• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI DALAM"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI

DALAM AJARAN CONFUCIUS

Untuk menganalisis apakah ajaran Confucius berkaitan dengan negara hukum dan demokrasi, perlu diperhatikan pengertian negara hukum dan demokrasi itu. Kata negara hukum merupakan penerjemahan secara harfiah dari Rechtsstaat (bahasa Jerman) ataurechtsstaat (bahasa Belanda), yang muncul sekitar akhir abad ke-18, penerjemahan ini memberi kesan seolah-olah segala gerak-gerik masyarakat dalam negara diatur oleh hukum, oleh peraturan perundang-undangan; segala gerak gerik pemerintah negara itu diatur oleh hukum, oleh peraturan perundang-undangan (wettenstaat), padahal bukan itu yang dimaksud dengan Rechtstaat.[1] Dalam rechtsstaat,dasar kewibawaan negara (the grondslag van statelijk gezag) diletakkan pada hukum dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan dalam segala bentuknya ditempatkan di bawah kekuasaan hukum. Menurut Carl Schmitt, Rechtsstaat mengandung dua unsur yakni grondrechten en scheiding van machten (hak-hak asasi dan pembagian kekuasaan). Carl Schmitt bersandar pada keadaan di Prancis ketika muncul kaum borjuis liberal yang mencita-citakan suatu negara hukum yang demokratis di mana penguasa harus menghormati grondrechten (unsur pertama) dan untuk memperkuat jaminan terhadap grondrechten maka kekuasaan negara tidak boleh berada di dalam satu tangan tetapi harus dibagi-bagi atau scheiding van machten (unsur kedua) agar satu sama lain saling mengawasi supaya ada kontrol.[2] Lebih lanjut, Robert Von Mohl, Rechtsstaat mengandung unsur-unsur sebagai berikut: adanya persamaan di depan hukum, dapatnya setiap orang mempertahankan diri dalam semua situasi yang layak, adanya kesempatan yang sama bagi warga negara yang berhak untuk mencapai semua jabatan kenegaraan, dan adanya kebebasan pribadi bagi warga negara. Sementara itu, di Inggris istilah Rechtsstaat diterjemahkan menjadi State Governed by Law atau State Ruled by Law, penerjemahan istilah ini sesuai dengan istilah yang dipakai di Indonesia dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu negara berdasar atas hukum.[3]

(2)

demokrasi. Dalam negara demokrasi rakyat menentukan kemauannya sendiri sehingga disebut kesamaan dalam kemerdekaan, gelijkheid in vrijheid. Sama-sama merdeka dan semua orang merdeka dari kemauan orang lain. Prinsip demokrasi ini diangkat lagi dalam pidato Abraham Lincoln di Gettysburg yang mengatakan, “… and that government of the people, by the people, for the people, shall not perish from the earth.”[5]

Kembali ke ajaran Confucius, jauh sebelum konsep-konsep negara yang berdasar atas hukum atau Rechtsstaat bahkan sekitar satu abad sebelum konsep demokrasi dipraktekkan di negara-kota Yunani dan Athena, di negeri Cina, telah ada suatu konsep tentang negara, pemerintahan, rakyat yang diajarkan oleh Confucius.

Ajaran utama Confucius yang terdapat dalam Kitab Lun yü tertuju pada manusia. Hakikat manusia tidak dipandang secara teoretis, melainkan dilihat dari keadaan manusia yang aktual, yaitu hubungan antarmanusia. Oleh karena itu, perhatiannya kepada masyarakat juga tidak kalah penting. Menurut Confucius, kodrat manusia tidak terpisahkan dari alam semesta, karena manusia adalah bagian dari alam semesta. Alam semesta diselidiki oleh manusia bukan untuk dikuasai melainkan untuk dipahami hubungannya dengan diri manusia. Yang penting bukanlah menguasai alam, tetapi menguasai manusia agar tindakannya sesuai dengan alam. Manusia harus berhubungan dengan alam secara indah dan harmonis.[6]

Confucius memperkenalkan manusia sempurna atau manusia budiman yang dirumuskan dengan istilah kiun tse[7]/chün-tzu.[8] Hampir seluruh buku dalam Lun yü terdapat ajaran Confucius mengenai sifat-sifat manusia budiman ini dan perbandingannya terhadap manusia yang lebih rendah. Pada intinya manusia budiaman adalah seseorang yang memiliki cinta kasih terhadap sesama manusia, berbudi luhur, menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, kesusilaan, layak dipercaya, konsisten dengan kata-katanya, setia, bertenggang rasa, memuliakan takdir Tuhan, memuliakan orang-orang besar, memuliakan sabda luhur para nabi, dan mengutamakan kepentingan umum.

Confucius memang banyak memberikan ajaran mengenai negara, pemerintahan yang baik, dan rakyat, namun yang menjadi dasar kehidupan negara, pemerintah, dan rakyat itu bukanlah hukum, namun kesusilaan/kebajikan, seperti ternyata dari perkataannya, “Seorang pemimpin yang mengatur negara harus sanggup menaati Aturan-Aturan Kesusilaan dan mempunyai kerendahan hati yang tulus”.[9]

(3)

Confucius berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang berhubungan antara manusia dan manusia lain harus diatur menurut kesusilaan (li). Sebelum masa Confucius, li berarti kurban dalam upacara persembahan kurban untuk memenuhi kehendak langit. Upacara atau ritual semacam ini merupakan bagian dari peradaban Cina yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Oleh Confucius arti li diperluas menjadi kesusilaan yang meliputi semua nilai-nilai etika, tata krama, budi pekerti, kesopanan, norma sosial, dan moral.[11] Confucius cenderung memandang negatif terhadap hukum dan pada proses pengadilan, ia berpendapat, “Ketika mendengar perkara-perkara (hukum), aku hanyalah seperti orang lain, tetapi apa yang perlu adalah mengusahakan supaya tidak ada proses pengadilan.”[12] Sikap menentang proses pengadilan yang dinyatakan oleh Confucius terus menjadi ciri khas masyarakat Cina, yang tampak dalam aturan marga. Namun sikap itu juga diperburuk oleh kenyataan adanya perilaku memeras dari para polisi dan bawahan lainnya sehingga jauh lebih baik menyelesaikan perkara tanpa meminta bantuan hukum.[13]

Pandangan Confucius ini menimbulkan pertentangan dengan para ahli hukum yang percaya bahwa masyarakat perlu dikontrol melalui ketakutan akan hukuman. Terhadap kritikan ini Confucius menjawab, “Memerintah hanya dengan undang-undang dan menempatkan segalanya demi ketertiban melalui penderitaan dan hukuman berarti menjadikan rakyat menghindar dan menghilangkan harga diri. Memerintah berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan, dan menempatkan segalanya berdasarkan Aturan-Aturan Kesusilaan tidak hanya menumbuhkan harga diri namun lebih jauh menjadikan rakyat berusaha hidup benar.”[14] Dengan demikian, Confucius berpendapat bahwa hukum hanya mengontrol melalui ketakutan akan hukuman dan tidak berperan dalam pembentukan kepribadian. Hukum tidak mendidik atau membetulkan atau menyumbang pada tujuan ajaran Confucius, misalnya menjadi suatu teladan yang luhur, hukum tidak mempunyai sanksi ketuhanan dan dianggap buatan manusia, sewenang-wenang, dan lebih rendah daripada upacara keagamaan, reputasi penegak hukumnya buruk dan menimbulkan banyak penderitaan bagi rakyat. Penerapan ajaran Confucius ini oleh para kaisar atau penguasa Cina adalah dengan memberlakukan ketentuan bahwa aturan upacara keagamaan cocok untuk para bangsawan sedangkan hukum hanya harus diberlakukan terhadap rakyat jelata. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Kekaisaran Cina, para pejabat, baik yang masih aktif maupun yang telah pensiun, menikmati jabatan yang sangat istimewa dalam perkara hukum, suatu perbedaan yang berasal dari pemikiran bahwa rasa hormat orang berpendidikan harus cukup untuk menjamin bahwa ia menyesuaikan diri dengan tuntutan li (kesusilaan) dan tidak perlu dikontrol oleh ketakutan akan hukuman.[15]

(4)

Mandat dari Langit. Menunjuk pada masa pemerintahan Raja Wan, Confucius berkata bahwa kebajikan Raja Chou dapat dianggap sempurna.[16] Bekal kebajikan ini akan merosot pada saat dinasti tersebut mengalami kemunduran dan kehilangan kualitas moralnya. Oleh karena itu, doktrin Mandat dari Langit membenarkan pemberontakan menggulingkan seorang penguasa yang tiran, misalnya ketika bangsa Manchu yang dipimpin oleh Nur Ha Ci dan anaknya, Abahai menggulingkan Dinasti Ming dan kemudian mendirikan Dinasti Ching.[17] Konsep demokrasi dalam ajaran Confucius adalah pentingnya peran rakyat, karena menurut Confucius, tanpa kepercayaan dari rakyat, suatu negara tidak dapat berdiri.[18] Kekuatan asli ajaran ini jelas berasal dari situasi politik pada akhir Dinasti Chou, ketika negara-negara yang memberontak perlu menarik penduduk yang lebih besar untuk membantu kekuatan militernya.[19] Konsep demokrasi dalam hal partisipasi rakyat dalam pemerintah menurut Confucius adalah apabila seseorang patuh kepada orang tua dan ramah terhadap sesama manusia, tugas itu sama juga seperti para pejabat.[20] Dengan demikian, pelaksanaan kebajikan sosial di dalam keluarga dengan sendirinya merupakan sumbangan nyata bagi pemerintahan, karena kebajikan tersebut mendukung terciptanya keharmonisan sosial yang merupakan tujuan pemerintahan, karena keluarga adalah salah satu unit mikrokosmos yang menyusun makrokosmos negara. Bila marga (clan) memiliki aturan moral mereka masing-masing dan sebagian besar mampu menjaga ketertiban keluarga sendiri, tugas pemerintah untuk menjaga ketentraman penduduk menjadi jauh lebih mudah. Hal ini merupakan perwujudan dari dogma kuno bahwa negara merupakan keluarga yang besar, dan kepercayaan bahwa kebajikan keluarga merupakan suatu bagian dari tatanan kosmik.[21]

Pandangan Confucius lainnya yang bersifat demokratis adalah mengenai pendidikan, yaitu bahwa pendidikan harus diberikan pada semua orang tanpa ada pembedaan kelas sosial. Ini diterapkan sendiri oleh Confucius yang tidak membedakan murid-muridnya, baik yang berasal dari kaum bangsawan maupun rakyat jelata. Latar belakangnya keluarga, bahwa Confucius dibesarkan dengan sederhana oleh ibunya setelah ayahnya meninggal, ia menjalani kehidupan yang miskin dan hanya bisa bekerja sekedarnya mempengaruhi pemikiran ini. Tidak adanya pembedaan kelas dalam pendidikan merupakan kritikan Confucius terhadap sistem pendidikan yang berlaku di Cina pada saat itu yang hanya diberikan kepada keluarga kerajaan dan para bangsawan. Dari hasil didikan Confucius, banyak murid-muridnya yang berasal dari rakyat jelata berhasil memperoleh kedudukan di pemerintahan.

(5)

boleh berpangku tangan melihat ketidakberesan dalam pengaturan Negara. Demi cintanya kepada Negara, ia harus berani mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pendapat sang penguasa. Ia memikul tanggung jawab moral untuk memperbaiki situasi, juga jika hal itu menuntutnya harus berkonfrontasi dengan penguasa. Dengan demikian, jelas menurut Confucius, Negara harus dibela melebihi raja atau kepentingan rakyat harus didahulukan daripada kepentingan raja. Ajaran Confucius ini mengakar pada sejumlah intelektual Cina dari zaman dahulu hingga zaman sekarang, dalam diri mereka tertanam rasa tanggung jawab atas jatuh bangunnya Negara. Di kalangan mereka tertanam keyakinan dan kesadaran bahwa ia harus ‘memprihatinkan negara dan memprihatinkan masyarakat’ (you guo, you min). Semangat seperti ini memang dapat ditemukan di tempat lain, terutama di Dunia Ketiga, tetapi yang membedakannya dengan di Cina bukan hanya karena semangat itu telah muncul ribuan tahun yang silam, tetapi karena semangat itu berakar pada ajaran Confucius. Ia bukan reaksi terhadap kolonialisme, juga bukan pencerahan hasil didikan Barat.[24]

PENUTUP

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa Confucius telah mengemukakan suatu konsep tentang negara dan pemerintahan yang ideal, yang di dalamnya terdapat juga suatu konsep demokrasi dan kesetaraan, jauh sebelum konsep-konsep itu dikemukakan oleh para ahli hukum di Eropa.

Konsep negara dan pemerintahan yang ideal menurut Confucius adalah negara yang berdasarkan atas kesusilaan (li), yang meliputi semua nilai-nilai etika, tata krama, budi pekerti, kesopanan, norma sosial, dan moral. Penguasa negara harus mematuhi aturan-aturan kesusilaan, maka rakyat akan menghormatinya. Penguasa Negara mendapatkan Mandat dari Langit selama ia menjalankan aturan-aturan kebajikan/moral. Lahirnya konsep-konsep negara dan pemerintah yang ideal sebagai hasil pemikiran Confucius adalah sebagai reaksi terhadap keadaan negara dan pemerintahan di Cina pada masa hidupnya yang kacau, terpecah-pecah, sering terjadi perang saudara dan banyak orang tidak lagi menghormati norma-norma tingkah laku yang berlaku.

Pandangan Confucius terhadap hukum adalah negatif. Menurutnya hukum adalah undang-undang atau peraturan dari negara yang berisi hukuman-hukuman untuk menertibkan rakyat. Oleh karena itu, hukum hanya mengontrol melalui ketakutan akan hukuman dan tidak berperan dalam pembentukan kepribadian rakyat. Reputasi pejabat penegak hukum yang buruk dan banyak menimbulkan penderitaan rakyat menyebabkan Confucius menentang proses pengadilan untuk menyelesaikan perkara.

(6)

tanpa perbedaan kelas; Negara harus dibela daripada raja, kepentingan masyarakat harus didahulukan dari pada kepentingan raja/penguasa.

[1] Satya Arinanto, Kumpulan Materi Transparansi Mata Kuliah Negara Hukum dan Demokrasi (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal. 3.

[2] Djokosutono, Kuliah Ilmu Negara, Cet. 2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 107.

[3] Ibid., hal. 4-6.

[4] R. Eep Saefulloh Fatah, Masalah dan Prospek Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 5.

[5] Lihat Harun Al Rasid, ed. Prof. Mr. Djokosutono: Hukum Tata Negara (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 173-174, cetak miring dan tebal oleh penulis.

[6] A. Harrisusanto, “Konfusianisme” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 9 (Jakarta: Cipta Adi Pustaka, 1990), hal. 99, Book XII: Yen Yuen was asking about man’s proper regard for his fellow-man. The Master said to him, “Self-control, and a habit of falling back upon propriety, virtually effect it. Let these conditions be fulfilled for one day, and every one round will betake himself to the duty. Is it to begin in one’s self, or think you, indeed! It is to begin in others?” (Epiphanius Wilson, ed., The Wisdom of Confucius (New York: Wings Books, 1995), hal. 62).

[7] Harrisusanto, ibid.

(7)

[9]Wison, op.cit., hal. 23, Book IV: “When there is ability in a ruler to govern a country by adhering to the Rules of Propriety, and by kindly condescension, what is wanted more?”

[10] Wilson, op.cit., hal. 12, Book II: “Let a ruler base his government upon virtuous principles, and he will be like the pole-star, which remains steadfast in its place, while all the host of stars turn towards it.”

[11] “Inti Ajaran Confucius”, <http://www.filsafatchina.com/KONFUSIANISME/Inti%20Ajaran %20%20Konfusius.htm> , diakses 13 Maret 2003.

[12] Wilson, op.cit., hal. 65, Book XII: In hearing causes, I am like other men,” said the Master. “The great point is – to prevent litigation.

[13] Raymond Dawson, Kong Hu Cu: Penata Budaya Kerajaan Langit [Confucius], diterjemahkan oleh Y. Joko Suyono (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hal. 111.

[14] Wilson, ibid., hal. 12, Book II: “To govern simply by statute, and to reduce all to order by means of pains and penalties, is to render the people evesive and devoid of any sense of shame. To govern upon principles of virtue and to reduce them to order by the Rules of Propriety, would not only create in them the sense of shame, but would moreover reach them in all their errors.”

[15] Dawson, op.cit., hal. 110.

(8)

[17] WD Sukisman, Sejarah Cina Kontemporer (Dari Nur Ha Ci sampai Deng Xiao Ping), Jilid I, Cet. 1 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1992),, hal. 2-9.

[18] Wilson, op.cit., hal. 64, Book XII: “Without the people’s trust nothing can stand.

[19] Dawson, op.cit., hal. 98.

[20] Wilson, op.cit., hal. 15, Book II: “Make it a point to be dutiful to your parents and amicable with your brethren; the same duties extend to an administrator.”

[21] Dawson, op.cit., hal. 103.

[22] Wilson, op.cit., hal. 19., hal. 79 Book XIV: “Deceive him not, but reprove him.”

[23] Ibid., hal. 71.

[24]I. Wibowo, Negara dan Masyarakat: Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), op.cit., hal. 225-228.

Catherine Natalia, S.H., M.H.

Referensi

Dokumen terkait

Pada langkah mundur, sisi bagian kiri piston akan m enekan fluida keoutlet ( katup buang ), sedangkan pada sisi bagian kanan piston akan menghisap fluida darisisi inlet

“Pemeriksaan persidangan jarak jauh adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Hakim terhadap pemohon dan/atau termohon maupun kuasanya, saksi dan/atau ahli yang dilakukan

Analisa vegetasi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui potensi ekologis tengkawang dalam tegakan yang sudah ditetapkan menjadi areal konservasi sumber daya genetik,

Behery et al, 2009, menyatakan bahwa Umbilical Coiling Index (indeks koil tali pusat) pada mamalia yang memiliki pembuluh darah tali pusat, menunjukkan bahwa semakin banyak

syarat dan secara tidak dapat ditarik kembali kuasa kepada BCI untuk mendebit rekening Nasabah termasuk namun tidak terbatas pada rekening perdagangan dengan

(1) Bagian Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan adalah unsur pembantu pimpinan di bidang akademik, kemahasiswaan, perencanaan dan sistem informasi yang berada di bawah

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini banyak mengalami kendala, namun berkat bantuan, bimbingan, kerjasama dari berbagai pihak dan berkah dari

1) Semakin ringan berat jembatan, yang lendutannya lebih kecil dari lendutan ijin semakin tinggi nilai komponen berat yang diperoleh. Peserta dapat memakai seluruh atau