
dapat dijelaskan apabila semakin tinggi terjadi sisa
lebih pembiayaan anggaran (SILPA) pada
dukungan pelaksanaan kegiatan belanja modal pada
tahun tersebut dan rendahnya realisasi dari dana
perimbangan yang diterima, maka hal ini akan dapat
memberi peningkatan pembentukan anggaran
belanja modal daerah tersebut pada tahun yang akan
datang. Sebaliknya jika semakin rendah terjadinya
sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) pada suatu
daerah, maka hal ini juga akan berdampak
rendahnya anggaran belanja modal pada tahun
berikutnya atau relatif konstans.
4)
Pengaruh Luas Wilayah terhadap Anggaran Belanja ModalSesui dengan hasil análisis regresi liner
berganda pada Tabel 3, diperoleh nilai koefisien
regresi dari variabel luas wilayah sebesar 0,022 yang
merupakan kemampuan dari variabel ini dalam
menjelaskan variabel belanja modal atau besarnya
kontribusi pengaruh yang diberikan kepada variabel
belanja modal, dengan nilai probabilitas (P) 0,700 >
dari alpha 5%, dengan demikian dapat dikatakan
tidak terdapat pengaruh positif yang signifikan
variabel luas wilayah terhadap belanja modal pada
Kabupaten/Kota Provinsi Jambi. Hal ini
menunjukkan juga dapat dijelaskan bahwa luas
wilayah dalam hal tidak merupakan indicator yang
terbukti dalam menentukan atau mempengaruhi
belanja modal pada Kabupaten/Kota Provinsi Jambi.
Hal ini dapat dinyatakan bahwa pemerintah
daerah otonomi yang ada di negara kita pada saat
dan setalh terjadi pemekaran lebih disibukkan
dengan permasalahan internal antar daerah baik
perembutan perbatasan daerah, SDA dan SDM
sehingga kurang dapat memaksimalkan penerimaan
baik dari PAD maupun dari penerimaan dana
perimbangan dan penerimaan lain yang pada
akhirnya kurang dapat merealisasikan anggaran
belanja modal secara optimal. Dan pada akhirnya
juga kurang dapat menjadikan wilayah kerjanya
berkembang dari hasil pembangunan yang telah
dilaksanakan. Dalam artian luas wilayah dalam
penelitian ini tidak mampu mengukur peningkatan
dan penurunan belanja modal secara signifikan pada
pemerintahan daerah Kabupaten/Kota Provinsi
Jambi.
G. Kesimpulan
1. Hasil studi empiris ini padaa hipotesis pertama
menemukan, terdapat pengaruh yang signifikan
positif kinerja keuangan terhadap belanja modal
pemerintahan daerah pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi pada kesalahan menolak data
5%.
2. Untuk pengujian hipotesis kedua, hasil
penelitian menemukan terdapat pengaruh yang
signifikan positif pertumbuhan ekonomi
terhadap belanja modal pemerintahan daerah
pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi pada
kesalahan menolak data 5%.
3. Sedangkan pengujian hipotesis ketiga, hasil
penelitian menemukan terdapat pengaruh yang
signifikan positif sisa lebih pembiayaan
anggaran (SILPA) terhadap belanja modal
pemerintahan daerah pada Kabupaten/Kota di
Provinsi Jambi pada kesalahan menolak data 5%
4. Pengujian hipotesis keempat penelitian ini,
menemukan tidak terdapat pengaruh yang
signifikan positif luas wilayah terhadap belanja
modal pemerintahan daerah pada
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi pada
kesalahan menolak data 5%.
H. Keterbatasan dan Saran
a) Pengambilan populasi dan sampel penelitian
pada wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Jambi
masih belum dapat mengeneralisasi temuan
penelitian ini secara lebih baik, disamping itu
atau pendapatan asli daerah yang relatif tidak
sama, dimana masing-masing kabupaten dan
kota belum miliki penerimaan dari unsur PAD
yang seimbang atau sama, hal ini berdampak
terhadap timbulnya masalah klasik yang ada
pada model penelitian yang secara tidak lansung
akan mempengaruhi model kemampuan variabel
independen dalam menjelaskan variabel
dependen. Oleh karena itu untuk penelitian yang
akan datang perlu adanya penyesuaian atas
pemilihan daerah yang memiliki PAD yang
relatif sama atau seimbang, agar hasil penelitian
yang diperoleh akan dapat menjastifikasi temuan
penelitian secara lebih baik.
b) Populasi dan sampel yang digunakan masih
relatif kecil yaitu wilayah Kabupaten/Kota
Provinsi Jambi, sehingga data yang ada kurang
dapat mewakili hasil penelitian ini secara
keseluruhan atau kurang dapat mengeneralisir
hasil penelitian secara baik. Untuk itu untuk
penelitian yang akan datang perlunya
memperhitungkan peningkatan jumlah populasi
dan sampel, dimana pengambilan populasi dan
sampel lebih luas atau besar dapat digunakan
seperti dari daerah wilayah Sumatera Bagian
Selatan, seperti menambahkan daerah yang
masih sekawasan seperti dari propinsi Aceh,
Sumatera Utara dan Propinsi Riau, sehingga
data penelitian akan lebih besar dan dapat
mewakili variabel dengan hasil penelitian yang
lebih baik.
c) Temuan penelitian ini juga mengindikasikan
adanya variabel lain yang juga dapat
mempengaruhi tingkat kemandirian daerah
dalam mengelolah pemerintahaan daerah selain
dari variabel pajak daerah, retribusi daerah dan
pendapatan lain yang disahkan hal ini terlihat
dari nilai koefisien determinan yang masih
36,8%, dengan demikan diharapkan kepada
peneliti yang akan datang dapat
mengembangkan model penelitian ini dengan
cara mencari atau menemukan beberapa variabel
lain sebagai variabel tambahan atau variabel
intervening yang diperkirakan dapat
memperbaiki model penelitian ini menjadi lebih
baik.
d) Adapun terkait dengan masalah interpretasi
ekonomi dari persamaan model yang digunakan.
Untuk lebih mendapatkan gambaran yang
komprehensif, sebaiknya jumlah data time series
ditambah tidak hanya data 4 tahun. Untuk data
cross section yang juga data panel yang
digunakan kurang dapat memenuhi syarat secara
optimal. Karenanya dikemudian hari seharusnya
jumlah propinsi yang digunakan juga ditambah.
Namun hal tersebut juga tidak lepas dari
permasalahan kemudahan data yang diperoleh.
Selain itu koefisien masing-masing variabel
dianggap sama untuk semua wilayah mungkin
kurang dapat mewakili analisa yang didapat
terkait dengan peran semua variabel bagi daerah
di era otonomi dalam menilai tingkat
kemandirian daerah.
Daftar Pustaka
Ardhini, Sri Handayani, Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap Belanja Modal
untuk Pelayanan Publik Dalam
perspektif Teori Keagenan (study pada Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah
Badan Pusat Statistik.. 2003. Laporan
Perekonomian Provins Jambi. Jambi:
BPS Provinsi Jambi
__________________ 2013, Jambi Dalam Angka 2012, Jambi: BPS Provinsi Jambi
dilakukan Daerah: Direktorat Pembangunan Otonomi Daerah. ]
Darwanto, Yustikasari (2007), Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian anggaran
Belanja Modal, Simposium Nasional
Akuntansi X, Unhas Makasar 26-28 Juli 2007
Dirjend Perimbangan Keuangan Kemenkeu RI (2013), Laporan Evaluasi Belanja Modal Daerah
Halim, Abdul (2005) Kajian Tentang Keuangan Daerah Pemerintah Kota Malang,
Tesis.
Halim, A (2008), Analisis Investasi ( Belanja Modal
) sector Publik-Pemerintah Daerah,
Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah.
Havid Sularso, Restianto (2011), Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.
Media Riset akuntansi, Vol. 1 No.2, agustus 2011.
Ida Metayani dan Rusmanto (2013), Pengaruh
Pendapatan Asli daerah, Dana
Alokasi Umum dan SiLPA terhadap Belanja Modal pada KAbupaten Kota
di Pulau Kalimantan, Jurnal Investasi,
Vol. 9 No. 2 Desember 2013
Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The Political Economy of Public Expenditures.
Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor
People. The World Bank.
Kusnandar, Dodik Siswantoro (2012), Pengaruh Dana Alokasi Umum,Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembayaran Anggaran dan Luas Wilayah terhadap
Belanja Modal, Jurnal Universitas
Indonesia
Kuncoro, Mudrajad (2004), Otonomi Daerah dan
Pembangunan Daerah
(Reformasi, Perencanaan, Strategi
dan Peluang), Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Yovita, Utomo ( 2011 ), Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja
Modal ( Studi Empiris pada
Pemerintah Provinsi se Indonesia periode 2008 – 2010 )
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan
daerah. Jakarta :Pustaka Yustisia.
________________. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah. Jakarta:
Pustaka Ardhani, Pungki
_______________ Undang Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara. Jakarta Ardhani, Pungki
_______________ Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara. Jakarta Ardhani,
Pungki
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan