Hubungan Antara Keagamaan dengan Keprofesionalan Auditor
Dan Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”. Mereka berkata: ”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah:30).
Ayat diatas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk berketuhanan sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk berketuhanan, wajib baginya mengabdi, tunduk dan patuh, serta berpegang teguh pada ajaran agama Allah yakni al-Islam. Sementara sebagai makhluk sosial yang merupakan bagian dari aktualisasi sebagai makhluk berketuhanan, mereka harus menjalin silaturahmi dan kerjasama yang baik, jujur, amanah, yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Profesionalisme itu penting. Hal ini tidak terlepas dengan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atau dengan kata lain yaitu orang yang beragama. Auditor yang profesional pasti dia agamanya baik.
Profesionalisme yang digunakan adalah konsep untuk mengukur bagaimana para professional memandang profesi mereka yang tercermin dalam sikap dan perilaku mereka. Dengan anggapan bahwa sikap dan perilaku mempunyai hubungan timbal balik. Perilaku profesionalisme merupakan cerminan dari sikap profesionalisme, demikian pula sebaliknya sikap professional tercermin dari perilaku yang professional. Hall R (Syahrir; 2002 : 7) mengembangkan konsep profesionalisme dari level individual yang digunakan untuk profesionalisme eksternal auditor, meliputi lima dimensi :
2. Kewajiban social (Social obligation), yaitu pandangan tentang pentingnya peran profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat ataupun oleh professional karena adanya pekerjaan tersebut.
3. Kemandirian (autonomy demands), yaitu suatu pandangan bahwa seorang professional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain. 4. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief in self-regulation), yaitu suatu keyakinan
bahwa yang berwenang untuk menilai pekerjaan professional adalah rekan sesama profesi, dan bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka.
5. Hubungan dengan sesama profesi (Professional community affiliation), berarti menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sebagai sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para professional membangun kesadaran profesinya.
Jika dalam agama dia taat beriman, insyaAllah dalam bekerja pun dia akan profesional. Hal ini didasari oleh dasar hukum agama yang dia anut. Islam sangat mendorong tumbuhnya sikap profesionalisme, baik dalam kerja untuk orientasi dunia maupun akhirat. Amal perbuatan yang ditunjukan untuk kehidupan dunia harus dilakukan seoptimal mungkin (sebagai amal shalih), begitu juga amal perbuatan untuk tujuan akhirat. Semuanya itu merupakan ibadah kepada Allah. Maka profesionalisme adalah pelaksanaan suatu amal atau pekerjaan dengan kualitas kerja yang tinggi dengan mutu produktivitas yang tinggi pula.
Sumber :
Departemen Agama. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putera.