PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2013
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar belakang
Dalam rangka melindungi hak-hak konsumen serta menghindarkannya dari ekses negatif akibat barang dan jasa yang beredar di pasar, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU-PK). Berdasarkan UU tersebut, hak-hak konsumen dilindungi dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan produsen, importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan barang atau jasa.
Selain peredaran barang dan jasa di pasar, faktor keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen. Salah satu produk yang harus mengutamakan faktor K3L tersebut adalah Bahan Berbahaya (B2). Sehingga mendorong Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/M-DAG/PER/2/2006 Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, sehingga dampak penyalahgunaan B2 dapat dikurangi.
Namun demikian, dalam perkembangannya, baik pengadaan, pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, lebih lanjut untuk mencegah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan, Pemerintah mengeluarkan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur pengadaan B2, baik yang berasal dari lokal maupun impor melalui pengaturan jenis, pengadaan, pendistribusian, perijinan, pelaporan dan larangannya. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor, yaitu dengan menetapkan verifikasi atau penelusuran teknis impor dan penetapan pelabuhan dan bandara untuk impor B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
ii
B2 belum efektif. Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan B2 dikemas dalam ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa antara bahan baku untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang sama (BPOM, 2012).Penyalahgunaan B2 terutama untuk pangan tersebut diindikasi karena pendistribusian B2 terutama dari pengecer B2 ke pengguna akhir B2. Sementara sistem distribusi B2 yang ada sekarang belum terstruktur sehingga menyulitkan dalam pengawasannya.
Bertitik tolak dari fenomena di atas, maka analisis pengawasan distribusi B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan terkait dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di yaitu bagaimana pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag tersebut.
Metodologi Penelitian
Analisis pengawasan distribusi bahan berbahaya menggunakan metode Regulation Impact Analysis (RIA) untuk mengevaluasi pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.
Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Bahan Berbahaya
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya perlu direvisi dan disempurnakan sehingga pelaksanaannya bisa lebih efektif dan tidak terjadi penyalahgunaan B2, khususnya yang terkait dengan bahan pangan.
Beberapa ketentuan terutama pada Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu :
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
iii
2. Pada Pasal 1 angka 9, ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidakmenjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-B2 dapat menjual IT-B2 ke PA-IT-B2 dalam skala kecil.
3. Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya dan Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54 , sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan.
4. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada pasal 1 Angka (3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja.
5. Pasal 8 Ayat (3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang (repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya PA-B2 skala kecil.
6. Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.
7. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2. Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.
Faktor-faktor penyebab implementasi Permendag B2 belum berjalan dengan baik, yaitu :
1. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.
2. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran
44/M-Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
iv
DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2.4. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2.
5. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan.
6. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik. Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2.
7. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2
Rekomendasi
1. Perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 agar penyalahgunaan B2 dapat diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain menyangkut aspek pengadaan, distribusi dan pengawasan serta penerapan sanksi, sebagai berikut :
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
v
a. Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pemgetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT).Distribusi dan Pengawasan:
a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen (P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 .
b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya.
c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk jumlah dan kurun waktu tertentu.
2. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan Tim Pemeriksa . 3. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan
menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi segala kewajiban, antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran perlu ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
vi
5. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri pangan atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk workshop, seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat dapat dalam bentuk program konsumen cerdas (KONCER).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
vii
KATA PENGANTARPuji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, laporan Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya dapat diselesaikan. Tujuan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya adalah upaya untuk meningkatkan pencegahan penyalahgunaan peruntukan penggunaan bahan berbahaya (B2). Namun dalam kenya taannya, pada saat ini masih banyak ditemukan penyalahgunaan jenis B2 tertentu, seperti Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow yang digunakan untuk bahan panganpemgolahan pangan jadi. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan dan sekaligus mengevaluasi Permendag dimaksud.
Hasil analisis ini merekomendasikan perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 t entang atas perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 t entang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif. Beberapa hal yang perlu penyempurnaan dan kejelasan antara lain 1) ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pelaporan bagi kelembagaan dalam pengadaan, distribusi dan pengawasan B2; 2) pengaturan sistem distribusi B2, , sehingga mudah dalam pengawasan; 3). komitmen pemerintah pusat dan daerah melibatkan instansi terkait dalam melakukan pengawasan distribusi B2.
Disadari bahwa hasil analisis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan penyempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat.
Jakarta, April 2013
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
viii
DAFTAR ISIRINGKASAN EKSEKUTIF ... ... i
KATA PENGANTAR ... ... v
DAFTAR ISI ... ... vi
DAFTAR TABEL ... ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan Analisis... 3
1.3. Keluaran Analisis ... 4
1.4. Dampak ... 4
1.5. Ruang Lingkup ... 4
1.7. Sistematika Penulisan ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Definisi Bahan Berbahaya ... 6
2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya ... 10
2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia ... 12
2.4. Hasil Pengawasan B2 ... 16
2.5 Best Practices B2 di Beberapa Negara. ... 16
BAB III METODOLOGI ... 22
3.1. Kerangka Pemikiran ... 22
3.2 Lokasi Kajian dan Responden ... 23
3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ... 24
3.4. Metode Analisis ... 24
BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA ... 29
4.1. Aspek Pengadaan ... 29
4.2. Aspek Distribusi ... 31
4.3. Aspek Pengawasan ... 32
4.4. Hasil Survey di Daerah Penelitian ... 33
BAB V EVALUASI PERATURAN BAHAN BERBAHAYA ... 43
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
ix
5.2. Upaya Peningkatan Efektivitas Pengawasan B2 ... 49
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 53
6.1. Kesimpulan ... 53
6.2. Rekomendasi ... 56
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
x
DAFTAR TABELTabel 2.1. Kelas dan Divisi B2 Berdasarkan UN Recomendations on the
Transport of Dangerous Goods ... 8
Tabel 2.2. Penjelasan Masing-masing sifat B2 Yang Tertulis Dalam Federal Hazardous Substance Act ... 10
Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia Tahun 2012 ... 15
Tabel 3.1. Metodologi dan Analisis Data ... 28
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
xi
DAFTAR GAMBARGambar 2.1. Alur Distribusi B2 ... 14
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ... 23
Gambar 3.2. Proses RIA ... 25
Gambar 4.1. Rantai Distribusi B2 di Makassar ... 34
Gambar 4.2. Rantai Distribusi B2 di Medan ... 37
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya
xii
DAFTAR LAMPIRANLampiran 1. Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9//2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, konsumen sebagai pengguna
barang dan jasa menjadi objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan tidak jarang aktivitas bisnis
tersebut seringkali merugikan konsumen. Padahal seharusnya hak-hak
konsumen dilindungi dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang
yang dilakukan oleh pelaku usaha seperti produsen, importir, distributor dan
setiap pihak yang berada dalam rantai perdagangan barang dan jasa
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Selain itu juga dalam peredaran barang dan jasa di pasar, faktor
keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan (K3L) menjadi hal yang
sangat penting dalam perlindungan konsumen. Salah satu produk yang harus
mengutamakan faktor K3L tersebut adalah Bahan Berbahaya (B2). Pada
dasarnya, penggunaan produk B2 dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Namun, apabila tidak digunakan dengan baik dan benar dapat menyebabkan
kerugian dan kerusakan bagi manusia dan lingkungan.
Hal-hal tersebut di atas mendorong Pemerintah pada tahun 2006
menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor:
04/M-DAG/PER/2/2006 Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya,
sehingga dampak penyalahgunaan B2 dapat dikurangi. Namun demikian, dalam
perkembangannya, baik pengadaan, pendistribusian maupun penggunaan B2
terus meningkat dan bahkan mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, untuk
mencegah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan B2, Pemerintah
mengeluarkan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur
pengadaan B2, baik yang berasal dari lokal maupun impor melalui pengaturan
jenis, pengadaan, pendistribusian, perijinan, pelaporan dan larangannya.
Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011
tentang Perubahan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya
meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor,
yaitu dengan menetapkan verifikasi atau penelusuran teknis impor dan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 2
Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat
peruntukannya, seperti penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B
terutama pada produk pangan olahan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor: 239/Men.Kes/Per/V/85, terdapat 30 jenis zat warna termasuk
Rhodamin-B (C.I. Food Red 15) yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan
dilarang digunakan dalam obat, makanan, dan kosmetika kecuali mendapat izin
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penggunaan Formalin dan
Boraks sebagai bahan tambahan dalam makanan juga secara tegas dilarang
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1168/Men.Kes/Per/X/1999.
Larangan penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan
dengan mempertimbangan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang
disebabkan konsumsi bahan kimia yang membahayakan kesehatan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini penyalahgunaan B2
pada produk pangan semakin banyak terjadi di masyarakat. Dari 251 jenis
minuman yang diambil sebagai contoh di beberapa kota, 8 persen jenis minuman
di Jakarta, 14,5 persen jenis minuman di Bogor, dan 17 persen jenis minuman di
Rangkasbitung terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai pewarna merah
minuman (Winarno, 1994). Hasil penelitian yang dilakukan olef SEAFAST Center
IPB pada tahun 2008 di 4500 Sekolah Dasar dari 79 kabupaten/kota dan 18
propinsi juga menunjukkan bahwa 12,9 persen makanan mengandung formalin
dan 9,7 persen makanan mengandung boraks (Andarwulan, Madanijah &
Zulaikhah, 2011). Lebih lanjut, Andarwulan et.al., (2011) juga menemukan 4
persen sampel minuman mengandung Rhodamin B. Selain Rhodamin-B, survey
juga menemukan penggunaan bahan pewarna buatan lainnya yang dilarang
dalam minuman adalah Methanyl Yellow (3,7 persen) dan Amaranth (5 persen).
Sementara di Bandar Lampung, dari total 90 sampel makanan berupa tahu, mie
basah, ikan dan ikan asin yang diperdagangkan di pasar tradisional dan modern
mengandung formalin (Harian Umum Lampung Post, 13 Januari 2006).
Hasil uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dari mobil
laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17
persen PJAS mengandung B2, berupa boraks, formalin dan rhodamin B. Kondisi
tersebut diatas membuktikan bahwa pengawasan distribusi B2 belum efektif.
Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan, B2 dikemas dalam
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 3
untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang sama
(BPOM,2012).
Penyalahagunaan B2 sebagai bahan tambahan pada pangan ini tentunya
sangat memprihatinkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Salah
satu penyebab timbulnya penyalahgunaan B2 diduga karena bahan berbahaya
mudah diperoleh di pasar. Kemudahan mendapatkan B2 di pasar diduga
disebabkan adanya rembesan pada pengguna akhir. Dugaan lain adalah adanya
peredaran produk B2 di dalam negeri padahal tidak ada produsennya dan tidak
ada data importasinya yang dilakukan dengan cara pengalihan HS dan
penyelundupan. Disamping itu juga, karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian
sebagian masyarakat (produsen dan konsumen) bahwa penggunaan B2 untuk
pangan membahayakan kesehatan manusia. Jika kondisi ini tidak segera
diantisipasi, maka akan berdampak kepada kesehatan masyarakat dan lebih
lanjut dapat mengancam kualitas generasi muda. Penyalahgunaan peredaran B2
juga dapat mematikan potensi produsen yang jujur dan di sisi lain tidak mendidik
produsen pangan yang tidak bertanggung jawab.
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka analisis pengawasan
distribusi B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan
terkait dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di lapangan yaitu
bagaimana pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang
perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi dan Pengawasan B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag
tersebut.
1.2. Tujuan Analisis
a. Mengetahui gambaran pelaksanaan Permendag Nomor:
23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor:
44/M-Dag/Per/9/2009tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2;
b. Mengevaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan
Pengawasan B2;
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 4
1.3. Keluaran Analisis
a. Informasi pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang
perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,
distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.
b. Evaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan
Pengawasan Bahan Berbahaya.
c. Rumusan usulan kebijakan pengawasan Bahan Berbahaya.
1.4. Dampak
Berkurangnya penyalahgunaan B2 di masyarakat dan meningkatkannya
pengawasan B2 dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi
pelaku usaha dalam upaya perlindungan bagi konsumen.
1.5. Ruang Lingkup a. Komoditas
Komoditas B2 yang dianalisis adalah: Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B
dan terdapat indikasi penyalahgunaan.
b. Aspek Kebijakan:
1) Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi
Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang
pada Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya.
2) Kebijakan yang berkaitan dengan B2.
c. Daerah Penelitian:
Penelitian dilakukan di 3 (tiga) daerah yaitu Surabaya (Jawa Timur), Makassar
(Sulawesi Selatan), dan Medan (Sumatera Utara). Adapun dasar
pertimbangan pemilihan daerah tersebut karena merupakan lokasi produsen
B2 dan/atau pelabuhan impor untuk B2 yang ditetapkan dalam Permendag.
d. Responden Penelitian
Responden penelitian adalah: Pelaku usaha yang meliputi produsen, importir
terdaftar (PPI), importir produsen, distributor, pengecer dan pengguna akhir;
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 5
Bahan Pokok dan Barang Strategis, Direktorat Pengawasan Barang Beredar
dan Jasa, YLKI, BPKN, Asosiasi, serta Surveyor impor B2.
1.6. Sistematika Penulisan
Laporan analisis ini terdiri dari enam bab, sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang
dilakukan.
BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang digunakan sebagai referensi dalam kajian ini meliputi
Definisi B2, Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2,
Permendag, dan best practices.
BAB III : Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran,
metode analisis data, lokasi penelitian dan responden, serta
sumber data dan teknik pengumpulan data.
BAB IV : Pelaksanaan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009
tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan
Berbahaya di daerah penelitian.
BAB V : Evaluasi Permendag. Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009
tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan
Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang pada
Permendag Nomor:44/M-Dag/Per/9/2009 tentang
Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Bahan Berbahaya
Menurut Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 Tentang Pengadaan,
Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, yang dimaksud B2 adalah zat,
bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang
dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau
tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.
Zat berbahaya umum juga disebut dengan zat adiktif, yaitu obat serta
bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat
menyebabkan kerja biologi terhambat. Dalam hal ini, penggunaan zat tambahan
dalam produk pangan pun menimbulkan beberapa dampak yang mengganggu
sistem kerja organ tubuh dalam proses metabolisme, sehingga zat tambahan
tersebut termasuk adiktif.
Aturan resmi awal yang dimiliki pemerintah Indonesia terkait B2 tercatat
dalam Staatblad Nomor 377 tahun 1949. Dalam aturan tersebut dijelaskan
bahwa B2 adalah obat-obat disinfeksi, obat-obat pembersihan atau obat-obat
pemusnahan, serta bahan-bahan yang bersifat racun dengan berkomposisi yang
berbahaya terhadap kesehatan manusia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan,
dan pemakaian sendiri bahan-bahan berbahaya tersebut dilarang, kecuali
dengan izin dari pihak yang berwenang.
Pada tahun 1985, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 yang mengatur tentang zat pewarna tertentu yang
dinyatakan sebagai B2 dan dilarang penggunaannya dalam obat, makanan, dan
kosmetik, karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Dalam aturan
tersebut disebutkan 30 zat pewarna yang dianggap sebagai B2, salah satunya
adalah Rhodamin-B.
Sebelumnya pada tahun 1979, Menteri Kesehatan RI juga mengeluarkan
peraturan terkait bahan tambahan makanan (Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 235/Menkes/Per/VI/79), yang kemudian digantikan oleh Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan
Makanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai bahan tambahan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 7
tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2 ini kemudian diperbaharui
melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan.Dari sepuluh
bahan tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2, dua diantaranya
adalah Asam Borat (Borat Acid) beserta senyawanya dan Formalin
(Formaldehyde).
Saat ini, aturan terkait B2 (berkaitan dengan pengadaan, distribusi, dan
pengawasannya) mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 23/M-DAG/PER/9/2011. Dalam aturan tersebut, B2
didefinisikan sebagai:
zat, bahan kima dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. (Pasal 1 ayat 1)
Lebih lanjut dalam peraturan tersebut disebutkan jenis-jenis bahan
berbahaya yang diatur impornya serta distribusi dan pengawasannya. Dalam
pasal 2 ayat 2 peraturan menteri tersebut disebutkan bahwa peninjauan terhadap
jenis-jenis B2 dapat terus dilakukan sesuai dengan perkembangannya.
Bahan berbahaya dikenal juga dengan istilah hazardous materials
(HAZMAT) atau hazardous substances atau dangerous goods di kalangan
internasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Economic
and Social Council (ECOSOC) mengeluarkan suatu rekomendasi terkait praktek
pengangkutan bahan-bahan berbahaya yang lebih dikenal dengan nama UN
Recommendations on the Transport of Dangerous Goods. Dalam rekomendasi
tersebut dijelaskan bahwa B2 adalah zat (termasuk campuran dan larutan) dan
barang-barang yang tergolong ke dalam salah satu dari sembilan kelas bahaya
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 8
Tabel 2.1. Kelas dan divisi bahan berbahaya berdasarkan UN Recommendations on the Transport of Dangerous Goods
Kelas Divisi
1. Bahan peledak 1.1: Zat dan barang yang memiliki bahaya ledakan besar
1.2: Zat dan barang yang memiliki bahaya proyeksi, namun bukan bahaya ledakan besar
1.3: Zat dan bahan yang bisa menimbulkan api dan juga bahaya ledakan kecil atau bahaya proyeksi kecil atau keduanya, tapi tidak memiliki bahaya ledakan besar 1.4: Zat dan barang yang tidak menimbulkan
bahaya signifikan
1.5: Barang yang sangat tidak sensitif, namun memiliki bahaya ledakan besar
1.6: Barang yang sangat tidak sensitif serta tidak memiliki bahaya ledakan besar
2. Gas 2.1: Gas mudah terbakar
2.2: Gas tidak mudah terbakar dan tidak beracun
2.3: Gas beracun 3. Cairan mudah terbakar (flammable
liquids)
-
4. Benda padat yang mudah terbakar; zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar; zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar
4.1: Benda padat yang mudah terbakar, zat yang bisa berekasi sendiri, dan benda padat yang bersifat desentized explosives 4.2: Zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar
(spontaneous combustion)
4.3: Zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar 9. Zat dan bahan berbahaya lainnya,
termasuk zat yang berbahaya bagi lingkungan
-
Sumber: ECOSOC (2002)
Departemen Transportasi Amerika Serikat yang berwenang untuk
mengatur regulasi terkait pengangkutan bahan berbahaya di negara tersebut,
mengacu pada rekomendasi PBB dalam mendefinisikan B2. Bahan berbahaya
atau hazardous material adalah segala zat yang kemungkinan memiliki resiko
berbahaya terhadap kesehatan dan keamanan personel operasional atau
personel darurat, masyarakat umum, dan/atau lingkungan jika tidak dikontrol
dengan baik selama proses perlakuan, penyimpanan, manufakturing,
pemrosesan, pengemasan, penggunaan, pembuangan, atau pengangkutan.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 9
B2 ke dalam sembilan kelas. Selain Amerika Serikat, sejumlah negara lain yang
turut mengadaptasi rekomendasi PBB dalam menyusun aturan pengangkutan
bahan berbahaya adalah Inggris, Australia, New Zealand, dan Malaysia.
Sementara itu, dalam rangka melindungi konsumen (terutama keluarga dan
anak) dari banyaknya risiko bahaya dan kecelakaan akibat produk-produk
konsumen, pemerintah Amerika mengesahkan undang-undang terkait bahan
berbahaya yang dikenal dengan nama Federal Hazardous Act (pertama kali
disahkan pada tahun 1960). Dalam aturan tersebut, bahan berbahaya
(hazardous substance) didefinisikan menjadi lima kelompok:
a. Pertama, bahan berbahaya adalah semua zat yang sifatnya (i) beracun, (ii)
korosif, (iii) menimbulkan iritasi, (iv) sensitizer yang kuat, (v) bahan dan cairan
yang mudah terbakar, (vi) zat yang menimbulkan tekanan akibat dekomposisi,
panas, atau cara lainnya, (vii) serta bahan lain atau campuran
bahan-bahan yang bisa menimbulkan kecelakaan atau penyakit serius saat
digunakan, termasuk bila tercerna oleh anak-anak.
b. Kedua adalah zat yang menurut United States Consumer Product Safety
Commission (US CPSC) termasuk ke dalam salah satu kategori yang
disebutkan pada definisi pertama sebelumnya.
c. Ketiga, setiap zat radioaktif yang termasuk kelas barang tertentu atau sebagai
kemasan, yang ditetapkan berbahaya oleh CPSC, maka wajib menyampaikan
hal tersebut dalam pelabelannya demi melindungi kesehatan publik.
d. Keempat, setiap mainan atau barang-barang lainnya yang diperuntukkan bagi
anak-anak yang memiliki bahaya listrik, mekanis, dan panas.
e. Kelima, setiap solder dengan kandungan timbal melebihi 0.2 persen. Dalam
aturan tersebut dijelaskan bahwa istilah hazardous substance tersebut tidak
meliputi pestisida (sudah diatur Federal Insecticide, Fungicide, and
Reodenticide Act) serta makanan, obat-obatan, dan kosmetik (sudah diatur
dalam Federal Food, Drug, and Cosmetic Act).
Definisi yang dijelaskan dalam Federal Hazardous Substaces Act (FHSA)
terkait B2 tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan definisi B2 dalam
Peraturan Menteri Perdagangan yang telah disebutkan sebelumnya. Namun
secara lebih terinci, FHSA memberikan penjelasan terkait masing-masing sifat
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 10
Tabel 2.2. Penjelasan masing-masing sifat bahan berbahaya yang tertulis dalam Federal Hazardous Substances Act
Sifat Bahan Berbahaya Definisi
Beracun Setiap zat (selain bahan readioaktif) yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan cedera dan sakit pada individu bila dicerna, dihirup, atau masuk ke dalam tubuh melalui bagian tubuh manapun
Sangat beracun a) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut secara oral pada dosis 15 mg atau kurang per kilogram masa tubuh
b) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut untuk dihirup secara terus menerus selama satu jam atau kurang pada tekanan udara normal
c) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok kelinci laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dalam rentang 14 hari ketika kontak langsung dengan kulit selama 24 jam atau kurang Korosif Setiap zat yang bila bersentuhan langsung dengan jaringan
hidup akan menyebabkan kerusakan jaringan tersebut melalui reaksi kimia
Menyebabkan iritasi Setiap zat yang tidak bersifat korosif, namun dalam seketika, menengah, jangka panjang, atau kontak berulang kali dengan jaringan hidup yang normal akan menyebabkan reaksi radang atau iritasi (inflammatory)
Strong sensitizer Suatu zat yang akan memberi dampak terhadap jaringan hidup yang normal melalui efek alergi atau proses
Zat radioaktif Zat yang memancarkan radiasi ionisasi Sumber: FHSA (2007)
2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya
Salah satu penyalahgunaan bahan berbahaya yang umum terjadi dan
menjadi sorotan berbagai pihak adalah penggunaan B2 sebagai bahan
tambahan dalam produk pangan. Sejumlah bahan berbahaya dimanfaatkan oleh
pelaku usaha untuk mengawetkan produk pangan (Formalin dan Boraks),
meningkatkan kualitas fisik (Boraksuntuk kekenyalan), dan juga sebagai pewarna
(Rhodamin-B).
Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B digolongkan sebagai bahan
berbahaya karena berdampak negatif terhadap kesehatan bila dikonsumsi oleh
konsumen. Dampak negatif penggunaan Formalin dalam jangka waktu yang
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 11
inflamasi dan keracunan pada saluran pencernaan pada jangka pendek (EPA
2007). Sementara itu, penggunaan Boraks dalam jangka pendek dapat
menyebabkan gangguan, seperti demam, sakit kepala, dan muntah. Sementara
dalam penggunaan jangka panjang, konsumsi Boraks dapat menyebabkan gagal
ginjal dan berujung pada kematian (CDC, 2010). Walaupun belum ada penelitian
yang cukup mendukung terkait konsumsi Rhodamin-B dengan kanker pada
manusia, namun penelitian pada hewan menunjukkan bahwa zat ini bersifat
karsinogenik.
Dalam laporan kinerja kuartal I tahun 2012, BPOM menyebutkan, dari
9.071 sampel produk makanan yang diuji, sekitar 854 diantaranya masuk dalam
kategori tidak memenuhi syarat (TMS). Sekitar 144 TMS formalin, 223 TMS
boraks, dan 290 TMS Rhodamin B (BPOM, 2012).
Anak-anak menjadi korban paling potensial terkait praktek
penyalahgunaan B2 dalam makanan. Hasil penelitian Andarwulan et al. (2009)
mengenai keamanan jajanan anak sekolah di Indonesia menunjukkan bahwa
sekitar 12,9 persen jajanan yang diuji, positif mengandung Formalin dan 9,7
persen mengandung Boraks, sementara 2,2 persen makanan ringan yang diuji,
positif mengandung pewarna Rhodamin B. Sementara itu, penelitian Punvanti et
al. (2009) di 12 sekolah di Surakarta menunjukkan bahwa sekitar 49 persen
jajanan anak sekolah yang diuji mengandung formalin.
Penyalahgunaan B2 dalam produk makanan bukan hanya terjadi di
Indonesia, tapi juga umum terjadi di negara-negara berkembang. Shashi Sareen
dalam pemaparannya pada acara Food Security Conference tahun 2011
menyoroti permasalahan keamanan pangan di wilayah ASEAN. Salah satu isu
yang paling mengemuka adalah masalah residual dan kontaminan pada
makanan akibat pestisida, logam berat, dan zat kimia berbahaya. Setiap negara
memiliki faktor-faktor risiko utama berkaitan dengan keamanan pangan,
diantaranya penggunaan formalin pada produk tahu dan mie serta pewarna
berbahaya pada jajanan jalanan di Indonesia, penggunaan Boraks dan pewarna
pada produk mie di Malaysia, dan penggunaan Boraks pada produk daging dan
olahannya serta ikan di Kamboja.
Penggunaan formalin untuk produk perikanan juga menjadi fokus
tersendiri di Bangladesh. Penelitian pada tahun 2010 di sejumlah pusat
perbelanjaan di negara tersebut menunjukkan bahwa 42 persen dari 100 sampel
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 12
lima pasar tradisional mengungkap bahwa terdapat sekitar 17 persen sampel
ikan yang mengandung formalin (Sabet 2012).
Konsumen di negara berkembang cenderung menginginkan produk
(terutama makanan) dalam kuantitas yang besar dengan harga yang relatif lebih
murah. Adanya sikap tersebut ditambah dengan pengetahuan konsumen yang
kurang dan semakin diperparah dengan keberadaan sejumlah pelaku usaha
yang menginginkan keuntungan yang lebih melalui cara-cara yang tidak fair.
Hasil penelitian Wikanta (2010) di Surabaya menunjukkan bahwa hampir seluruh
responden menyetujui jika formalin merupakan bahan yang berbahaya dan harus
dilarang untuk pengawetan makanan. Namun, sekitat 72 persen responden
mengaku tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi kandungan formalin
dalam makanan. Hal tersebut diakui responden karena minimnya pengetahuan
penggunaan formalin dan B2 lainnya.
Sementara itu dari sisi kebijakan, maraknya kasus penyalahgunaan
formalin pada produk makanan di Bangladesh dianggap sebagai kegagalan
pasar. Kegagalan tersebut sebagai buntut dari tidak efektifnya pemerintah dalam
menjalankan tugas sebagai regulator (Sebet 2012). Senada dengan penjelasan
tersebut, Chuangchote (2003) menyatakan bahwa tidak adanya harmonisasi
antar pihak yang berwenang dalam menangani masalahan keamanan pangan di
Thailand, menjadi salah satu pokok permasalahan.
2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia
Secara teknis, Formalin (HS 2912.11.00.00) merupakan larutan yang tidak
berwarna dengan bau yang sangat tajam. Di dalam formalin terkandung sekitar
37persen formaldehyde dalam air sebagai pelarut. Biasanya di dalam formalin
juga terdapat bahan tambahan berupa methanol hingga 15 persen sebagai
pengawet. Formalin dikenal luas sebagai bahan antimikrobial atau pembunuh
hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Sementara Boraks (
HS 2840.19.00.00) merupakan senyawa kimia dengan nama Natrium Tetraborat
yang berbentuk kristal lunak. Boraks bila dilarutkan dalam air akan terurai
menjadi natrium hidroksida serta asam borat. Baik boraks maupun asam borat
memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai
ramuan obat misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan
obat pencuci mata. Secara lokal boraks dikenal sebagai 'bleng' dengan bentuk
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 13
biasa dikenal dengan pewarna buatan adalah senyawa kimia yang bersifat toksik
dan karsinogenik atau dapat memicu kanker.
Pengadaan dan distribusi B2 diatur dalam Permendag
Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009
tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam
peraturan tersebut dijelaskan bahwa segala bentuk zat, bahan kimia dan biologi,
baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan
kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang
mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif,
dan iritasi diatur pengadaan dan distribusinya secara ketat oleh pemerintah.
Secara jelas disebutkan bahwa importir, distributor, pengecer, dan perusahaan
pengguna akhir harus memiliki izin dari instansi yang berwenang sehingga
peredaran B2 tidak bisa dilakukan secara bebas.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha B2 meliputi
Produsen (P-B2), importir Terdaftar (IT-B2), Importir Produsen Terdaftar (IP-B2),
Distributor Terdaftar (DT-B2), Pengecer Terdaftar (PT-B2), dan Pengguna Akhir
Terdaftar (PA-B2). Dalam mekanismenya, IT-B2 mengimpor formalin untuk
kemudian mendistribusikannya kepada pengguna akhir dalam hal ini pengguna
yang membutuhkan formalin sebagai bahan baku industrinya, yaitu kepada
DT-B2, PT-DT-B2, dan PA-B2 . Perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 berdasarkan
Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 adalah PT Perusahaan Perdagangan
Indonesia (PPI). Sementara IP-B2 mengimpor formalin untuk digunakan sendiri
sebagai bahan baku industrinya dan hanya diperuntukkan bagi kebutuhan
produksinya sendiri serta tidak dapat diperjual-belikan maupun
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 14 Gambar 2.1. Alur Distribusi B2
Sumber: Kementerian Perdagangan (2012)
Pengaturan tataniaga B2 tidak menjamin keamanan distribusi B2 di
pasaran karena diindikasikan sekitar 3-4 persen dari produksi B2 (formalin)
masuk ke pasar konsumen, terutama industri makanan skala kecil. Kebocoran
formalin ke pasar konsumen dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti
pemanfaatan kelebihan produksi, ketidakpastian biaya usaha penyimpanan di
sektor usaha kecil (UKM) dan lemahnya pengawasan. Dari sisi hulu, P-B2
merupakan produsen yang tidak hanya memproduksi formalin, melainkan
beberapa produk turunan seperti perekat. Namun, P-B2 bisa menyalurkan
produknya ke distributor jika terdapat kelebihan produksi formalin yang tidak
terpakai. Di sektor UKM, insiden kenaikan BBM dinilai dapat memicu
penyalahgunaan formalin karena naiknya biaya produksi es untuk penyimpanan
produk (Media, Industri 2006).
Pada tahun 2005, hanya terdapat 2 (dua) perusahaan yang mendapatkan
pengakuan sebagai IP-B2 adalah PT Chang Chun DPN Chemical Industry dan
PT Resource Alam Indonesia. Sementara pada tahun 2012 terdapat 20
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 15
Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia, 2012
IP-B2 Kapasitas Produksi
(Ton)
PT Arjuna Utama Kimia 23.000
PT Pamolite Adhesive Industry 36.000
PT Superin 36.000
PT Lakosta Indah 28.000
PT Dyno Mugi Indonesia 29.400
PT Batu Penggal Chemical Industry 28.000
PT Kurnia Kapuas Utama Glue Industry 38.000
PT Intan Wijaya Chemical Industry 61.500
PT Dofer Chemical 60.000
PT Sabak Indah 72.000
PT Duta Pertiwi Nusantara 50.000
PT Kayulapis Indonesia (Jateng) 20.000
PT Gelora Citra Kimia Abadi 48.000
PT Kayulapis Indonesia (Irja), 40.000
PT Duta Rendra Mulia 33.500
PT Binajaya Roda Karya 45.000
PT Perawang Perkasa Industry 48.000
PT Belawandeli Chemical 30.000
PT Putra Sumber Kimindo 45.000
PT Orica Resindo Mahakam 35.000
Sumber: Kementerian Perindustrian (2012)
Sementara untuk produksi dalam negeri, produk B2 yang umum
diperdagangkan adalah formalin yang dijual dalam berbagai merek seperti
formol, morbicid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene,
methylene aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan, methylene
glycol, paraforin, polyxymethylene glycols, superlysoform, tetraoxymethylene dan
rioxane. Kapasitas produksi formalin dalam negeri mencapai 800 ribu ton per
tahun namun utilisasinya baru mencapai 40persen atau sekitar 350 ribu ton per
tahun. Beberapa Produsen B2 (P-B2) yang terdaftar pada tahun 2005 antara lain
PT Resource Alam Indonesia, PT Arjuna Kimia, PT Armolaid, PT Sprint, PT Dino
Jaya, PT Dover, PT Uporin, PT Lakobin dan PT Intan Injaya (Media, Industri
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 16
2.4. Hasil Pengawasan B2
Berdasarkan pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait
menunjukkan banyak terjadi permasalahan dalam perdagangan B2. Salah
satunya adalah pelaku usaha mengalami kendala untuk memperoleh SIUP B2
dikarenakan belum terbentuknya tim terpadu di daerah yang bertugas
memberikan rekomendasi untuk penerbitas SIUP B2. Hal ini diduga menjadi
salah satu penyebab terjadinya perdagangan B2 secara ilegal. Di dalam
Permendag diatur sanksi pencabutan ijin bagi pelaku usaha yang
memperdagangkan B2 secara ilegal. Namun pada kenyataan sanksi tidak dapat
diterapkan dikarenakan pelaku usaha yang memperdagangan B2 tidak memiliki
ijin atau kesulitan memperoleh ijin sehingga sanksi yang diberikan hanya BRO
(menjalankan usaha tanpa ijin) atau teguran lisan saja. Permasalah lain adalah
pengelompokan B2, B3 (barang berbahaya dan beracun), dan bahan kimia biasa
yang kurang jelas sehinggga diperlukan penjelasan secara rinci terkait definisi
yang tepat (bentuk, warna, sifat, dan lain-lain). Hasil pengawasan juga
menemukan masih banyak tempat penjualan B2 yang melakukan pengemasan
ulang (re-package) yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai
contoh: minimum kemasan untuk formalin 10 liter, sementara kebutuhan untuk
kremasi hanya 2 liter, sisanya 8 liter tidak jelas penggunaannya. Menurut
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009, yang diperbolehkan untuk melakukan
kemas ulang hanya distributor dan importir.
2.5. Best Practices Pengaturan B2 di Beberapa Negara 2.5.1 Amerika Serikat
Beberapa negara juga menerapkan aturan ketat terkait dengan pengadaan,
produksi, dan pendistribusian B2. Salah satu negara yang menjadi rujukan
pengawasan B2 adalah Amerika Serikat, mengingat Amerika Serikat merupakan
negara yang menerapkan kebijakan yang komprehensif terkait B2. Cahya et al
(2012) menjelaskan bahwa dalam pengaturannya, Pemerintah Amerika
mengelompokkan pengawasan di sisi produksi, distribusi, dan petuntukannya.
Produksi
Dalam pengaturan B2 seperti pewarna, FDA (Food and Drug
Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat)
merupakan pihak yang berwenang dalam mengatur penggunaan bahan pewarna
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 17
medis. Bahan pewarna hanya boleh digunakan sesuai dengan jenis penggunaan
yang telah disetujui, termasuk spesifikasinya serta batasan penggunaannya. FDA
(Food and Drug Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di
Amerika Serikat) membedakan bahan pewarna ke dalam dua golongan, yaitu
golongan bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi dan golongan bahan
pewarna yang dikecualikan dari sertifikasi (tidak memerlukan
sertifikasi/dibebaskan dari sertifikasi).
Dalam proses sertifikasi, FDA mengevaluasi data keamanan pemakaian
untuk memastikan bahwa bahan pewarna yang digunakan telah sesuai dengan
persetujuan yang dikeluarkan. Bahan pewarna tambahan yang dapat
membahayakan hewan, manusia, dan lingkungan tidak dapat digunakan dalam
produk yang dijual di pasar umum. Dalam menjamin keamanan bahan pewarna
yang digunakan dalam makanan, obat, kosmetik, dan alat medis yang dijual di
pasaran, FDA mewajibkan mewajibkan batch sertifikasi untuk semua bahan
pewarna yang tercantum dalam 21 CFR bagian 74 dan 21 CFR bagian 82.
Sementara pengecualian kewajiban batch sertifikasi diberlakukan bagi bahan
pewarna yang tercantum dalam 21 CFR 73.
Berkaitan dengan hal tersebut, bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi
adalah pewarna sintetik yang diproduksi melalui reaksi kimia. Bahan pewarna
golongan ini harus diuji kemurniannya melalui sertifikasi setiap batch-nya,
sebelum mendapat izin untuk dijual ke pasar. Dalam implementasinya, produsen
bahan pewarna mengirimkan contoh dari batch yang akan disertifikasi oleh FDA
untuk dianalisis komposisi dan kemurniannya. Jika memenuhi persyaratan, maka
FDA akan megeluarkan sertifikat dengan kode nomornya dan diberikan nama
baru sesuai dengan penggunaannya. Berdasarkan Federal Food, Drug &
Cosmetic (FD & C) Act of 1938, FDA menetapkan tiga kategori sertifikasi bahan
pewarna, yaitu:
a. FD & C untuk makanan, obat dan kosmetika
b. D & C untuk obat-obatan dan kosmetika
c. External D & C untuk obat-obatan dan Kosmetika untuk pemakaian luar.
Menurut Nutrition Labeling & Education Act tahun 1990, bahan pewarna
bersertifikat tersebut harus dicantumkan dalam penandaan atau label dengan
menggunakan nama yang umum digunakan. itu, menurut Cahya et al (2012),
bahan tambahan pewarna dapat dikecualikan dari sertifikasi jika diperoleh dari
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 18
a. Bahan pewarna alami (natural color). Dalam implementasinya, FDA
menyerahkan sepenuhnya kepada produsen untuk menjelaskan bahwa
bahan pewarna produksinya adalah bahan pewarna alami.
b. Bahan pewarna identik alami (natural identical color) yaitu bahan pewarna
yang diproduksi melalui sintesis kimia, namun tidak diwajibkan sertifikasi oleh
FDA karena dianggap tidak dapat dibedakan dengan bahan pewarna asli
yang diperoleh dari alam, baik perbedaan secara kimia maupun perbedaan
fungsi pemakaiannya. Beberapa contoh bahan pewarna tersebut antara lain:
Beta-carotene yang dibuat secara sintetik dari acetone tidak dapat dibedakan
dengan bahan pewarna Beta-carotene yang diperoleh dari alam seperti
wortel.
Distribusi B2
Pengaturan distribusi B2 tidak terpisah dari pengaturan Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3) yang meliputi limbah B3 dan produk B3. Namun terlihat bahwa
pengaturan limbah B3 terkesan lebih ketat dibandingkan pengaturan B3, karena
pengaturan B3 sudah dilaksanakan sejak lama, dan menjadi standar baku secara
universal, khususnya dalam menangani bahan kimia dan bahan bakar.
Damanhuri (2009) menjelaskan bahwa transportasi B2 di Amerika Serikat diatur
dalam Hazardous Materials Transportation Act yang menjadi wewenang
Kementerian Transportasi (US Department of Transportation). Dalam ketentuan
tersebut diatur bahwadistribusiB2 harus dilengkapi dengan dokumen resmi yang
merupakan legalitas kegiatan pengelolaan, sehingga dokumen ini akan
merupakan sarana atau alat pengawasan dalam konsep cradle-to-grave. Dalam
istilah umum, dokumen tersebut dikenal sebagai shipping papers yang antara
lain terdiri dari:
a. Bagian yang harus diisi oleh penghasil atau pengumpul limbah B3, antara lain
berisi:
Nama dan alamat penghasil atau pengumpul limbah B3 yang menyerahkan limbah B3 Nomor identifikasi (identification number) UN/NA Kelompok kemasan (packing group),
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 19
Tanda tangan pejabat penghasil atau pengumpul, dilengkapi tanggal, untuk menyatakan bahwa limbahnya telah sesuai dengan keterangan
yang ditulis serta telah dikemas sesuai peraturan yang berlaku.
Bila pengisi dokumen adalah pengumpul yang berbeda dengan penghasil, maka dokumen tersebut dilengkapi dengan salinan penyerahan limbah
tersebut dari penghasil limbah.
b. Bagian yang harus diisi oleh pengangkut limbah B3, antara lain berisi: Nama dan alamat pengangkut limbah B3
Tanggal pengangkutan limbah
Tanda tangan pejabat pengangkut limbah
c. Bagian yang harus diisi oleh pengolah, pengumpul atau pemanfaat limbah
B3, antara lain berisi:
Nama dan alamat pengolah atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3 Tanda tangan pejabat pengolah, pengumpul atau pemanfaaat, dilengkapi
tanggal, untuk menyatakan bahwa limbah yang diterima sesuai dengan
keterangan dari penghasil dan akan diproses sesuai peraturan yang
berlaku
Jenis limbah dan jumlahnya Alasan penolakan
Tanda tangan pejabat pengolah atau pemanfaat dan tanggal pengembalian
d. Apabila limbah yang diterima ternyata tidak sesuai dan tidak memenuhi
syarat, maka limbah tersebut dikembalikan kepada penghasil, disertai
keterangan bahwa surat-surat dokumentasi pengangkutan tersebut
ditempatkan di kendaraan angkut sedemikian rupa sehingga mudah didapat
dan tidak tercampur dengan surat-surat lain. Penghasil limbah B3 akan
menerima kembali dokumen limbah B3 tersebut dari pengumpul atau
pengolah paling lambat dalam 120 hari sejak limbah tersebut diangkut untuk
dibawa ke pengumpul atau pengolah.
1.5.2 Thailand
Pengawasan peredaran B2 di Thailand diatur dalam undang-undang
Kerajaan Thailand tahun 2535 BE (1991 M) yang ditetapkan oleh Raja Bhumibiiol
Adulyadej Rex tanggal 29 Maret 2535 BE (1991 M). Dalam UU tersebut
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 20
berbagai bahan, yaitu: (1) bahan eksplosif, (2) bahan mudah terbakar
(flammable), (3) peroksida dan agen oksidising (oxidizing agent), (4) bahan
toksik, (5) bahan penyebab penyakit, (6) bahan radioaktif, (7) bahan penyebab
mutant, (8) bahan korosif, (9) bahan iritatif, dan (10) bahan lainnya baik kimia
ataupun lainnya yang menyebabkan bahaya bagi manusia, hewan, tanaman,
property, atau lingkungan.
Dalam UU tersebut pasal 6, dibentuk sebuah komite yang disebut
Committee on Hazardous Subtance yang terdiri dari: sekretaris tetap dari
Kementerian Industri sebagai Ketua Komite, Direktorat Jenderal pada
Departemen Perdagangan dalam Negeri, Direktorat Jenderal pada Departemen
Pelayanan Kesehatan, Direktorat Jenderal pada Departemen Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal pada Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal pada
Departemen Penyuluhan Pertanian, Sekretaris Jenderal dari Badan Lingkungan
Nasional, Sekretaris Jenderal dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan,
Sekretaris Jenderal dari Kantor Tenaga Atom untuk Perdamaian, Sekretaris
Jenderal dari Kantor Lembaga Standardisasi Industri dan perwakilan dari
Kementerian Pertahanan, serta tidak lebih dari tujuh orang tenaga ahli (pakar)
yang ditugaskan oleh Kabinet. Ketujuh tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kabinet
harus memiliki ekpertise, bekerja, dan memiliki pengalaman dalam bidang
cabang ilmu kimia, sains, rekayasa, ilmu pertanian, atau hukum, dan paling tidak
dua di antaranya yanag ditunjuk bekerja pada lembaga yang memiliki
kepentingan dalam perlindungan kesehatan atau lingkungan. Sekretariat dari
Komisi Bahan Berbahaya ini bekerja di bawah kontrol, dukungan, dan
pengawasan dari menteri-menteri terkait, yaitu Menteri Pertanahan, Menteri
Pertanian dan Koperasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan Publik,
Menteri Sains, Teknologi, dan Lingkungan, serta Menteri Perindustrian.
Secara umum, kewenangan dan tugas dari Komisi Bahan Berbahaya ini
adalah untuk memberikan pendapat, nasehat dan pertimbangan kepada
kementerian perindustrian dan/atau instansi lainnya terkait produksi, impor,
ekspor dan kepemilikan jenis-jenis B2, penyediaan informasi, pendaftaran dan
penerbitan ijin, pengawasan, dan hal-hal lain terkait dengan B2 yang sesuai
dengan tugas dan kewenangan sesuai dengan undang-undang. Keberadaan
komisi ini tentunya lebih bersifat pemberian nasehat dan pertimbangan kepada
kementerian atau lembaga terkait sebagai pelaksana di lapang. Sebagai contoh,
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 21
menerbitkan dalam lembaran negara secara jelas daftar B2 yang dalam proses
produksinya dan sifatnya dapat menyebabkan kecelakaan yang membahayakan.
Bahan berbahaya dikelompokkan dalam 4 (empat) jenis, yaitu (1) B2 yang
produksi, impor, ekspor atau kepemilikannya harus memenuhi criteria dan
prosedur spesifik; (2) B2 yang produksi, impor, ekspor atau kepemilikkannya
harus sebelumnya diberitahukan kepada instansi berwenang dan harus
memenuhi criteria dan prosedur spesifik; (3) B2 yang produksi, impor, ekspor,
atau kepemilikannya harus mendapatkan ijin; dan (4) B2 yang produksi, impor,
ekspor, atau kepemilikannya dilarang. Kementerian Perindustrian dengan
pertimbangan dari Komisi Bahan Berbahaya memiliki kewenangan untuk
mempublikasikan dalam lembaran negara mengenai nama-nama atau kualifikasi
dan jenis bahan berbahaya, cara mendapatkan ijin dan lembaga yang
bertanggungjawab dalam pengawasannya.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 22
BAB III METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran
Pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 dewasa ini semakin meningkat
baik jenis maupun jumlahnya serta mudah diperoleh di pasaran. Kondisi tersebut
menyebabkan terjadi penyalahgunaan yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap kesehatan, keamanan dan keselamatan manusia, hewan,
tumbuhan-tumbuhan serta lingkungan hidup. Sebagai upaya untuk meningkatkan
pencegahan penyalahgunaan B2, diperlukan kebijakan yang berkaitan dengan
aspek pengadaan, pengedaran, penjualan dan pengawasan bahan berbahaya
yang berasal dari dalam negeri dan impor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut pemerintah menetapkan Peraturan
Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang pengadaan, distribusi dan
pengawasan bahan berbahaya dan dirubahn dengan Pemendag Nomor
23/M-Dag/Per/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009.
Berdasarkan kedua Permendag ini dan ketentuan peraturan turunannya,
dilakukan pengaturan pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya.
Namun demikian, ada indikasi bahwa pelaksanaan ketentuan peraturan ini belum
bisa menjamin sepenuhnya pengurangan penyalahgunaan bahan berbahaya,
khususnya Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B untuk pangan.
Penyalahgunaan B2 untuk keperluan pangan berkaitan dengan aspek
ketersediaan dan aspek permintaan. Kemudahan untuk mendapatkan B2 yang
murah untuk keperluan industri pangan, khususnya industri mikro dan kecil, ada
kaitannya dengan sistem pengadaan dan distribusi yang masih memiliki
kelemahan. Pengawasan terkait dengan pengadaan dan distribusi B2 masih
belum bisa dilaksanakan secara efektif, karena sistem pengadaan dan distribusi
yang masih kurang baik, serta tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam
melaporkan jumlah pengadaan dan penjualannya yang masih relatif rendah.
Sementara itu, industri pangan terdorong untuk menggunakan B2 secara
ilegal karena harga yang relatif terjangkau dan ketidakpedulian akan dampak
buruk penggunaan dan konsumsi bahan pangan yang mengandung B2.
Pengguna akhir lebih mementingkan keuntungan dan kurang mengindahkan
dampak kesehatan dan keselamatan konsumennya.
Berkembangannya perdagangan B2 dewasa ini mendorong diperlukannya
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 23
pengadaan, distribusi dan pengawasan B2, serta memperkecil kemungkinan
penggunaan B2 untuk keperluan yang tidak semestinya. Dengan menggunakan
Regulatory Impact Anaysis (RIA) yang menganalisis dampak Sosial Ekonomi dan
Kelembagaan dan dampak Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan serta melihat
manfaat dan Biaya Langsung diharapkan menghasilkann rekomendasi kebijakan
B2 yang lebih komprehensif (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
3.2 Lokasi Kajian dan Responden
Untuk menggali data dan informasi tentang pengadaan,
pendistribusian dan pengawasan B2 dilakukan survey kepada pelaku usaha
dan instansi yang terkait. Lokasi kajian dilakukan di Medan, Surabaya,
Makassar dengan pertimbangan daerah-daerah tersebut merupakan pusat
distribusi, perdagangan dan industri B2.
pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 terus meningka serta mudah
diperoleh di pasaran;
penyalahgunaan peruntukan yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap K3L
Permendag No.44/M-DAG/PER/9/2009
PENGADAAN DISTRIBUSI PENGGUNAAN
PENGAWASAN
RIA
RIA
EVALUASI
PERMENDAG
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 24
Selanjutnya, pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti teknik
snowball dengan menelusuri simpul pemasaran mulai dari pelaku sampai
simpul ke pedagang pengecar dan pengguna akhir B2.
3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam analisis ini dilakukan dengan cara
survei dan observasi lapangan kepada responden di daerah penelitian
dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan serta melakukan
wawancara langsung secara mendalam (in depth). Pertanyaan dikembangkan
untuk mendalami berbagai hal yang belum tertangkap melalui kuesioner.
Selain survey, pengambilan data dan informasi juga akan dilakukan melalui
Diskusi Terbatas (konsultasi publik) untuk menggali dan mencari solusi dari
permasalahan yang ada dalam penerapan kebijakan pengawasan B2. Dalam
Diskusi Terbatas ini akan diundang para pemangku kepentingan yang terkait
dengan B2.
Metode yang digunakan dalam penentuan responden adalah
purposive sampling (metode pemilihan dengan cara sengaja memilih
sampel-sampel tertentu karena memilki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki sampel-sampel
lainnya) pada pelaku usaha yang memperdagangkan Formalin, Boraks dan
Rhodamin-B.
Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer terdiri dari harga B2 dari setiap simpul pemasaran,
biaya pemasaran, jumlah pelaku usaha pada saluran pemasaran dan
implementasi Permendag. Data Primer diperoleh dari wawancara langsung
dengan responden yaitu produsen, distributor, pengecer, industri pengolahan
B2. Data sekunder yang dikumpulkan adalah produksi serta kebijakan terkait
komoditas tersebut. Sumber data Sekunder tersebut diperoleh melalui
pendekatan Desk Study (review dokumenter) dan data dari instansi yang
terkait, seperti BPS, BPOM, Kementerian Perindustrian dan lainnya.
3.4 Metode Analisis
Analisis data dan informasi permasalahan terkait kebijakan B2
merupakan bagian penting dari suatu analisis kebijakan. Selanjutnya, analisis
kajian ini menggunakan metode Regulation Impact Analysis (RIA) untuk
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 25
atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan
Pengawasan Bahan Berbahaya.
Bappenas (2011) menyatakan bahwa metode RIA merupakan salah
satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas suatu kebijakan pemerintah. Metode RIA ini merupakan proses
analisis dan pengkomunikasian secara sistematis berbagai aspek dalam
penetapan dan pelaksanaan sebuah kebijakan, baik yang berbentuk
peraturan maupun non-peraturan, yang sudah ada maupun kebijakan baru.
Dalam kajian ini, kebijakan yang akan dianalisis merupakan kebijakan yang
sudah ada berupa Peraturan-Peraturan Menteri Perdagangan tentang
Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya (Nomor:
44/M-DAG/PER/9/2009 dan Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011). Proses dalam
pelaksanaan metode RIA dijelaskan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Proses Pelaksanaan Regulatory Impact Assessment (RIA) Sumber: Kementerian PPN/BAPPENAS (2009)
Sebagai suatu proses, pelaksanaan metode RIA dilakukan melalui
berbagai tahapan (langkah), yaitu:
1. Identifikasi dan analisis masalah terkait dengan kebijakan
Dalam tahapan identifikasi dan analisis masalah ini, pengambil kebijakan