• Tidak ada hasil yang ditemukan

Post Positivisme Dan Post Positivisme Lo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Post Positivisme Dan Post Positivisme Lo"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Post-Positivisme Dan Positivisme Logik : Teori Kritik Dan Hermeneutik (Arafat Noor Abdillah / 17205010048 / Filsafat Ilmu)

Apabila diperhatikan ketika filsafat dikaji dalam dan sebagai suatu studi ilmiah maka filsafat juga menjadi bagian dari ilmu itu sendiri, termasuk pula filsafat ilmu. Hal itu tampak pada bagaimana perbedaan ahli dalam memandang filsafat ilmu. A. Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That philosophic discipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual disciplines”1Di sini Cornelius Benjamin memandang filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.

Dalam perkembangan filsafat ilmu terdapat paradigma ilmu sosial yang berlandaskan pada filsafat alam, yakni filsafat positivistik. Perlu diketahui bahwa positivistik merupakan sebuah pandangan yang berdasarkan adanya realitas dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum-hukum alam. Pemikiran Auguste Comte sebagai awal dari munculnya positivistik dengan tolak ukur angka dan logika yang digunakan untuk melihat realita sosial masyarakat (masyarakat positivistik). Jika diruntut dari epistemologi positivistik menuntut adanya pemisahan jarak antara subjek dengan objek. Hal ini digunakan untuk melihat kebenaran ilmiah seperti beberapa aliran diantaranya; materialisme, realisme, empirisme, dan behaviorisme.

Seiring perkembangan aliran positivisme, muncul kritikan yang disebabkan adanya pertentangan antara ilmu alam dan ilmu sosial. Sederhananya, kritik atas pemikir positivisme memahami fenomena sosial yang meletakkan manusia sebagai subjek utama dalam peristiwa sosial budaya. Kritik atas positivisme dapat dilihat pada salah satu pendiri post-positivisme yaitu Karl R. Popper. Popper dikenal dengan gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Falsifikasi adalah gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan menganggap teori itu salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah, dibuatlah teori baru yang menggantikannya.

Dalam tulisan ini akan disajikan tentang pemikiran post-positivisme berupaya untuk memecahkan problem positivisme. Kemudian, kritikan-kritikan atas ilmu soial yang

(2)

menggunakan angka dan logika sebagai tolak ukur dalam mencapai kebenaran realita sosial, serta bagaimana teori kritik dan hermeneutik menjadi metode disiplin filsafat ilmu sosial yang dilandasi dengan filsafat hermeneutik. Hal ini sesuai dengan perbedaan mendasar dari positivisme yang mempelajari realitas sosial dan bertujuan untuk mencapai generalisasi yang digunakan untuk memprediksi, sedangkan post-positivisme mencoba memperoleh gambaran yang lebih mendalam serta berusaha mencapai pemahaman yang murni dan objektif.

A. Post-positivisme Dan Positivisme Logik : Mengulas Problem Positivisme

Dalam perbincangan terkait positivisme dan positivisme logik telah mendapatkan sebuah pacuan dasar bahwa kesuksesan pada ‘zaman pencerahan’ diyakini sebagai kesuksesan yang akan diperoleh jika pendekatan ilmu-ilmu alam diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. W. Dilthey membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, namun pembedaan yang dilakukan bukan lantas pendekatan yang digunakannya pun berbeda. Hal ini dikarenakan, pendekatan ilmu-ilmu alam telah sukses menjelaskan gejala-gejala alam. Penerapan metode ilmu-ilmu alam dijelaskan melalui adanya proses-proses alamiah yang diyakini sebagai ‘fakta netral’ dengan model ‘sebab-akibat’, kemudian hasilnya menjadi sebuah keniscayaan hukum. Selain daripada itu, penggunaan rumusan-rumusan linguistik atau bahasa yang digunakan dalam menjelaskan ilmu-ilmu sosial bersifat mempertahankan ‘status quo’. Sederhananya, pemindah-alihan rumusan hukum ilmu alam merepresentasikan kesunyataan realitas sosial. Sehingga, subjek (pelaku sosial) yang memiliki unsur-unsur pokok kehidupan sosial (pengalaman, ungkapan, dan pemahaman) tidak dijelaskan secara utuh.2

Perkenalan terhadap post-positivisme dan post-positivisme logik akan mudah dipahami dengan konsep kritik (penolakan) atas positivisme secara epistemologis dan metodologisnya. Pada ranah epistemologi aliran positivisme berlatarbelakang semboyan August Comte Savoir pour prevoir (mengetahui untuk meramalkan) dengan mengkuantifikasikan data dan mencapai perumusan deduktif-nomologis yang bertujuan untuk meramalkan da mengendalikan proses-proses sosial. Dengan cara ini, ilmu-ilmu sosialdapat membantu terciptanya susunan masyarakat. Perihal seperti ini mendapatkan kritikan yang dilontarkan oleh para filsuf dari kalangan “Madzhab Frankfurt. Sejatinya, wilayah ilmu sosial terdapat gejala-gejala sosial yang mampu dihayati dan dipahami. Kelemahan penerapan ilmu alam dalam ilmu-ilmu sosial, adanya

(3)

kepentingan kognitif (controlling) dengan sebuah tindakan instrumental dan bersifat manipulatif (pengandaian). Artinya, proyeksi subjek sebagai pelaku sosial akan tereliminasi. Secara metodologis, seorang peneliti sosial justru memerlukan pemahaman (verstehen) untuk menemukan ‘makna’ bukan hubungan ‘sebab-akibat’ dalam realitas sosial.3

Dalam makalah ini, post-positivisme dan post-positivisme logik berangkat dari anomali-anomali yang terdapat pada aliran positivisme. Keanehan atau penyimpangan dari epistemologi atau teori pengetahuan yang berpendapat bahwa objek alam mapun hukum-hukum alam dalam wilayah realita kehidupan berdampingan dengan objek-objek. Hal ini menimbulkan distingsi (kesadaran dalam merefleksi perbedaan) antara ‘yang seharusnya ada’ dan ‘apa yang ada’; yang ‘pasti’ dan ‘meragukan’; serta yang ‘idealisme’ dan ‘materialisme’. Selain daripada itu, dalam positivisme mengalami krisis yang berakibat pada penyempitan metodologis, di antaranya:

1. Cara berpikir masyarakat pada Abad Pertengahan menekankan pada kutub objek pengetahuan. Subjek dan objek yang berkembang pada proses modernisasi sebagian besar terpengaruh oleh faktor-faktor empiris.

2. Peranan subjek dalam membentuk realitas ditekankan pada kondisi-kondisi pikiran manusia. Pada zaman Immanuel Kant ilmu alam beserta ilmu terapan mulai mengalami zaman keemasan yang ditekankan pada epistemologi, manusia berpikir secara rasional.

3. Memuncak pada positivisme Comte, bahwa pengetahuan inderawi atas ilmu-ilmu alam menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan. Kemudian, menimbulkan krisis epistemologi atau dengan kata lain berhentinya proyeksi filsafat ilmu pengetahuan yang sarat akan metodologi keilmuan. (Mandeknya pencerahan) 4. Terjadinya dikotomi fakta-nilai yang diperkukuh positivisme dalam kriteria bebas

nilai yang harus dipenuhi seorang ilmuwan. Hal ini justru akan berpengaruh negatif baik secara epistemologis maupun sosiologis.4

B. Teori Kritik Dan Hermeneutik

3Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, hlm. 26-27.

(4)

Dalam menghadapi problem positivisme, perlu adanya 3 pendekatan yang teerhadap ilmu-ilmu sosial, yaitu fenomenologi, hermeneutik, dan teori kritik. Pada inti penjelasan post-positivisme dan post-post-positivisme logik terdapat pada penolakan atau kritik yang dipelopori oleh “Madzhab Frankfurt” dalam teori kritik dan Jurgen Habermas dalam gaya bahasa sebagai paradigma komunikasi terhadap ilmu-ilmu sosial.

Madzhab Frankfurt mengusung pendekatan teori kritis sekaligus memberikan dasar metodologis bagi ilmu sosial yang seolah telah disubordinasikan oleh positivisme. Madzhab Frankfurt bersifat kritis-emansipatoris, berpijak pada masyarakat dalam proses sejarahnya, dan tidak memisahkan antara teori dan praksis serta tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk memperoleh hasil objektif. Teori kritik Madzhab Frankfurt berusaha mengatasi determinasi pada ekonomis Marxisme ortodoks (tindakan rasional yang bertujuan) terkait bahwasanya keberlangsungan sejarah masyarakat karena keniscayaan hukum alam. Di sisi lain, penekanan terhadap ‘kesadaran subjek’ untuk mengubah struktur-struktur objektif yang dibangun atas dasar ‘paradigma kerja’ diidentikkan dengan permberlakuan masyarakat sebagai sebagai objek ilmiah. Namun, Madzhab Frankfurt pengaruh pemikirannya mulai menurun pada 1970 setelah keretakan mereka dengan mahasiswa yang menghendaki perubahan radikal dan total. Sehingga, teori kritik berhenti pada kajian subjek dan objek dalam dua wilayah ilmu pengetahuan; ilmu alam dan ilmu sosial.5

Teori kritik dari madzhab Frankfurt kemudian ingin coba dipecahkan oleh Jurgen Habermas. Usahanya tertuju pada perubahan paradigma ‘kerja’ atau pemberlakuan masyarakat sebagai ‘objek’ alamiah menuju paradigma komunikasi yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman timbal balik antara subjek dan objek (peneliti dan pelaku sosial) dan terwujudnya intersubjektif, saling memahami. Habermas memakai konsep Weber terkait tentang ‘proses rasionalisasi terhadap realita kehidupan’. Menurutnya, setiap penelitian ilmiah ‘bebas nilai’ hanya akan menimbulkan ilusi bagi ilmu-ilmu alam dan sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah metode yang mampu menangkap keunikan, perubahan, penghayatan, dan proses-proses yang terjadi pada masing-masing pelaku sosial. Rasionalisasi yang diungkapkannya merupakan rasio yang melakukan refleksi-diri (kritis) dengan didorong oleh suatu kepentingan untuk membebaskan diri dari kendala-kendala dari luar maupun dari dalam subjek pengetahuan, yaitu kepentingan emansipatoris. Rasionalisasi mencakup penerjemahan dari teks sosial. Maksudnya,

(5)

objek-objek dan struktur simbolis (fenomena sosial) yang diciptakan oleh ‘pelaku sosial’ memiliki unsur-unsur kepentingaan. Di sinilah ‘makna-makna simbol’ perlunya pemahaman yang bersifat dialektis.6

Habermas menerima asumsi Marx bahwa sejarah berjalan menurut logika perkembangan tertentu, hanya ia tidak setuju bahwa teknologi dan ekonomi menjadi motor perkembangan sejarah. Apa yang oleh Marx disebut cara produksi masyarakat, menurutnya justru dimungkinkan oleh proses belajar dimensi praktis-moral masyarakat itu, yakni prinsip-prinsip organisasinya. Jadi, kapitalisme adalah sebuah kasus dalam evolusi sosial; dan dalam kasus itu, prinsip organisasi kapitalis memungkinkan ekonomi dan teknologi mengatur interaksi sosial. Karena kapitalisme hanyalah sebuah kasus, peranan teknologi dan ekonomi tidak bisa diuniversalkan untuk segala zaman dan segala bentuk formasi sosial.

Dengan asumsi bahwa masyarakat pada hakekatnya bersifat komunikatif, Habermas kemudian mengganti paradigma produksi dari materialisme sejarah itu dengan paradigma komunikasi. Jadi sebagai ganti peranan cara-cara produksi, ia mengutamakan peranan struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat. Struktur-struktur-struktur komunikasi ini, menurut Habermas lebih hakiki untuk masyarakat daripada cara-cara produksi, sebab cara-cara produksi yang juga melibatkan proses belajar berdimensi teknis itu diatur oleh struktur-struktur komunikasi.7

C. Kesimpulan

Dalam filsafat ilmu perlu adanya perkembangan sebuah ilmu yang berdampak pada kemajuan sebuah peradaban. Positivisme dan post-positivisme merupakan dua kajian yang memberikan sebuah paradigma baru pada taraf epistemologi dan metodologi. Dalam dunia-kehidupan terdapat dua wilayah ilmu pengetahuan, ilmu alam dan ilmu sosial. Dari sinilah krisis akan terjadi apabila sebuah stagnansi ilmu pengetahuan tanpa adanya kritis-emansipatoris atau tanpa pembaharuan paradigma. Pada hakikatnya ilmu pengtahuan memperbicangkan antara subjek dan objek, kemudian berangkat dari angle tertentu akan menimbulkan teori ilmu pengetahuan baru. Inilah yang diinginkan oleh penentang positivisme melalui kritik epistemologi dan metodologinya.

6 Ajat Sudrajat, Jurgen Habermas: Teori Kritis Dengan Paradigma Komunikasi (Yogyakarta: FISE UNY, 2001), hlm. 2-3.

(6)

Daftar Pustaka

The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Liberty: Yogyakarta, 1991.

Hardiman, F. Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Ajat Sudrajat, Jurgen Habermas: Teori Kritis Dengan Paradigma Komunikasi,

Yogyakarta: FISE UNY, 2001.

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993

Referensi

Dokumen terkait

Kelas eksperimen mendapatkan perlakuan khusus yaitu pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) pada hasil belajar IPS

FAKULTAS SYARIAH DAN DAKWAH JURUSAN.

Based on the results of the research done on the average return and the risk of conventional stock mutual funds, found that the average rate of return and

Dengan adanya Keputusan Menteri Negara Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan (emiten) yang melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) serta mencatatkan sahamnya (listing) di

Jika diatas sudah dijelaskan bahwa kekurangan dari pemilu tidak langsung yaitu, rakyat tidak dapat langsung memilih, dikhawatirkan DPRD hanya menjadi representasi parpol,

Pada Tugas Akhir ini, dilakukan penelitian mengenai perngaruh noise penguat EDFA pada NG-PON2 dengan menggunakan TWDM-PON yang berkapasitas transmisi 80 Gbps pada sisi

Pada 1 detik pertama, belitan fasa a di- energize sehingga gigi 1 dan gigi 5 rotor akan berhadap-hadapan dengan kutub-kutub fasa a atau rotor bergerak dari posisi 10