• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Bahasa Jurnalistik dan kode etik jurnalistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etika Bahasa Jurnalistik dan kode etik jurnalistik"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

A.Arti dan Definisi Etika

Secara etimologis, berdasarkan yang diungkapkan Bertens dalam (Hikmat, 2011) etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, ethikos, yang berarti timbul dari kebiasaan. Ada juga yang mengkategorikan berasal dari kata ethos yang berarti adat atau kebiasaan atau bentuk jamaknya la etha atau ta ethe yang artinya samaadat kebiasaan. Etika dan moral lebih kurang sama

pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan. Moral atau moralitas untuk perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang identik dengan etika adalah susila dan akhlak. Susila (Sansekerta),lebih menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, dan aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak menurut Ruslan dalam (dalam Lastra, 2011).

Menurut Ki Hajar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.

Menurut K. Bertens, etika dapat dibedakan dalam tiga arti. Pertama, kata etika bisa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau niali moral. Maksudnya adalah kode etik. Ketiga, etika adalah ilmu tentang apa yang baik atau buruk.

Dalam hukum dan masyarakat terdapat etika. Jika hukum berbicara tentang peraturan tertulis dan bersifat memaksa, maka etika lebih banyak menyentuh peraturan tidak tertulis sebagai hasil kesepakatan-kesepakatan dalam masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam etika tak ada kekuatan yang sifatnya memaksa. Etika berpulang pada hati nurani setiap individu (Sumadiria, 2005: 228).

B.Pengertian Bahasa Jurnalistik

Menurut Jus Badudu dalam (dalam Nina, 2013), bahasa jurnalistik tunduk pada bahasa baku. Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Kemudian dalam (dalam Sarwoko, 2007) Jus Badudu menyatakan bahwa bahasa jurnalistik itu harus sederhana, mudah dipahami, teratur, dan efektif. Bahasa yang sederhana dan mudah dipahami berarti menggunakan kata dan struktur kalimat yang mudah dimengerti pemakai bahasa umum. Bahasanya teratur berarti setiap kata dalam kalimat sudah ditempatkan sesuai dengan kaidah. Efektif, bahasa pers haruslah tidak bertele-tele, tetapi tidak juga terlalu berhemat sehingga maknanya menjadi kabur.

(3)

C.Ciri Bahasa Jurnalistik

Terdapat 17 ciri utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut. yakni sederhana, singkat, padat, lugas, jelas, jernih, menarik, demokratis, populis, logis, gramatikal, menghindari kata tutur, menghindari kata dan istilah asing, pilihan kata. (diksi) yang tepat, mengutamakan kalimat aktif, sejauh mungkin menghindari pengunaan kata atau istilah-istilah teknis, dan tunduk kepada kaidah etika (Sumadiria, 2005:53-61). Berikut perincian penjelasannya.

1. Sederhana

Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau. kalimat yang paling banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan dalam bahasa jurnalistik.

2. Singkat

Singkat berarti langsung kepada pokok masalah (to the point), tidak bertele-tele, tidak

berputar-putar, tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang tersedia pada kolom-¬kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas, sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.

3. Padat

Menurut. PatmonoSK, redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik (1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat. Kalinat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat, kecuali singkat juga mengandung lebih banyak informasi.

4. Lugas

Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan kata dan kalimat yang bisa membingunglian khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan persepsi dan kesalahan konklusi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.

5.Jelas

(4)

susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan (SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.

6.Jernih

Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona yang luar biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.

Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka baik (husnudzon) dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk (suudzon). Menurut orang komunikasi, jernih berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.

Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran, keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada, misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para anggota dan pimpinan partai politik.

7. Menarik

Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur, terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.

Bahasa ilmiah merujuk pada pedoman: benar dan baku saja. Inilah yang menyebabkan karya-karya ilmiah lebih cepat melahirkan rasa kantuk ketika dibaca daripada memunculkan semangat dan rasa penasaran untuk disimak lebih lama. Bahasa jurnalistik hasil karya wartawan, sementara karya ilmiah hasil karya ilmuwan. Wartawan sering juga disebut seniman.

Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus tampak pada bahasa jurnalistik pers.

(5)

Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis. Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional dan komunal, sehingga

samasekali tidak dikenal pendekatan feudal sebagaimana dijumpai pada masyarakat dalam lingkungan priyayi dan kraton.

Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan pengemis dan pemulung secara sama.Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan, maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto.

Secara ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda. Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan bangsa, karena. bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.

9. Populis

Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca, pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat dharma wanita. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.

10. Logis

Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat (common sense). Bahasa

jurnalistik harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: jumlah korban tewas dalam musibah longsor dan banjir banding itu 225 orang namun sampai berita ini diturunkan belum juga

melapor.. Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah tewas, bisa melapor?

(6)

11. Gramatikal

Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling besar

pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: Ia bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total APBN dalam tiga tahun ke depan. Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: Ia mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari total APBN dalam lima tahun ke depan.

12. Menghindari kata tutur

Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal. Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor, kelar, semangkin.

13. Menghindari kata dan istilah asing

Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan.

Menurut teori komunikasi, khalayak media massa anonym dan heterogen. tidak saling mengenal dan benar-benar majemuk, terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.

14. Pilihan kata (diksi) yang tepat

Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak.

(7)

menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.

Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau yang menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai arstistik yang tinggi (Keraf, 2004:22-23).

15. Mengutamakan kalimat aktif

Kalimat akiff lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada kalimat pasif. Sebagai contoh presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presided.Contoh lain, pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri. Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan katanya, dan kuat maknanya (clear and strong). Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.

16. Menghindari kata atau istilah teknis

Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-istilah teknis.

Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga mengandung unsur pemerkosaan.

Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan, atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum. Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan dalam tanda kerung.

Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis, mencerminkan media itu :

o kurang melakukai pembinaan dan pelatihan terhadap wartawannya yang malas,

o tidak memiliki editor bahasa,

o idak memiliki buku panduan peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau

o tidak memiliki sikap profesional. dalam mengelola penerbitan pers yang berkualitas.

17. Tunduk kepada kaidah etika

(8)

harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu.

D.Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik

Penggunaan bahasa jurnalistik itu tidak boleh sembarangan. Melainkan harus berdasarkan kaidah-kaidah dari bahasa Indonesia itu sendiri. Dan sesuai prinsip-prinsip dasar dalam bahasa jurnalistik yang telah ditentukan.

Dalam bahasa jurnalistik ada empat prinsip retorika tekstual yang dikemukakan oleh Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.

1. Prinsip Prosesibilitas

Prinsip ini merupakan suatu proses dimana penulis harus memahami dari pesan yang akan disampaikan. Sehingga pembaca dapat mudah memahaminya, maka di sini penulis harus menentukan beberapa hal yaitu:

o Bagaimana membagi pesan-pesan menjadi satuan.

o Bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa pentingnya masing-masing satuan tersebut.

o Bagaiman mengurutkan satuan-satuan pesan tersebut.

Ketiga hal di atas akan saling berkaitan. Penyusunan bahasa jurnalistik dengan menerapkan bahasa Indonesia yang baik itu harus cepat menimbulkan pemahaman pembaca dalam kondisi apapun tentang fakta atau berita yang disampaikan. Sehingga, prinsip prosesibilitas ini tidak terlanggar.

2. Prinsip Kejelasan

Yaitu prinsip dimana penulis dituntut agar teks dapat mudah dipahami oleh pembaca. Dengan menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan (abiguity) sehingga mudah dipahami.

3. Prinsip Ekonomi

Yaitu teks harus ditulis sesingkat mungkin tanpa harus merusak dan mereduksi pesan.

4. Prinsip Ekspresivitas

Pinsip ini disebut pula dengan prinsip ikonisitas. Yang mana prinsip ini menganjurkan agar teks dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan.

(9)

E.Berpedoman pada Bahasa Baku

Bahasa jurnalistik yang ditulis dalam bahasa Indonesia juga harus dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Bahasa Indonesia juga mengenal berbagai ragam bahasa, termasuk dialek. Bila surat kabar, majalah, tabloid, dan sebagainya menggunakan bahasa Indonesia dengan salah satu dialek tertentu, besar kemungkinannya tulisan dalam surat kabar/majalah tersebut tidak dapat dipahami oleh pembaca di seluruh nusantara. Seperti

dikemukakan oleh J.S. Badudu, -- bahasa baku, baik lisan maupun tulisan dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya.

Contohnya:

PLN sebagai penyedia layanan publik tentu harus bertanggung jawab atas kerugian itu. Terlebih-Iebih, sumber kerusakan sebenamya sudah diketahui empat hari sebelumnya, bahkan hari pemadaman pun sudah direncanakan dan diatur PLN. (Republika, 23 Mei 1997)

Bahasa Indonesia baku itulah yang seharusnya digunakan dalam bahasa jumalistik agar dapat dipahami oleh pembaca di seluruh tanah air. Karena itu, bahasa jurnalistik sama sekali tidak berbeda dengan bahasa Indonesia baku, bahasa Indonesia yang digunakan dalam komunikasi resmi: pidato resmi kenegaraan, surat-menyurat resmi, menulis laporan resmi, menulis buku ajar, makalah (paper), skripsi, tesis, disertasi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya. Jadi, kalau pada kenyataannya ada sedikit perbedaan antara bahasa jurnalistik dengan bahasa Indonesia baku, bukan pada hakikatnya memang hams berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat teknis di samping kurangnya kemampuan berbahasa para jurnalis dan redaktur surat kabar yang bersangkutan, seperti telah disinggung di muka.

F.Bahasa yang Digunakan Efektif dan Efisien

Bahasa yang efektif ialah bahasa yang mencapai sasaran yang dimaksudkan (Moeliono, 1993: I). Bahasa Indonesia jurnalistik yang efektif membuahkan hasil atau efek yang diharapkan pembicaraan karena cocok atau relevan dengan peristiwa atau sesuai dengan keadaan yang menjadi latarnya. Bahasa Indonesia jurnalistik yang efisien ialah bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku, dengan mempertimbangkan mh~' ukuran umum, yang mengatasi varlasi dialek atau idiolek (perseorangan), bagi pemakaian bahasa yang benar dan patut menjadi contoh untuk diikuti. Hoed (1977: 3) dalam penelitiannya tentang "Kata Mubazir dalam Surat Kabar Harlan Berbahasa Indonesia" menyatakan, usaha mencapai efisiensi

didasarkan pada probabilitas munculnya suatu kata dalam konteks tertentu (probability of accurance).

G.Penyimpangan Bahasa Jurnalistik

(10)

sebagai perusak bahasa Indonesia. Mestinya bahasa junalistik tetap harus mengacu pada kaidah bahasa yang telah baku, karena media massa sangat erat kaitannya dengan masyarakat.

Adapun beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dari kaidah bahasa Indonesia baku, yaitu:

1. Penyimpangan Klerikal (Ejaan dan Tanda Baca)

Kesalahan ini sering kali kita temukan dalam media massa, baik dalam penulisan kata, seperti Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis kuatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron. Dan kesalahan tanda baca juga dapat ditemui dalam penggunaan tanda titik, tanda koma, tanda hubung, dan lain-lain.

Maka dalam memilih ejaan kata yang tepat kita harus memerlukan sedikit ketelitian. Karena bahasa Indonesia banyak memiliki bentuk kembar, seperti kata risiko-resiko, sekadar-sekedar, Senin-Senen, film-pilem, juang-joang. Memang kata-kata seperti itu sering kali membuat kita bingung dan akhirnya kita membuat kesalahan dalam penulisannya. Biasanya hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari bahasa daerah. Maka kita harus memilih ejaan yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan.

2. Penyimpangan Gramatikal

Penyimpangan gramatikal ini terdiri atas:

a. Kesalahan Pemenggalan

Kesalahan pemenggalan kata dalam media massa terkesan asal penggal saja. Hal ini dikarenakan pemenggalannya menggunakan program komputer bahasa asing. Dal hal ini bisa diatasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia.

b. Penyimpangan Morfologis

Penyimpangan ini sering dijumpai pada judul berita dalam media massa yang menggunakan kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan dihilangkan. Misalnya: “Muluskan Boediono, Lobi Komisi IX”, “Cemburu, Pelajar Bunuh Pelajar”, “Ngaku Buat Jaga Diri Bapak-Bapak Ditangkep Pulisi Karena Bawa Sajam”.

c. Kesalahan Sintaksis

Kesalahan ini yaitu berupa pemakaian tata bahasa atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan arti dari kalimat tersebut. Hal ini disebabkan karena logika penulis yang kurang bagus. Contoh: “Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat”. Judul tersebut seharusnya ditulis, “Hasil Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika Serikat”.

3. Penyimpangan Semantik

(11)

tidak dapat dimaknai dari segi makna lugas saja melainkan juga harus dilihat dari makna figuratif (kias) yang mengandung eufimismedengan alasan kesopanan.

4. Penyimpangan Dari Aspek Kewacanaan

Penyimpangan ini dapat diketahuai dari aspek kewacanaan dari penggunaan bahasa yang dilihat dari makna bahasa yang berkaitan dengan aktivitas dan sistem-sistem di luar bahasa. Contoh penyimpangan dari aspek kewacanaan ini yaitu berita tentang tragedi kematian Munir (Pejuang HAM). Meski pelaku dan dalang pembunuhnya belum ditemukan, namun media massa telah membentuk opini masyarakat tentang para pelakunya. Pemberitaan tersebut memiliki pendapat yang berbeda dari masing-masing media sehingga menjadikan isi berita menjadi tidak realistis. Bahkan, terlalu dibesar-besarkan sehingga membuat para pembacanya bingung.

Permasalahan yang muncul adalah masalah peminjaman istilah-istilah atau kata-kata asing yang pada dasarnya sudah populer di masyarakat. Penggunaan istilah asing tersebut telah

bertaburan di media massa. Tetapi, penggantian istilah asing yang tidak ada penggantinya dalam bahasa Indonesia akan menimbulkan kesulitan.

Untuk menghindari kesalahan-kesalahan tersebut, maka perlu dilakukan penyuntingan atau editing baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, ejaan, serta pemakaian bahasa jurnalistikyang baik secara umum. Agar penulis atau wartawan mampu memilih kosakata yang tepat, maka mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama, yang nuansa maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan katanya.

Dengan demikian,penulis atau wartawan bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Sementara dalam penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang dilakukan:

1. Balancing, yaitu menyangkut lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan.

2. Visi tulisan seorang penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data yang aktual.

3. Logika cerita yang mereferensi pada kecocokan.

4. Akurasi data.

5. Kelengkapan data, setidaknya prinsip 5W1H.

6. Panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan halaman.

(12)

A. Pengertian Kode Etik Jurnalistik

Kode (Inggris: code, dan Latin: codex) adalah buku undang-undang kumpulan sandi dan kata yang disepakati dalam lalu lintas telegrafi serta susunan prinsip hidup dalam masyarakat. Etik atau etika merupakan moral filosofi filsafat praktis dan ajaran kesusilaan. Menurut KBBI etika mengandung arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban. Moral adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Dengan demikian, kode etik jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan dan juga norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penertiban. Kode Etik

jurnalistik ialah ikrar yang bersumber pada hati nurani wartawam dalam melaksanakan kemerdekaan mengeluarkan pikiran yang dijamin sepenuhnya oleh pasal 28 UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Kemerdekaan mengeluarkan pikiran ialah hak paling mendasar yang dimiliki setiap insan wartawan, yang wajib di jungjung tingggi dan di hormati oleh semua pihak. Sekalipun kemerdekaan mengeluarkan pikiran merupakan hak wartawan yang dijamin konstitusi, mengingat negara kesatuan republik Indonesia ialah negara berdasarkan hukum, maka setiap wartawan wajib menegakan hukum, keadilan dan kebenaran dalam menggunakan haknya untuk mengaluarkan pikiran.

Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan:

1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur.

2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan (check and recheck).

3. Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).

4. Menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat

beritanya jika orang yang memberikannya memintanya untuk merahasiakannya. 5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record (for your eyes

only).

6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.

(13)

1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.

3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi. 6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi

latar belakang, dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.

Kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.

Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat.Kode Etik harus menjadi landasan moral atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan.Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.

B. Mengapa Diperlukan Kode Etik Jurnalistik Bagi Para Jurnalis.

Kode Etik Jurnalistik adalah aturan tata susila kewartawanan, dan juga normal tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata karma penerbitan.

Mengapa Perlu Kode Etik……?

(14)

C. Ciri-ciri Kode Etik Jurnalistik

Adapun ciri dari suatu kode etik adalah sebagai berikut :

1. Kode etik mempunyai sanksi yang bersifat moral terhadap anggota kelompok tersebut 2. Daya jangkau suatu kode etik hanya tertuju kepada kelompok yang mempunyai kode etik

tersebut

3. Kode etik dibuat dan di susun oleh lembaga / kelompok profesi yang bersangkutan sesuai dengan aturan organisasi itu dan bukan dari pihak luar.

Seorang jurnalis tidak boleh mencelakakan sumber berita, baik itu karena

keterusterangannya yang konyol dan tolol maupun karena tidak tahu situasi dan kondisi sumber berita yang bersangkutan dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, kode etik jurnalistik sesungguhnya berfungsi sebagai berikut :

a. Alat control social, yaitu tidak hanya megatur hubungan antara sesame anggota seprofesi, tetapi juga dapat juga mengatur hubungan antara anggota organisasi profesi tersebut dengan masyarakat.

b. Mencegah adanya control dan campur tangan pihak lain, termasuk pemeritnah atau kelompok masyarakat tertentu.

D. Manfaat Kode Etik Jurnalistik

Manfaat kode etik jurnalistik adalah memperlihatkan kepada publik suatu karya

jurnalistik. Kode etik ini pula sebagai penuntun seorang wartawan dalam melakukan tugasnya, baik dalam peliputan suatu berita atau menulis dan menyiarkan berita tersebut. Dengan memiliki kode ini, maka wartawan dapat menimbang apakah tindakan yang dilakukannya benar atau salah, baik atau jahat, bertanggungjawab atau tidak. Ketaatan terhadap kode etik jurnalistik dapat dijadikan tolok ukur keprofesionalan warawan. Dengan demikian, seorang wartawan dapat dikatakan professional jika ia menaati kode etik jurnalistik, yaitu memberitakan secara berimbang, melakukan check and recheck, tidak mencampurkan fakta dan opini yang

menghakimi, tidak menyuap dan disuap, tidak membuat berita bohong, menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, dan menghormati kehidupan pribadi narasumber.

Dengan adanya kode etik ini, maka seharusnya wartawan dapat:

1. Menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai, kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain.

(15)

terhadap orang-orang serta isu-isu di sekitarnya. (Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik, Rosihan Anwar 1996).

Wartawan Indonesia juga bekerja berdasarkan kode etik yang disusun mengikuti perubahan dan tuntutan zaman. Kendati kode etik ini tidak langsung berkaitan dengan hukum, tetapi pelanggaran kode etik sangat berpotensi untuk berhadapan dengan hukum. Kode etik wartawan Indonesia mengenal beberapa prinsip utama yang tidak boleh dilanggar. Itu meliputi :

1. Wartawan Indonesia harus menghormati hak masyakat untuk memperoleh informasi yang benar.

2. Wartawan Indonesia menempuh cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber berita.

3. Wartawan Indonesia menghormati asa praduga tak bersalah, tidak mencampurkan

adukkan fakta dan opini, berimbang, serta selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.

4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan cabul, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila.

5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi.

6. Wartawan Indonesia memiliki hak tolak, menghargai embargo, latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.

7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hak jawab.

Prinsip mematuhi kode etik ini kini semakin penting jika mengingat kesadaran masyarakat akan hukum makin tinggi. Di luar kode etik yang ditetapkan oleh Dewan Pers, sebenarnya pegangan wartawan Indonesia dalam melakukan tugas adalah “berkiblat” terhadap aturan-aturan di dalam undang-undang yang berlaku.

Misalnya, hak seseorang atas wilayah rumah dan pekarangannya yang diatur dalam hukum positif. Dalam kaitan ini, maka seorang wartawan tidak bisa, atas nama tugas untuk masuk tanpa izin. Tidak hanya melanggar etika, tetapi telah melanggar hak privat seseorang. Kasus-kasus demikian sangat berpotensi untuk diperkarakan. Pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk, misalnya, melapor ke polisi.

Mengakui identitas diri sebagai wartawan adalah keharusan. Tetapi, dalam hal-hal tertentu, untuk kegiatan investigasi reportase, identitas ini kadang harus ditutupi. Kendati demikian, dalam proses investigasi ini, pada saatnya wartawan harus membuka identitasnya.

Kode Etik jurnalis menjadi penuntun seorang wartawan untuk dua hal dalam melakukan profesinya: pencarian dan penulisan berita. Pencarian meliputi etika selama proses perencanaan hingga pencarian berita itu (termasuk pengambilan foto, proses wawancara, pemuatan dokumen) serta penulisan berita yang meliputi proses penulisan sampai berita tersebut selesai.

(16)

Kode etik sebagai suatu pertanggungjawabam bermakna pula bahwa seorang wartawan berani dan jujur untuk mengakui bahwa berita yang dibuatnya adalah mengambil milik orang lain atau berita yang dibuatnya salah. Dalam kaitan inilah, maka wartawan harus menyebut sumber berita untuk berita yang dibuatnya. Penyebutan ini, di sisi lain, juga untuk mencegah jika ternyata berita itu salah dan ada pihak yang menggugat.

Mengakui kekeliruan adalah harga mahal yang harus dilakukan wartawan terhadap berita atau ketidakakuratan yang dibuat. Tapi, harga mahal ini mutlak harus dilakukan dan dengan cara ini justru akan memberikan penilaian dan citra positif pada pers. Karena itulah, bantahan atau ralat, sepanjang itu memang benar, harus dilakukan pada kesempatan yang pertama. Wartawan harus mengakui kekeliruannya dan meminta maaf atas kekeliruan yang dibuat.

E. Contoh Penyimpangan Kode Etik Jurnalistik

Kasus Pertama

Kasus Kekeliruan Berita Di News Online

Dewan Pers mengesahkan kode etik jurnalistik online pada 3 Februari 2012. Nama resminya adalah Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) (Asep Syamsul M.Romli,

JURNALISTIK ONLINE: 2012). Pengesahan dilakukan oleh Ketua Dewan Pers, Bagir Manan dan 31 perusahaan berita, 11 organisasi dan tokoh pers menandatangani PPMS yang disusun Dewan Pers.

PPMS mengacu pada UUPers no. 40 tahun 1999, dan Kode Etik Jurnalistik (2006) dan Kode Etik WartawanIndonesia (KEWI).

Pada dasarnya PPMS ini sama saja dengan KEJ/KEWI “tidak boleh memuat informasi bohong, fintah sadis dan cabul; tidak memuat isi yang mengandung prasangka, dan kebencian yang terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan; tidak memuat isi diskriminatif atas dasar perbedaan jenis kelamin dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani”. Diungkap juga mengenai koreksi, hak jawab atau ralat.

Contoh pelanggaran :

Salah satu contoh kasus kekeliruan berita di news online adalah kasus Imanda Amalia yang dikabarkan sebagai WNI yang tewas saat kerusuhan di Mesir bulan Februari 2011 lalu. Berita ini diperoleh dari sebuah posting di akun facebook milik Science of Universe.

Imanda dikabarkan berada di Mesir sebagai relawan United Nations Relief and Works Agency (UNRWA). Meski belum ada kejelasan data dari Kedutaan Besar maupun dari

(17)

memberitakan hal tersebut di running news mereka, bahkan sampai diikuti oleh beberapa stasiun televisi swasta sehingga hampir seluruh masyarakat percaya akan hal itu.

Namun rupaya berita tersebut hanyalah isu belaka, pada akhirnya Kemenlu RI

memastikan bahwa tidak ada WNI yang tewas di Mesir. Meskipun demikian, kekeliruan berita dalam news online adalah sering dianggap sebagai hal wajar karena memang para wartawan media online harus bersaing untuk mendapatkan berita tercepat dan karena pemuatan berita tersebut bersifat running news, sehingga berita yang salah dapat diperbaiki dalam berita terbaru yang dimuat. Inilah rupanya yang membuat masyarakat jarang sekali protes bila ada kekeliruan berita di news online.

Pelanggaran etika jurnalistik dalam media online, seperti yang terjadi dalam kasus di atas memang rawan terjadi. Contoh pelanggaran etika jurnalistik pada kasus di atas ialah penggunaan media sosial sebagai sumber berita tanpa adanya verifikasi terlebih dahulu. Selain itu, dalam media online juga rawan terjadi pelanggaran hak cipta dengan mengambil gambar dan mengutip tanpa mencantumkan sumber, dan plagiarisme.

Hal ini jelas merupakan pelanggaran bagi kode etik jurnalistik (KEJ) yang dalam pasal-pasalnya menyebutkan bahwa wartawan Indonesia menghasilkan berita yang akurat,

menghasilkan berita faktual dan jelas sumbernya, pengambilan gambar, foto, suara dilengkapi sumber, tidak melakukan plagiat, dan selalu menguji informasi.

KASUS KEDUA

Saham PT Krakatau Steel; Dewan Pers: Ada Pelanggaran Kode Etik

Dewan Pers menilai, terjadi pelanggaran kode etik dalam kasus dugaan permintaan hak istimewa untuk membeli saham penawaran umum perdana PT Krakatau Steel oleh wartawan. Pelanggaran itu berupa penyalahgunaan profesi serta pemanfaatan jaringan yang dimiliki sejumlah wartawan peliput di Bursa Efek Indonesia.

”Tindakan itu menimbulkan konflik kepentingan karena sebagai wartawan yang meliput kegiatan di Bursa Efek Indonesia juga berusaha terlibat dalam proses jual beli saham untuk kepentingan pribadi. Ini bertentangan dengan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik,” ujar Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Agus Sudibyo di Jakarta, Rabu (1/12).

Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak

menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Dalam situs Dewan Pers, tafsiran terhadap pasal ini, (a) menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi

(18)

Agus menyatakan, Dewan Pers menghargai sikap profesional dan niat baik detik.com, Kompas, MetroTV, dan Seputar Indonesia dalam proses penyelesaian kasus ini. Dewan Pers mengimbau segenap pers Indonesia menegakkan kode etik jurnalistik dan profesionalisme media.

Harian Kompas pun menghormati putusan Dewan Pers yang menyatakan seorang wartawan Kompas berinisial RN terbukti melanggar kode etik jurnalistik. Pada hari yang sama, harian Kompas telah menindaklanjuti putusan Dewan Pers itu dengan memberhentikan

wartawannya itu sebagai wartawan Kompas.

”Manajemen harian Kompas pun memberhentikan yang bersangkutan sebagai wartawan Kompas. Pemberhentian berlaku sejak diterbitkannya Keputusan Dewan Pers,” kata Redaktur Pelaksana Harian Kompas Budiman Tanuredjo.

Dalam keputusannya, Dewan Pers sejauh ini belum menemukan bukti kuat adanya praktik pemerasan, yang dilakukan wartawan, terkait dengan kasus pemberitaan penawaran umum perdana saham PT Krakatau Steel. Keputusan ini dibuat Dewan Pers setelah melakukan pemeriksaan silang dan klarifikasi dengan pihak-pihak terkait.

KASUS KETIGA

Wartawan Kecipratan APBD Provinsi

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kali ini juga membidik media. Wartawan peliput kegiatan Humas Pemerintah Provinsi juga kecipratan anggaran daerah. Biro Humas dan Protokol Pemprov Sulawesi Selatan mengusulkan anggaran untuk jasa peliputan kegiatan Pemprov Sulawesi Selatan yang cukup besar. Dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2010 disebutkan adanya belanja upah atau jasa pihak ketiga sebesar Rp 675 juta.

Dalam rinciannya, anggaran itu ditujukan ke beberapa media tertentu. Anggaran terbesar dialokasikan untuk jasa atau upah peliput dan publikasi. Angkanya mencapai Rp 240 juta selama 12 bulan. Tidak jelas kepada siapa dana itu akan diberikan. Dalam draft APBD, mereka hanya mencantum demikian.

Selain itu, ada pula anggaran khusus untuk jasa liputan TVRI Sulawesi Selatan sebesar Rp 120 juta, jasa/upah petugas TVRI Sulawesi Selatan Rp 90 juta, jasa liputan Fajar Tv Rp 60 juta, serta jasa publikasi dan dokumentasi dalam rangka 17 Agustus yang mencapai Rp 45 juta untuk tiga stasiun lokal.

"Anggaran ini patut dipertanyakan sebab tidak ada dasarnya. Saya kira bukan zamannya lagi wartawan diberi upah saat meliput suatu peristiwa. Saya yakin wartawan tidak akan

(19)

media saat ini, tambah Mariattang yang juga mantan wartawan, tidak ada lagi wartawan digaji oleh pemerintah. Mereka meliput berdasarkan penugasan kantor dari media masing-masing.

Gaji khusus untuk wartawan juga ada pada nomenklatur lain, yaitu tersosialisasinya rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lingkup Pemprov Sulawesi Selatan. Total anggarannya mencapai Rp 34,6 juta. Anggaran tersebut ditujukan kepada lima media, yaitu Harian Fajar Rp 7,2 juta, Tribun Timur Rp 7,2 juta, Berita Kota Rp 6,7 juta, Ujungpandang Ekspres Rp 6,7 juta, dan Seputar Indonesia Rp 6,7 juta.

(20)

PENUTUP

KESIMPULAN

Etika bahasa jurnalistik menjadi pedoman setiap jurnalis atau para pengelola medis massa untuk memperhatikan serta tunduk kepada kaidah bahasa media massa. Dalam etika bahasa jurnalistik, komitmen, kapasitas, kualitas, dan kredibilitas suatu media, benar-benar

dipertaruhkan. Seorang jurnalis kurang bermoral dari media yang tidak profesional, akan memandang etika bahasa jurnalistik sebagai suatu kemustahilan. Sebalikya seorang jurnalis bermoral dari media profesional, akan melihat etika bahasa jurnalistik sebagai suatu keharusan. Dengan etika, fungsi media tercerahkan dan termuliakan. Tanpa etika, kehadiran suatu media awal dari kehancuran.

Bagi seorang wartawan, sama dengan profesi lainnya,kodet etik adalah penting. Ini adalah semangat korps yang merupakan bagian dari pekerjaan .Wartawan dalam tugasnya tidak hanya mencari, mengumpulkan dan menyajikan berita. Namun lebih dari itu adalah dalam semangat untuk memberikan informasi, edukasi dan hiburan kepada audiens.

Kode etik adalah aturan kerja yang tidak begitu ketat namun mencerminkan semangat kesatuan wartawan kapan dan dimanapun bekerja. Sekaligus pula sebagai sebuah pegangan dalam bekerja sehingga di satu sisi dapat melindungi diri, dilindungi oleh kode etik ini dan juga melindungi sumber berita. Kode Etik Wartawan Indonesia adalah bagian dari budaya kerja yang profesional, bukan sekedar macan kertas.

Bekerja tanpa kode etik menunjukkan seseorang tidak profesional. Beda wartawan yang profesional dan tidak profesional adalah dari bagaimana dia bekerja. Apakah dalam memburu beritanya dia memegang kodet etik atau semua cara dihalalkan. Seringkali kode etik ini

Referensi

Dokumen terkait

Kecenderungan dari isi berita foto jurnalistik tentang peristiwa bencana erupsi Gunung Sinabung 2014 dalam penerapan Kode Etik Jurnalistik Indonesia dan teknik penulisan caption

Wartawan harus benar-benar bisa menjaga perilaku dalam kegiatan jurnalistiknya sesuai dengan aturan yang ada, yaitu sesuai dengan kode etik jurnalistik, pasal 1, ayat 1

Etika yang digunakan dalam pembahasanpun yaitu kode etik jurnalistik yang pada awal mulanya hanya diperuntukkan oleh organisasi wartawan dan juga perusahaan pers itu

Berdasarkan kode etik jurnalistik yang digunakan oleh peneliti yaitu kode etik jurnalistik dari PWI dan KEWI, pelanggaran kode etik jurnalsitik yang dilakukan

Kode Etik Jurnalistik merupakan kiblat bagi para wartawan dalam mengemban tugas dan tanggung jawab. Saat ini masih ada pemberitaan yang memunculkan seorang

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat pengetahuan wartawan muslim di harian surat kabar Analisa terhadap kode etik jurnalistik terkhusus pasal 6,

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukan bahwa wartawan Harian Tribun Timur Makassar sepenuhnya memahami Kode Etik Jurnalistik pasal 6 mengenai penyalahgunaan profesi

Terdapat 11 pasal dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers yang harus dipatuhi, diantaranya adalah pertama, Pasal 1 berisi tentang Wartawan Indonesia bersikap independen,