• Tidak ada hasil yang ditemukan

AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM P"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM PIDANA

Oleh :

Muhammad Zainal Abidin

Sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan hal pokok yang harus ada/mutlak dalam setiap rumusan tindak pidana. Artinya suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana apabila terhadap perbuatan itu mengandung sifat melawan hukum, dan oleh karena sifat melawan hukum ini pula yang menjadikan pelakunya dapat dijatuhi pidana.

Kata melawan hukum adalah kata yang sudah baku digunakan untuk menterjemahkan kata dari bahasa Belanda onrechtmatige atau wederrechtelijk, atau dari bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian, onrechmatige atau wederrechtelijk atau unlawfulness dapat diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum. Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana, sedangkan onrechtmetige dalam bidang hukum perdata (Komariah Emong Sapardjaja, 2002 : 90). Sehingga tindak pidana (strafbaar feit) dalam hukum pidana pada intinya adalah feit yang wederrechtelijk atau perbuatan yang melawan hukum.

Mengenai pengertian wederrechtelijk, para ahli hukum pidana telah memberikan arti yang berbeda-beda, sehingga oleh G.A. van Hamel, dari pengertian yang berbeda-beda itu kemudian dikelompokan kepada 2 (dua) kelompok pendapat, yaitu kelompok dengan paham positif dan kelompok dengan paham negatif. Kelompok dengan paham positif dianut oleh Simons dan Noyon, sedangkan paham negatif dianut oleh Hoge Raad. Simons mengartikanwederrechtelijk sebagai in strijd met het recht (bertentangan dengan hukum), sedangkan Noyon mengartikan wederrechtelijk sebagai met krenking van eens anders recht (dengan melanggar hak orang lain). Hoge Raad dengan paham negatifnya mengartikan wederrechtelijk sebagai niet steunend op het recht(tidak berdasarkan hukum) ataupun sebagai zonder bevoegdheid (tanpa hak) (PAF Lamintang, 1997 : 347).

(2)

1365 BW berdasarkan arrest Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 yang mengartikan onrechtmatig tidak saja bertentangan dengan undang-undang tetapi juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis berupa perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan (Ibid., 350-351).

Menurut Noyon, apabila ditinjau dari kepustakaan, terdapat 3 (tiga) macam pengertian wederrechtelijkheid, yaitu pertama sebagai in strijd met het objectief recht (bertentangan dengan hukum objektif) seperti yang dianut oleh Simons, Zevenbergen, Pompe, dan van Hattum; kedua sebagai in strijd met het subjectief recht van een ander (bertentangan dengan hak orang lain) seperti yang dianut oleh Noyon; dan ketiga sebagai zonder eigen recht (tanpa hak yang ada pada diri sendiri) seperti yang dianut oleh Hoge Raad. Meskipun Noyon menganut paham in strijd met het subjectief recht van een ander atau met krenking van eens anders recht, namun demikian Noyon mengatakan bahwa paham yang memberikan pengertian wederrechtelijheid sebagai in strijd met het objectief recht adalah yang paling tepat apabila ditinjau dari segi bahasa maupun ditinjau dari segi sistematikanya (Ibid., 352).

Hazewinkel Suringa dengan mengikuti paham yang dianut oleh Hoge Raad menentang pendapat yang mengartikan wederrechtelijkheid sebagai in strijd met het objectief recht atau sebagai in strijd met het subjectief recht van een ander. Suringa berpendapat bahwa wederrechtelijkheid harus diartikan sebagai zonder eigen recht, karena seperti inilah penempatannya dalam rumusan tindak pidana dan seperti ini pulalah yang dianut oleh Hoge Raad (Ibid., 353), sedangkan Lamintang mencoba memberikan pengertian terhadap wederrechtelijkheid sebagai “secara tidak sah” (Ibid., 354). Sikap Lamintang ini menunjukan bahwa ia tidak mau terjebak dalam pola pikir para ahli hukum sebelumnya yang berusaha memberikan pengertian wederrechtelijkheid secara harfiah dengan mengacu kepada sinonim dari kata wederrechtelijkheid tersebut. Menurut Lamintang, perkataan “secara tidak sah” dapat meliputi in strijd met het objectief recht, in strijd met het subjectief recht van een ander maupun zonder eigen recht (Ibid., 355).

(3)

kekuasaannya” (met overschrijding van zijne bevoegdheid) sebagaimana dalam pasal 430, dan dengan menyebut “tanpa memerhatikan cara yang ditentukan dalam peraturan umum” (zonder inachtneming vande bij algemeene verordening bepaalde vormen) sebagaimana pada pasal 429 (Adami Chazawi, 2002 : 89). Karena bermacam-macam pengertian wederrechtelijk itu maka Noyon-Langemeyer mengusulkan agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya (Andi Hamzah, 2008 : 132).

Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur dari tindak pidana, selain unsur perbuatan dan akibat serta unsur ancaman pidana. Kedudukan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidana begitu sangat penting, sehingga dikatakan perhatian utama hukum pidana yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, karena perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam pidana. Menurut Langemeyer, untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dan yang tidak dipandang keliru, tentunya tidak masuk akal (Moeljatno, 2008 : 130).

Pendapat yang dikemukakan oleh Langemeyer di atas dipertegas dengan pendapat yang diberikan oleh Andi Zainal Abidin dan Roeslan Saleh. Menurut Andi Zainal Abidin, salah satu unsur essensial delik adalah sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu pasal undang-undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana yang melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum (Andi Zainal Abidin, 2007 : 47), dan Roeslan Saleh mengatakan bahwa dipidananya sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya (Roeslan Saleh, 1987 : 1). Konklusi yang dapat ditarik dari pendapat di atas, apabila melekat sifat melawan hukum pada suatu perbuatan maka perbuatan tersebut menjadi tindak pidana dan dapat dijatuhi pidana, hal ini menunjukan hubungan yang erat antara sifat melawan hukum perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana. Dan oleh karena itu pula, berhubung setiap tindak pidana harus bersifat melawan hukum, maka pertanggungjawaban juga diarahkan kepada sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut (Chairul Huda, 2006 : 54).

(4)

wajar maka tidak perlu diadakan unsur tersendiri, yaitu kata-kata yang menunjukan bahwa perbuatan adalah bertentangan dengan hukum. Namun adakalnya kepantangan dilakukannya perbuatan tersebut belum cukup jelas dengan unsur-unsur yang ada maka dianggap perlu untuk menambahkan unsur melawan hukum di dalam rumusan pasal tersebut. Sedangkan melawan hukum yang subjektif merupakan melawan hukum yang berkaitan dengan segala sesuatu yang ada dalam diri pelaku, maksudnya adalah suatu perbuatan baru akan menjadi terlarang apabila adanya niat yang buruk dari pelaku perbuatan tersebut. Sifat melawan hukumnya tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan kepada sikap bathin pelaku (Moeljatno, Op. Cit. : 67-69).

Ternyata tidak semua ahli hukum pidana yang sependapat bahwa melawan hukum merupakan unsur mutlak dalam setiap rumusan tindak pidana. Setidaknya Hazewinkel Suringa dan Pompe yang berpendapat demikian. Menurut Hazewinkel Suringa, unsur melawan hukum hanya merupakan unsur mutlak suatu tindak pidana jika undang-undang menyebutkan dengan tegas sebagai unsur tindak pidana bersangkutan, apabila undang-undang tidak menyebutkan dengan jelas sebagai unsur tindak pidana maka melawan hukum hanya sebagai suatu tanda suatu tindak pidana (Roeslan Saleh, Op.Cit. : 4). Pompe juga berpendapat bahwa melawan hukum bukanlah unsur mutlak tindak pidana, melawan hukum merupakan unsur mutlak tindak pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan (Ibid., 5).

Sehubungan dengan adanya pertentangan sikap yang ditunjukan oleh para ahli hukum pidana di atas, menjadikan penulis terdorong untuk memberikan sikap terhadap kedua pandangan tersebut. Menurut penulis adalah tepat pendapat pertama yang mengatakan bahwa sifat melawan hukum adalah sesuatu yang mutlak/harus ada dalam setiap rumusan tindak pidana meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam setiap rumusan tindak pidana, karena sifat melawan hukum ini yang menentukan adanya kesalahan atau tidak, dan pada akhirnya berkaitan pula dengan “pertanggungjawaban pidana”.

(5)

apakah unsur melawan hukum ada atau tidak, maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak pula boleh dijatuhkan pidana (Ibid.).

Meskipun sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak/essesial dari suatu tindak pidana, namun dalam kenyataannya tidak semua rumusan tindak pidana yang mencantumkan secara tegas/eksplisit sifat melawan hukum ini sebagai bagian inti dari rumusan tindak pidana (bestandellen van het delict). Melawan hukum sebagai bestandellen van het delict terlihat dalam beberapa pasal, yakni Pasal 362, Pasal 368, Pasal 369, Pasal 372, dan Pasal 378. Pasal-pasal lain dalam KUHP banyak pula yang menjadikan sifat melawan hukum ini sebagai elemen dari tindak pidana (elementen van het delict) atau tidak secara tegas dinyatakan sebagai unsur dalam rumusan tindak pidana, namun demikian bukanlah berarti perbuatan yang dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana tersebut tidak memiliki sifat melawan hukum. Hal ini dapat pula diartikan secara sederhana bahwa suatu tindak pidana sebenarnya merupakan salah satu bentuk tindakan melawan hukum yang mendapat tempat secara khusus dalam suatu undang-undang hukum pidana.

Sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana adalah bahagian suatu pengertian yang umum, pembuat undang-undang pidana tidak pernah menyatakan bahagian ini, tetapi selalu merupakan dugaan (Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit. : 24), oleh karena itu pembuat undang-undang tidak perlu selalu mencantumkan sifat melawan hukum dan kesalahan dalam teks undang-undang, hal itu merupakan syarat umum bagi sifat dapat dipidananya suatu perbuatan (Ibid). Dengan demikian, dicantumkannya secara tegas atau tidak sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur pada pasal pidana disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :

I. 1.Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit,

II. 2.Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku baginya oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzining atau tidak masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan (Andi Zainal Abidin, 1987 : 269-270).

(6)

lain yang sama, namun tidak bersifat melawan hukum karena pelakunya berhak untuk melakukan perbuatan itu. Hal ini akan menyebabkan dipidananya orang yang melakukan perbuatan yang sama yang tidak bersifat melawan hukum (Adami Chazawi, Op.Cit. : 88). Maksud yang sama juga dikemukakan oleh Schaffmeister, bahwa ditambahkannya perkataan “melawan hukum” sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruang lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu luas. Hanya jika suatu perilaku yang secara formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusan delik, namun secara umum sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, maka syarat “melawan hukum” dijadikan satu bagian dari rumusan delik (Chairul Huda, Op.Cit. : 50).

Sekaitan dengan dicantumkannya dengan tegas atau tidak “melawan hukum” sebagai unsur dalam rumusan pasal-pasal pidana, agaknya perlu pula diperhatikan pendapat dari Mahrus Ali (Mahrus Ali, 2011 : 90) yang membagi unsur melawan hukum tersebut menjadi 2 (dua), yaitu melawan hukum umum dan melawan hukum khusus. Menurutnya unsur melawan hukum umum merupakan syarat umum dapat dipidana suatu perbuatan karena di dalam setiap rumusan tindak pidana pasti mengandung unsur melawan hukum, sedangkan melawan hukum khusus adalah kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan pasal tindak pidana. Melawan hukum umum yang dimaksudkan oleh Mahrus Ali di atas menurut penulis memiliki makna yang sama ketika sifat melawan hukum tersebut sebagai elementen van het delict, dan melawan hukum khusus menjadi sama maknanya ketika sifat melawan hukum tersebut sebagai bestandellen van het delict.

(7)

tidak bersifat melawan hukum. Ketika melawan hukum yang menjadielementen van het delict tidak ditemui pada perbuatan yang didakwakan maka konsekuensinya terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging).

Praktik peradilan yang membedakan putusan sekaitan dengan melawan hukum sebagai bestandellen van het delict dan sebagai elementen van het delict ditanggapai berbeda oleh Chairul Huda. Dengan melihat dari teori pemisahan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana, Chairul Huda mengemukakan bahwa praktik peradilan yang demikian tidak dapat dipertahankan. Menurutnya apabila Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana, baik ketika salah satu unsur tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti (termasuk perkataan melawan hukum yang disebutkan secara tegas) maupun ketika tindak pidana yang didakwakan tersebut terbukti tetapi dipandang tidak bersifat melawan hukum (melawan hukum menjadi unsur diam-diam) maka terdakwa harus diputus bebas. Tidak perlu dibedakan tidak terbuktinya tindak pidana karena bagian inti “melawan hukum” tidak terbukti, dan tindak pidana yang dipandang tidak bersifat melawan hukum, atau tidak perlu dipandang “melawan hukum” sebagai bestandellen van het delict atau “melawan hukum” sebagai elementen van het delict (Chairul Huda, Op.Cit. : 52).

Dalam literatur ilmu hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dikenal 2 (dua) paham yang mendasarinya, yaitu paham ajaran sifat melawan hukum formil (formele wederrechtelijkheid) dan paham ajaran sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid). Lahirnya kedua paham ajaran sifat melawan hukum ini sebagai bentuk perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum pidana, dan sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan selalu menjadi bahan diskusi yang belum selesai.

Dari beberapa literatur hukum pidana, sepertinya para ahli hukum pidana telah bersepakat dalam memberikan arti dan makna terhadap kedua ajaran sifat melawan hukum ini. Perbedaan diantara keduanya terletak pada parameter yang digunakan. Dalam ajaran sifat melawan hukum formil menggunakan parameter bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan ajaran sifat melawan hukum materil menggunakan parameter bertentangan dengan nilai kepatutan dan keadilan masyarakat.

(8)

secara tegas dalam undang-undang (Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit. : 25). Artinya suatu perbuatan tidak bisa dianggap bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat, dan ukuran untuk menentukan suatu perbuatan tersebut bersifat melawan hukum atau tidak adalah undang-undang (Mahrus Ali, Op.Cit. : 92).

Menurut Tongat sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali, di dalam ajaran sifat melawan hukum formil terkandung 2 (dua) pemahaman. Pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum ketika perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan yang diancam pidana. Menurut ajaran ini perbuatan yang dianggap bersifat melawan hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara formil telah dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana. Kedua, hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan hanyalah undang-undang, artinya hanya undang-undang yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang (Ibid).

Menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu mencocoki semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu benar-benar harus dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula alasan ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis (Komariah Emong Sapardjaja,Loc.Cit). Berkaitan dengan sifat melawan hukum materiil ini, Sudarto berpendapat bahwa suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (yang tertulis saja), akan tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya (Sudarto, 1990 : 78). Apabila diperhatikan, sifat melawan hukum materiil pada suatu perbuatan menunjukan bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan rasa keadilan (Ibid. : 56).

(9)

melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan melawan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan delik pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materiil atau tidak. Sebaliknya secara materil merupakan pandangan yang menitikberatkan melawan hukum dari segi subjek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materiil dari sisi pelaku (Loebby Loqman, 1991 : 25).

Berkaitan dengan pembedaan antara melawan hukum secara formil dan materiil ini, Pompe memberikan pendapat yang berbeda dan pendapatnya ini menurut Roeslan Saleh agak aneh. Menurut Pompe, apabila unsur melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan delik maka dikatakan melawan hukum secara formil dan dikatakan melawan hukum secara materil apabila melawan hukum disebutkan dalam rumusan delik (Roeslan Saleh, Op.Cit. : 11). Hal ini berkaitan pula dengan pendapat Pompe sebelumnya yang mengatakan bahwa sifat melawan hukum bukanlah unsur mutlak tindak pidana kecuali kalau dinyatakan tegas dalam rumusan undang-undang.

Keberadaan ajaran sifat melawan hukum secara formil tidak menjadi persoalan karena ini secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan apakah seseorang itu melakukan sesuatu yang melawan hukum atau tidak, cukup apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Persoalan dan perdebatan muncul dengan keberadaan ajaran sifat melawan hukum materiil. Hal ni dikarenakan di Indonesia berkembang pula hukum yang tidak tertulis, yaitu hukum adat yang memungkinkan sifat melawan hukum tersebut ada dan terdapat dalam masyarakat.

(10)

Dari pengertian sifat melawan hukum dan pembagiannya di atas, maka dapat dinyatakan bahwa sifat melawan hukum memiliki 4 (empat) makna.Pertama, sifat melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakukan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela; kedua, kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik, dengan demikian sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan; ketiga, sifat melawan hukum formil mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah terpenuhi; dan keempat, sifat melawan hukum materiil mengandung 2 (dua) pandangan, pertama dari sudut perbuatannya yang mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik, dan kedua dari sudut sumber hukumnya, dimana sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan hukum yang hidup di masyarakat (Eddy OS Hiariej, www.unisosdem.com).

Menurut Moeljatno, apabila mengikuti pandangan yang materiil, maka perbedaannya dengan pandangan yang formil adalah :

I. 1.Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 49 tentang pembelaan terpaksa (noodweer).

II. 2.Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur dari perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata barulah menjadi unsur delik (Moeljatno, Op.Cit. : 144).

(11)

Sehubungan dengan pembuktian unsur melawan hukum secara materiil, patut diperhatikan bahwa penerapan ajaran sifat melawan hukum materiil itu senantiasa tidak boleh melebihi syarat yang telah ditentukan melalui fungsi negatif saja. Penerapan fungsi negatif dari ajaran sifat melawan hukum materiil erat kaitannya dengan masalah pertanggungjawaban pidana, dimana seseorang dilepaskan dari segala tuntutan hukum apabila perbuatannya tidak melawan hukum secara materiil, sekalipun perbuatan itu melawan hukum secara formil (Elwi Danil, 2011 : 144). Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif merupakan jawaban dalam bidang hukum pidana untuk memberikan keadilan yang tidak dapat diberikan oleh pembuat undang-undang hanya dengan mencantumkan alasan-alasan pembenar dalam undang-undangnya sendiri. Ajaran ini setidak-tidaknya memberikan kebebasan kepada hakim untuk menemukan hukum dalam rangka menafsirkan arti sifat melawan hukum (Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit. : 69).

(12)

Vee –arts Arrest inilah yang semula diajukan oleh para ahli hukum pidana yang berpandangan materiil, dengan alasan meskipun perbuatan pelaku telah memenuhi rumusan delik serta tidak ada suatu pengecualian di dalam undang-undang, maka tidak selalu pelaku harus dijatuhi hukuman apabila memang terbukti perbuatan pelaku tidak mengandung melawan hukum secara materiil. Perbuatan Dokter Hewan yang telah dilepaskan dari segala tuntutan hukum itu merupakan alasan pembenar dari suatu pengecualian di luar undang-undang yang berasal dari hukum yang tidak tertulis. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa fungsi negatif dari sifat melawan hukum materiil berusaha memberikan suatu pandangan yang lebih konstruktif sebagai reaksi dari pandangan formil, dengan menyatakan bahwa tidaklah selalu pelaku dihukum meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik.

Sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif merupakan kebalikan dari sifatnya yang negatif. Fungsi positif dijadikan sebagai alasan untuk mempidana suatu perbuatan meskipun sebelumnya perbuatan tersebut tidak dilarang oleh undang-undang namun dipandang tercela dan mengganggu rasa keadilan masyarakat. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap atau dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum secara materiil. Dapat pula dikatakan bahwa diterapkannya sifat melawan hukum materiil dalam fungsi positif berarti memberikan wewenang kepada hakim untuk melaksanakan fungsi legislasi dengan melakukan kriminalisasi terhadap suatu perbuatan.

Referensi

Dokumen terkait

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

Dewasa ini dalam praktek peradilan yang menerapkan pengertian melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif atau mengartikan melawan hukum dalam hukum pidana

Hal yang kedua menyatakan bahwa menurut ajaran melawan hukum formil, sifat melawan hukumnya perbuatan yang telah ada dan dirumuskan dalam undang-undang sebagai

Kesulitan pembuktian unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam tindak pidana korupsi adalah karena unsur tersebut hanya mengandung pengertian sifat melawan

Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa

Kembali kepada MA yang tetap menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsi posi f pasca putusan judicial review oleh MK dengan memper mbangkan

(penyangkalan terhadap pendapat yang luas karena bersifat melawan hukum berarti sama dengan tidak diperkenankan. Melawan hukum menurut ajaran ini tidak hanya bertentangan dengan

Konsepsi hukum dari perbuatan melawan hukum dan prestasi adalah Perbuatan melawan hukum diartikan dalam perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, yakni sekedar suatu perbuatan yang