• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Desa Wisata Melalui Pendeka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengembangan Desa Wisata Melalui Pendeka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Desa Wisata

Melalui Pendekatan

Perencanaan Wilayah

Partisipatif

Eri Addharu

A156170141

Magister Perencanaan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,

Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor

Abstrak

Pergeseran paradigma dalam pembangunan menuju pembangunan yang berpusat pada manusia (People Centered Development) telah mewarnai pembangunan di Indonesia. Paradigma baru mengharapkan masyarakat dapat berperan sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Peran semua stakeholder menjadi penting untuk tercapainya perencanaan wilayah yang partisipatif. Pada konteks pengembangan kawasan desa wisata, dalam proses perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi, pemerintah harus sejak awal melibatkan semua pihak terkait, termasuk masyarakat lokal dan juga swasta. Unsur-unsur yang terkait dalam hal perencanaan partisipatif yaitu paradigma pembangunan dalam hal people centered development, pembangunan yang berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, pengembangan wilayah, dan kelembagaan yang berkelanjutan. Perencanaan wilayah partisipatif merupakan salah satu pendekatan terbaik karena dapat merangkul semua pihak atau stakeholder yang terlibat dengan berdialog dan menyampaikan keinginan masing-masing.

Kata Kunci : Desa Wisata, Masyarakat Lokal, People Centered Development, Perencanaan Wilayah Partisipatif, Stakeholder

Abstract

The paradigm of expression in people centered development has colored development in Indonesia. The new paradigm of pregnant society can be used as a subject as well as object of development. The role of all stakeholders is essential for achieving participatory regional planning. At this time, development, planning and oversight, the government must be involved initially, including local and private communities. Elements of relevant elements in participatory planning are the development paradigm in terms of people centered on development, sustainable development, community empowerment, regional development, and sustainable institutions. Participatory planning territory is one of the best because it can embrace the parties involved with dialogue and demand each other

Keywords : Local Communities, People Centered Development, Participatory Area Planning, Stakeholder, Village Tourism

PENDAHULUAN

(2)

serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi tujuan dan tantangan pembangunan (WCED, 1988).

Pergeseran paradigma dari paradigma industri yang berpusat pada produksi (Product Centered Development) menjadi pembangunan yang berpusat pada rakyat (People Centered Development) lebih menempatkan kebutuhan-kebutuhan rakyat di bawah kebutuhan-kebutuhan sistem produksi, serta secara konsisten menempatkan kebutuhan sistem produksi dibawah kebutuhan rakyat. Sehingga model pembangunan yang berpusat pada rakyat merupakan suatu alternatif baru untuk meningkatkan hasil produksi pembangunan guna memenuhi kebutuhan penduduk yang sangat banyak dan terus bertambah, akan tetapi peningkatan itu harus dicapai dengan cara-cara yang sesuai dengan asas-asas dasar partisipasi dan keadilan dan hasil-hasil itu harus dapat dilestarikan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia ini. Tujuan dari pembangunan berdimensi kerakyatan adalah perkembangan manusia dalam arti aktualisasi nilai-nilai atau potensi-potensi kemanusiaan, seperti harga diri (self-esteem), kemandirian (self-relience), martabat (dignity), pemberdayaan (empowerment), dan sebagainya. Dalam paradigma ini, manusia ditempatkan sebagai fokus utama pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau. Hal ini membuat Indonesia memiliki berbagai ragam wilayah, budaya, adat istiadat, dan bahasa. Banyak daerah yang terdapat di dalam Negara Indonesia memiliki kekayaan alam, budaya, arsitektur tradisionalnya yang etnik dan menarik sehingga bisa dijadikan sebagai suatu potensi wisata. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang

secara tidak langsung menyentuh dan melibatkan kehidupan masyarakat sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat, baik dampak positif maupun negatif. Akan tetapi semua itu bisa dipersiapkan dengan baik agar bisa meminimalkan dampak negatif tersebut.

Sejalan dengan dinamika pembangunan, gerak perkembangan pariwisata merambah ke dalam berbagai terminologi seperti, sustainable tourism development, village tourism, ecotourism, merupakan pendekatan pengembangan kepariwisataan yang berupaya untuk menjamin agar wisata dapat dilaksanakan di daerah tujuan wisata bukan perkotaan. Salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif adalah desa wisata untuk pembangunan pedesaan yang berwawasan lingkungan. Ramuan pengembangan desa wisata kedepan adalah mewujudkan dalam gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya. Keaslian juga dipengaruhi keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut, misalnya ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentangan alam, jasa, pariwisata sejarah dan budaya, serta pengalaman yang unik dan eksotis khas daerah. Dengan demikian, pemodelan desa wisata harus terus dan secara kreatif di kembangkan identitas atau ciri khas daerah.

(3)

dan meningkatkan pendapatan serta meningkatkan kesejahteraan petani. Beberapa dampak positif pengembangan agrowisata antara lain meningkatkan nilai jual komoditi pertanian yang dihasilkan dan berkembangnya sumber-sumber pendapatan lainnya yang dapat dinikmati oleh masyarakat setempat seperti penyewaan homestay dan sarana rekreasi lainnya yaitu kantin, penjualan cindera mata, dan lain-lain. Selain itu, agrowisata merupakan salah satu wahana yang efektif dalam rangka promosi produk-produkpertanian dan budaya Nusantara. Hal tersebut karena selain dapat menikmati hasil pertanian secara langsung dari sumbernya, para pengunjung akan terkesan dengan sensasi wisata alam yang unik dan segar Pengembangan pariwisata pedesaan didorong oleh tiga faktor. Pertama, wilayah pedesaan memiliki potensi alam dan budaya yang relatif lebih otentik daripada wilayah perkotaan, masyarakat pedesaan masih menjalankan tradisi dan ritual-ritual budaya dan topografi yang cukup serasi. Kedua, wilayah pedesaan memiliki lingkungan fisik yang relatif masih asli atau belum banyak tercemar oleh ragam jenis polusi dibandingankan dengan kawasan perkotaan. Ketiga, dalam tingkat tertentu daerah pedesaan menghadapi perkembangan ekonomi yang relatif lambat, sehingga pemanfaatan potensi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat lokal secara optimal merupakan alasan rasional dalam pengembangan pariwisata pedesaan (Damanik, 2013). Menurut Kartasasmita (1997) pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Pemberdayaan masyarakat sendiri memerlukan suatu

proses, pengertian pemberdayaan

sebagai suatu ”proses” menunjuk pada

serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan tahapan untuk mengubah pihak yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan (Sulistiyani, 2004:77).

Kehidupan desa bukan saja memberikan pengalaman yang berbeda dengan kota, tetapi drpandang sebaga upaya menciptakan keseimbangan kehdupan. Pembangunan ekonomi desa berperan dalam pengembangan nilai kemanusiaan dan lingkungan. Desa dapat memberikan tempat yang memberikan kepuasan atau relreshing, sena pembelajaran banyak hal khususrya dan budaya. Permintaan terhadap layanan desa wisata, atau berbagai objek dan kehidupan desa sangartah tinggi. Pengembargan desa wisata di lndonesia. berada dalam kerangka peraturan pemerintah (PP) 50 tahun 2010 lentang Rencana induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025. Kementerian pariwisata dan sebagai leading sector telah menetapkan 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) di mana 15 DPN dipromosikan melalui program Desa nation Management Organizaton (DMO) dalam periode 2010 hingga 2014, yakni Sabang. Toba, Kota Tua, Pangandaran, Borobudur Bromo-Tengger Semeru, Batur, Rinlant, Flores, Tanjung puting, Derawan, Toraja. Bunaken, Wakatobi, dan Raja Ampat.

Tujuan pembangunan

(4)

memperkuat ketahanan sosial budaya masyarakat setempat namun lebih luas lagi akan memperkuat ketahanan sosial budaya bangsa dan negara. Lembaga Ketahanan Nasional mendefinisikan ketahanan sosial budaya sebagai

“Keuletan dan ketangguhan bangsa

dalam mewujudkan nilai-nilai budaya nasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara guna memantapkan jati diri dan integritas bangsa untuk menjamin kesinambungan pembangunan nasional dan kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945” (Lemhannas, 1993:39).

Parameter Ketahanan Sosial Budaya menurut Sukaya (2002: 71-72) terdiri atas asas-asas yang meliputi asas kesejahteraan dan keamanan, asas komprehensif integral/menyeluruh terpadu, asas mawas ke dalam dan mawas keluar serta asas kekeluargaan.

Nuryanti (1992) mendefinisikan desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Ditegaskan pula bahwa komponen terpenting dalam desa wisata, adalah (1) akomodasi, yakni sebagian dari tempat tinggal penduduk setempat dan atau/ unit-unit yang berkembang sesuai dengan tempat tinggal penduduk, dan (2) atraksi, yakni seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta latar fisik lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipan aktif, seperti kursus tari, bahasa, lukis, dan hal-hal lain yang spesifik Kaitannya dengan konsep pengembangan desa wisata, Pearce (1995) mengartikan pengembangan desa wisata sebagai suatu proses yang menekankan cara untuk mengembangkan atau

memajukan desa wisata. Secara lebih spesifik, pengembangan desa wisata diartikan sebagai usaha-usaha untuk melengkapi dan meningkatkan fasilitas wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Masyarakat lokal berperan penting dalam pengembangan desa wisata karena sumber daya dan keunikan tradisi dan budaya yang melekat pada komunitas tersebut merupakan unsur penggerak utama kegiatan desa wisata. Di lain pihak, komunitas lokal yang tumbuh dan hidup berdampingan dengan suatu objek wisata menjadi bagian dari sistem ekologi yang saling kait mengait. Keberhasilan pengembangan desa wisata tergantung pada tingkat penerimaan dan dukungan masyarakat lokal. Masyarakat local berperan sebagai tuan rumah dan menjadi pelaku penting dalam pengembangan desa wisata dalam keseluruhan tahapan mulai tahap perencanaan, pengawasan, dan implementasi.

(5)

Ketiga stakeholder tersebut harus mempunyai komitmen dalam perencanaan partisipatif yang mengutamakan kebersamaan (Nugroho&Aliyah, 2013). Kondisi wilayah yang beragam di Indonesia tentunya menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan wilayah terutama yang berbasis pariwisata. Metode yang digunakan tidak bisa diseragamkan karena kearifan lokal dari masyarakat daerah yang unik dan punya ciri khas tersendiri. Perlu strategi yang tepat dalam mengembangkan kawasan pariwisata dan semua pihak harus terlibat dan dilibatkan. Semua pendekatan juga harus digunakan baik dari sisi top down maupun bottom up. Adapun tujuan dari makalah ini adalah 1.) menganalisa unsur-unsur yang terkait dengan perencanaan wilayah partisipatif dan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan suatu wilayah terutama dalam sektor pariwisata, 2.) me;ihat pendekatan terbaik dalam hal pengembangan wilayah.

KERANGKA PEMIKIRAN Pergeseran paradigma yang berawal dari production centered development kemudian bergeser menjadi people centered development telah menjadikan manusia dan lingkungan sebagai aktor utama dalam perencanaan. Perencanaan partisipatif pada dasarnya adalah perencanaan bersama antara pemerintah, masyarakat, private sektor untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita pembangunan (Nasdian 2014). Tujuan dari pendekatan partisipatif adalah adanya perubahan sosial, dimana masyarakat mampu menentukan yang terbaik bagi dirinya. Masyarakat memberikan segenap kemampuannya, baik fisik, pemikiran dan harta untuk kebutuhan memperkuat dan mengembangkan kapasitasnya (capacity building). Perencanaan partisipatif dalam kerangka pengembangan

masyarakat dan pembangunan adalah mendorong pembangunan yang berangkat dari bawah dengan mengakomodir keinginan masyarakat, menciptakan keterlibatan masyarakat dalam bentuk interaksi dan komunikasi, meningkatkan kapasitas kelembagaan dan penguatan manajemen organisasi yang baik, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan budaya, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan berfokus pada masyarakat (people centered development) yang nantinya digunakan dalam pengembangan kawasan agrowisata yang sesuai sehingga dapat mensejahterakan masyarakat seperti di gambar 1.

Gambar 1 Alur Konsep Peranan Perencanaan Partisipatif dalam Kerangka Pengembangan Masyarakat

dan Pengembangan Wilayah

ANALISIS

Perencanaan Wilayah Partisipatif

(6)

bahwa pembangunan merupakan proses memanusiakan manusia. Dapat dikatakan bahwa pemabangunan tersebut harus berkesinambungan dan berorientasi pada pengembangan kualitas hidup manusia. Lebih lanjut Todaro (2000) dalam Rustiadi (2011), berpendapat pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensi yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi institusi nasional disamping tetap mengejar akselarasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Hubungan antara pengembangan masyarakat dengan pengembangan wilayah dikaitkan dengan suatu kelembagaan, yang mana konsep pengembangan masyarakat atau suatu komunitas mengandung makna adanya keterkaitan yang tidak hanya secara ekologis dan ekonomis, namun juga secara sosiologis, hal ini dikemukakan oleh Nasdian (2015). Pengembangan masyarakat dan kelembagaan komunitas merupakan bagian dari pengembangan wilayah yang mengedepankan perencanaan partsipatif atau partisipasi masyarakat dalam sebuah pembagunan. Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa pengembangan wilayah dalam proses dan tujuannya sangat mengutamakan pendekatan masyarakat dan sosial budaya. Pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan melakukan pengembangan masyarakat terlebih dahulu atau keduanya dilaksanakan secara beriringan.

Berdasar dari penelitian dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata, yaitu melalui pendekatan

pasar dan pendekatan

fisik.Pertama,Pendekatan Pasar untuk Pengembangan Desa Wisata antara lain sebagai berikut ; (1) Interaksi tidak langsung adalah Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. (2) Interaksi setengah langsung adalah Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi makan dan berkegiatan bersama penduduk. (3) Interaksi LangsungWisatawan

dimungkinkan untuk

(7)

secara langsung dalam proses perencanaan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

Myrdal (1968) dalam Conyers (1994) mengatakan bahwa perencanaan yang efektif memiliki harapan yang kecil jika tanpa didukung oleh masyarakat, dan keterlibatan masyarakat tersebut merupakan kewajiban bagi perencanaan demokratis. Saat inipun banyak istilah yang popular terkait pentingnya partisipasi masyarakat diantaranya

bottom-up planning’ (perencanaan dari

bawah), keterlibatan pada ‘grass roots’ (sampai pada masyarakat paling bawah), ‘democratic planning’ (perencanaan demokratis) dan

parcipatory planning; (perencanaan partisipatif).

Perencanaan Partisipatif dalam pengembangan desa wisata yang

berbasis agrowisata

Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat akan cenderung memarginalkan masyarakat itu sendiri. Namun pada kenyataannya sering terjadi pengabaian partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat masih menjadi objek dari pelaksanaan pembangunan. Pengembangan desa wisata merupakan sebuah perubahan terencana yang di dalamnya membutuhkan partisipasi masyarakat lokal secara holistik. Dalam makalah ini di analisis suatu kasus yang berjudul “ Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal Di Desa Wisata Linggarjati Kuningan, Jawa Barat yang ditulis oleh Ade Jafar Sidiq dan Risna Resuawaty.

Desa Linggarjati terletak di Kecamatan Cilimus, Kabupaten

Kuningan, Jawa Barat. Berjarak sekitar 5 km dari pusat kota Kabupaten Kuningan, dan sekitar 30 km dari kota Cirebon Jawa Barat. Desa Linggarjati adalah sebuah desa dataran tinggi yang terletak di kaki Gunung Ciremai. Desa ini berada di ketinggian 500-1500 meter dari permukaan laut dan memiliki curah hujan rata-rata 2500 mm/tahun. Suhu udara berkisar antara 260-290C sehinggga udara di sini tergolong sejuk. Kondisi alam Desa Linggarjati yang masih asri, persawahan berteras yang tertata rapi menjadi daya tarik utama desa ini. Selain keindahan terasering sawah, sumber daya alam dan budaya yang berpotensi untuk dijadikan atraksi wisata, misalnya, Pemandian air panas, air terjun, gedung bersejarah perjanjian linggarjati, dan wisata kuliner khas Kuningan serta pusat oleh-oleh khas Kuningan, menambah pesona Desa Linggarjati sebagai daerah wisata.

(8)

masyarakat setempat dan masih menganut nilai zero sum perspective degan tidak adanya transfer kekuasaan maupun teknologi.

Pembangunan berbasis masyarakat (community based tourism-CBT) merupakan model pembangunan yang memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata. CBT merupakan sebuah kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat. Ide kegiatan dan pengelolaan dilakukan seluruhnya oleh masyarakat secara partisipatif, dan manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Pengimplementasian model ini diharap mampu memberikan dampak terhadap meningkatnya perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat karena masyarakat yang mengelola dan masyarakat yang menikmati hasil. Sehingga diharapkan kegiatan yang dilaksanakan dapat sustainable. Desa wisata merupakan salah satu bentuk penerapan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dan berkelanjutan. Melalui pengembangan desa wisata diharapkan terjadi pemerataan yang sesuai dengan konsep pembangunan pariwisata yang berkesinambungan. Inskeep (1991) mengatakan bahwa Desa Wisata merupakan bentuk pariwisata yang sekelompok kecil wisatawan tinggal di dalam atau di dekat kehidupan tradisional atau di desa-desa terpencil dan mempelajari kehidupan desa dan lingkungan setempat.

Partisipasi Masyarakat Linggarjati dalam Proses Pengembangan Desa Wisata

Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan hal yang penting ketika diletakkan atas dasar keyakinan bahwa masyarakatlah yang

paling tahu apa yang dibutuhkan. Partisipasi yang hakiki akan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan tahapan pengembangan, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengawasan program pengembangan desa wisata. Keikutsertaan masyarakat ini sangat dipengaruhi oleh kemauan, kesempatan, dan kemampuan dari masyarakat tersebut Keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan desa wisata dapat mendorong mereka berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan dan pengawasan.

Paradigma Pembangunan

(9)

masyarakat diundang dalam beberapa rapat perencanaan, partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat pada tahap ini tergolong semu. Benefit yang diperoleh dari bentuk partisipasi yang dilakukan tidak menunjukkan hasil yang signifikan, bahkan umpan balik yang disampaikan oleh masyarakat lokal atas keputusan yang diambil oleh penguasa sering diabaikan. Padahal substansi dalam pengembangan desa wisata berbasis masyarakat. Namun, selalu dihadang oleh keputusan penguasa yang bersifat topdown. Mekanisme seperti ini menjadikan masyarakat Linggarjati tidak terbiasa berpartisipasi.

Sustainable Development

Walaupun warga masyarakat banyak yang hadir dalam setiap pertemuan, pada umumnya mereka mengaku tidak terlibat dalam pengambilan keputusan perihal pengembangan desa wisata. Hal ini disebabkan pemerintah telah memiliki rencana pembangunan yang telah dicanangkan sejak tahun-tahun sebelumnya, sehingga masyarakat hanya sebagai objek dari perubahan yang ada. Dengan adanya hal tersebut semakin memperkuat bahwa masyarakat hanya dijadikan objek dari pembangunan dan tidak adanya partisipasi masyarakat dan cenderung bersifat top-down tanpa adanya masukan dari aras mikro (masyarakat). Padahal seharusnya terjadi keselarasan pembangunan antara keinginan di level aras makro (top-down) dan di level aras mikro (bottom-up) sehingga pemerintah dan masyarakat dapat bersinergi dalam mewujudkan pembangunan yang sustainable. Masyarakat lokal khususnya masyarakat Desa Linggarjati perlu diajak untuk mendesain sendiri model pariwisata yang akan dikembangkan. Selama ini pariwisata yang dikembangkan di desa wisata tersebut tidak pernah di desain

oleh mereka. Pariwisata yang dikembangkan didesain oleh orang luar desa. Masyarakat lokal terpinggirkan. Pengembangan desa wisata berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, harus ada jaminan masyarakat untuk terlibat di dalamnya.

Pelibatan Stakeholder

Peran pemerintah dalam pengelolaan sumber daya pariwisata terlihat dominan. Padahal bila mengacu pada pendekatan tata kelola pemerintah yang bersih dan berkelanjutan peran pemerintah diharapkan menjadi fasilitator dengan memberikan peran dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata berbasis partisipasi masyarakat belum terwujud di wilayah ini. Masyarakat belum menjadi subjek utama pembangunan, namun masih menjadi objek pembangunan. Hal ini disebabkan kesempatan untuk berpartisipasi masih terbatas. Keran untuk berpartisipasi masih belum terbuka lebar. Masyarakat merasa tergusur oleh perubahan yang terjadi tanpa memiliki kemampuan untuk turut terlibat dalam pembangunan. Partisipasi Masyarakat

(10)

marginalisasi posisi sosial ekonomi masyarakat Linggarjati. Kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan antar lapisan masyarakat semakin besar, pada akhirnya, masyarakat lokal tetap berada di posisi marginal dalam usaha yang justru terjadi di wilayahnya sendiri. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengembangan desa wisata belum bermanfaat ekonomis bagi masyarakat Linggarjati. Hal ini didukung dengan masyarakat yang belummemiliki kemampuan untuk terlibat dalam isdustri pariwisata. Menyikapi hal ini idealnya pemerintah harus meningkatkan kapasitas masyarakat lokal agar mampu meraih dampak positif dari perubahan yang terjadi di sekitar mereka.

Partisipasi masyarakat yang terdapat dalam masyarakat desa Linggarjati terlihat minim dalam segi

pengawasan pelaksanaan

pengembangan desa wisata karena control terhadap proses pengambilan keputusan harus diberikan kepada mereka yang nantinya menanggung akibat pelaksanaan pengembangan termasuk kegagalan atau dampak negatip yang terjadi akibat pengembangan desa wisata. Pola pembangunan yang top-down tidak melatih masyarakat untuk dapat mengetahui permasalahan dan potensi yang mereka miliki, sehingga mereka gagap dalam menentukan tujuan hidupnya.

Partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa wisata pada prinsipnya adalah partisipasi dalam mengelola sumber daya. Oleh karena itu, perlu dirumuskan model yang relevan dalam pelaksanaan program tersebut. Kemudian dirumuskan hal-hal yang menjadi keinginan masyarakat lokal yaitu (1) pengembangan desa wisata harus berpedomanan pada kebudayaan local masyarakat; (2) masyarakat lokal menjadi sentral dan

menjadikan subjek dari semua proses pengembangan desa wisata. Dengan menempatkan masyarakat sebagai sentral diharapkan partisipasi masyarakat sebagai pemilik sumber daya pariwisata akan terdorong dan mampu menyejahterakan masyarakat local; (3) pengembangan desa wisata membutuhkan adanya kemitraan yang solid antara tiga unsur utama, yaitu pemerintah, swasta, dan lembaga, yang masyarakat lokal menjadi pemangku kepentingan dari kerja sama tersebut; (4) ketiga pemangku kepentingan tersebut berada pada posisi yang sejajar dalam melakukan kerja sama serta saling menghormati; (5) perlu dibentuk badan pengelola yang otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi, memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi; (6) keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dibuat ditingkat lokal oleh warga masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan; dan (7) fokus utama pengembangan desa wisata adalah memperkuat kemampuan masyarakat lokal dalam mengarahkan dan mengatasi aset-aset yang ada pada masyarakat local untuk memenuhi kebutuhannya.

Pemberdayaan Masyarakat

(11)

pada kurangnya daya saing yang dimiliki oleh masyarakat sehingga penguasaan sumberdaya dikuasai oleh pihak luar. Dengan tidak ikut sertanya masyarakat dalam pengelolaan usaha di kawasan desa wisata menyebabkan masyarakat desa masih berada di garis kemiskinan karena tidak bisa bersaing. Pengembangan Wilayah

Dalam hal pengembangan wilayah peran dan tanggung jawab para stakeholder harus jelas sehingga nanti tidak adanya kegiatan yang saling tumpangtindih. Berikut rencana peran masing-masing stakeholder yang bertujuan untuk pembangunan yang berkelanjutan. Peran dan kewenangan masing-masing pemangku kepentingan sebagai berikut. Peran dan Kewenangan Pemerintah, yaitu (1) melakukan pembinaan kualitas produk dan kemasan kerajinan dan kuliner khas desa sebagai unsur kenangan wisata; (2) melakukan penataan dan konservasi lingkungan fisik kawasan yang menjadi ciri khas desa wisata; (3) melakukan perbaikan/pengadaan infrastruktur persampahan dan sanitasi; (4) melakukan gerakan masyarakat untuk mewujudkan sapta pesona; (5) melakukan pembuatan informasi dan fasilitas kepariwisataan; (6) melakukan perbaikan/peningkatan kualitas ruang publik, pedestrian dan landscape desa/lingkungan untuk mendukung sapta pesona; dan (7) dukungan pemberdayaan terhadap kelompok sadar wisata (Pokdarwis) dalam pelestarian lingkungan pariwisata (kawasan Hutan, dan sawah).

Peran dan Kewenangan Swasta (Investor, Perguruan Tinggi, LSM, pelaku pariwisata lainnya), yaitu (1) melakukan promosi terintegrasi antar pengelola objek wisata untuk menggerakkan kunjungan wisatawan antar objek wisata; (2) pembuatan dan pemasaran paket-paket wisata yang kompetitif yang terjangkau masyarakat;

(3) pelatihan kewirausahaan, pelatihan keterampilan individual terkait usaha di bidang pariwisata (pelatihan bahasa Inggris, pelatihan hospitality, pelatihan mengenal budaya, dan karakteristik wisatawan dalam dan luar negeri); (4) pengembangan kelompok usaha bersama masyarakat; dan (5) menjalankan bisnis perhotelan, restoran, suvenir, dan lain-lain.

Peran masyarakat Lokal, yaitu (1) menyediakan sebagian besar atraksi sekaligus menentukan kualitas produk wisata. Pengelolaan lahan pertanian secara tradisional, upacara adat, kerajinan tangan dan kebersihan merupakan beberapa contoh peran yang memberikan daya tarik bagi pariwisata; (2) pelaku budaya, misalnya, kesenian yang menjadi salah satu daya tarik wisata; dan (3) penyedia akomodasi dan jasa pemandu wisata, penyediaan tenaga kerja, produk makanan khas, kerajinan lokal, kesenian lokal, dan sebagainya.

Strategi Pengembangan Wilayah Berbasis Agrowisata di Desa Linggarjati

Desa Linggarjati memiliki potensi wisata yang sangat besar untuk pengembangan kedepannya. Sehingga sistem pengelolaan yang tepat perlu dilaksanakan, model pembangunan berbasis masyarakat merupakan pilihan yang tepat dalam mengelola sumberdaya yang ada. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang diberikan peluang yang sebesar-besarnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa wisata. Sehingga kegiatan yang berlangsung dapat sesuai dengan kemauan masyarakat dan dapat berlanjut karena hasilnya kembali kepada masyarakat. ). Conyers (1994) menyebutkan ada 3 (tiga) alasan utama mengapa partisipasi masyarakat memiliki peran penting, antara lain: (1) partisipasi masyarakat merupakan

(12)

informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, jika hal tersebut tidak ada maka proyek-proyek akan gagal; (2) mayarakat akan lebih mempercayai

proyek atau program

pembangunan saat merasa dilibatkan dalam sebuah proses persiapan dan perencanaannya, dikarenakan mereka mengetahui seluk beluk proyek tersebut dan muncul rasa memiliki pada proyek tersebut;

(3) adanya anggapan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan merupakan suatu hak demokrasi.

Penggunaan strategi partisipasi masyarakat didasarkan pada asumsi kondisi dan kepentingannya. Menurut Burke dalam Rustiadi et al. (2011), terdapat tiga macam strategi partisipasi, yaitu diantaranya:

1. Terapi pendidikan (education Therapy)

Strategi ini lebih memusatkan pada peningkatan kemampuan masyarakat secara individu. Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk pelatihan atau pembelajaran bagi masyarakat.

2. Kemitraan (Cooptation)

Bentuk lain dari partisipasi masyarakat adalah melibatkan masyarakat dalam organisasi untuk mengantisipasi kendala yang ada. Dalam hal ini masyarakat tidak dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan, melainkan sebagai mitra yang akan membentuk organisasi dalam mencapai tujuan, strategi ini digambarkan sebagai proses menarik elemen ke dalam kebijakan atau kepemimpinan suatu organisasi serta sebagai alat untuk mengalihkan atau mencegah ancaman yang dapat menganggu keberadaannya.

3. Kekuatan masyarakat (community power)

Kebanyakan organisasi masyarakat menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi keputusan masyarakat. Ada dua strategi partisipasi masyarakat yang didasarkan pada teori kekuataan masyarakat, keduanya dirancang untuk memanfaatkan kekuataan masyarakat, yaitu : merekrut individu yang memiliki pengaruh dalam menganugerahkan kuasa dan pengaruh pada pengaruh organisasi tersebut, dan menganugerahkan penghargaan pada anggotanya.

SIMPULAN

Perencanaan wilayah partisipatif menjadi pendekatan dalam pengembangan kawasan pariwisata. Dimana perencanaan partisipatif tidak hanya dilakukan pada salah satu proses dalam pembangunan, namun merupakan kegiatan yang menyeluruh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan/monitoring, sampai evaluasi. Unsur-unsur yang terkait dalam hal perencanaan partisipatif yaitu paradigma pembangunan dalam hal people centered development, pembangunan yang berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, pengembangan wilayah, dan kelembagaan yang berkelanjutan.

Perencanaan wilayah partisipatif merupakan salah satu pendekatan terbaik karena dapat merangkul semua pihak atau stakeholder yang terlibat dengan berdialog dan menyampaikan keinginan masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

(13)

Pertanian. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 18(3):

Damanik, J., 2013, Pariwisata Indonesia Antara Peluang dan Tantangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Dewi MHU, Fandeli C, Baiquni M. 2013. Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal di Desa Wisata Jatiluwih Tabanan, Bali. Kawistara 2: 117-226.

Kartasasmita, G., 1997, Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Lemhannas, 1993, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, Pendukung GBHN 1993, Jakarta.

Ul Haq, Mahbub. 1983. Tirai Kemiskinan. Tantangan-tantangan untuk Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept,

Perspective and Challenges, makalahbagiandariLaporanKonferensiInte rnasionalmengenaiPariwisataBudaya.Ga djahMada University Press; Yogyakarta.

Rustiadi, E, Saefulhakim, S, Panuju, DR. 2011. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Edisi Kedua. Bogor (ID): Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB.

Sulistiyani, A.T., 2004, Kemitraan dan Model- Model Pemberdayaan, Yogyakarta: Gava Media.

WCED. 1988. Hari Depan Kita Bersama. Jakarta

LAMPIRAN Tulisan Studi Kasus

Pengembangan Desa Wisata Berbasis Partisipasi Masyarakat Lokal Di Desa Wisata Linggarjati Kuningan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada  bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah penelitian, secara umum

indikator EBT= 2,8 – 4,8 EBT tidak dapat digunakan sebagai indikator pd titrasi ion logam Ca dengan EDTA. titik

Berbagai indeks eritrosit yang dapat dihitung dari hasil pemeriksaan hematologi rutin dapat digunakan untuk membedakan penderita β-thalassemia dan penderita

Setelah mendengarkan penjelasan dari peneliti tentang penelitian yang berjudul “Gambaran Stres Akulturasi Mahasiswa Papua yang Menjalani Perkuliahan di Universitas Sumatera

kekakuan statis dan kepatuhan statis, ini memungkinkan untuk mengkarakterisasi menguras energi (dengan cara yang sama yang impedansi dan admittanc menentukan menguras daya) pada

Pengenaan pajak atau pemberian subsidi atas suatu barang yang diproduksi/dijual akan mempengaruhi keseimbangan pasar barang tersebut, mempengaruhi harga keseimbangan

Skripsi adalah studi akhir yang merupakan salah satu tugas akhir yang diwajibkan pada mahasiswa Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Atma

1) Penelitian Pengembangan Bahan Ajar Motif Batik Ngawi ini menggunakan model pengembangan Four-D yang dikembangkan oleh Thiagarajan. Model pengembangan Four-D terdiri dari 4