• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK KEKUASAAN PENDIDIKAN id. odc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK KEKUASAAN PENDIDIKAN id. odc"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK, KEKUASAAN, PENDIDIKAN

Oleh

Fridiyanto

A. Konsep Politik dan Kekuasaan 1. Kekuasan Menurut Pemikir Barat

Jika merujuk filsuf Barat, konsep kekuasaan akan menjadi sangat berbeda dari ulasan para filsuf Islam klasik. Jika dirunut lebih jauh lagi, sebenarnya konsep kekuasaan telah dipikirkan para Filsuf Yunani. Plato pernah mengemukakan pemikirannya mengenai seorang penguasa haruslah seorang filsuf, karena filsuf dengan kekuatan akal dan pikirannya akan mampu menyelesaikan masalah masyarakat.

Pada perkembangan filsafat kekuasaan dan politik di dunia Barat banyak memunculkan pemikir politik. Misalnya filsuf dari Italia, Nicollo Machiavelli yang konsep pemikirannya mengenai kekuasaan dan politik banyak mempengaruhi dunia. Machiaveli banyak menyarankan kepada para penguasa mengenai kekuasaan dan politik dalam bukunya Il Principe dan Prince. Begitu besarnya pengaruh filsafat Machiavelli dalam perpolitikan dunia, sehingga para pemimpin yang otoriter, culas, dan licik sering disebut sosok pemimpin Machiavelis. Sebutan ini bermakna negatif, sesuai yang disarankan Machiavelli mengenai pemimpin bisa melakukan apa saja demi kekuasaannya.

Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua hal yang terpisah. Moral hanya merupakan strategi kekuasaan dan demi mempertahankan legitimasi kekuasaan. Kekuasaan merupakan praktek berbagai upaya yang dilakukan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan.1 Prinsip utama Machiavelli

(2)

hal terpenting dari tindak tanduk seorang pemimpin adalah lakukan apa saja untuk merebut, memperluas, dan mempertahankan kekuasaannya.

Selanjutnya filsuf asal Perancis Michel Foucault banyak menyumbangkan pemikirannya dalam filsafat kekuasaan, terutama relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan yaitu dapat menentukan dan menetapkan pengetahuan dan tipe-tipe diskursus, serta menentukan benar dan salah.2 Michel Foucault melihat kekuasaan sebagai wacana, dimana penguasa

harus mampu memaksa untuk mengetahui dan menggunakan wacana, maka wacana tersebut menerapkan kekuasaan. Maka seorang penguasa harus memproduksi wacana yang mengarahkan apa yang dipikirkan oleh sub ordinan.3

Foucault melihat kekuasaan dengan menekankan pada wacana sebagai alat kekuasaan. Kekuasaan atau sebuah kelompok dominan didirikan melalui wacana, dan kekuasaan memiliki pengaruh. Melalui wacana, kekuasaan bisa mempengaruhi pemikiran masyarakat dalam sebuah upaya melestarikan sebuah kekuasaan. Wacana yang disebarkan sebuah kekuasaan akan membangun sebuah ketidakadilan dan ketidaksetaraan

Bagi Foucault kekuasaan hanya bisa dipertahankan dengan penguasaan wacana yang bersifat revolution from above,4 seorang penguasa harus mampu menghegemoni, dan mendominasi publik. Selanjutnya kekuasaan mempunyai hubungan dekat dengan pengetahuan, karena kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Maka dengan pengetahuan tersebut penguasa bisa membentuk sebuah dominasi rezim yang berdasarkan pengetahuan.

Foucault menyebutnya sebagai serious speech act, dimana setiap wacana yang disampaikan kepada publik sesungguhnya telah dirancang sedemikian rupa oleh 2 M. Abdul Hamid. Konstruk Nahwu dalam Konteks Politik: Perdebatan Madrasah Basrah dan Kufah. (Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

3 Pip Jones, Introducing Social Theory, terj. Achmad Fedyani Saifuddin, Pengantar Teori-teori Fungsionalisme Hingga Post Modernisme. (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010), hlm. 202-203.

(3)

kelompok ahli untuk kepentingan penguasa. Sehingga publik akan mengikuti apa yang diberikan oleh penguasa. Foucault menjelaskan konsep kekuasaannya ini dalam buku Discipline and Punish5 . Foucault mengibaratkan sebuah organisasi sebagai rumah sakit jiwa, disini publik diibaratkan sebagai pasien dan penguasa diibaratkan seorang dokter. Artinya seorang penguasa selalu benar atas tindakannya kepada rakyat.

Posisi publik sebagai pasien harus mematuhi wacana atau apa saja yang diberikan oleh dokter. Benar sekali pun yang dilakukan oleh pasien tetap saja dokter memiliki kewenangan untuk menyatakan itu salah. Dengan kesadaran dan pengetahuan maka dokter dapat mengendalikan pasien sakit jiwa. Maka apa yang terjadi di rumah sakit jiwa yang terjadi adalah relasi antara dokter dan pasien. Dalam konteks organisasi, seorang penguasa harus mampu mengendalikan anggotanya dengan pengetahuan yang dimilikinya dan di dukung oleh rezim pengetahuan.

Sedangkan Anthony Gramsci menawarkan bahwa supremasi wacana bisa dalam bentuk dua cara berbeda; Dominasi (dominio) atau Paksaan dengan cara militeristik, dan Kepemimpinan Moral Inteletual (direzione intelletule morale). Dalam konsep “kuasa pengetahuan” Gramsci dan Foucault memiliki kesamaan, bahwa dengan pengetahuan seorang penguasa akan mampu menguasai publik. Gramsci juga memiliki kesamaan dalam memandang bahwa wacana melalui media adalah alat kekuasaan. Gramsci mengatakan bahwa media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Konsep ini disebut Gramsci sebagai hegemoni, yaitu yang kuat mendominasi yang lemah atau pemaksaan cara pandang melalui ideologi, hegemoni ini berlangsung secara sadar maupun tidak sadar

Jika dilihat dalam perspektif Marxisme yang pernah (dan masih) menjadi landasan perjuangan komunisme internasional mau pun komunisme nasional .

(4)

Bahwa kekuasaan merupakan pertarungan kelas antara kelas proletariat dan kaum borjuis yang di dalam dua strata sosial ini terdapat ideologi komunisme dan kapitalisme. Bagi kelompok proletariat yang dikuasai oleh kelompok kapitalis borjuis maka mereka harus merebut kekuasaannya mau pun sistem pemerintahan dengan melakukan pertentangan kelas hingga sampai pada tahap revolusi atau perebutan kekuasaan dan menguasai pemerintahan sehingga dibentuklah sistim diktator proletariat.

Untuk merebut kekuasaan menurut Marx, dibutuhkan konflik kelas dan terjadinya transformasi radikal (revolusi).

“Pada tahap tertentu perkembangannya, kekuatan-kekuatan material produksi di dalam masyarakat mulai mengalami konflik dengan relasi-relasi produksi yang sudah ada atau-sesuatu yang tak lebih dari ungkapan persoalan yang sama-berkonflik dengan relasi-relasi kekayaan yang menjadi wahana kerja bagi kekuatan material tersebut. Dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan produksi, relasi tersebut berubah menjadi belenggunya. Kemudian terjadilah masa revolusi sosial. Seiring dengan perubahan landasan ekonomi, seluruh suprastruktur raksasa nyaris mengalami transformasi secara pesat.” 6

Anthony Giddens menjelaskan bahwa Marx menghubungkan kekuasaan dengan perpecahan dan pembagian kepentingan di antara kelas.7 Kekuasaan

berkaitan dengan konflik. Bagi Marx umat manusia yang berada dalam lingkungan-lingkungan yang didominasi harus mengobarkan perjuangan dan menciptakan konflik dengan penguasa yang mendominasi. Pada saat sistem kekuasaan diktator proletariat berdiri maka kelas pekerja menguasai segala bentuk sumber daya dan membuat kelompok borjuis dan kapitalis harus patuh dalam sistem yang mereka bangun, atau bisa dikatakan tidak ada lagi kelas, selain kelas pekerja yang berkuasa.

Giddens menyebut kekuasaan sebagai Dialektika Kontrol dalam sistem sosial, yang menyatakan bahwa para aktor sosial mengetahui, dan harus mengetahui,

6 Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy dalam Anthony Giddens,

Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial.

(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 289.

7 Anthony Giddens. Teori Strukturasi: Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat.

(5)

banyak perihal situasi atau lingkungan tindakan mereka, dapat dihubungkan dengan dominasi dan kekuasaan.8 Giddens coba menjelaskannya dengan konsep

birokrasi nya Max Weber. Weber menjelaskan bahwa dalam birokrasi terjadi “pengerucutan” menuju puncak sedemikian rupa sehingga terjadi kemajuan birokratisasi sedikit banyak berarti penurunan progresif dalam hal otonomi tindakan bagi orang-orang yang menduduki eselon lebih rendah.

2. Kekuasaan dan Politik

Mendikusikan kekuasaan tidak bisa terlepas dari kata politik. Karena melalui politik lah kekuasaan bisa direbut (diperoleh), diperluas, dan dipertahankan. Setiap proses kekuasaan tersebut selalu melakukan proses atau pun strategi-strategi politik agar orang yang ingin dipengaruhi dapat mengikuti kehendak penguasa. Seseorang yang memiliki kekuasaan penuh sekali pun atau seorang diktator, tetap harus melakukan rumusan dan strategi politik.

Kata “politik” sering dimaknai bahkan sudah menjadi citra publik merupakan sebuah kata yang tendensi negatif. Bahkan di Amerika muncul sebuah ungkapan “politik adalah kata yang paling kotor.” Politik mengesankan kepada tindakan-tindakan yang tidak bermoral dan bahkan mengabaikan manusia dan rasa kemanusiaan. Walau pun sebenarnya ketika dimaknai otensitas politik sebagaimana yang dikatan seorang Filsuf Jerman, Hannah Arendt bahwa politik itu semestinya mampu membuat orang berempati, memahami orang lain, dan sanggup keluar dari kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya untuk merasakan dan merespon apa yang di inginkan orang di luar dari dirinya. Jadi sebenarnya tidak ada yang salah dengan kata politik dan setiap aktifitas politik, jika itu dimaknai untuk kebaikan bersama dalam sebuah organisasi. Bahkan dengan aktifitas politik semestinya, individu atau pun kelompok dapat memperlihatkan kepedulian dan empatinya kepada individu atau kelompok di luar dirinya. sebagaimana makna karta politik itu sendiri seperti dalam Kamus Webster mendefinisikan politik “the art or science concerned with guiding or influencing...policy....with winning and holding control..(and) competition

(6)

between competing interest groups or individuals for power and leadership”.9

Dapat dilihat bahwa politik adalah seni atau ilmu yang mempelajari dan mempengaruhi dengan memenangkan dan mengendalikan persaingan antara individu atau kelompok kepentingan untuk kekuasaan dan kepemimpinan.

Dapat dilihat bahwa hubungan antara politik dan kekuasaan adalah bahwa aktifitas politik merupakan upaya untuk merebut kekuasaan. Jika dimaknai dalam organisasi, bahwa politik organisasi adalah upaya individu dan kelompok kepentingan untuk memperjuangkan kepentingan masing masing dengan berusaha merebut pengaruh melalui kekuasaan yang para aktor miliki.

Kekuasaan adalah kapasitas untuk merubah sikap dan perilaku orang lain dalam bentuk yang diinginkan.10 Steven McShane dalam bukunya Organizational Behavior menggambarkan kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok orang untuk mempengaruhi lainnya.11 Dalam teori perilaku organisasi

dipandu oleh rasional, alasan rasional untuk tujuan kepentingan organisasi lebih lanjut. Dalam praktiknya perilaku organisas dimotivasi dan dipandu oleh politik organisasi sebagai individu dan kelompok yang berusaha untuk memiliki jalan sendiri untuk tujuan dan kepentingannya.12

Menurut Max Weber kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka hubungan-hubungan sosial untuk melaksankan keinginan seseorang. Sungguhpun terdapat tantangan dan tidak tergantung pada dasar-dasar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.13 Menurut Marx dan Engel kelas yang berkuasa disetiap

9Webster’s ninth New Collegiate Dictionary. Springfield, MA: Merrriam Webster,1985

10 Jerald Greenberg, dan Robert A. Baron. Behavior Organizations. (Sixth Edition, London: Prentice Hall, 1995), hlm. 402.

11 EEM. Rawes, “Power, Influence& Politics in the Workplace”,

http://smallbusiness.chron.com/power-influence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal 19 Oktober 2014

12 Randal B. Dunham dan John L, Pierce, Management. (USA: Scott, Foresman and Company, 1989), hlm. 545-546.

(7)

zaman sekaligus adalah ide yang berkuasa. Artinya, kelas yang menguasai kekuatan intelektual masyarakat yang bersangkutan.14 Sementara Antonio Gramsci

mengatakan bahwa kekuasaan bisa dilakukan dengan kekuatan militer mau pun intelektual. Jika menggunakan kekuatan militer, maka lebih cendrung kepada intimidasi, berbeda jika kekuasaan diperoleh dengan kekuatan intelektual, maka hal itu bisa disebut dengan hegemoni.

Robert Dahl mendefenisikan kekuasaan sebagai A memiliki kekuasaan meliputi B untuk memperluas yang dia bisa dapat dari B untuk melakukan sesuatu walau pun B tidak ingin lakukan.15 Istilah kekuasaan menurut Dahl yaitu

mencakup kategori hubungan kemanusiaan yang luas, seperti hubungan yang berisi pengaruh, otoritas, dorongan, kekerasan, tekanan dan kekuatan fisik.16

Memahami konsep kekuasaan dari Dahl ini, yaitu kekuasaan adalah antara dua orang atau lebih. Kekuasaan tidak dimiliki secara mudah. Individu atau kelompok harus mampu mengatasi individu atau kelompok lain terlebih dahulu untuk memperoleh kekuasaan. Selain itu Dahl menjelaskan bahwa kekuasaan mengacu pada kapasitas seseorang individu untuk merubah sikap atau tindakan individu yang lain. Dalam hubungan kekuasaan satu individu dapat mempengaruhi pemikiran yang lain, atau mengendalikan perilaku individu lain.

Kekuasaan dapat dilihat ketika individu mempunyai wewenang untuk menilai, menghargai dalam organisasi, maka dapat dikatakan dia memiliki kekuasaan. Disisi lain pemiliki kekuasaan juga mampu memberikan sanksi atau hukuman kepada anggotanya.

Kekuasaan dan politik memainkan peran penting dalam bisnis, dari mengatur bagaimana keputusan dibuat hingga bagiamana atasan berinteraksi dengan satu sama lain. Dalam bisnis apakah itu hal besar atau hal kecil, pengaruh kekuasaan

14, hlm. 588.

15 Robert Dahl (1957) dalam Linda K. Stroh et.al, Organizational Behavior: A Management Challenge. Third Edition. (London: Lawrence Erlbaum Associates, 2002), hlm.193.

(8)

bergantung pada apakah atasan menggunakan positif atau negatif kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain di tempat kerja. Politik berpengaruh langsung terhadap yang memiliki kekuasaan dan membatasi apakah keseluruhan budaya di empat kerja mendukung produktivitas.17

Kekuasaan yang positif dalam organisasi mampu mendorong produktivitas. Misalnya dengan memberikan anggota kekuasaan untuk mengambil keputusan, penghargaan kepada anggota terhadap kinerjanya. Kekuasaan positif akan memberikan kepercayaan diri dan motivasi kepada anggota untuk bekerja lebih baik. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun komunikasi yang baik dan menghargai anggotanya. Ketika seorang pemimpin tidak memiliki penghargaan kepada anggotanya maka ini merupakan kekuasaan yang negatif.18 Olehkarena itu

organisasi harus membangun kekuasaan dan politik yang positif di organisasi agar dapat mendorong produktifitas. Iklim kolaborasi dan sistim perintah yang jelas akan memperkecil peluang konflik organisasi.

3. Sumber Kekuasaan

Kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain, dan sebagai suatu fenomena yang memiliki berbagai bentuk. Kekuasaan memiliki beberapa sumber, yaitu di samping dimiliki oleh orang yang memiliki kewenangan resmi dan kekuatan fisik (senjata) mau pun ekonomi.19 Kejujuran moral yang tinggi dan pengetahuan dapat pula menjadi

sumber timbulnya kekuasaan. Kekuasaan cendrung cendrung membuat orang yang memilikinya selalu ingin mempertahankannya bahkan memperluasnya.

17Stacy Zeiger. The Impact of Power and Politics in Organizational Productivity.

http://smallbussiness.chron.com/impact-power-politics-organizational-productivity-35942.html

Diakses 16 Oktober 2014

18Ibid

(9)

Setiap orang menginginkan posisi atas atau posisi tertinggi di sebuah organisasi dimana tempatnya mengaktualisasikan diri. Motif berada pada level atas ini tidak hanya bermotif ekonomi, tetapi juga kepada motif akan kekuasaan itu sendiri.20 Jennifer M. George membagi dua jenis kekuasaan, yaitu Kekuasaan

Individual Formal dan Kekuasaan Individual Informal. Kekuasaan individual formal adalah kekuasaan dalam sebuah organisasi hirarkis yang diperoleh individu dalam organisasi. Mereka menerima tanggung jawab formal untuk menjalankan tugas-tugasnya. Sementara organisasi memberikan otoritas formal untuk memanfaatkan orang dan sumber daya organisasi agar dapat sukses menjalankan kewajibannya.21 Sementara Kekuasaan Individual Informal

merupakan kekuasaan dari karakteristik personal seperti personaliti, keahlian, dan kapabilitas.22

Kekuasaan Individual formal bersumber dari hal sebagai beikut:

1. Legitimasi kekuasaan. Kekuasaan untuk mengendalikan dan menggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.

2. Reward power. Kekuasaan diberikan berdasarkan promosi, penghargaan, proyek-proyek penting.

3. Coercive power. Kekuasaan yang diberikan untuk memberi sanksi

4. Kekuasaan Informasi. Kekuasaan yang diperoleh dari keleluasaan mengakses dan mengendalikan informasi.23

Sedangkan Kekuasaan Individual Informal bersumberkan dari:

20 EEM. Rawes, “Power, Influence& Politics in the Workplace”

http://smallbusiness.chron.com/power-influence-politics-workplace-19058.html diakses tanggal 19 Oktober 2014.

21 Jennifer, op.cit, hlm, 409

22 Ibid, hlm, 411.

(10)

1. Kekuasaan ahli. Kekuasaan yang bersumberkan dari kekuataan dan kemampuan dari keahlian yang dimiliki individu.

2. Referent power. Kekuasaan yang diperoleh berdasarkan pengaruh di kelompok karena disukai, dihargai, dan dihormati.

3. Kekuasaan kharismatik. Kekuasaan berdasarkan persoanlitas, penampilan fisik, dan kecakapan indiviu yang membuat orang mempercayainya.24

Sementara French dan Raven merumuskan sumber kekuasaan sebagai berikut:

1. Kekuasaan personal. Kemampuan pemimpin untuk mengembangkan pengikut dari kekuatan personalitas mereka.

2. Kekuasaan ahli. Kemampuan untuk mengendalikan perlaku orang lain karena memiliki pengetahuan, pengalaman, yang tidak dimiliki orang lain, namun dibutuhkan.

3. Kekuasaan legitimasi. Pengesahan otoritas hak.

4. Kekuasaan penghargaan. Posisi dimana seorang manajer dapat menggunakan penghargaan intrinsik dan ekstrinsik untuk mengendalikan orang lain.

5. Kekuasaan Koersif. Posisi dimana manajer dapat memberikan hak atau memberikan hukuman untuk mengendalikan orang lain.25

4. Konsep Politik Pendidikan

Hubungan antara politik dengan pendidikan bukanlah suatu hal yang baru. Sejak zaman Plato dan Aristoteles, para filsuf dan pemikir politik telah

24Ibid, hlm. 412.

25 Roy E. Belen dalam Dominica R. Lorbes. Influence, Power & Politics in the Organisation.

(11)

memberikan perhatian yang cukup intens dalam politik pendidikan.26 Selanjutnya

Azra mengutip penegasan para filsuf mengenai politik pendidikan “As is the state, so is the school” (“sebagaimana negara, seperti itulah sekolah”), atau “What you want in the state, you must put in the school” (“apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan ke sekolah”)27

Tilaar membuat Tiga Belas Garis Besar peran negara dalam pendidikan: (1) Pemerataan pendidikan;(2)Kualitas;(3) Proses pendidikan;(4)Manajemen; (5)Metodologi;(6) Pelaksanaan; (7) Perubahan sosial; (8) Perkembangan demokrasi; (9) Perkembangan sosial ekonomi masyarakat sekitar; (10) Perkembangan nilai moral dan agama; (11) Nasionalisme; (13) Pelaksanaan wajib belajar 9-12 tahun.28

Dapat dilihat bagaimana pentingnya pendidikan bagi pemerintah untuk mengelola kekuasaanya, sehingga perlu dilakukan intervensi ideologis, agar apa yang berlangsung di sekolah sesuai dengan ideologi negara atau kehendak seorang penguasa politik. Olehkarena itu pemerintah atau penguasa politik merasa penting untuk mengeluarkan kebijakan, terlepas dari apakah kebijakan tersebut baik untuk sekolah atau bahkan berdampak buruk bagi keberlangsungan lembaga pendidikan secara khusus atau pendidika umumnya.

a. Pengertian Politik Pendidikan

Kata “politik” pertama kali diperkenalkan oleh Plato dalam bukunya

Republik. Kemudian Aristoteles juga membahas politik dalam bukunya Politeia.29 Dalam kamus Webster politik adalah “the art or science concerned with guiding or influencing...policy....with winning and holding control..(and) competition between competing interest groups or individuals for power and leadership”.30

26 Azra, Op.cit. Pendidikan Islam...,hlm.61.

27Ibid, hlm.61.

28 H.A.R. Tilaar. Op.cit. Kekuasaan dan Pendidikan...hlm.199.

29 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Rajawali,1982),hlm.11.

(12)

Politik merupakan seni atau ilmu yang mempelajari pengaruh, kebijakan dengan memenangkan dan mengendalikan dan persaingan antara kepentingan kelompok atau individu untuk kekuasaan dan kepemimpinan.

Dalam teori perilaku organisasi adalah alasan rasional untuk tujuan kepentingan organisasi lebih lanjut. Dalam praktiknya perilaku organisasi dimotivasi dan dipandu oleh politik organisasi sebagai individu dan kelompok yang berusaha untuk memiliki jalan sendiri untuk tujuan dan kepentingannya.31

Menurut Max Weber kekuasaan sebagai suatu kemungkinan dalam rangka hubungan-hubungan sosial untuk melaksankan keinginan seseorang, sungguhpun terdapat tantangan dan tidak tergantung pada dasar-dasar dari kemungkinan-kemungkinan tersebut.32 Di suatu negara demokratis rakyat adalah pemegang

kedaulatan tertinggi, maka keputusan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus dibuat atas namanya. Maka rakyat adalah bagian dari pemerintahan yang lebih berhak mengoreksi kebijakan-kebijakan pemerintah.33

b. Politik dan Kebijakan Pendidikan

Ideologi politik dan Ideologi pendidikan merupakan hal penting dalam proses kebijakan.34 Kebijakan terkadang dibuat secara aksidentil atau sebagai hasil dari

kebutuhan politik. Dalam kondisi ini ideologi menjadi kurang penting.35

31 Randal B. Dunham dan John L, Pierce, Management,(USA: Scott, Foresman and Company, 1989), hlm. 545-546.

32 H.A.R. Tilaar, op.cit., hlm. 136.

33 Daoed Joesoef.Op.cit. hlm. Xi.

34 Paul Trowler, Education Policy (New York: Routledge. 2003), hlm.119.

(13)

Selanjutnya Tilaar mengatakan bahwa dalam kehidupan bernegara tersangkut dalam pelestarian kekuasaan negara melalui politik dan kebudayaannya yang dapat disalurkan melalui lembaga-lembaga pendidikannya.36 Untuk melestaikan

kekuasaan dalam pendidikan tersebut maka dirumuskan dan dibuatlah kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan secara menyeluruh bagi pendidikan atau pun satuan-satuan pendidikan.

Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan program dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi misi pendidikan dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk kurun waktu tertentu.37 Kebijakan publik dalam pendidikan agar

menjamin pendidikan menjadi kepentingan publik.38 Selanjutnya Fatah

menjelaskan bahwa yang ditetapkan oleh pemerintah tidak hanya mengatur kurikulum, pedagogi, dan penilaian,tetapi juga kondisi guru dan pemeliharaan sarana fisik sekolah.39

Fungsi kebijakan dalam pendidikan, yaitu:

1. Menyediakan akuntabilitas norma budaya yang menurut pemerintah perlu ada dalam pendidikan.

2. Melembagakan mekanisme akuntabilitas untuk mengukur kinerja siswa dan guru.40

c. Proses Politik dalam Pembuatan Kebijakan Pendidikan

Dalam pendidikan dua tatanan kekuatan ideologi bekerja: Ideologi politik dan Ideologi Pendidikan.41 Menurut Hartley, ideologi memiliki peran penting dalam

proses pembuatan kebijakan. Ideologi menjadi kerangka nilai-nilai, ide-ide dan

36 Tilaar. Op.cit. Kebijakan Pendidikan...hlm.198

37Ibid, hlm.140.

38 Nanang Fatah, Analisis Kebijakan Pendidikan (Bandung: Rineka Cipta. 2013), hlm.132.

39Ibid, hlm.132.

40Ibid, hlm.132.

(14)

keyakinan mengenai cara masyarakat seharusnya diorganisasi dan bagaimana sumber daya seharusnya dialokasikan untuk mencapai keinginan. Kerangka tindakan ini menjadi panduan dan pengesahan perilaku.42

Kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pesan konstitusi kemudian dijabarkan dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan tersebut kemudian direncanakan dan dapat dicapai melalui lembaga-lembaga sosial atau organisasi dalam bentuk lembaga pendidikan formal, non formal dan formal.43

Kebijakan pendidikan sering dipikirkan sebagai sebuah pernyataan yang biasanya ditulis dalam dokumen kebijakan. Kebijakan pendidikan merupakan sebuah prinsip-prinsip dan tindakan-tindakan pesifik ang berkenaan dengan isu-isu pendidikan yang diikuti mengikuti apa yang seharusnya dan yang telah dirancang untuk mencapai tujuan.44 Menurut Ball kebijakan ada diantara teks dan

tindakan, kata dan tindakan, inilah yang diwujudkan sebagaimana yang diinginkan. Kebijakan-kebijakan selalu tidak lengkap sebagaimana dalam praktiknya.45

Bagaimanapun kebijakan dibuat mulai dari level sekolah, daerah, dan nasional tiga langkah dasar dalam pembuatan kebijakan penting dilakukan untuk selanjutnya melakukan proses politik.46

1. Penempatan masalah (atau isu). Memahami masalah sesuai dengan isu yang beragam.

2. Mobilisasi struktur yang baik dari tindakan pemerintah. Bentuk apa tergantung pada dimana kebijakan dibahas dan konteks pembuat kebijakan (pemerintah, sekolah, pemerintah daerah)

42Ibid, hlm.103.

43 H.A.R. Tilaar, op.cit., hlm. .132

44Ibid, hlm.95.

45Ibid, hlm.95.

(15)

3. Penempatan capaian (kompromi-kompromi yang membangun sebuah kerangka bagi kebijakan dan praktik dalam menghadapi dilema dan menukar nilai-nilai. Kebijakan selalu produk kompromi antara beragam agenda dan pengaruh-pengaruh.47

Pada awal Abad 21 ada lima isu dalam kebijakan pendidikan, yaitu: Peningkatan ketersediaan pendidikan; Mengatasi permasalahan sosial dan peningkatan kesamaan dan kesempatan; Mengangkat profesi pendidikan; Meningkatkan manajemen pendidikan; dan Membentuk masyarakat belajar.

d. Intervensi Penguasa Politik dalam Pendidikan

Menurut Beckhard pemimpin organisasi harus memiliki visi jelas dan komitmen kuat untuk membuat investasi personal signifikan dalam membangun dan mengembangkan komitmen seluruh staf.48 Di United Kingdom intervensi

pemerintah dalam kebijakan dapat dilihat dari Manifesto Partai Buruh tahun 1997, sebagaimana dalam teks aslinya: “Education will be our number one priority, and we will increase the share of national income spent on education as we decrease it on the bills of economic and social failure”. Dalam terjemahannya “Pendidikan akan menjadi prioritas utama kita, dan kita akan meningkatkan penggunaan pendapatan nasional untuk pendidikan sebagaimana kita menguranginya untuk biaya ekonomi dan kegagalan sosial.”

Selanjutnya David Blunket dalam Labour’s Education Manifesto 2001 menyatakan: “We have seen real improvements in the last four years. We have laid the foundations with increased investment, lower class sizes and rising primary school standards...Our education manifesto starts with a commitmet further to increase the share of national income devoted to education...The challenge for us-and for our nation – in the next four years is to build on those

47Ibid, hlm.95.

(16)

foundations to see the investment and reform that our schools, colleges and universities all need.49

Intervensi pemerintah dalam kebijakan pendidikan juga dapat dilihat d Inggris ketika pada Pemilihan Mei 1997, dimana Partai pemerintah the New Labour

berjanji bahwa pendidikan akan menjadi prioritas utama pemerintahan.

“Education, education, education, was the key to Britain’s future” demikian kata Tony Blair untuk meyakinkan publik bahwa pemerintahannya akan mengintervensi kebijakan-kebijakan pendidikan.

Jika di lihat kasus kebijakan pendidikan Islam di Malysia pada masa kolonial, akan sangat nampak bagaimana posisi pendidikan Islam. Sebelum kemerdekaan Malaya pada 1957 politik kebijakan pendidikan Islam pemerintahan Inggris menciptakan skisma dikalangan Melayu.50 Pemerintah kolonial Inggris di Malysia

menerapkan kebijakan pendidikan diferensial, yang oleh Khasnor Johan (1967) disebut sebagai pendidikan Melayu yang elitis dan eksklusif.51 Studi-studi

kebijakan pendidikan Inggris yang dilakukan oleh Willer (1975) dan Yegar (1976) menemukan bahwa mayoritas Melayu didorong untuk menguasai pendidikan Islam yang lebih difokuskan pada menghafal ayat-ayat Al-Qur’an.52 Sedangkan

kaum bangsawan diberikan pendidikan “sekuler” dengan berbahasa Inggris sampai ke tingkat tertinggi.53 Kebijakan pendidikan pemerintah kolonial lebih

mengorientasikan masyarakat Melayu dalam masyarakat kolonial.54

3. Politik Pendidikan bagi Pesantren dari Masa ke Masa

49 David Blunkett, Labour’s Education Manifesto, 2001

50 Husin Mutalib, Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu (Jakarta: LP3ES,1995),hlm.24. Abdul Rashid Ahmad (1966), Winzeler (1975) menjelaskan dalam Mutalib bahwa sebelum kemerdekaan Malysia, Pemerintah Inggris menyediakan pendikan formal untuk anak-anak Melayu dimulai dari mesjid-mesjid dan surau-surau kecil di daerah pedesaan. Terkadang pendidikan keagamaan juga dilaksankan di Pondok atau juga disebut “Sekolah Al-Qur’an”

51Ibid, hlm. 24.

52Ibid, hlm.24.

53Ibid, hlm.24.

(17)

Pesantren awalnya merupakan pusat penyebaran Islam oleh para wali yang merupakan kelanjutan dari sistem zawiyah55 di India56 dan Timur Tengah.57

Sistem pesantren bermula dari pengakuan masyarakat terhadap seorang ulama (kyai) sehingga banyak masyarakat yang berdatangan pada kyai, selanjutnya orang yang belajar disebut santri.58

Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri.59 Kebijakan pendidikan Islam di Indonesia dapat dikategorikan dalam

empat periode: Periode Pra Kemerdekaan, Periode Orde Lama, Periode Orde Baru, Periode Reformasi. Dalam pembahasan sub bab ini hanya akan difokuskan kebijakan-kebijakan pendidikan Islam khususnya yang berkenaan dengan pesantren yang diterapkan oleh pemerintahan pada setiap fase.

a. Pra Kemerdekaan

Pada periode pra kemerdekaan kebijakan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Masa Penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Jepang.

1) Masa Penjajahan Belanda

55 Sistem zawiyah merupakan sistem pembelajaran yang awalnya diselenggarakan dalam mesjid secara berkelompok berdasarkan diversivikasi aliran sehingga pada masa berikutnya menjadi aliran pemikiran agama.

56 Kacung Marijan,Quo Vadis NU: Setelah Kembali ke Khittah1926 (Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama, 1992), hlm.39. mengatakan bahwa kata pesantren bukanlah berasal dari kosa kata Arab, melainkan dari bahasa India. Mengutip A.H. Johns, istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru mengaji. Sedangkan C.C.Berg mengatakan bahwa istilah santri berasal dari bahasa India “shantri”, yang berarti orang yang tahu buku-buku agama Hindu. Namun menurut Mahmud Yunus bahwa istilah “pondok” yang sering identik dengan pesantren berasal dari bahasa Arab “funduq” yang artinya hotel atau sarana.

57 Nurcholish Madjid, Tasawuf dan Pesantren (Jakarta: LP3ES,1995) sebagaimana dikutip dalam Imam Bawani dkk, Pesantren Buruh Pabrik: Pemberdayaan Buruh Pabrik Berbasis Pendidikan Pesantren (Yogyakarta: LKIS, 2011), hlm.45.

58 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman (Jakarta: Depdikbud, 1979), hlm,hlm. 165.

(18)

Landasan idil pendidikan masa kolonial Belanda hanyalah dalam rangka memenuhi tenaga buruh untuk kepentingan modal, maka pada masa ini tidak begitu jelas dasarnya.60 Pemerintah kolonial Belanda menjalankan politik

pendidikan separuh hati, karena mereka tidak menginginkan kaum pribumi memiliki kecakapan intelektual. Maka pendidikan yang diselenggarakan adalah mempersiapkan pekerja-pekerja teknis yang diperuntukkan kepentingan kolonialisme Belanda.

Beberapa ciri umum politik pendidikan pemerintah kolonial Belanda adalah:

1. Gradualisme pendidikan bagi anak-anak putra pribumi.

2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan tajam antara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.

3. Kontrol sentral yang kuat.

4. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.

5. Prinsip konkordasi yang menyebabkan maka sekolah di Indonesia sama dengan negeri Belanda.

6. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi.61

Pada masa kolonial Belanda pesantren dicurigai, ditekan, dan diintimidasi.62

Menurut Dawam Rahardjo dalam tulisannya yang berjudul “Dunia Pesantren”, hal ini dikarenakan pesantren merupakan pusat perlawanan terhadap pemerintah kolonial.63 Akibat tekanan kolonial Belanda membuat pesantren mengundurkan

diri (uzlah) dan menampakkan perlawananannya dengan berada jauh di pusat pemerintahan kolonial, sehingga pesantren berada di pedesaan, pelosok kampung yang sangat sulit untuk dikunjungi orang. Walau pun pesantren mengasingkan diri dari keramaian, namun pada dasarnya pesantren juga mempersiapkan untuk

60 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit., Pendidikan di Indonesia., hlm. 64.

61 Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),hlm.20.

62 Kraemer, Agama Islam (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1952) dalam Imam Bawani, Op.cit., Pesantren Buruh., hlm.49.

(19)

memberontak pemerintah kolonial Belanda dengan memantapkan pelajaran jihad

dan pelatihan fisik (bela diri).

Sikap perlawanan pesantren terhadap pemerintah kolonial Belanda, membuat dikeluarkannya peraturan yang membatasi ruang gerak pendidikan agama, antara lain izin dari pemerintah. Langgar, surau, madrasah, dan pesantren diawasi oleh pemerintah Belanda karena dianggap sebagai tempat kaderisasi para pemberontak.64 Pada tahun 1882 M pemerintah kolonial Belanda membentuk Priesterraden, sebuah lembaga yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam.65 Tahun 1905 Lembaga Priesterraden memberikan

rekomendasi kepada pemerintah kolonial bahwa orang yang memberikan pengajian agama harus memiliki izin pemerintah kolonial terlebih dahulu.66 Pada

tahun 1925 M pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan lebih ketat bahwa tidak semua kyai boleh memberikan pengajian agama.67 Puncaknya pada tahun

1932 M, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan bahwa pemerintah kolonial Belanda dapat menutup sekolah, madrasah, pesantren jika memberikan pelajaran yang tidak disukai pemerintah. Peraturan ini dikenal dengan nama Ordonasi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).68

Karena Politik Etis Belanda, maka poin penting kebijakan pemerintah kolonial Belanda adalah: 1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk Bumiputera. Untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah; 2) pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.69

Modernisasi pendidikan yang diinginkan Belanda terhadap penduduk pribumi adalah dengan cara mendirikan volkschoolen, Sekolah Rakyat, atau Sekolah Desa

64 Dirjen Kelembagaan Islam, Op.cit, Sejarah Pendidikan.,hlm. 12.

65 HR.Mubagid, Diktat Kuliah Sejarah Pendidikan Islam dalam Zuhairini (dkk), Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Departemen Agama dan Bumi Aksara, 1997) hlm. 149.

66Ibid, hlm. 149.

67Ibid, hlm.149.

68Ibid, hlm.149-150.

(20)

(nagari) dengan masa belajar tiga tahun.70 Namun menurut Azyumardi Azra

sekolah umum yang didirikan Belanda ini mendapat resistensi dari masyarakat pribumi, karena mereka beranggapan bahwa sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial tersebut hanyalah untuk “membelandakan” anak mereka.

Sementara di Minangkabau, surau yang merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional ditransformasikan secara formal menjadi sekolah nagari. Namun pada kenyataannya sekolah nagari yang pada awalnya adalah surau tersebut tidaklah sepenuhnya mengikuti kurikulum yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Sehingga pemerintah Belanda menstandarkan kurikulum, dan metode pengajarannya.71 Di Bukit Tinggi pada tahun 1850 untuk pertama kali pemerintah

Belanda mendirikan HIS (Hollandsc-Inlandsche School), kemudian dikenal dengan Sekolah Raja.72 Dari namanya saja dapat dilihat bahwa sekolah yang

didirikan oleh pemerintah Belanda ini adalah sekolah khusus untuk anak-anak bangsawan.

Sistim pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang diskriminatif membuat melebarnya jurang antara rakyat yang berorientasi Islam dan elit tradisional, priyayi yang kebanyakan terdiri dari orang-orang Indonesia berpendidikan Barat.73

Hasbullah mengatakan dengan adanya Politik Islam dan Politik Pendidikan pemerintah kolonial Belanda yang menomorsatukan anak-anak pejabat dan pembesar mengakses pendidikan, disisi lain membatasi putra pribumi dengan mengarahkannya ke pondok-pondok pesantren justru menjadi kuatnya dasar

70 Menurut Azyumardi Azra, sejak dasawarsa 1870-an , pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar dengan siswa 16.606, pada tahun 1892 menjadi 515 sekolah dengan 52.685 siswa. Lihat dalam Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, dalam Nurcholish Madjid, Op.cit.,hlm. xiv.

71Ibid, hlm.xv.

72 Azyumardi Azra dalam Surau di Tengah Krisis: Pesantren dalam Perspektif Minangkabau,

dalam Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Op.cit., hlm.139, mencatat bahwa kemenangan Kaum Liberal di parlemen Belanda awal tahun 1900-an membuat pemerintah Belanda harus menjalankan

etsche politiek (politik etis) yang berarti pemerintah kolonial Belanda harus mendirikan banyak sekolah untuk penduduk pribumi. Awal 1910-an volkschool (sekolah rakyat) mulai didirikan di nagari-nagari, tahun 1913 jumlahnya mencapai 111 buah dan bertambah 358 buah pada tahun 1915.

(21)

agama Islam masyarakat.74Menurut Nurcholish Madjid bahwa Politik Etis

Belanda pada dasarnya hanya merupakan tujuan ekonomi, politik, dan sosial, sehingga berdampak banyak pribumi yang masuk sekolah umum.

2) Masa Penjajahan Jepang

Jepang yang memiliki misi untuk Asia Timur Raya untuk Asia di Indonesia, yang tujuan utamanya adalah memenangkan perang, maka berupaya merebut simpati masyarakat Indonesia dengan melakukan langkah-langkah di antaranya:

1. Kantor Urusan Agama (Kantoor voor Islamistische Saken) pada masa Belanda dirubah menjadi Kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam Indonesia, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari.

2. Pondok-pondok pesantren besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pemerintah Jepang.

3. Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.

4. Pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hibullah yang dipimpin K.H. Zainul Arifin, dimana aktifitasnya adalah latihan dasara kemiliteran.

5. Pemerintah Jepang mengizinkan beridirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Muhammad Hatta.

6. Para ulama bekerjasama dan pemimpin nasionali diizinkan mendirikan barisan Pembela Tanah Air.

7. Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis A’la Indonesia (MIAI).75

Masa pendudukan Jepang tahun 1940 an, Jepang berencana mendirikan “Kemakmuran Bersama Asia Raya”. Untuk mewujudkan itu, maka ideologi

74 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya

(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995),hlm. 55.

(22)

pendidikan yang diterapkan adalah Hakko Ichiu.76 Tujuan pendidikan Jepang yang

utamanya adalah memenangkan perang.77 Pelajar yang dipersiapkan untuk perang

tersebut membuat aktifitas di sekolah lebih banyak kepada latihan fisik dan latihan kemiliteran dan indoktrinasi “Asia untuk Bangsa Asia.”78 Pada masa pendudukan

Jepang ini sisiem pendidikan yang telah dibangun Belanda semuanya dirubah, termasuk satuan-satuan pendidikannya, hanya beberapa saja yang masih dipertahankan, misalnya Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Teknik Tinggi (Kogyo Dai Gakko) di Bandung.79 Akses pendidikan juga

dibuka luas, tidak ada lagi segeregasi sosial sebagaimana yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Sekolah-sekolah diseragamkan menjadi negeri, namun sekolah Muhammadiyah, dan Taman Siswa tetap berkembang dengan pengawasan Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) pemerintah Jepang kurang perhatian terhadap pendidikan di pondok pesantren dan madrasah.80 Ma’arif81

tetap dapat bisa bergerak walau terbatas dalam mengelola pondok pesantren dan madrasah. Menurut Zuhairini ketika sekolah non pesantren dilatih baris berbaris, romusha, latihan fisik, pesantren terlepas dari kegiatan ini semua, maka proses belajar berjalan relatif lancar.82

76 Hakko Ichiu mengajak bangsa Indonesia vekerjasama dengan Jepang dalam rangka mencapai “Kemakmuran Bersama Asia Raya.” Maka penduduk pribumi harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang yang dinampakkan penghormatan para murid kepada Kaisar di setiap pagi harinya di sekolah.

77 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit., Pendidikan Indonesia., hlm. 88.

78Ibid, hlm.88.

79 Ibid, hlm. 88.

80 Depdikbud, Op.cit, Pendidikan dari...,hlm. 94.

81 Ma’arif adalah nama sebuah organisasi pendidikan Islam Nahdlathul Ulama. Terbentuk pada Muktamar NU di Semarang pada tahun 1929. Ma’arif bertugas mengurus pendidikan dengan ketua pertamanya Abdullah Ubaid. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga terbentuk dalam Konfrensi NU di Jawa Timur - Malang, 13 Februari 1932 . Ketika NU menjadi parpol maka dalam Muktamar ke 22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959, Ma’arif diberi tugas otonom dengan nama Lembaga Pendidikan Ma’arif. Peraturan dasar Lembaga Pendidikan Ma’arif diputuskan dalam Konfrensi Besar LP Maarif, pada tanggal 4-7 Februari 1961 di Tugu Bogor. Ketika NU tidak lagi menjadi parpol karena fusi ke PPP, dan status NU sebagai Jam’iyah yang menitik beratkan pada pendidikan, maka Ma’arif menjadi bagian yang lengkapnya disebut “NU bagian pendidikan Ma’arif”. Prinsip pendidikan Ma’arif: Islam ahli sunnnah wal jama’ah;

Mengutamakan pendidikan agama; Memberikan mata pelajaran umum sesuai dg program pendidikan yg diselenggarakan pemerintah, hlm. 189-190.

(23)

Sebagai lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari NU, Ma’arif masa pendudukan Jepang telah memiliki Madrasah Menengah (Madrasah Mu’allimin Mustha), Madrasah Guru Atas (Madrasah Mu’allimin Ulya), Madrasaut Tijarah (Sekolah Ekonomi Dagang), Sekolah Pertukangan (Madrasatus Shina’ah), Sekolah Pertanian (Madratus Zira’ah).83 Uniknya pendidikan kejuruan yang

dikelola oleh Ma’arif ini sebenarnya tidak boleh didirikan, namun karena Jepang tidak begitu peduli dengan lembaga pendidikan Islam, maka madarah Ma’arif tetap berjalan.

b. Orde Lama

Pada tanggal 29 Desember 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan kepada Kementrian Pendidikan,Pengajaran, dan Kebudayaan agar segera malakukan reformasi pendidikan dan pengajaran. Pokok-pokok yang direkomendasikan Badan Pekerja KNIP ada sembilan poin, terdapat satu poin nomor 4.

“Madarasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata, yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan materiil pemerintah.”84

Atas saran BPKNIP di atas, Pemerintah melalui Panitia Penyelidik Pengajaran yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara menegaskan,”bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu untuk dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberikan bantuan biaya dan lain-lain.”85 Perhatian

pemerintah terhadap pondok pesantren dan madrasah direalisasikan dengan menjadikan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sebagai bagian penting dalam tugas Departemen Agama yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946.86

Sejak penyelenggaraan pendidikan diatur negara melalui UU Nomor.4 tahun 1950

83 Depdikbud, Op.cit, Pendidikan dari...,hlm. 94

84Ibid,hlm. 94.

85 Dirjen Kelembagaan Islam, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah: Pertumbuhan dan Perkembangannya (Jakarta: Depag RI, 2003), hlm.13.

(24)

tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran maka pesantren mulai melakukan adaptasi dengan menyelenggarakan pendidikan satuan pendidikan.87

Walau pun Indonesia telah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 namun pihak Belanda dan Sekutu masih berupaya masuk kembali ke Indonesia. Melihat kondisi ini membuat ulama-ulama di Jawa pada tanggal 20 Oktober 1945 mengeluarkan Fatwa Jihad Fisabilillah88 terhadap Belanda dan sekutu.

Konsekwensi dari Resolusi Jihad tersebut membuat para ulama dan santrinya dapat mempraktikkan ajaran jihad fi sabilillah yang sudah menjadi tradisi sebagai bahan kajian di pondok pesantren dan madrasah.89

c. Orde Baru

Salah satu prioritas Orde Baru adalah pembangunan sistem pendidikan modern. Dengan sejumlah besar anak-anak sekolah dan terbatasnya sumber-sumber nasional, kebijakan pemerintah berusaha mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas pemerintah berusaha mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas-aktivitas-aktivitas pemerintahan dengan sekolah-sekolah swasta, termasuk sekolah-sekolah Islam.90

Posisi pesantren pada masa Orde Baru tidak bisa terlepas dari kerangka besar yang membingkainya, yaitu hubungan Islam dan negara di Indonesia yang mengalami Fase Ketegangan, Fase Pencarian, dan Fase Hubungan Islam dan negara.91 Pada masa Orde Baru hegemoni negara sangat mempengaruhi

perkembangan pondok pesantren di Indonesia. Soeharto dengan tafsir tunggal Pancasila nya menginginkan pondok -pesantren tetap harus berlandaskan pada Pancasila.

87 Ibid, hlm. 78.

88 Isi Fatwa Jihad Fisabilillah: 1) Kemerdekaan Indonesia (17-8-1945) wajib dipertahankan; 2) Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah yang wajib dibela dan diselamatkan; 3) Musuh-musuh RI (Belanda/Sekutu), pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu wajib mengangkat senjata menghadapi mereka; 4) Kewajiban-kewajiban tersebut di atas adalah fi sabilillah.

89 Ibid,hlm.348.

90Andre Feillard, Islam Tradisionalis dan Negara di Indonesia: Jalan Menuju Legitimasi dan Kebangkitan, dalam Robert W.Hefner dan Patricia Horvatich (Ed), Islam di Era Negara Bangsa: Politik dan Kebangkitan Agama Muslim Asia Tenggara (Yogyakarta: Tiara Wacana,2001) ,hlm. 185-186.

(25)

Pada masa Orde Baru Pondok Pesantren Persatuan Islam (Persis) melawan mainstream seperti yang dilakukan Nahdlataul Ulama dan Muhammadiyah untuk konsiliasi dengan pemerintah, Persis dengan pesantrennya memilih sikap kesadaran yang bertentangan (contradictory consciousness).92 Andre Feillard

dalam penelitiannya di Jawa Timur menemukan terdapat dua pesantren yang melawan mainstream untuk menerapkan Penatara P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yaitu Pondok Pesantren Nurud Dlolam pimpinan Kyai Siraji dan Pesantren Salafiyahal-Fatah, Malang.93 Kasus di tiga pondok pesantren

ini mencerminkan bagaimana pemerintah Orde Baru memandang pondok pesantren sebagai ancaman bagi keberlangsungan ideologi Pancasila.

Secara alamiah, dengan dana pemerintah yang lebih besar, berpotensi adanya intervensi pemerintah dalam masalah-masalah pendidikan.94 Andre Feillard

mencatat bahwa meningkatnya peran pemerintah Orde Baru membuat banyak madrasah dan pesantren yang tidak berafiliasi dengan NU.95 Analisis Feillard

bahwa menurunnya peran NU dalam pendidikan ini dikarenakan adanya tekanan

92 Toto Suharto. Kesadaran yang Bertentangan sebagai Bentuk Resolusi Konflik dalam Pendidikan: Pengalaman Pesantren Persatuan Islam di Masa Orde Baru. Jurnal nalitis, Volume XVII, Nomor 2, Desember 2012. Kesimpulan penelitian di pondok pesantren Persis ini yaitu: bahwa alasan pesantren Persatuan Islam di masa kepemimpinan KH.A.Latief Muchtar,M.A. merespon kekuasaan Orde Baru dengan kontra hegemonik bermaksud untuk mempertahankan ideologi pendidikan Persatuan Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Ideologi tersebut tetap dipertahankan walau sempat merubah asasnya menjadi Pancasila, namun segera dirubah kembali ketika era reformasi. Peneliti mengkaji yang diterapkan pesantren Persatuan Islam ini ke dalam perspektif Gramsci yang menyebutnya sebagai kesadaran yang bertentangan (contradictory consciousness), karena segala kebijakan pendidikan pemerintah Orde Baru diterima pesantren Persatuan Islam secara pasif dan samar samar. Lembaga ini secara psikologis menyimpan dan memiliki sikap apatisme terhadap Orde Baru yang kebijakan pendidikannya untuk melahirkan manusia yang Pacasilais, sebuah hal yang bertentangan dengan ideologi pendidikan pesantren Persatuan Islam. Maka resolusi yan dilakukan yaitu pesantren PERSIS mandiri, tapi tidak mengisolir diri.

93 Andre Feillard, Op,cit., Islam Tradisional.,hlm.190-191. Kedua pondok pesantren yang menolak adanya penataran P4 di pesantrennya berpandangan bahwa bila seseorang telah memahami agama, maka orang itu dapat menjalankan P4. Selain itu mereka beragumentasi bahwa segala sesuatu telah ada dalam Islam dan para pendahulu Nahdlatul Ulama juga ikut terlibat dalam mendefinisikan Pancasila.

94 Ibid, hlm. 187.

(26)

pejabat daerah yang terjadi tahun 1970-an. Sehingga banyak madrasah dan pesantren yang tidak mengidentifikasikan dirinya dengan NU, melainkan berkamuflase atau merubah namanya, misalnya Sekolah Wahid Hasyim, atau Universitas NU yang menjadi Universitas Sunan Giri.96 Agaknya tesis Feillard

tentang bantuan dana pemerintah akan bisa intervensi lembaga pendidikan dapat dilihat dengan mengaburnya identitas madrasah dan pesantren NU, karena banyak yang masih sangat minim dalam soal finansial, sehingga sangat tergantung pada pemerintah dalam hal ini Departemen Agama.

Pada masa Orde Baru dari berbagai varian bentuk pesantren dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 tentang Bantuan kepada Pondok Pesantren, maka pesantren dikategorikan menjadi empat:

1. Pondok pesantren Tipe A yaitu pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional.

2. Pondok pesantren Tipe B yaitu pondok yang menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasi).

3. Pondok pesantren Tipe C yaitu pondok pesantren yang hanya merupakan asrama sedangkan santrinya belajar di luar.

4. Pondok pesantren Tipe D yaitu pondok pesantren yang menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau madrasah.97

d. Era Reformasi

Pesantren sangat sulit dimasukkan apa adanya ke dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003. Karena pesantren lebih suka mengkategorikan diri mereka sebagai sebuah sistem, sebagaimana dikatakan oleh Abdurrahman Wahid bahwa pesantren merupakan subkultur tersendiri dalam masyarakat Islam.98

Atas dasar ini Direktori Kelembagaan Islam Departemen Agama bahwa pada dasarnya pesantren tidak bersentuhan langsung dengan UU Sisdiknas No 2003 tetapi hanya lembaga-lembaga pendidikan Islam di dalamnya, maka perlu

96Ibid, hlm. 186.

97 Dirjen Kelembagaan Islam, Op.cit., Sejarah Pendidikan..,hlm.15

(27)

pemberdayaan lembaga pendidikan yang ada pada pesantren.99 Konsekwensi

paradigma ini maka program pendidikan di pesantren dapat dibagi menjadi dua:

Pertama, satuan atau program yang sudah diatur pemerintah, misalnya MI, SMA, SMK, dan perguruan tinggi umum; Kedua, satuan atau program pendidikan yang selama ini tidak mengikuti aturan kurikulum negara, misalnya: madrasah diniyah, kuliyatul muallimin, diniyah salafiyah, majlis taklim.100

Variasi bentuk pesantren di era reformasi menurut data Direktorat Jenderal Kelembagaan Islam Departemen Agama terdapat tujuh varian, dan sangat berbeda sebagaimana yang dikategorisasi dan simplikasi pada Masa Orde Baru yang hanya ada empat kategori.

1. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab kuning.

2. Pondok pesantren yang mempelajari kitab kuning namun juga memberikan pelatihan keterampilan pada para santri dalam bidang kejuruan tertentu. 3. Pondok pesantren yang mengkaji kitab kuning namun lebih

mengembangkan tarekat, dimana santrinya ada yang diasrama ada yang tidak.

4. Pondok pesantren yang menyelenggarakan keterampilan khusus agama Islam, seperti menghafal Al-Qur’an. Santrinya ada yang di asrama ada juga yang di luar pesantren.

5. Pondok pesantren yang menyelenggarakan penajaran bagi para penyandang masalah sosial, yaitu Madrasah Luar Biasa di pondok pesantren.

6. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab-kitab klasik namun juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal ke dalam lingkungan pondok pesantren.

7. Pondok pesantren yang merupakan kombinasi dari beberapa poin di atas.101

99 Dirjen Kelembagaan Islam, Pendidikan Islam.,hlm.76. Karena sulitnya mengkontekstualisasikan pesantren dengan UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 maka pemerintah sering mengalami kesulitan ketika akan memberi subsidi, karena apakah subsidi akan diberikan kepada satuan atau program pendidikannya, atau kepada lembaganya, atau pesantren sebagai lembaga dakwah kemasyarakatan secara luas.

100Ibid, hlm.76-77.

(28)

Pada Era Reformasi sebagaimana tercatat dalam situs resmi Direktori Pendidikan Kementrian Agama pada tahun 2007-2008 dari 33 provinsi tercatat 21.521 pondok pesantren dan 37.102 madrasah diniyah.102 Jika dikateorikan

terdapat tiga tipe pondok pesantren: Salafiyah, 8.001 (37,2%); Ashriyah, 3,881 (18,0%); Kombinasi, 9.639 (44,8%).103 Sedangkan jumlah santri secara

keseluruhan 3.818.469 santri, terdiri santri laki laki 2.063.954 (54,1%), dan santri perempuan 1.754.515 (45,9%).104 Sementara jumlah tenaga pengajar pondok

pesantren secara keseluruhan berjumlah 385.994 orang, dari jumlah tersebut yang berstatus kyai sejumlah 35.113 (9,1%), badal kyai 224.332 (58,1%), ustadz berjumlah 71.139 (18,4%) merupakan dosen.105

Sedangkan pondok pesantren penyelenggara Program Paket A, B, dan C tercatat 338 pondok pesantren penyelenggara Paket A, 575 penyelenggara Paket B, dan 902 penyelenggara Paket C. Keseluruhan siswa yang mengikuti program Paket A,B,dan C adalah 94.994 orang siswa. Jika dirinci lagi 13.450 orang Paket A, 27.400 orang Paket B, dan 54.054 orang ikut Paket C.106 Jumlah total tutor

8.800 tutor, 1.616 tutor Paket A, 3.952 tutor Paket B, dan 3.233 tutor Paket C.107

102 Data Statistik Direktori Pendidikan Kementrian Agama. Diakses tanggal 06 November 2014.

103Ibid

104 Ibid.

105 Ibid

106 Ibid

Referensi

Dokumen terkait

7 Saya terdorong bekerja apabila Dinas menyediakan peralatan keamanan bekerja (helm, masker, sepatu boots, dll).. Lampiran 4

Perlakuan campuran pupuk organik cair sampah pasar dengan air berpengaruh terhadap parameter pertambahan tinggi bibit, pertambahan diameter bonggol, pertambahan jumlah

Himpunan Mahasiswa Psikologi FIP UNNES 2012. Nama Ketua Jurusan

Objek sasaran dari Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM-M) ini adalah masyarakat desa Cindaga khususnya siswa SD N 3 Cindaga. SD N 3 Cindaga merupakan

Sesuai dari hasil dari penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan tingkat kecemasan atlet yang didapat hasil dari kuesioner atau angket milik Nyak Amir yang telah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model pembelajaraan kooperatif J-Trow terintegrasi penilaian peer assessment dapat meningkatkan hasil belajar dan

Penelitian tersebut sesuai dan didukung oleh penelitian ini karena telah terbukti bahwa bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara pengaruh kompetensi

Destinasi Bulukumba pada dasarnya memilki Daya Tarik Wisata yang banyak dan menarik untuk dikunjungi terlepas dari salah satu pembahasan Daya Tarik Wisata Pantai