• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT MELAWAN HUKUM. Disusun oleh Kelompok Pidana Topik 10 Kelas O:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SIFAT MELAWAN HUKUM. Disusun oleh Kelompok Pidana Topik 10 Kelas O:"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT MELAWAN HUKUM

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana yang diampu oleh Dr.

Rehnalemken Ginting S.H., M.H.

Disusun oleh Kelompok Pidana Topik 10 Kelas O:

1. Imraatu Justiqanna Andini (E0021201) 2. Indah Aprilliyani (E0021202) 3. Isnaini Wahyuningsih (E0021206) 4. Karenina Maheswari Wihita (E0021221) 5. Kinanthi Ing Gusti (E0021233)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM SARJANA

2022

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun tugas makalah Hukum Pidana yang berjudul “Sifat Melawan Hukum” dengan baik.

Saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya.

Kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik uang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Surakarta, 17 Mei 2022

Kelompok 10

(3)

ii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 1

1.3 Tujuan ... 1

1.4 Manfaat ... 2

BAB II ... 3

PEMBAHASAN ... 3

2.1 Pengertian Sifat Melawan Hukum ... 3

2.2 Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil... 4

BAB III ... 10

PENUTUP ... 10

3.1 Kesimpulan ... 10

3.2 Saran ... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 11

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehadiran hukum ditengah-tengah masyarakat memiliki tujuan untuk menjamin dan menciptakan keamanan dan ketertiban dalam setiap interaksi masyarakat. Adanya hukum menciptakan rasa aman dari segala macam perbuatan yang merugikan hak dan kepentingan setiap manusia. Berbagai macam hukum berlaku di dalam masyarakat, salah satunya adalah Hukum Pidana.

Hukum Pidana pada dasarnya merupakan hukum atau ketentuan-ketentuan mengenai kejahatan dan pidana. Hukum Pidana memiliki sanksi yang bersifat khusus yang membedakannya dengan lapangan hukum yang lain. Hukum Pidana dan sanksi pidana dianggap sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melindungi dirinya dari perbuatan atau perilaku yang dapat membahayakan masyarakat.

Dalam hukum pidana, dikenal adanya istilah tindak pidana. Tindak pidana sendiri memiliki arti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Perbuatan yang masuk kedalam tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan yaitu perbuatan manusia, melanggar UU, bersifat melawan hukum, adanya kesalahan, dan kemampuan untuk bertanggung jawab.

Unsur-unsur dari tindak pidana tersebut menarik untuk dikaji secara lebih lanjut, salah satunya adalah sifat melawan hukum. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai sifat melawan hukum dalam hukum pidana.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari sifat melawan hukum?

2. Apakah yang dimaksud dengan ajaran sifat melawan hukum formil dan materiil?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian dari sifat melawan hukum

2. Mengetahui ajaran sifat melawan hukum formil dan materiil

(5)

2 1.4 Manfaat

Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai sifat melawan hukum dalam hukum pidana.

(6)

3 BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sifat Melawan Hukum

Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur tindak pidana yang merupakan suatu penilaian objektif terhadap suatu perbuatan dan bukan terhadap yang berbuat. Suatu perbuatan disebut melawan hukum pidana bilamana perbuatan tersebut masuk dalam rumusan delik sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang (tatbestandsmaszig).1 Artinya untuk mengetahui suatu perbuatan bersifat melawan hukum dalam lapangan hukum pidana dapat dilihat dari KUHP sebagai sumber hukum pidana Indonesia dan perundang-undangan lain yang mengatur tentang tindak pidana khusus, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan sebagainya.

Akan tetapi, perbuatan yang memenuhi rumusan delik, tidak senantiasa bersifat melawan hukum, karena mungkin ada alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan. Misalnya, regu penembak yang menembak mati seseorang yang telah dijatuhi pidana mati, perbuatan regu penembak tersebut memenuhi unsur-unsur delik pada Pasal 338 KUHP, tetapi perbuatan mereka tidak melawan hukum karena menjalankan perintah jabatan yang sah sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) KUHP.

Unsur sifat melawan hukum dalam KUHP dirumuskan dalam beberapa istilah yang berbeda yaitu:

1. Unsur tersebut dicantumkan secara tegas dengan penggunaan istilah “melawan hukum”

yang terdapat dalam Pasal 167, 168, 335 ayat (1), 522, 526 KUHP dan sebagainya.

2. Unsur sifat melawan hukum dirumuskan dengan istilah lain seperti “tanpa mempunyai hak untuk itu” yang terdapat dalam Pasal 303, 548, 549 KUHP. Istilah lain lagi yaitu “dengan

1Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1A, (Malang: Bagian Penerbitan, dan Biro Perpustakaan dan Penerbitan, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Brawijaya, 1974), hal.83

(7)

4

melampaui kewenangannya”, yang terdapat dalam Pasal 430 KUHP. Berikutnya istilah

“tanpa ijin, atau tidak dengan setahu yang punya” dalam Pasal 469 dalam 510.

Berbagai istilah dari sifat melawan hukum ini memiliki makna atau arti. Simons mengartikannya sebagai “bertentangan dengan hukum”. Kemudian Noyon mengartikannya sebagai “bertentangan dengan hak orang lain”, dan oleh Hoogerechtshof diartikan sebagai

“tanpa kewenangan atau tanpa hak; hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum”.

Sedangkan Bemmelen memberikan dua macam pengertian dari “melawan hukum”, yaitu bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau barang dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang.2

Sifat melawan hukum ini penting dirumuskan dalam undang-undang agar orang yang berhak, atau berwenang melakukan perbuatan sebagaimana ditentukan tersebut tidak dipidana.3 Konsekuensi dicantumkan secara tegas adalah harus dibuktikan. Sementara itu bilamana tidak dicantumkan secara tegas (secara diam-diam dianggap melawan hukum), maka pembuktiannya dibebankan pada penuntut umum.

2.2 Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil dan Materiil 1. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formil

Menurut ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan dikualifikasikan sebagai melawan hukum apabila bertentangan dengan perundang-undangan (tertulis), demikian juga sifat melawan bukum perbuatan tersebut hanya bisa dihapus dengan alasan pembenar yang dirumuskan dalam perundang-undangan (tertulis) atau dapat juga disebut sebagai dekriminalisasi. Dalam ajaran sifat melawan hukum formil untuk mengkualifikasi suatu perbuatan sebagai melawan hukum maupun untuk menghapuskan sifat melawan hukum harus berdasar perundang-undangan (tertulis), sehingga hukum tidak tertulis sama sekali tidak mendapat tempat dalam hukum pidana.4

Dalam hal melawan hukum formil, maka yang dijadikan sebagai acuan adalah undang- undang di mana suatu perbuatan hanya akan dianggap salah dan melawan hukum apabila

2 Van Bemmelen, Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil Bagian umum), (Bandung: Binacipta, 1984), hlm. 150

3 Sudarto, Op.Cit., hal. 92

4 Prastowo, RB Budi. "Delik formil/materiil, sifat melawan hukum formil/materiil dan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi." Jurnal hukum pro Justitia 24, no. 3 (2006): 215

(8)

5

telah diatur dalam hukum yang tertulis saja.5 Maka setiap perbuatan yang walaupun dianggap jahat oleh masyarakat, tetapi tidak diatur dalam hukum positif tidak dapat dikatakan melawan hukum berdasarkan ajaran sifat melawan hukum formil.

Terdapat beberapa catatan dalam menentukan perbuatan yang melanggar hukum formil, apakah akibatnya atau penyebabnya yang dilarang dalam hukum tertulis. Dalam menentukan perbuatan yang melanggar hukum formil diperlukan kecermatan agar tidak terjadi salah penafsiran undang-undang. Dengan artian, perlu adanya pengamatan pada perbuatan yang melawan hukum formil, pada bagian mana perbuatan tersebut melawan hukum formil.

Dapat disimpulkan bahwa pengertian dari ajaran sifat melawan hukum formil ini meliputi dua hal, yang pertama menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat disebut melawan hukum apabila perbuatan tersebut telah ada dan dirumuskan dalam undang-undang sebagai tindak pidana kemudian perbuatan tersebut harus memiliki sanksi pidana. Hal yang kedua menyatakan bahwa menurut ajaran melawan hukum formil, sifat melawan hukumnya perbuatan yang telah ada dan dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana, sifat melawan hukumnya kemudian hanya dapat dihapuskan oleh undang-undang melalui proses pencabutan oleh undang-undang atau yang dikenal dengan istilah dekriminalisasi.6

Contoh dari ajaran sifat melawan hukum formil yaitu polisi menahan seseorang yang diduga telah melaksanakan suatu perbuatan pidana. Perbuatan polisi ini sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Pasal 333 KUHP. Tetapi karena perbuatan itu tidak dapat dikatakan bersifat melawan hukum karena polisi menjalankan kewajibannya berdasarkan Undang - Undang hukum acara pidana. Dan oleh sebab itu sifat melawan hukumnya hapus karena ketentuan Pasal 50 KUHP.

Contoh lainnya adalah regu penembak yang menembak mati seseorang yang telah dijatuhi pidana mati, perbuatan regu penembak tersebut memenuhi unsur-unsur delik pada

5 Eleanora, Fransiska Novita. "Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan." Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat 9, no. 2 (2016). Hlm. 207

6 Wedanti, I. Gusti Ayu Jatiana Manik, and AA Ketut Sukranatha. "Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 362 KUHP Tentang Tindak Pidana Pencurian." Jurnal Kertha Semaya 1, no. 03 (2013). Hlm.3

(9)

6

Pasal 338 KUHP, tetapi perbuatan mereka tidak melawan hukum karena menjalankan perintah jabatan yang sah sesuai dengan Pasal 51 ayat (1) KUHP.

2. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil

Ajaran sifat melawan hukum memahami bahwa suatu perbuatan harus dilarang berdasarkan ukuran tertentu yang sudah ada sebelum perbuatan dilakukan. Titik pemahaman dalam ajaran sifat melawan hukum berada pada ukuran apa yang digunakan dalam menilai suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang.

Munculnya ajaran sifat melawan hukum materiil ini dari pemikiran Rudgers sebagaimana dikutip Utrecht yang menekankan taatbestandmassigkeit dalam perbuatan pidana berkembang menjadi pemikiran van Bemmelen yang menekankan “idee”

wesenschau dalam perbuatan pidana. Berbeda dengan pandangan tersebut, van Bemmelen sebagaimana dikutip Utrecht berpandangan bahwa suatu perbuatan lebih dapat dinilai sebagai perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut “dem Wesen nach” dalam arti sifat dari perbuatan (wesen) sesuai dengan makna atau inti dari ketentuan hukum pidana yang dimaksudkan.”7

Berdasarkan makna dari sifat melawan hukum tersebut, ajaran sifat melawan hukum materiil pada dasarnya diletakkan pada ada atau tidaknya kepentingan hukum yang dilanggar. Ukuran dari keberadaan melawan hukum perbuatan tidak terletak pada pengaturan perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (sifat melawan hukum formil) melainkan adanya kepentingan hukum yang dilanggar (sifat melawan hukum materiil).

Pemberlakuan ajaran sifat melawan hukum materiil bermula dari pemikiran Von Liszt dan Zu Dohna. Von Liszt sebagaimana dikutip Utrecht menegaskan bahwa tiap perbuatan yang anti-sosial merupakan wederrechtelijkheid.8 Zu Dohna pun memberikan pemahaman bahwa perbuatan yang sudah memenuhi rumusan ketentuan hukum pidana (formeel wederrechtelijkheid) tetapi secara materiil tidak merupakan wederrechtelijkheid. Tinjuan dari sisi ruang lingkup perbuatan yang dapat dikenakan terhadap ketentuan hukum,

7 Utrecht., E. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas. Hlm.261-263

8 Utrecht, E. Op.cit., Hlm. 268-269

(10)

7

pemberlakuan ajaran sifat melawan hukum materiil menunjukkan perluasan melawan hukum secara tidak hanya melawan hukum yang tertulis akan tetapi melawan hukum yang tidak tertulis, yaitu melawan asas-asas hukum umum (algemene beginselen van recht).

Contoh dari ajaran sifat melawan hukum materiil yaitu seorang dokter hewan di kota Huizen dengan sengaja memasukan sapi - sapi yang sehat ke dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah terjangkit penyakit mulut dam kuku,sehingga membahayakan sapi- sapi yang sehat tersebut. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas melanggar Pasal 28 Undang-Undang ternak, yaitu "dengan sengaja menempatkan ternak dalam keadaan membahayakan". Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan bahwa apa yang dilakukannya itu untuk kepentingan peternakan. Putusan Mahkamah Agung Belanda: Pasal 82 Undang-Undang Ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu, dengan pertimbangan bahwa: “Tidak dapat dikatakan bahwa seorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu mesti di pidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya alasan-alasan penghapus pidana. Karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan tidak ada, sehingga oleh karena pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara tegas memenuhi unsur delik."

Terkait dengan ukuran yang digunakan oleh ajaran sifat melawan hukum materiil terdapat beberapa istilah yang digunakan antara lain:

1. Asas-asas hukum umum 2. Kepentingan hukum

3. Kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada saat aturan ditetapkan (schutznorm).

Perbedaan penggunaan istilah tersebut memiliki dampak yang luas pada penerapan sifat melawan hukum materiil. Pengunaan istilah asas-asas hukum umum memberikan ruang lingkup yang sangat luas terhadap ukuran sifat melawan hukum materiil. Pengertian asas-asas hukum umum meliputi semua asas hukum yang berlaku dalam semua bidang hukum, tidak hanya hukum pidana. Artinya, ruang lingkup dari sifat melawan hukum materiil pun tidak hanya dibatasi pada pemahaman sifat dan fungsi dari hukum pidana itu sendiri.

Penggunaan istilah kedua “kepentingan hukum” memiliki perbedaan makna dengan istilah ketiga “kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada saat aturan ditetapkan”.

(11)

8

Istilah “kepentingan hukum” dijelaskan oleh Schaffmeister dengan menunjuk pada kepentingan umum yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang melalui pembentukan norma perilaku menjadi norma hukum. Berdasarkan pemahaman ini maka pemahaman terhadap norma perilaku yang dijadikan dasar atau acuan penilaian perbuatan pidana sangat bergantung pada pemaknaan norma tersebut pada tiap perkembangan masyarakat. Berbeda halnya dengan penggunaan istilah “kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada saat aturan ditetapkan” memberikan batasan pemaknaan kepentingan hukum yang ditegaskan dalam norma perilaku yang ditunjuk melalui sebuah penafsiran tekstual undang-undang.

Pemahaman terhadap pemaknaan norma perilaku yang ditetapkan sebagai norma hukum harus didasarkan pada pemahaman tujuan pembentuk undang-undang membuat pengaturan ketentuan hukum pidana tersebut.

Terkait dengan ukuran penilaian terhadap sifat melawan hukum materiil ini perlu dibedakan:

1. Dalam fungsinya yang negatif

Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar undang-undang menghapus sifat melawan hukumya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang. Jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum,

2. Dalam fungsinya yang positif

Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai satu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tertulis sebagai sumber hukum yang positif.9

Dari pembahasan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara pandangan material dengan pandangan formal yaitu:

1. Pandangan materiil mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan tidak tertulis; sedangkan

9 Sudarto. 2018. Hukum Pidana 1 Edisi Revisi. Semarang: Yayasan Sudarto

(12)

9

pandangan yang formil hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang- undang saja.

2. Pandangan materiil menganggap sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebutkan unsur-unsur tersebut; sedangkan bagi pandangan yang formil, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur dari perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata- nyata, barulah menjadi unsur delik.10

10 Moeljatno, S. H. "Asas-asas Hukum Pidana." Rineka Cipta, Jakarta (2002).

(13)

10 BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur tindak pidana yang merupakan suatu penilaian objektif terhadap suatu perbuatan dan bukan terhadap yang berbuat. Apabila suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, hal itu merupakan indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Namun sifat melawan hukum ini dapat diterobos dengan adanya alasan pembenar.

2. Ajaran sifat melawan hukum formil menganggap bahwa suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila bertentangan dengan hukum tertulis. Sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil menganggap bahwa suatu perbuatan bersifat melawan hukum apabila bertentangan dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Sehingga menurut ajaran sifat melawan hukum formil, alasan pembenar yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan hanya dapat diambil dari hukum tertulis. Sedangkan menurut ajaran sifat melawan hukum materiil, alasan pembenar dapat diambil dari luar hukum yang tertulis.

3.2 Saran

Sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur dari tindak pidana harus dibuktikan agar seseorang dapat dipidana. Kemudian sifat melawan hukum ini penting dirumuskan dalam undang-undang agar orang yang berhak atau berwenang melakukan perbuatan sebagaimana ditentukan itu tidak dipidana.

(14)

11

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, V. (1984). Hukum Pidana 1 (Hukum Pidana Materiil Bagian umum). Bandung:

Binacipta.

Eleanora, F. N. (2016). Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Penyuapan. Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat, 9(2).

Mertha, I.K. dkk. (2016). Buku Ajar Hukum Pidana. Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana

Moeljatno. (2015). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Prastowo, R. B. (2006). Delik formil/materiil, sifat melawan hukum formil/materiil dan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Jurnal hukum pro Justitia, 24(3).

Sudarto. (1974). Hukum Pidana Jilid 1A. Malang: Bagian Penerbitan, dan Biro Perpustakaan dan Penerbitan, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Brawijaya.

Sudarto. (2018). Hukum Pidana 1 Edisi Revisi. Semarang: Yayasan Sudarto.

Utrecht., E. (1986). Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Wedanti, I. G. A. J. M., & Sukranatha, A. K. (2013). Unsur Melawan Hukum Dalam Pasal 362 KUHP Tentang Tindak Pidana Pencurian. Jurnal Kertha Semaya, 1(03).

Referensi

Dokumen terkait

v merupakan variable baru yang tidak mempunyai satuan dan digunakan untuk melukis spiral Cornu. Sumbu x dan sumbu Y adalah sepasang salib sumbu pada spiral Cornu. Sepasang

Apabila debitur atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan pelaksanaan title eksekutorial

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa relevansi pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik merupakan implementasi dari teori

Relasi binary adalah relasi dimana tidak ada anggota pada himpunan pertama yang dihubungkan dengan lebih dari satu anggota pada himpunan kedua.. Garis berarah antar

Metode pembahasan yang digunakan adalah metode Deskriptif yaitu dengan mengumpulkan dan menguraikan data primer dan sekunder, kemudian diolah dan dikaji dengan mengacu

Proses analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah dengan menggunakan model Miles dan Huberman dalam Prastowo yaitu melalui proses reduksi data, penyajian data,

Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah menanamkan konsep dan dimulai dengan benda kongkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai