• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENCIPTAKAN MEMORI KOLEKTIF MONUMEN DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENCIPTAKAN MEMORI KOLEKTIF MONUMEN DAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MUSEUM DAN MASYARAKAT

MENCIPTAKAN MEMORI KOLEKTIF:

MONUMEN DAN MUSEUM PEMBELA TANAH AIR

(PETA) KOTA BOGOR

NPM : 1306426021

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

ARKEOLOGI

(2)

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk mengeksplorasi memori pengunjung terutama secara luas bagi masyarakat Indonesia, melalui berbagai tampilan koleksi, informasi yang diperoleh dari sumber-sumber saksi mata baik pelaku sejarah maupun saksi hidup di masa pra kemerdekaan khususnya masa pendudukan Jepang yang memusatkan pelatihan dan perekrutan tenaga militer Jepang bagi pemuda Indonesia di Jawa (Bogor) dikenal dengan Pembela Tanah Air (PETA) saat berlangsungnya perang pasifik tahun 1942-1945 yang kemudian dalam perkembangan sejarahnya terjadi pemberontakan yang dipimpin Supriyadi yang kala itu berpangkat Shodanco. Bangunan Monumen dan Museum bergaya Eropa ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman No. 35, Bogor, Jawa Barat, merupakan bekas kompleks atau Markas Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) yang dibangun tahun 1745. Melalui pertimbangan konsep New Museology dalam menciptakan memori kolektif pengunjung dan masyarakat diperlukan kecermatan perumusan. Pertama, bangunan dan koleksi Monumen dan Museum PETA merupakan bangunan peninggalan bersejarah yang telah di data dan di kelola Dinas Sejarah Angkatan Darat ini, memiliki landasan penting bagi proses penanaman patriotisme dari generasi ke generasi. Warisan sejarah ini pun akan menjadi landasan untuk membangun wacana khusus memori dan sejarah perjuangan dan menjadi bagian pembentukan keprajuritan yang begitu heroik dalam berbagai peristiwa penting untuk merebut kemerdekaan Indonesia kala itu, sehingga akan membangkitkan potensi untuk pengembangan diri dan memperkuat nasionalisme bangsa ini. Kedua, seiring dengan perkembangan konsep museum yang mulanya menampilkan koleksi secara object oriented, kini akan ditawarkan pada pelayanan Monumen dan Museum PETA Bogor untuk menerapkan people oriented dan mengembangkan site oriented sebagai bagian dalam pelayanan dan tampilan koleksinya.

(3)

Pengantar

Dalam penulisan Lubar (2007) menyatakan memori adalah “bagaimana sebuah sejarah memiliki hubungan dengan masa lalu terkait individu seseorang dan pendapat itu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan sendiri. Disebutkan pula, oleh seorang penulis Stefan Zweig, memori merupakan kekuatan yang diatur secara sengaja namun tetap bijaksana dan tanpa pengecualian. Sejarah juga dapat mengambil bagian dari penataan ulang (merekonstruksi) dari masa lalu, tetapi harus bertujuan melalui sudut pandang pribadi yang terlihat memiliki kekurangan. Eric Hobsbawn menulis: “the professional remembrances of what their fellow-citizens wish to forget.” (Lubar, 2007, p. 397).

Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimana kita akan menggabungkan memori dan sejarah? dan bagaimana cara mengenali dan menghargai sebuah memori sementara pada saat bersamaan semua itu dapat bergerak diluar kendali pengelola dan kurator museum? Ini merupakan masalah yang dihadapi pihak pengelola dan kurator museum dalam memberikan memori yang terdapat di Monumen dan Museum PETA Bogor. Sementara ini menjadi bagian yang sangat penting dalam memberikan dan memaknai sebuah informasi dan display koleksi sejarah serta objek untuk pengunjung terutama di kalangan pelajar sebagai generasi muda bangsa Indonesia.

1. Sejarah Monumen dan Museum PETA Bogor

Bangunan yang menjadi markas Koninklijk Nederlands Indische Leger (KNIL) ini dibangun tahun 1745 ini merupakan bangunan arsitektur bergaya kolonial (indis), kemudian di tahun 1943 di masa pendudukan Jepang, markas ini digunakan sebagai pusat pelatihan pasukan tanah air yang kala itu masih dikontrol oleh militer Jepang dengan nama Boei Gyugun Kanbu Kyo Iku Tai (Markas Komando Pusat Pendidikan Perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air di Jawa), pasca kemerdekaan bangunan ini diambil alih oleh pihak militer KODAM VI Siliwangi sebagai Pusat Pendidikan Zeni (Museum Peta, 2013). 18 Desember 1995 diresmikanlah pendirian Monumen dan Museum oleh Presiden Republik Indonesia saat itu Sooharto yang sekaligus sebagai mantan perwira PETA angkatan I dan selanjutnya diserahkan pengelolaanya dibawah Dinas Sejarah Angkatan Darat KODAM VI Siliwangi, Jawa Barat (Museum Peta, 2013).

(4)

pula ditampilkan berbagai foto, pamflet dan kliping koran di masa itu ikut ditampilkan dan dipajang di dinding museum. Semakin terlihat dengan jelas, bahwa apa yang ingin ditampilkan Monumen dan Museum PETA ini merupakan bagian dari rekonstruksi sejarah dan peristiwa pra kemerdekaan bangsa Indonesia, dengan menampilkan berbagai kenangan masa lalu di dalam bangunan yang masih memiliki konteks bangunan sejarah serta peristiwa pembentukan PETA yang terjadi di dalam kompleks bangunan saat itu. Namun memori peristiwa tersebut belum tersampaikan seutuhnya, sebab seluruh koleksi yang ditampilkan masih object oriented.

2. Memori di Monumen dan Museum PETA

Chen mengemukakan (2007), Memori museum dapat diungkapkan melalui budaya material yang bersifat tangible, dengan kata lain obyek dan konteks fisik museum dapat dirasakan langsung oleh pengunjung dengan menciptakan ruang bagi kepada pengunjung untuk mengembalikan dan merangsang ingatan mereka di masa lalu. Karena itu sebuah memori yang seringkali ditampilkan di museum seringkali diawali dan dimediasikan melalui gambar atau objek. Pada saat yang sama, objek merupakan bagian dari cerita museum dan cerita ini akan memberikan pengaruh melalui tindakan dengan mengenang sesuatu peristiwa dalam sebuah ruang pameran (p, 174).

(5)

Kedirgantaraan, pemindahan Markas Angkatan Darat Jepang di Jawa Timur ke tangan bangsa Indonesia di bulan Oktober 1945, peristiwa Ambarawa pada 15 Desember 1945 sekaligus menjadi momentum hari Infanteri TNI Angkatan Darat, dan diorama pemilihan panglima besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 12 November 1945. Seluruh diorama-diorama yang ditampilkan tersebut, sangat komunikatif dengan memberikan audio mengenai penggambaran peristiwa yang tampil pada masing-masing diorama.

Sedangkan berbagai koleksi benda lainnya berupa alat utama sistem pertahanan di masa itu senapan, pistol, meriam, binacular, dan kompas bidik seakan menjadi “pemanis” ruangan, begitupun dengan pajangan foto dan berbagai kliping koran yang ditampilkan hanya sekedar menjadi bagian informasi yang masih bersifat object oriented semata. Bagi pengunjung museum, hal ini hanya akan menjadi sebuah tampilan yang “berlalu begitu saja” tanpa ada sebuah memori yang terciptakan dari pengunjung itu sendiri atau kenangan bagi pelaku sejarah yang masih hidup hingga sekarang ini.

Dalam hal ini Lubar (2007) berpendapat sebagai berikut:

“History museum have a different and, i think, more difficult task. The goal of a history exhibit is to move people from the ideas and information that they bring with them to the exhibit to a more complex, problematized, nuanced view of the past. Exhibits should not be limeted to reminiscence or commemoration; they should add perspective by aspiring to a greater critical distance and by putting the artefact in context” (Lubar, 2007. p. 398).

Pernyataan tersebut menjadi bagian dari sebuah persoalan yang dihadapi Monumen dan Museum PETA sekarang ini. Sebab misi utama dalam menampilkan sebuah pameran sejarah adalah dengan memindahkan berbagai ide-ide masyarakat yang mereka miliki kedalam pameran dengan nuansa masa lalu dan tampilan pameran yang begitu kompleks serta dapat memberikan tambahan perspektif dengan menempatkan hubungan artefak dan konteksnya di museum yang masih merupakan situs dan bangunan bersejarah sehingga akan mampu menjadi bagian objek penting dalam menciptakan memori kolektif di museum tersebut.

(6)

yang tidak terbatas dalam interpretasi melalui individu-individu pengunjung di Monumen dan Museum PETA.

Begitupun yang dikemukakan Chen (2007), bahwa berbagai hasil penelitian-penelitian yang telah dilakuan berkaitan dengan konsep memori kolektif, menunjukkan sebagian besar pengunjung memiliki kenangan terkait dengan lingkungan dan bangunan museum (Falk 1988). Lowenthal (1985: 16) yang telah menyarankan bahwa sebuah lingkungan sekitar seringkali mampu menciptakan

repository dalam kenangan. Chen mengemukakan pendapat Halbwachs (1980:140) yang menyatakan bahwa memori kolektif selalu terkait dengan tempat dan lokasi. Pendapat ini dianalogikan ‘setiap ingatan kolektif yang terungkap merupakan sebuah kerangka spasial. . . dimana kita dapat memahami bagaimana cara kita memindahkan masa lalu tersebut yang pada dasarnya menjadi awet dilingkungan fisik sekitarnya’ (Chen, 2007. p. 178).

Semakin jelas bahwa apa yang telah tampilkan melalui diorama dan pameran koleksi di Monumen dan Museum PETA merupakan sebuah konsep yang tanpa disadari telah bergerak dengan sendirinya tanpa sebuah rancangan sedikitpun bagi pengelola museum untuk menciptakan konsep bertema sejarah dan memori kolektif sehingga yang diperlukan sekarang ini adalah dengan mengkolaborasikannya antara memori pelaku sejarah, saksi hidup sejarah dan objek material baik yang ditampilkan dalam ruang pameran museum beserta dengan konteks bangunan museum yang menjadi bagian sejarah untuk menciptakan Monumen dan Museum Pembela Tanah Air.

3. Memori Pengunjung Monumen dan Museum PETA

Dalam banyak cerita sejarah yang ditampilkan melalui diorama dan berbagai koleksi pameran yang terdapat di Monumen dan Museum PETA. Rata-rata pengunjung yang pernah mendatangi museum PETA di Bogor ini memberikan respon dan berbagi pengalaman mereka melalui cerita yang mereka peroleh dari pengelola museum sampai dengan tampilan museum tersebut di dalam blog yang dapat diakses melalui website pengunduh google. Seperti dalam postingan blog Ira Destiana (2011) yang memiliki akun cukuptau.wordpress.com membagikan sebuah pengalamannya berkunjung ke Monumen dan Museum PETA sebagai berikut:

Museum PETA

(7)

kunjungan yang tersedia. Selain itu, dibebankan juga biaya administrasi sebesar Rp 2.500 per-orangnya.

Melihat keterangan tersebut, kami yang jumlahnya hanya ber-7 orang saja menjadi pesimis. Museum sedang sepi pengunjung, tidak ada jadwal kunjungan sama sekali hari Jumat ini 11 Februari 2011. Di tengah kebingungan kami, ada seorang laki-laki dengan pakaian berwarna hijau, seragam TNI menghampiri kami. Lalu kami pun menjelaskan bahwa kami mahasiswa dari Depok, sengaja ingin berkunjung ke Bogor dan ingin berkunjung ke beberapa museum di Kota hujan ini. Tanpa disangka, bapak tersebut kemudian mengizinkan kami untuk mengunjungi museum lengkap dengan panduan dari beliau mengenai serajah berdirinya Museum PETA dan sejarah bangsa ini tentang terbentuknya PETA dan peranan tentara PETA dalam mencapai kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bangunan museumnya sendiri dibagi menjadi 2 ruangan, dengan total 14 diorama yang terdapat di museum tersebut. Ketika kaki ini memasuki ruangan yang pertama, suasana ruangan masih gelap, kemudian beliau menyalakan lampu dan AC yang ada di ruangan tersebut. Saat itulah saya baru benar-benar mengerti mengapa prosedur kunjungan ke museum tersebut menjadi agak sedikit rumit. Ketika ada kunjungan, museum harus menyalakan lampu yang berjumlah tak sedikit, ada sekitar 500 buah lampu yang harus dinyalakan di museum untuk menerangi diorama-diorama dan beberapa properti museum yang dipajang di ruangan tersebut. Selain itu, beberapa pendingin ruangan juga harus dinyalakan demi kenyamanan pengunjung museum. Dan tentu saja biaya kebersihan dan perawatan gedung, sehingga ada biaya administrasi yang harus ditanggung oleh pengunjung museum. Di dalam museum juga terdapat beberapa koleksi senjata yang dimiliki oleh pasukan PETA dulu dalam melawan tentara Jepang.

Luas monumen dan museum PETA sendiri sekitar 1 hektar. Berdiri di sekelilingnya adalah pusat pelatihan ZENI untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan mengenai kemiliteran. Bangunannya telah ada sejak penjajahan Belanda sekitar tahun 1700-an, sehingga tidak heran jika ciri-ciri bangunannya mirip dengan bangunan jaman dulu peninggalan sejarah.

Di halaman belakang museum, terdapat patung Jend. Sudirman berdiri tegak. Demikian juga di bagian depan gedung, terdapat patung Jend. Sudirman, Supriyadi, dan beberapa kendaraan atau tank perang PETA. Mendengarkan penjelasan langsung dari pemandu museum yang berasal dari TNI ini, kami seperti kembali ke jaman sekolah dulu, saat membuka buku sejarah yang pastinya kini sudah menjadi sejarah di atas meja belajar kita. Perjuangan para pejuang dan pendahulu kita dalam mencapai cita-cita untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan bangsa asing.

Di bagian terakhir penjelasan beliau, beliau menunjukkan replika bangku yang digunakan oleh Jend. Sudirman ketika sedang sakit. Sebuah kursi rotan dengan bilah-bilah bambu untuk memanggul bangku tersebut. Bapak itu kemudian berkata, “Walaupun badan sedang sakit, namun semangat untuk berjuang tetap harus ada.” Sungguh, saya sendiri jika sedang tidak enak badan, bawaannya ingin istirahat di tempat tidur terus! Tidak ada daya upaya untuk mengerjakan sesuatu yang lainnya selain TIDUR.

(8)

hati saya adalah judul artikel yang dimuat di Majalah DJAWA BAROE di tahun 1944, yang bertuliskan “Bangkitlah oentoek Membela Tanah Air!”

Sudahkah saya melakukannya? #SEmangat SKRIPSI! (Destiana, 2011, p. 1-8).

Pengalaman kedua diceritakan oleh Ahmad Ibo melalui akun website yang diberi nama www.indonesiakaya.com dengan memberikan judul postingannya “Rumah Pembela Tanah Air” sebagai berikut:

Bogor tidak hanya kaya akan kuliner, tapi juga kaya akan sejarah panjang pergerakan kebangsaan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka. Peran Bogor sebagai tempat dilahirkannya prajurit garda terdepan yang gagah berani tak perlu dielakkan lagi. Berdasarkan sejarah, Jepang pernah mengeluarkan dekrit membentuk Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Alih-alih dibentuk untuk membantu Jepang melawan sekutu, PETA kemudian dijadikan sebagai korps tentara yang disiapkan untuk mencapai Indonesia merdeka oleh para pemimpin pergerakan kebangsaan.

Peran tentara PETA tidak lepas dari tanah Bogor, karena di daerah inilah untuk pertama kali pendidikan perwira PETA didirikan. Untuk mengenang Bogor sebagai kota pembela tanah air, dibangunlah monumen yang berdiri berdampingan dengan museum yang diberi nama Museum PETA. Museum PETA terletak di Jalan Jenderal Sudirman No 35, Bogor, menempati lokasi yang dahulu dijadikan tempat pendidikan kemiliteran para perwira PETA. Konon, pemilihan lokasi ini atas berbagai pertimbangan. Antara lain karena lokasinya strategis, udara yang sejuk, dukungan fasilitas, dan yang terpenting masyarakat sekitar pada saat itu juga mendukung didirikannya pusat pendidikan militer dalam usaha mencapai kemerdekaan Indonesia.

Pembangunan Museum PETA diprakarsai oleh Yayasan Pembela Tanah Air, sebuah yayasan yang menjadi tempat bersatunya mantan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air. Pembangunan dimulai pada 14 November 1993 dan memerlukan waktu sekitar 2 tahun sebelum bangunan selesai. Pada 18 Desember 1995, Museum PETA diresmikan oleh Presiden Soeharto – yang juga merupakan mantan perwira PETA angkatan I.

Memasuki kawasan museum, pengunjung akan disambut sebuah prasasti yang dituliskan pada dinding marmer. Tulisan bernada nasionalisme tersebut berisi sebuah pernyataan: “Bumi Pembela Tanah Air Ini Merupakan Kawah Candradimuka Keprajuritan Indonesia, Kami Datang dan Berkumpul di Bogor Tidak Saling Mengenal, Kami Berpisah sebagai Kawan Seperjuangan untuk Membela Tanah Air.”

(9)

Terdapat sebuah monumen di bagian belakang Museum PETA. Monumen tersebut berupa patung Daidancho Soedirman. Daidancho merupakan pangkat kemiliteran buatan Jepang. Daidancho setara dengan Komandan Batalyon (Letkol/Mayor). Di bagian yang lain, terdapat patung Supriyadi dengan gestur yang heroik, tangan kanan mengepal ke atas sementara tangan kiri menggenggam sebilah samurai.

Pahlawan Nasional yang bernama lengkap Fransiskus Xaverius Supriyadi ini mempunyai pangkat Shodancho atau setara dengan Komandan Pleton (Letnan). Beliau berperan memimpin pemberontakan tentara PETA terhadap pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Sementara, pada dinding monumen yang berbentuk setengah lingkaran terdapat nama-nama perwira tentara PETA yang berasal dari seluruh Jawa, Bali, Madura, dan Sumatera – lengkap dengan informasi yang menerangkan fungsi dan jabatannya.

Museum dan Monumen PETA dibuka untuk umum setiap hari kecuali Sabtu, Minggu, dan hari besar nasional. Jam operasional museum dibuka mulai pukul 08.00 hingga pukul 14.00 WIB.

Berkunjung ke Museum PETA, pengunjung akan diajak kembali ke masa pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia – masa ketika sikap nasionalisme menjadi panglima melebihi sikap individualisme kelompok dan golongan. Di museum ini, pengunjung juga diajak untuk mengetahui sejarah panjang cikal bakal berdirinya TNI di Indonesia, sambil mengenang jasa para perwira tentara PETA yang telah gugur mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk cita-cita kemerdakaan Indonesia (Ibo, 2011. p. 1-9).

Pada blog ketiga pengunjung bernama Faisal Pratama (2013), memposting hasil kunjungannya di Monumen dan Museum PETA melalui akun blognya yang bernama www.hitung-mundur.blogspot.com dengan judul postingan “Museum Traveling (part 1: Museum PETA)” sebagai berikut:

Lanjut ya?

Nah, pada hari ini juga, masih ada satu meseum lagi yang ingin aku kunjungi. Masih seputar museum yang bertema perjuangan bangsa, kali ini aku memacu motor ku menuju monumen dan museum PETA.

Destinasi ke-2: Museum dan Monumen Pembela Tanah Air (PETA). Jalan Jendral Soedirman no.35

(10)

pemberontakan dimana – mana dari segala macam organisasi bentukan jepang yang dulunya bertujuan untuk membungkam rakyat indonesia sendiri. Khususnya pemberontakan PETA di Blitar yang dipmpin oleh Supriadi.

Singkat cerita setelah Hiroshima dan Nagasaki di luluh-lantakkan bom atom Amerika, tentara PETA dan para pemuda terus mengawal persiapan kemerdekaan hingga dikibarkannya sang saka Merah Putih tanggal 17 Agustus 1945. Setelah itu, PETA pun dibubarkan demi menghapus jejak jepang di Indonesia dan dibentuklah BKR atau Badan Keamanan Rakyat yang menjaga kedaulatan negara yang masih muda ini dari nafsu negara belanda yang ingin merebut kembali tanah jajahannya.

Itulah cerita singkat yang bisa aku sampaikan melalui perspektifku dari relief yang terpahat pada monumen PETA ini. Ditengah monumen terdapat Patung Panglima Besar Jendral Soedirman berdiri kokoh nan gagah. Singkat saja kunjungan ku disini, sebenranya saat itu para tentara sedang ada hajatan pernikahan salah seorang kerabatnya di aula. Kondisi monumen sendiri masih sangat baik dan terawat. Yah memang karena tempat ini masih sering dipergunakan para anggota TNI tentunya.

Ada kata – kata yang sangat bagus dituliskan pada monumen ini :

"Kami datang berkumpul di Bogor tidak saling mengenal, kami berpisah sebagai kawan seperjuangan untuk membela Tanah Air"

Dalam perjalanan pulang, aku sempatkan diriku mampir ke Taman Makam Pahlawan, Dreded, Bogor. Di depan monumennya aku berdoa, semoga arwah mereka diterima disi-Nya sebagai pahlawan yang mati syahid demi kemerdekaan bangsanya, terbebas dari penjajahan.

Sekian perjalanan ku hari ini.

30 Mei 2013

Bogor

(Pratama, 2013. p. 1-8).

Berbagai postingan melalui media elektronik dalam bentuk blog dan website yang menjadi salah satu bagian dari apresiasi pengunjung saat melihat secara langsung Monumen dan Museum PETA, meskipun dengan berbagai ekspresi yang dituangkan dalam cerita dan pengalaman mereka, namun dapat kita pahami makna dan memori kolektif yang mereka peroleh berdasarkan pada sebuah objek oriented semata dan menuangkannya atas interpretasi individu yang telah mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran sejarah di bangku sekolah.

Dalam masalah ini dapat dikaitkan dengan pendapat Chen (2007), yang menguraikannya dalam 5 (lima) pendekatan metodologi untuk menciptakan memori kolektif, yaitu:

(11)

2. Remembering life episodes,

3. Memories of domestic life in the past, 4. Reconstruction of a history event,

5. Reflection, association and creation of memories. (Chen, 2007. p. 175-181).

4. Penutup

Melalui hasil kajian Monumen dan Museum PETA ini, dapat dilihat peranan museum sejarah untuk menciptakan memori kolektif dengan melibatkan masyarakat, melalui pengalaman pengunjung dan identitas dari saksi sejarah serta pelaku sejarah dalam peristiwa perekrutan dan pendidikan militer, yang masa itu di pusatkan di lokasi Monumen dan Museum PETA sekarang. Secara tidak langsung informasi dari pengalaman para pejuang veteran yang hingga kini masih hidup dapat menjadi sebuah acuan, dalam mewujudkan dan menciptakan memori kolektif mereka yang dituangkan kedalam museum ini. Sehingga mereka pun dapat merasakan nuansa nostalgia di masa lalu di tempat tersebut sekaligus dapat menjadi ruang bagi mereka untuk menceritakan sejarah bangunan dan fungsi bangunan di masa itu, dimana mereka pernah menjadi bagian dan merasakan serta melihat secara langsung proses dari berbagai peristiwa yang pernah mereka alami di masa tersebut. Hal ini dapat juga menjadi bagian dari cerita mengenai kehidupan mereka di masa sekarang melalui pengalaman pribadi mereka masing-masing di pasca kemerdekaan.

(12)

Daftar Pustaka

Chen, Chia-Li. (2007). “Museums and the Shaping of Cultural Identities. Visitors’ Recollections in local museums in Taiwan”. dalam Simon J. Knell et.al. (eds.). Museum Revolution. (pp. 173-188). Routledge: London & New York.

Johan, Irmawati and Arainikasih, Ajeng Ayu. “Jakarta Historical Museum: Whose History?”, International Journal of the Inclusive Museum Volume 3: 1, 163-178.

Lubar, Steven. (2007). “Exhibitng Memories”. dalam Sheila Watson (ed.).

Museum and Their Communities. (pp. 397-405). Routledge: London & New York.

Purbo, Suwondo.S. (ed.). (1996). “PETA Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (di Jawa dan Sumatera 1942-1945)”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

(13)

Daftar Publikasi Elektronik

Destiana, Ira. (2011, Februari 11). Museum PETA. diakses Desember 15, 2013.

http://cukuptau.wordpress.com/2011/02/11/museum-peta/

Ibo, Ahmad. (2011, Agustus 22). Indonesia Kaya Eksplorasi Budaya Di Zamrud Khatulistiwa. Museum PETA. diakses Desember 15, 2013.

www.indonesiakaya.com/kanal/detail/rumah-para-pembela-tanah-air

Pratama, Faisal. (2013, Mei 30). Hitung Mundur look again what I’ve done. Museum Traveling (Part 1: Museum PETA). diakses Desember 16, 2013.

http://hitung-mundur.blogspot.com/2013/07/lanjut-ya-nah-pada-hari-ini-juga-masih.html

WRPKB (2011, Mei 19). Museum PETA. diakses Desember 15, 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Pencegahan preventif yang dilakukan oleh Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebaran Berita Hoax adalah dengan cara membentuk Satuan Tugas

peredaran ibu. Uji coba menunjukkan bahwa pemberian antibodi terapi untuk wanita selama kehamilan mereka sebagian besar untuk mencegah HDN berkembang. Pada 1970-an,

Kolam oksidasi merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk dapat mengolah limbah cair rumah tangga.. Kolam ini terdiri dari serangkaian kolam

Penelitian mengenai “Pengaruh Capital Adequacy ratio (CAR), Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE) Dan Earning Per Share (EPS) Terhadap Nilai Perusahaan Pada

Adapun hasil analisis mengenai penerapan Sistem Pengendalian Internal dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi yang diterapkan perusahaan dapat tercapai jika

Unsur menguasai secara melawan hukum (bermaksud memiliki), maksud unsur ini adalah penguasaan secara sepihak oleh pemegang sebuah benda, seolah-olah ia merupakan

Kita vertus, tyrimai JAV rodo, kad neretai dėl itin siauro, formalistinio teisinio išsilavinimo suvokimo daugelio teisę studijuojančiųjų lūkesčiai yra nuviliami, nes jie

Dengan deskripsi konsep tersebut dapat diharapkan untuk merancang komunikasi visual yang sesuai dengan target audiens yaitu seseorang yang berjiwa muda, kreatif, dan