• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF DAN R

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF DAN R"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF

DAN REFLEKTIF

Indah Wahyu Puji Utami

Jurusa Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang indahwahyu.p.u@um.ac.id

Abstrak: Mahasiswa sebagai peserta didik perlu dipahami sebagai manusia yang memiliki pikiran dan emosi. Namun, pembelajaran sejarah seringkali menepatkan peserta didik sebagai obyek, sekedar sosok raga semata. Oleh karenanya, sejarah sosial yang mengkaji berbagai aspek kehidupan manusia di masa lampau memiliki potensi untuk memahami berbagai realitas di masa lalu secara lebih manusiawi dan membantu peserta didik menjadi lebih huma-nis. Hal itu dapat dilakukan melalui pembelajaran yang emotif dan reflektif. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembelajaran sejara sosial yang emotif dan reflektif. Metode penelitian ini adalah kualitatif. Penelitian ini me-nunjukkan bahwa pembelajaran sejarah yang emotif memandang penting un-sur emosi dalam belajar sejarah sehingga melahirkan empati, simpati, dan tol-eransi. Sementara itu agar tidak terjebak pada pembelajaran sejarah yang ter-lalu emosional maka diperlukan sikap kritis dan reflektif. Dengan mengambil jarak dari masa lalu dan mendialogkannya dengan masa kini, maka peserta didik dapat mengambil hikmah yang berharga dari pembelajaran sejarah bagi kehidupannya di masa kini maupun masa depan.

Kata-kata kunci: humanis, emosi, refleksi, hikmah sejarah.

Pembelajaran sejarah memiliki potensi untuk menjadikan manusia lebih manusiawi. Se-jarah mengajak untuk memahami berbagai aspek kehidupan manusia di masa lalu yang selanjutnya dijadikan pijakan untuk menjalani kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang. Sejarah juga menyediakan referensi untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan manusia. Berbagai potensi tersebut dapat dioptimalkan melalui pembe-lajaran sejarah yang reflektif.

Refleksi dalam pembelajaran bukanlah sebuah konsep yang baru. Pandangan genai pentingnya refleksi dapat dilacak dari pemikiran John Dewey (1933) yang men-gungkapkan bahwa manusia tidak akan belajar banyak dari pengalamannya kecuali ia mau merefleksikan pengalaman tersebut. Lebih lanjut Dewey mengungkapkan bahwa re-fleksi merupakan proses dialektis yang mengintegrasikan pengalaman dan ide.

Brockbank dan McGill (1998) mengungkapkan bahwa Dewey mendobrak paradigma pembelajaran pada masanya yang memisahkan antara tubuh dan jiwa. Bagi Dewey, keduanya merupakan dualitas yang tak terpisahkan. Belajar merupakan proses yang melibatkan keduanya seperti yang ia ungkapkan sebagai berikut.

“…experience should be the initiating phase of thought for the learner, on the grounds that, in ordinary life, we need an empirical situation (be it opportunity or problem) to engage our interest and generate action. The reference to experience has been dismissed by many as it deals with the body, appetites, the senses, the material world, while thinking proceeds from the (perceived) higher faculty of reason and spirit.”

Senada dengan Dewey, Hariyono (2013) mengungkapkan bahwa peserta didik bukan hanya sekedar sosok raga yang hadir di kelas. Peserta didik yang menepati posisi sebagai pembelajar adalah sosok raga yang terkait dengan kehidupan jiwa, mental, sosial, dan

(2)

spiritual. Ia tidak hanya memiliki pikiran tapi juga emosi. Keduanya merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Pentingnya refleksi dalam konteks pembela-jaran juga diungkapkan oleh Bubnys (2010) sebagai berikut.

Reflection should be integrated into entire education process by not separating it from self-educationaims. Reconstruction of experience is central, as well as it is a continuous aim. In order learners to have achieved this aim, they should reflect by analyzing their values, attitudes and emotions, which in their turn transform the un-derstanding as well as give new meanings for ideas by relating them to previous knowledge and obtained information. Reflection, when learning from own experi-ence, stimulates taking of responsibility for one’s actions and decisions.”

Refleksi merupakan proses yang melibatkan seluruh potensi diri manusia, baik jiwa maupun raga. Pengalaman atau sensasi yang baru dialami akan didialogkan dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Hasilnya bisa berupa pe-rubahan cara pandang atau cara berpikir menjadi lebih baik. Keputusan yang diambil oleh manusia melalui pertimbangan tententu. Dengan demikian manusia tidak sekedar men-gandalkan reflek, tetapi refleksi dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Setiap pembelajaran, termasuk pembelajaran sejarah, seharusnya diarahkan untuk mengajak peserta didik melakukan refleksi agar pegetahuan sejarah yang baru didapat menjadi lebih bermakna bagi mereka yang hidup di masa kini (Utami, 2015). Refleksi dalam pembelajaran sejarah juga penting dilakukan agar peserta didik mampu mengambil hikmah dari peristiwa yang telah terjadi. Ia juga diajak untuk lebih peka dalam menyikapi berbagai problematika dalam sejarah manusia, termasuk sejarah sosial.

Sejarah sosial merupakan salah satu cabang sejarah yang mengkaji berbagai aspek sosial kehidupan manusia. Bidang kajian sejarah ini lahir sebagai reaksi terhadap domi-nasi sejarah politik yang didomidomi-nasi oleh orang-orang besar. Sejarah sosial hendak mem-berikan ruang bagi aspek-aspek lain dari kehidupan manusia yang belum banyak di-ungkap seperti sejarah orang-orang kecil, kaum marjinal, sejarah kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. Sejarah sosial mengajak kita untuk memahami perjalanan sejarah kehidu-pan manusia dalam berbagai aspek dengan segala kompleksitasnya. Belajar sejarah sosial tidak hanya menuntut pemahaman atas data dan fakta sejarah, melainkan mengajak untuk memahami gerak dan denyut perubahan sejarah yang terjadi di masyarakat dalam berba-gai aspek kehidupan sosialnya. Oleh karenanya mempertemukan pembelajaran reflektif dengan sejarah sosial akan sangat bermanfaat bagi peserta didik. Dalam pembelajaran se-jarah sosial yang reflektif, manusia tidak hanya direduksi sebagai kata benda apalagi angka.

(3)

pendidikan yang oleh Manabu Sato (2013) disebut sebaai silent revolution. Perubahan ini berjalan secara senyap dari balik dinding ruang-ruang kelas. Lewis (1995) menyebut bahwa usaha yang dilakukan oleh Jepang membawa dampak yang luar biasa dalam dunia pendidikan di sana. Ia menyebut bahwa pendidikan di Jepang tidak hanya mendidik piki-ran saja, tapi juga menyentuh aspek hati atau emosi peserta didik.

Pembelajaran reflektif merupakan salah satu model yang dapat digunakan untuk mendidik pikiran dan hati peserta didik. Dalam model ini, peserta didik tidak hanya dia-jak untuk memahami materi atau bahan kajian tapi juga melakukan perenungan untuk mengaitkannya dengan pengalaman keseharian mereka serta mengambil hikmah untuk kehidupannya di masa depan. Tanpa proses refleksi ini, maka pengetahuan dan pengala-man belajar mereka akan menjadi kurang bermakna.

Dalam konteks pembelajaran sejarah sosial, pembelajaran reflektif tidak sekedar mengaitkan realitas sejarah dengan kehidupan mahasiswa di masa kini, tapi juga untuk memahami aspek dalam dari manusia yaitu pikiran, hati, dan emosi atau perasaan. Setiap pelaku sejarah dipahami sebagai subyek dalam sejarah. Mereka adalah manusia yang tidak hanya punya raga tapi juga jiwa. Mereka memiliki pikiran, hati dan emosi. Mema-hami sejarah sosial tanpa memperhatikan aspek emosi dan perasaan para pelaku sejarah sebenarnya juga mengarah pada pembelajaran yang kurang manusiawi karena mereduksi para pelaku sejarah hanya sebagai nama atau kumpulan manusia yang tidak berjiwa. Oleh karenanya aspek emosi sebenarnya perlu mendapatkan perhatian dalam pembelajaran se-jarah sosial. Dengan demikian refleksi yang dilakukan akan benar-benar bermakna dan tidak hanya menyentuh aspek pemikiran namun juga emosi atau perasaan. Aristoteles per-nah mengungkapkan bahwa mendidik pikiran tanpa mendidik hati sebenarnya bukan pen-didikan sama sekali.

Para ahli pendidikan telah mengemukakan beberapa model pembelajaran reflektif seperti Dewey dan Kolb. Model pembelajaran reflektif John Dewey dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 1. Siklus pembelajaran reflektif Dewey

.

3

E

(4)

Sementara itu David A. Kolb (1984) mengembangkan experiential learning yang sebe-narnya merupakan pengembangan dari pembelajaran reflektif. Baginya, belajar meru-pakan sebuah proses yang berkesinambungan dan didasarkan pada pengalaman. Belajar merupakan proses untuk mengonstruksi dan mentransformasikan pengalaman menjadi pengetahuan.

Gambar 2. Siklus pembelajaran reflektif Kolb

Bigge (2004) menambahkan bahwa pembelajaran reflektif selalu melibatakan problem raising dan problem solving. Model pembelajaran reflektif Dewey dan Kolb tersebut ke-mudian dipadukan dengan pendapat Bigge yang menyediakan frame untuk diterapkan dan dikembangkan dalam pembelajaran sejarah sosial.

METODE

Penelitian mengenai pembelajaran sejarah sosial emotif dan reflektif ini dilak-sanakan pada mahasiswa Jurusan Sejarah FIS UM Angkatan 2013 Offering C yang men-empuh matakuliah Sejarah Sosial. Data yang dikumpulkan meliputi berbagai aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran Sejarah Sosial. Pengumpulan data dilakukan dengan ob-servasi, diskusi terfokus, dan dokumentasi yang dibantu dengan pedoman obob-servasi, kam-era, dan perekam video. Sementara analisis data dilakukan dengan menggunakan model interaktif Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 2002) yang terdiri dari penyajian data, re-duksi, penyajian dan penarikan kesimpulan.

PEMBELAJARAN SEJARAH SOSIAL EMOTIF DAN REFLEKTIF

Sejarah Sosial merupakan salah satu matakuliah wajib pada Prodi S1 Pendidikan Sejarah FIS UM. Matakuliah ini mengkaji berbagai aspek kehidupan sosial manusia di

(5)

(Utami, 2015). Dalam mendorong mahasiswa untuk berpikir reflektif tentu saja perlu melibatkan berbagai aspek dalam diri mahasiswa termasuk emosi untuk dapat memahami dan menghayati pemikiran, perasaan atau emosi dari para pelaku sejarah. Dengan demikian pembelajaran diharapkan bisa lebih hidup dan humanis.

Pembelajaran sejarah sosial yang emotif dapat dengan mudah tergelincir pada pem-belajaran yang emosional dan cenderung tidak rasional. Padahal, sejarah merupakan ilmu yang logis, empiris dan rasioal sehingga diperlukan pula sikap kritis dan reflektif.

Pembelajaran sejarah sosial emotif dan reflektif dikembangkan dari model pembe-lajaran reflektif Kolb yang merupakan penyempurnaan dari model Dewey. Selain itu juga dikombinasikan dengan pembelajaran reflektif menurut Bigge seperti pada gambar 3.

Pertama, concrete experience mengacu pada pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh mahasiswa. Pengalaman tersebut kemudian dikaitkan dengan tema atau topik pembelajaran yang akan dibahas. Hal ini penting untuk dilakukan karena sebagai sebuah proses sosial, belajar tidak terjadi dalam ruang hampa. Mahasiswa tidak masuk dalam kelas dalam kondisi kosong, tapi mereka sebenarnya telah memilki pengalaman yang sangat kaya dan bisa dimanfaatkan dalam pembelajaran. Dosen menugaskan pada mahasiswa untuk mencari permasalahan yang terkait dengan topik yang akan dipelajari dalam kelas berdasarkan pengalaman atau pengetahuan mereka sebelumnya. Sebagai con-toh, sebelum membahas tema sejarah masyarakat pendukung kebudayaan Indis, maha-siswa diminta untuk mencari permasalahan yang terkait dengan tema tersebut, misalnya mahasiswa sering melihat berbagai bangunan Indis di kota Malang, lalu muncul per-tanyaan mengapa bentuk bangunannnya berbeda dengan masa sekarang? Mengapa berbeda dengan bangunan di Belanda? Mengapa berbeda dengan bangunan lokal? Men-gapa sampai muncul kebudayaan Indis? Siapa saja yang mendukung kebudayaan Indis?

Mahasiswa diminta untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut melalui studi literatur. Hal ini merupakan tahap kedua, yaitu reflective observation yang bermakna tidak sekedar mengamati, membaca atau memanfaatkan sumber belajar se-mata, namun juga berusaha mengaitkannya dengan pengalaman sebelumnya sehingga ter-bentuk pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik. Mahasiswa diajak untuk menjawab berbagai permasalahan yang muncul (atau dimunculkan) dalam tahap sebelumya melalui eksplorasi terhadap berbagai sumber belajar baik berupa buku, artikel, maupun pengala-man sebelumnya sehingga terbentuk pengetahuan dan pemahapengala-man yang lebih baik.

Pada tahap ketiga, conceptualization writing, mahasiswa diminta untuk melakukan abstraksi dan menuliskan pemahaman konseptualnya untuk menjawab permasalahan-per-masalahan yang diajukan berdasarkan berbagai sumber. Penulisan itu dapat berupa read-ing report ataupun esai sesuai dengan tema yang akan dibahas di kelas.

Reading report dan esai yang ditulis oleh mahasiswa tidak hanya berisi abstraksi atau konsep-konsep yang telah dipahami. Mahasiswa juga diminta untuk menuliskan pelajaran berharga yang didapatkan dari studi literature yang ia lakukan bagi kehidupan-nya di masa kini dan masa yang akan datang. Dengan demikian, studi leiteratur yang di-lakukan menjadi lebih bermakna. Kegiatan ini merupakan tahap keempat, yaitu reflective experimentation writing.

(6)

Gambar 3. Model Pembelajaran Sejarah Sosial Reflektif

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dimunculkan dan dijawab pada tahap kelima yantiu reflective observation. Mahasiswa mengamati media pembelajaran interaktif yang dis-ajikan oleh dosen. Selanjutnya mahasiswa mengaitkannya dengan reading report atau

1. Concerete Experience

2. Reflective

Observation

3. Conceptualization

Writing

4. Reflective

Experimentation Writing

5. Reflective

Observation

6. Reflective Discussion

7. Abstract

Conceptualization

8. Reflective

Experimentation Writing

Problem

raising Prblem raising

outside

class-room

Prblem raising Problem solving

Problem

raising Prblem raising

Prblem raising

inside classroom

(7)

Reflective discussion dilakukan mahasiswa dalam kelompok-kelompok kecil. Karena mahasiswa sudah memiliki bekal pemahaman sebelumnya, maka kegiatan diskusi menjadi lebih hidup. Mahasiswa mencoba membagi dan mendiskusikan pemahaman mereka masing-masing dalam diskusi untuk memecahkan permasalahan yang muncul (dimunculkan) sebelumnya. Mereka dapat saling belajar dengan teman-temannya dalam kelompok dan mengkonstruksikan pengalaman dan pemahaman yang lebih baik. Sebagai hasil dari aktvitas tersebut, mahasiswa dapat melakukan abstract conceptualization yang merupakan tahap ketujuh.

Tahap kedelapan dalam pembelajaran sejarah sosial reflektif adalah reflective ex-perimentation writing. Mahasiswa diminta untuk melakukan refleksi dan menuliskan pelajaran berharga yang ia dapatkan dari keseluruhan proses pembelajaran yang di-lakukan, baik yang di luar kelas maupun di dalam kelas. Refleksi yang dihasilkan maha-siswa pada tahap ini lebih baik daripada yang dihasilkan pada tahap keempat karena su-dah ada proses saling berbagi dan saling belajar dengan sesame mahasiswa mamupun dosen dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Hasil dari tahap kedelapan ini kemu-dian menjadi pengalaman dan pengetahuan yang berharga dan bermakna bagi mahasiswa baik di masa kini maupun masa depan serta dapat dimanfaatkan bagi pembelajaran berikutnya. Dengan demikian mahasiswa juga terdorong untuk terus belajar dan menjadi active learner.

Mahasiswa tidak hanya memanfaatkan aspek pengetahuan dalam pembelajaran se-jarah sosial tapi juga aspek emosi. Memahami masyarakat dan sese-jarahnya tentu saja tidak hanya mengenai aspek luar, namun juga aspek dalam diri manusia, termasuk emosi. Seba-gai contoh, saat membahas sejarah masyarakat pendukung kebudayaan Indis, mahasiswa tidak hanya diajak untuk memahami hasil-hasil budayanya dan masyarakat pen-dukungnya namun juga diajak untuk memahami alam pikiran dan emosi orang-orang yang hidup dan terlibat dalam pembentukan lebudayaan Indis. Misalnya, dalam masyarakat Indis terdapat orang-orang Indo yang merupakan keturunan campuran dari orang Eropa dengan bumiputera. Orang-orang Indo secara fisik berbeda dengan kedua orang tuanya, begitu juga secara sosial dan kultural. Sebagian besar orang-orang Indo di-lahirkan dari para gundik. Bila sang ayah mau mengakui, maka seorang anak Indo akan dibaptis dan dicatatkan kelahirannya serta diakui sebagai bagian dari masyarakat Eropa, namun jika sang ayah tidak menghendaki, maka anak ini beserta ibunya bisa diusir den-gan mudah. Hidup tentu saja tidak mudah bagi orang-orang Indo. Walaupun secara hukum mereka dapat diakui layaknya orang Eropa, namun masyarakat Eropa juga tidak bisa menerima dan memperlakukan mereka layaknya orang Eropa lainnya karena dalam darahnya mengalir darah ibunya yang merupakan bumiputera yang dipandang rendah oleh masyarakat Eropa. Mahasiswa diajak untuk memahami kegalauan yang dialami oleh orang-orang Indo ini sehingga mereka pun bisa memahami posisi orang-orang Indo dalam masyarakat pendukung kebudayaan Indis.

Contoh lain, saat membahas mengenai pergundikan yang marak dalam masyarakat pendukung kebudayaan Indis, mahasiswa diajak untuk masuk dalam alam pikiran para perempuan yang menjadi gundik. Mereka diajak untuk membayangkan betapa sulitnya hidup sebagai gundik pada masa itu. Posisi perempuan-perempuan yang menjadi gundik sangat lemah karena mereka bisa diusir kapan saja oleh tuan Eropa yang hidup dengan-nya. Bagi masyarakat Eropa, para perempuan ini dipandang rendah, sementara itu masyarakat bumiputera juga menganggap mereka rendah karena hidup bersama dengan

(8)

lelaki Eropa tanpa ikatan pernikahan. Para gundik dianggap sebagai perempuan-perem-puan yang bermoral rendah. Namun bagaimana perasaan para peremperempuan-perem-puan ini? Tentu saja menjadi gundik bukanlah cita-cita para perempuan ini. Keadaan memaksa mereka terlibat dalam hubungan pergundikan. Posisi yang lemah membuat para perempuan tersebut terli-bat dalam praktik pergundikan meskipun mereka sebenarnya tidak menginginkannya. Meskipun demikian, diakui atau tidak, para gundik tersebut memainkan peranan yang penting dalam pembentukan kebudayaan Indis. Merekalah yang menjadi jembatan penghubung antara kebudayaan Barat dan Timur.

Pembelajaran yang emotif ternyata mampu melahirkan simpati, empati dan toler-ansi di kalangan mahasiswa yang tampak baik dalam proses pembelajaran maupun re-fleksi yang dituliskan dan diungkapkan oleh mahasiswa. Sebagai contoh, salah seorang mahasiswa mengungkapkan bahwa ia merasa kasihan dengan para gundik yang diper-lakukan tidak adil dalam masyarakat Indis. Selain itu ada juga yang mengungkapkan bahwa fenomena pergundikan tidak dapat dipandang secara hitam dan putih. Perempuan yang menjadi gundik bukan berarti tidak bermoral atau tidak punya perasaan sebab banyak di antara mereka menjadi gundik karena keterpaksaan.

Simpati, empati dan toleransi yang muncul dalam pembelajaran sejarah sosial hanya dimungkinkan jika mahasiswa diajak untuk memahami unsur dalam para pelaku sejarah. Para pelaku sejarah adalah manusia yang punya pikiran dan perasaan sama seperti mahasiswa. Pelibatan aspek emosi dalam pembelajaran sejarah sosial didukung dengan sikap kritis dan reflektif ternyata mampu menarik minat mahasiswa dan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna. Mahasiswa mampu mengambil pelajaran berharga dari pembelajaran sejarah sosial yang ia alami. Pengetahuan dan pengalaman yang dida-pat dalam pembelajaran sejarah sosial selanjutnya dadida-pat dimanfaatkan bagi kehidupan mereka di masa kini maupun yang akan datang. Pengetahuan dan pengalaman tersebut juga menjadi bekal bagi mahasiswa untuk mempelajari topik-topik sejarah lainnya.

Pembelajaran sejarah sosial emotif dan reflektif selalu melibatkan proses problem raising dan problem solving. Mahasiswa dibiasakan untuk memiliki sensitifitas terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya dan terkait dengan topik sejarah sosial yang sedang dibahas. Hariyono (2013) mengungkapkan kepekaan terhadap masalah hanya muncul setelah kita berani dan terbiasa bertanya. Melalui pertanyaan manusia bisa memperba-harui makna sesuatu. Proses tersebut terjadi dalam ruang pikir, rasa, dan batin seseorang yang akan mempengaruhi proses kesadaran manusia untuk menemukan dirinya sendiri.

Realitas yang terjadi dalam sejarah manusia tidak dipandang sebagai proses yang alami dan tak terelakkan. Mahasiswa didorong untuk berusaha mencari jawaban dari masalah yang ia ajukan terkait dengan realitas sejarah. Dalam hal ini mahasiswa diajak untuk berfikir dan memecahkan permasalahan yang dihadapi. Hal ini penting untuk dibi-asakan di kalangan mahasiswa agar mereka mampu menghadapi dan memecahkan berba-gai permasalahan yang akan dihadapi dalam kehidupannya sendiri baik di masa kini maupun yang akan datang. Keterampilan untuk bertanya dan memecahkan permsalahan merupakan soft skill yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupannya.

(9)

yang tidak berarti. Mahasiswa diajak untuk memahami bahwa para pelaku sejarah yang mereka pelajari dalam sejarah sosial adalah manusia yang punya pemikiran dan perasaan. Mereka juga diajak untuk memahami alam pikiran dan perasaan para pelaku sejarah se-hingga bisa memandang sejarah secara lebih berwarna. Pembelajaran sejarah sosial yang reflektif tidak hanya terbatas di dalam ruang kelas, tapi juga di luar kelas. Mahasiswa me-manfaatkan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya sebagai bekal untuk mengajukan permasalahan dan memecahkannya dalam proses pembelajaran. Pelibatan aspek emosi dan kemampuan berpikir kritis serta reflektif membuat pembelajaran sejarah sosial lebih bermakna.

RUJUKAN

Bigge, M.L. 2004. Learning Theories fo Teachers. New York: Harper & Row.

Brockbank, A. dan Ian McGill. 1998. Facilitating Reflective Learning in Higher Educa-tion. Buckingham: SHRE and Open University Press.

Bubnys R., Z. V. (2010). Reflective Learning Models in the Context of Higher Education: Concept Analysis. Problems of Education in the 21st Century (Issues in Edu-cational Research-2010), Vol. 20, p. 58-70.

Dewey, J. 1933. How We Think. Boston: D. C. Heath & Co., Publishers. Dari Project Gut-tenberg, (Online), ( http://www.gutenberg.org/files/37423/37423-h/37423-h.htm), diakses 1 Juli 2015.

Hariyono. 2013. Dialektika Manusia dan Sejarah. Makalah disajikan dalam Workshop Kesejarahan Guru Sejarah yang diselenggarakan oleh Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya Kemdikbud di Surabaya tanggal 25 Oktober 2013.

Kolb, D. A. 1984. Experiential learning: experience as the source of learning and devel-opment. New Jersey: Prentice-Hall.

Lewis, C.C. 1995. Educating Hearts and Minds: Reflections on Japanese Preschool and Elementary Education. Cambridge: Cambridge University Press.

Sato, M. 2013. Mereformasi Sekolah: Konsep dan Praktek Komunitas Belajar. Tokyo: In-ternational Development Center of Japan.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.

Utami, I.W.P. 2015. Kemampuan Mahasiswa melakukan Refleksi dalam Pembelajaran Sejarah Sosial. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Lesson Study Fakultas Ilmu Sosial UM yang dilaksanakan di Hotel Atria tanggal 25 Agus-tus 2015.

Referensi

Dokumen terkait

t ujuan dari pelaku-pelaku sejarah dan hal ini menjadi t ugas sejarawan unt uk memahami t ujuan t esebut agar dapat membuat cerit a sejarah yang koheren.. Mereka

dalam konteks kehidupan nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan mudah..

1 Manfaat yang saya peroleh dalam proses pembelajaran sejarah dengan model pembelajaran kooperatif tipe bertukar pasangan. • Lebih memahami sejarah, tambah pengetahuan,

Evaluasi model CIIP yang diterapkan dalam pembelajaran sejarah meliputi antara lain: (1) evaluasi konteks yang digunakan untuk mengevaluasi kesadaran sejarah

Artikel ini menelaah peran isteri sesuai dengan sejarah sosial pemikiran hukum Islam, memahami konteks peran isteri dan meneladani motivasi pada setiap tahap sejarah,

Dalam konteks Indonesia, salah satu faktor yang menjadi sebab mata pelajaran sejarah kurang diminati adalah pembelajaran sejarah yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan guru mata

Jadi karakteristik yang khas dalam pembelajaran sejarah adalah suatu kegiatan pembelajaran tentang kehidupan manusia dalam dimensi ruang dan waktu yang cara

Dapatan kajian menunjukkan model pemikiran sejarah dalam pembelajaran menggunakan sumber sejarah dapat membantu para pelajar membina KPS dengan elemen memahami kronologi.. This model