• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku Pada Masa Belanda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku Pada Masa Belanda "

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERKEMBANGAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Peraturan-Peraturan Sebelum Lahirnya Undang-Undang No. 35 Tahun

2009

1. Undang-Undang Verdoovende Middelen Ordonantie yang Berlaku Pada Masa Belanda di Indonesia Tahun 1927

Sejarah awal penggunaan narkotika dimulai kurang lebih sekitar tahun 2000

SM di Samaria dikenal sari bunga opion atau kemudian dikenal opium (candu =

papavor somniferitum). Bunga ini tumbuh subur di daerah dataran tinggi di atas

ketinggian 500 meter di atas permukaan laut. Penyebaran selanjutnya adalah ke

arah India, Cina dan wilayah-wilayah Asia lainnya. Cina kemudian menjadi

tempat yang sangat subur dalam penyebaran candu ini (dimungkinkan karena

iklim dan keadaan negeri). Memasuki abad ke XVII masalah candu ini bagi Cina

telah menjadi masalah nasional, bahkan di abad XIX terjadi perang candu dimana

akhirnya Cina ditaklukan dibawah penguasaan kerajaan Inggris dengan harus

merelakan Hong Kong.51

Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim

Sertuner menemukan modifikasi candu yang dicampur amoniak yang kemudian

dikenal sebagai Morphin (diambil dari nama dewa mimpi Yunani yang bernama

Morphius). Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di A.S. Morphin ini sangat

populer dipergunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang sebahagian

tahanan-tahanan tersebut "ketagihan" disebut sebagai "penyakit tentara". Tahun

20.30 WIB.

(2)

1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London, merebus cairan

morphin dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur)

campuran ini membawa efek ketika diuji coba kepada anjing yaitu: anjing tersebut

tiarap, ketakutan, mengantuk dan muntah-muntah. Namun tahun 1898 pabrik obat

"Bayer" memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin, sebagai obat resmi

penghilang sakit (pain killer). Tahun 60-an sampai 70-an pusat penyebaran candu

dunia berada pada daerah "Golden Triangle" yaitu Myanmar, Thailand dan Laos,

dengan produksi 700 ribu ton setiap tahun. Pada daerah "Golden Crescent" yaitu

Pakistan, Iran dan Afganistan dari Golden Crescent menuju Afrika dan

Amerika.52

Selain morphin dan heroin ada lagi jenis lain yaitu kokain (ery

throxylorcoca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolavia.

Biasanya digunakan untuk penyembuhan Asma dan TBC. Pada akhir tahun 70-an

ketika tingkat tekanan hidup manusia semakin meningkat serta teknologi

mendukung maka diberilah campuran-campuran khusus agar candu tersebut dapat

juga dalam bentuk obat-obatan. Obat-obatan yang dimaksud pada masa sekarang

ini sering disebut dengan sebutan narkotika.53

Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S., peraturan tentang obat bius

Nederland Indie disesuaikan dengan peraturan obat bius yang berlaku di Belanda

(asas konkordansi). Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad van Indie

mengeluarkan Staatsblad 1927 Nomor 278 jo Nomor 536 tentang Verrdovende

Middelen Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang-Undang Obat bius.

Undang-Undang tersebut adalah untuk mempersatukan dalam satu

52Ibid

(3)

undang tentang ketentuan-ketentuan mengenai candu dan obat-obat bius lainnya

yang tersebar dalam berbagai ordonantie.54

Pada zaman prasejarah, manusia telah mengenal zat psikoaktif (termasuk

didalamnya narkotika, psikotropika, alkohol dan zat lain yang memabukkan).

Berbagai dedaunan, buah-buahan, akar-akaran dan bunga-bungaan dari berbagai

jenis tanaman telah lama diketahui manusia purba akan efek farmatologinya.

Sejarah mencatat, ganja telah digunakan manusia sejak 2.700 SM, sedangkan

opium telah digunakan bangsa Mesir kuno untuk menenangkan bagi mereka yang

sering menangis ataupun sakit. Selain zat-zat tersebut dipakai untuk pengobatan,

tidak jarang pula digunakan untuk mendapat kenikmatan bagi pemakainya.55

Seiring dengan peralihan zaman yang ditandai dengan kemajuan peradaban

manusia dalam bidang teknologi, maka manusia pun dapat mengolah zat-zat

psikoaktif tersebut dengan cara yang begitu canggih pula. Pada sekitar tahun 800

manusia telah menemukan proses cara penyulingan, yang dampaknya juga

berpengaruh pada proses penyulingan narkotika di kemudian hari. Opium yang

telah digunakan sekitar 5.000 SM, ternyata pada tahun 1805 telah dapat

dimurnikan dan kemudian disebut dengan morphin. Pada tahun 1834 jarum suntik

ditemukan, yang juga telah mempengaruhi cara manusia mengonsumsi narkotika

dengan cara menyuntikkan bahan tersebut ke jaringan darah pada tubuh dan

tentunya lebih mempercepat proses penggunaannya.56

Di Indonesia perkembangan hukum narkotika dan psikotropika secara

historis, diawali dengan perkembangan peredaran narkotika yang diatur dalam

54

Hari Sasangka, Op. Cit, hal 163.

55

Mardani, Op. Cit, hal 90.

56

(4)

Verrdovende Middelen Ordonantie (Staatsblad No. 278 jo No. 536). Dalam

kehidupan masyarakat, aturan ini lebih dikenal dengan sebutan peraturan obat

bius. Sejak tahun 1909, tercatat bahwa Presiden Amerika Serikat, Theodore

Roosevelt memprakarsai pembentukan Komisi Opium Internasional (KOI) di

Shanghai, untuk mencari langkah-langkah terbaik mengatasi demam opium

(candu) di beberapa belahan dunia. Karena pada tahun 1909, peredaran opium

telah meluas di berbagai negara.57

Sesudah terbentuknya KOI tersebut, beberapa negara di dunia telah

berkali-kali mengadakan pertemuan dan menyempurnakan Konvensi Opium Internasional

yang intinya mengatur dan membatasi secara ketat peredaran di sebuah negara,

terutama untuk kemajuan ilmu pengetahuan dengan tujuan pengobatan. Di luar

dari tujuan tersebut, memproduksi opium di golongkan tindak kejahatan dan

kriminalitas, dan bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam hukum internasional.58

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat

perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat

berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada

Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949). Pada waktu Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh

sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada

umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina.

Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk

menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan

undang-undang.

57Ibid

hal 19.

(5)

tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah

besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai

puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di

Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian

besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula

di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan Instruksi No. 6 Tahun

1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama Badan

Koordinasi Pelaksanaan (BAKOLAK) INPRES No 6 Tahun 1971, yaitu sebuah

badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan

penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan

negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan

remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan

Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai

lagi.

Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 9 Tahun

1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai

hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur

tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika (pasal 32), dengan menyebutkan

secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri

kesehatan.

Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan berdasarkan Verrdovende

(6)

mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, dianggap tidak dapat

mengikuti perkembangan lalu lintas dan alat-alat transportasi yang mendorong

terjadinya kegiatan penyebaran dan pemasokan narkotika di Indonesia.

2. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Berdasarkan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang

mengubahnya, yang merupakan hasil dari United Nations Conference for

Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug, selanjutnya Pemerintah

Indonesia menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1976

tentang Narkotika, Lembaran Negara R.I Tahun 1976 No. 37.59

Berlakunya Undang-Undang baru ini, menyebabkan beberapa perubahan

yang cukup mendasar dalam pengaturan mengenai narkotika. Dengan berlakunya

undang-undang ini maka di buka kemungkinan untuk mengimpor, mengekspor,

menanam, memelihara narkotika bagi kepentingan pengobatandan atau tujuan

ilmu pengetahuan. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa pada dasarnya

narkotika masih sangat dibutuhkan bagi pengobatan.

Setelah ada

Undang-undang ini, ordonansi obat bius tahun 1927 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini mengatur lebih luas cakupannya, lebih

lengkap serta lebih berat ancaman pidananya. Undang-undang ini diberlakukan

pada tanggal 26 Juli 1976.

60

a. Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci. Hal-hal yang diatur dalam undang-undang ini adalah :

b. Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut.

59

Siswanto S, Op. Cit, hal 9. 60

(7)

c. Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya.

d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman,

peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta

penggunaan narkotika.

e. Acara pidananya bersifat khusus.

f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan

narkotika.

g. Mengatur kerjasama internasional dalam penanggulangan narkotika.

h. Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP.

i. Ancaman pidananya lebih berat.61

Politik hukum Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

adalah:

a. Bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang

pengobatan dan ilmu pengetahuan.

b. Bahwa sebaliknya narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan

yang saksama.

c. Bahwa pembuatan, penyimpanan, pengedaran dan penggunaan narkotika

tanpa pembatasan dan pengawasan yang saksama dan bertentangan dengan

peraturan yang berlaku merupakan kejahatan yang sangat merugikan

perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi

perikehidupan manusia dan kehidupan negara dibidang politik, ekonomi,

61

(8)

sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang

membangun.

d. Bahwa untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk

keperluan penggobatan dan/atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah

dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat

sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika, serta

rehabilitasi terhadap pecandu narkotika perlu ditetapkan dalam

undang-undang tentang narkotika yang baru, sebagai pengganti dari Verdoovende

Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 jo. No. 536) yang telah tidak

sesuai lagi dengan kemajuan teknologi dan ilmi perkembangan zaman.62

UU Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, dalam Bab I diatur beberapa

ketentuan, disamping ketentuan umum, yang membahas tentang etimologi dan

terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam

undang-undang narkotika tersebut. Dalam Bab II diatur tentang ketentuan mengenai

narkotika untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.Dalam

pasal 3 ayat (1) undang-undang ini, ditetapkan bahwa narkotika hanya digunakan

untuk kepentingan pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.63

Bab III mengatur tentang pengangkutan narkotika, dimana diwajibkan

kepada pemilik atau pemuat narkotika wajib memberitahukan kepada nahkoda,

kapten penerbang, atau pengemudi, tentang jenis dan jumlah narkotika yang akan

diangkut untuk diimpor atau diekspor maupun di transit.Dalam Bab IV diatur

tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang meliputi:

62

Siswanto S, Op. Cit, hal 9.

63Ibid

(9)

1. Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam

persediaan, memiliki, menyimpan, atau menuasai tanaman papaver,

tanaman koka, atau tanaman ganja.

2. Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi,

mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.

3. Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan, untuk memiliki ayau

untuk persediaan atau menguasai narkotika.

4. Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau

mentransit narkotika.

5. Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk

dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli atau menukar narkotika.

6. Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau

memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.

7. Dilarang secara tanpa hak menggunakan bagi dirinya sendiri.64

Dalam Bab V diatur tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

didepan pengadilan. Dalam pasal 25 ayat (1) undang-undang ini disebutkan

bahwa perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain,

untuk diajukan ke pengadilan guna mendapatkan pemeriksaan dan penyelesaian

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selanjutnya dalam pasal 28

undang-unang ini, disebutkan bahwa di depan pengadilan, saksi dan orang lain yang

bersangkutan dengan perkara yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut

(10)

nama atau alamat atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat

diketahuinya identitas pelapor.

Undang-undang ini juga menganut sistem ganjaran (premi), diatur dalam

Bab VI pasal 31 yang menyebutkan bahwa kepada mereka yang telah berjasa

dalam mengungkapkan kejahatan yang menyangkut narkotika, diberi ganjaran

yang akan diatur dengan peraturan pemerintah. Dalam Bab VII diatur tentang

ketentuan pengobatam dan rehabilitasi korban penyalahgunaan narkotika dan

usaha penanggulangannya.Dalam Bab VIII diatur tentang ketentuan pidana,

dimana barangsiapa yang melanggar pasal 23 ayat (1), s.d. ayat (7) di pidana

dengan pidana penjara dan denda, pidana seumur hidup, pidana mati, terhadap

pelanggaran pada perbuatan-perbuatan yang di larang.

Pidana atau pidana penjara diancam bagi yang melanggar pasal 23 ayat (4),

yakni dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau

mentransit narkotika. Percobaan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud pada pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat (7) di pidana penjara yang

sama dengan pidan apenjara bagi tindak pidananya.Ketentuan tentang pemberatan

hukuman, diancam dengan pidana dam ditambah dengan sepertiganya.

Pemberatan hukuman ini diberikan kepada tindak pidana pembujukan anak yang

belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana, jika terpidana ketika

melakukan kejahatan belum lewat 2 tahun sejakmenjalani seluruhnya atau

sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, maka pidana tersebut dapat

ditambah dengan sepertiga.

Dalam ketentuan pidana ini ditetapkan juga bahwa terhadap pelanggaran

(11)

KUHP ayat (1) ke-2 dan ke-6.Disamping itu, bagi barangsiapa dengan sengaja

menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di

pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika, dipidana dengan

pidana penjara. Demikian pula dalam pasal 46 bahwa setiap saksi yang dengan

sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar

kepada penyidik, dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika dipidana

dengan pidana penjara.65

Ketentuan pidana dalam undang-undang ini mengatur ketentuan bahwa

semua perbuatan yang diancam dengan pidana tersebut digolongkan ke dalam

kejahatan dan pelanggaran. Undang-undang ini juga mengatur tentang tindak

pidana korporasi (pasal 49) yakni jika suatu tindak pidana mengenai narkotika

dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suau perseroan, suatu

periksaan orang yang lainnya atas suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan

dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib di jatuhkan.66

3. Pengaturan Psikotropika Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Psikotopika pertama kali diatur dalam Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal

22 Desember 1949 tentang Sterkwerkendegeneesmiddelen Ordonantie yang

kemudian diterjemahkan dengan Ordonansi Obat Keras. Jadi pertama kali

psikotropika tidak diatur tersendiri tetapi masih disatukan dengan bahan baku obat

atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras. Pada tanggal 2 April 1985 keluar

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 213/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang obat

keras tertentu. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut mencabut Keputusan Menteri

65Ibid

, hal 12

(12)

Kesehatan RI Nomor 983/A/SK/1971 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI

Nomor 10381/A/SK/1972. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1993 di keluarkan

lagi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/Men.Kes/Per/II/1993 tentang

Obat Keras Tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan Peraturan

Menteri Kesehatan RI terdahulu.67

Pada tanggal 11 Maret 1993, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika di undangkan dalam lembaran negara RI Tahun 1997 nomor 10 dan

Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3671. Sebelum terbitnya undang-undang

ini, sudah banyak kasus-kasus yang menyangkut psikotropika yang berupa

peredaran dan penyalahgunaan ekstasi dan sabu-sabu, akan tetapi kasus-kasus

tersebut tidak mudah ditanggulangi karena perangkat undang-undangnya yang

lemah. Selain undang-undangnya memang belum ada, masalah psikotropika juga

mengalami kesulitan untuk ditangani dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976

tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

karena psikotropika tidak diatur di dalam kedua undang-undang tersebut.68

a. Konvensi Psikotropika 1971 (Convention on Psychotropic Subtances 1071). Pembentukan Undang-Undang Psikotropika tidak dapat dilepaskan dari

adanya konvensi-konvensi sebagai berikut:

b. Konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988

(Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic

Subtances 1988).69

Dengan dua konvensi tersebut sebenarnya telah terbuka bagi Indonesia

untuk mengakui dan meratifikasi konvensi tersebut serta melakukan kerjasama

67

Hari Sasangka, Op. Cit, hal 122.

68

Gatot Supramono, Op. Cit, hal 15.

69Ibid

(13)

penanggulangan, penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap

psikotropika baik secara bilateral maupun multilateral.

Didalam UU No. 5 Tahun 1997 pengertian psikotropika terdapat dalam

Bab I Ketentuan Umum, yaitu:Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah

maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh

selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada

aktivitas mental dan perilaku (Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1997).

Undang-Undang Psikotropika membedakan jenis-jenis psikotropika menjadi

4 golongan yaitu:70

a. Psikotropika golongan I

Yang dimaksud dengan psikotopika golongan I adalah psikotropika yang

hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: LSD, MDMA dan mascalin.

b. Psikotropika golongan II

Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: amfetamin.

c. Psikotropika golongan III

Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

70Hari Sasangka

(14)

pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: dari kelompok hipnotif sedatif seperti barbiturat.

d. Psikotropika golongan IV

Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat untuk

pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: diazepam, nitrazepam.

Adanya penggolongan tentang jenis-jenis psikotropika tersebut, karena yang

diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 hanyalah psikotropika yang

mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Sedangkan di luar

penggolongan psikotopika diatas masih terdapat psikotopika lainnya yang tidak

mempunyai potensi mengakibatkan sindroma seperti itu, yang peraturannya

tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang obat keras.

4. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika berlaku hampir

seperempat abad lamanya. Undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi

dengan lahirnya Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Undang-Undang Narkotika ini berlaku pada saat diundangkan, yaitu pada tanggal 1

September 1997. Salah satu latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 tentang Narkotika adalah karena kejahatan narkotika telah bersifat

transnasional dan dilakukan dengan modusoperandi dan teknologi yang canggih,

sementara perundang-undangan yang ada, sudah kurang dapat menanggulangi hal

(15)

Selain itu, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini dipicu oleh

adanya United Nation Convention Against Ilicit Traffic in Narcotic Drugs and

Psycotropic Substance tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1997. Begitu pula dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997

tentang Psikotropika lahir karena didorong dengan berbagai tuntutan keadaan

yang semakin diwarnai oleh banyaknya penyalahgunaan psikotropika.71

Dalam konsideran Undang-Undang No 22 Tahun 1997 antara lain

menyebutkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan

upaya dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan. Pada satu sisi dengan

mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan

sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan

terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.72

Tidak disebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

tentang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak

kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi semua tindak pidana didalam

undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya

untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan

di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan, mengingat

besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah

sangat membahayakan bagi jiwa manusia.73

Dalam UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ini, diatur beberapa

ketentuan tentang etimologi dan terminologi sekitar pengertian dan istilah-istilah

yang diatur dalam undang-undang narkotika tersebut serta ruang lingkup dan

71

Yustisia, himpunan peraturan perundang-undangan anti narkoba, hal 126.

72

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia,Djamben, Jakarta, 1976, hal 155.

73Ibid

(16)

tujuan pengaturan narkotika dalam undang-undang. Narkotika digolongkan

menjadi narkotika golongan I, golongan II, golongan III.

Sedangkan tujuan pengaturan narkotika untuk:

a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, dan

c. Memberantas peredaran gelap narkotika.74

Penggunaan narkotika hanya dapat dipergunakan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk

kepentingan tersebut, maka diperlukan pengaturan tentang pengadaan narkotika

yang diatur dalam undang-undang.75

a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika.

Menurut ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XII

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika dapat dikelompokkan dari segi

bentuk perbuatannya menjadi sebagai berikut:

b. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika.

c. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika.

d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika.

e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika.

f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika.

g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika.

h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika.

i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.

74

Siswanto S, Op. Cit, hal 13.

75

(17)

j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu.

k. Kejahatan yang menyangkut penyimpanan fungsi lembaga.

l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur.76

Mengenai bagaimana bentuk-bentuk masing-masing kejahatan diatas, akan

dibicarakan sebagaimana dibawah ini:

a. Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika

Kejahatan yang menyangkut produksinarkotika diatur dalam pasal 80

Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, namun yang diatur dalam

pasal tersebut bukan hanya perbuatan secara tanpa hak dan melawan hukum

memproduksi saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu mengekstraksi,

mengkonversi, merakit dan menyediakan, narkotika untuk semua golongan.

Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika golongan I diancam dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pisdana penjara paling lama

20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar

rupiah). Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika golongan II diancam

dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), sedangkan untuk golongan III diancam

denga pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak sebesar

Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

b. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika

Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika disini, bukan hanya jual beli

dalam arti sempit, akan tetapi termasuk pula perbuatan ekspor, impordan tukar

menukar yang diatur dalam pasal 82 Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang

76

(18)

narkotika. Berkaitan dengan tindak pidana ini perbuatan menyalurkan dan

menyerahkan termasuk kedalam perbuatan jual beli narkotika, karena peredaran

narkotika sebagaimana dimaksud pada pasal 32 didalamnya terdapat unsur yang

slah satunya meliputi kegiatan dalam rangka perdagangan.

Ancaman pidana untuk kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika

golongan I yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Kejahatan yang menyangkut jual beli

narkotika golongan II diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun dan denda paling banyak sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Sedangkan untuk golongan III diancam dengan pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta

rupiah).

c. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan narkotika

Kejahatan narkotika dalam arti luas termasuk perbuatan membawa,

mengirim dan mentransito narkotika diatur dlam pasal 81 Undang-Undang No. 22

Tahun 1997 tentang Narkotika. Ancaman pidana untuk kejahatan yang

menyangkut pengangkutan narkotika golongan I yaitu pidana penjara paling lama

15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima

puluh juta ruiah). Kejahatan yang menyangkut pengangkutan narkotika golongan

II diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda

paling banayak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Sedangkan untuk

golongan III diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan

(19)

d. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika

Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika , didalam

undang-undang membedakan antaratindak pidana menguasai narkotika golongan I dengan

tindak pidana menguasai narkotika golongan II dan golongan III dilain pihak

karena dipengaruhi adanya penggolongan narkotika tersebut yang memiliki fungsi

dan akibat yang berbeda sehingga pengaturannya diatur didalam pasal yang

berbeda.

Pidana menguasai narkotika golongan I diatur dalam pasal 78

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Penguasaan terhadap narkotika

golongan I yang berbentuk tanaman atau tidak berbentuk tanaman diancam

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak

Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Kemudian untuk narkotika golongan II

dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling

banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan narkotika

golongan III diancam dengan pidana penjara paling alama 5 (lima) tahun dan

denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) diatur dalam pasal 79

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tenyang Narkotika.

e. Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika

Tindak pidana penyalahgunaan narkotika terhadap orang lain diatur dalm

pasal 84 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Penyalahgunaan

narkotika golongan I terhadap orang lain diancam dengan pidana penjara paling

lama 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,-

(tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Penyalahgunaan terhadap orang lain untuk

(20)

tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Sedangkan untuk golongan III diancam dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun dan pidana denda paling abanyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima

puluh juta rupiah).

Pengaturan tindak pidana penyalahgunaannarkotika untuk diri sendiri diatur

dalam pasal 85 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut

pasal 85, ancaman pidana yang diberikan kepad penyalahguna narkotika terhadap

diri sendiri yaitu untuk narkotika golongan I diancam dengan pidan penjara paling

lama 4 (empat) tahun, untuk narkotika golongan II diancam pidana penjara paling

lama 2 (dua) tahun dan untuk golongan III diancam dengan pidan penjara paling

lama 1 (satu) tahun.

f. Kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menghendaki

supaya pecandu narkotika melaporkan diri atau keluarganya yang melaporkan diri

sendiri atau keluarganya yang melaporkan. Hal ini diatur dalam pasal 46, 86 dan

pasal 88 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Ancaman pidana

yang diberikan kepada keluarga dalam hal ini orang tua atau wali yang belum

cukup umur sengaja tidak melapor diancam dengan pidana kurungan paling lama

6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)

sedangkan bagi orang tua atau wali yang telah cuup umur apabila tidak melapor

akan diancam dengan pidana kurungan 6 (enam) bulan atau denda paling banyak

Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

Kejahatan dalam pasal 86 dan pasal 88 diatas semuanya adlah delik dolus

(21)

Oleh karena itu orang tua atau wali dan keluarga pecandu narkotika yang lalai

tidak melaporkan kepada pejabat yang berwenang untuk mendapat

perawatan/pengobatan, tidak dapat dipidana. Lain halnya dengan pecandu

narkotika yang sudah cukup umur, kemungkinan sangat sulit melakukan kelalaian

untuk melaporkan diri, karena yang bersangkutan bahwa dirinya sebgai pecandu

narkotika. Kalau tidak melaporkan diri sedangkan ia tahu betul keadaan dirinya

sendiri merupakan perbuatan yang sengaja. Terhadap orang tua atau wali pecandu

narkotika yang belum cukup umur dan telah melaporkan tidak dapat dituntut

pidana karena didasarkan pada pertimbangan bahwa tindakan tersebut

mencerminkan itikad baik sebagai wujud peran serta masyarakat.

g. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika

Diketahui bahwa pabrik obat diwajibkan mencantumkan kemasan narkotika

baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika (pasal 41). Kemudian

untuk dapat dipublikasikanpasal 42 dan pasal 89 Undang-Undang No 22 Tahun

1997 tentang Narkotika syaratnya harus dilakukan pada media cetak ilmiah

kedokteran atau media cetak farmasi. Apabila pabrik obat tidak melaksanakan

ketentuan sebagaiman diatur dalam pasal 89 tersebut akan diancam dengan pidana

penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,-

(dua ratus juta rupiah).

h. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika

Yang dimaksud proses peradilan meliputi pemeriksaan perkara ditingkat

penyidikan, penuntutan, pengadilan. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1997

perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit jalannya proses peradilan

(22)

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,-

(seratus lima puluh juta rupiah).

Menghalang-halangi dengan mempersulit merupakan dua perbuatan yang

berbeda, akan tetapi tujuannya sama yaitu menghendaki supaya jalannya proses

peradilan tidak lancar atau tidak jadi sama sekali. Perbuatan menghalang-halangi

dilakukan sebelum pemeriksaan (di semua tingkat pemeriksaan) dan dapat

dilakukan oleh siapa saja, sedang perbuatan mempersulit dilakukan ketika

pemeriksaan perkara sedang berlangsung dan pelakunya adalah orang yang

sedang di periksa oleh petugas atau pejabat pemeriksa.

i. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika

Barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana dilakukan penyitaan di

jadikan barang bukti perkara bersangkutan dan barang bukti tersebut harus di

ajukan dalam persidangan pengadilan. Apabila barang bukti tersebut terbukti

dipergunakan dlam tindak pidana maka harus ditetapkan dirampas untuk

dimusnahkan.

Pada perkara narkotika ada kemungkinan barang bukti yang disita berupa

tanaman yang jumlahnya sangat banyak, sehingga tidak mungkin barang bukti

tersebut diajukan ke persidangan semuanya. Berdasarkan Pasal 71 barang bukti

yaang demikian dilakukan penyisihan yang wajar dan selebihnya barang bukti itu

dimusnahkan. Semua tidakan penyidik di atas yang berupa penyitaan, penyisihan

dan pemusnahan wajib dibuat berita acaranya dan dimasukkan dalam berkas

perkara.

Sehubungan dengan hal tersebut dalam perkara narkotika, apabila penyidik

(23)

Pasal 94 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dapat diancam

dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda Rp. 1.000.000,-

(satu juta rupiah).

j. Kejahatan yang menyangkut keterangan palsu

Sebelum seorang saksi memberikan keterangan di muka persidangan, maka

saksi wajib mengucapkan sumpah sesuai dengan agamanya, bahwa ia akan

memberikan keterangan yang sebenarnya (pasal 160 ayat (3) KUHAP). Dengan

cara demikian diharapkan saksi dalam memberikan keterangannya selalu

konsekuen dengan sumpah yang di ucapkannya.

Sejalan dengan hal tersebut, apabila dalam perkara narkotika saksi tidak

memberikan keterangan dengan benar dapat dipidana berdasarkan Pasal 95

Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dengan ancaman pidana

penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).

k. Kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga

Lembaga-lembaga yang diberi wewenang oleh Undang-Undang No. 22

Tahun 1997 untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan narkotika yang

ternyata melakukan kegiatan narkotika tidak sesuai dengan tujuan penggunaan

narkotika sebagaimana di tetapkan oleh undang-undang, maka pimpinan lembaga

yang bersangkutan di jatuhi pidana dalam Pasal 99 Undang-Undang No. 22 Tahun

1997 tentang Narkotika dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

(24)

l. Kejahatan yang menyangkut pemanfaatan anak dibawah umur

Kejahatan dibidang narkotika tidak seluruhnya dilakukan oleh orang

dewasa, tetapi ada kalanya kejahatan dilakukan pula bersama dengan anak

dibawah umur (belum genap berusia 18 tahun). Anak-anak yang belum dewasa

cenderung mulai dipengaruhi untuk melakukan perbuatan yang berhubungan

dengan narkotika, karena jiwanya belum stabil akibat perkembangan fisik dan

psikis. Oleh karena itu perbuatan memanfaatkan anak di bawah umur untuk

melakukan kegiatan narkotika merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal

87 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Ancaman pidana yang

diatur dalam pasal 87 tersebut adalah diancam dengan pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)

dan paling banayak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

Politik hukum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika

adalah :77

a. Bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indoesia yang sejahtera, adil, dan

makmur yang merata materiil dan spiritural berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia

sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara

terus-menerus menurut derajat kesehatannya.

b. Bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia

Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan

upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara

77

(25)

lain pada satu sisi mengusahakan ketersedian narkotika jenis tertentu yang

sangat dibutuhkan sebagai obat dan sisi lain, melakukan tindakan

pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika.

c. Bahwa narkotika di satu sisi, merupakan obat dan bahan yang bermanfaat di

bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang

sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan saksama.

d. Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi menanam, menyimpan,

mengedarkan dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku adalah sangat merugikan dan merupakan bahaya

yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara

serta ketahanan nasional Indonesia.

e. Bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan

menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih,

sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai

dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk

menanggulangi kejahatan tersebut.

B. Pengaturan Narkotika Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 sebagai bagian dari hukum positif telah

(26)

penempatan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 143.78Ruang lingkup

UU No 35 Tahun 2009 telah diatur dalam pasal 5 UU No. 35 Tahun 2009, bahwa

pengaturan narkotika dalam undang-undang ini meliputi segala bentuk kegiaatan

dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika

yang dapat menjadi sebuah pendahuluan sebelum pembahasan akan ketentuan

pidana dala undang-undang aquo bahwa telah diatur secara limitatif hal-hal yang

berkaitan dengan kegiatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor

narkotika yang memiliki konsekuensi pidana apabila dilanggar karena pada

intinya, narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan/atau pengembanagan ilmu pengetahuan dan teknologi (vide pasal 7 UU No.

35 Tahun 2009).79

Undang-Undang No. 35 tahun 2009 diatur mengenai Prekursor Narkotika

karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia

yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Selain itu, diatur pula

mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk

pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta

masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi

anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.80

a. Psikotropika golongan I dan golongan II dinyatakan sebagai bagian dari

narkotika;

Dengan keberlakuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 maka :

78

Ibid hal 61.

79

AR. Sujono dan Bony Daniel, Op. Cit, hal 67. 80

(27)

b. UU No. 22 Tahun 1997 tidak berlaku lagi;

c. Lampiran psikotropika golongan I dan Golongan II di dalam UU No. 5

Tahun 1997 tidak berlaku lagi;

d. Peraturan-peraturan pelaksana UU No. 22 Tahun 1997 tetap diberlakukan;

e. Kecuali untuk peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan

Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika

kabupaten/kota, dicabut dan diperkuat keberadaanya denga UU No. 35

Tahun 2009;

f. Dikenal istilah pecandu, penyalahguna dan mantan pecandu.

g. Diatur mengenai rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan upaya lain

dengan pendekatan keagamaan dan tradisional;

h. Jenis pemidanaan yang lebih kuat, dalam bentuk pidana penjara maupun

denda;

i. Diatur mengenai vonis dan penetapan rehabilitasi (mandatory rehabilitation)

sebagai bagian integral dengan tujuan diberlakukannya UU No. 35 Tahun

2009;

j. Masyarakat wajib melaporkan tentang penyalahgunaan narkotika dan

kewajiban ini disertai dengan sanksi apabilatidak dilaksanakan sehingga

diharapkan peran serta masyarakat meningkat dalam mengungkap tindak

pidana narkotika;

k. Pemerintah harus membuat:

1) Peraturan Pemerintah tentang kegiatan transito narkotika (vide Pasal

(28)

2) Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara produksi, impor,

ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan

prekursor narkotika (vide Pasal 52 UU No. 35 Tahun 2009);

3) Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu

narkotika dan orangtua atau wali dari pecandu narkotika (vide Pasal 55

UU No. 35 Tahun 2009);

4) Perturan Pemerintah tentang pembinaan terhadap segala kegiatan yang

berhubungan dengan narkotika ( vide Pasal 62 UU No. 35 Tahun

2009);

5) Peraturan Pemerintah tentang pengawasan terhadap segala kegiatan

yang berkaitan dengan narkotika (vide Pasal 62 UU No. 35 Tahun

2009);

6) Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara penyimpanan,

pengamanan dan pengawasan narkotika dan prekursor narkotika yang

di sita ( vide Pasal 89 UU No. 35 Tahun 2009);

7) Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara pengambilan dan

pengujian sampel di laboratorium tertentu berupa sebagian kecil

barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika (vide Pasal 90 UU No.

35 Tahun 2009);

8) Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara penyerahan dan

pemusnahan barang sitaan yang berupa narkotika maupun prekursor

narkotika (vide Pasal 94 UU No. 35 Tahun 2009);

9) Peraturan Pemerintah tentang tata cara perlindungan oleh negara

(29)

memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika

beserta keluarganya dari ancaman yang membahayakan diri,

jiwa,dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses

pemeriksaan perkara (vide Pasal 100 UU No. 35 Tahun 2009);

10)Peraturan Pemerintah tentang tata cara penggunaan harta kekayaan

atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dan

prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak

pidana narkotika dan prekursor narkotika ( vide Pasala 101 UU No. 35

Tahun 2009).

l. Menteri Kesehatan harus membuat:

1) Peraturan Menteri Kesehatan tentang perubahan penggolongan

narkotika ( vide Pasal 6 UU No. 35 Tahun 2009);

2) Peraturan Menteri Kesehatan tentang penyusunan rencana kebutuhan

tahunan narkotika ( vide Pasal 9 UU No. 35 Tahun 2009);

3) Peraturan Menteri Kesehatan tentang kebutuhan narkotika dalam

negeri ( vide Pasal 10 UU No. 35 Tahun 2009);

4) Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara pemberian izin dan

pengendalian terhadap produksi narkotika ( vide Pasla 11 UU No. 35

Tahun 2009);

5) Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara penyelenggaraan

produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang

sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan

(30)

6) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara untuk

mendapatkan izin dan penggunaan narkotika bagi lembaga ilmu

pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta

penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah

ataupun swasta untuk memperoleh, menanam, menyimpan dan

menggunakan narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan

teknologi ( vide Pasal 13 UU No. 35 Tahun 2009);

7) Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara penyimpanan narkotika

secara khusus yang berada dalam penguasaan industri farmasi,

pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi

pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai

pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan ( vide Pasal 14 UU

No. 35 Tahun 2009);

8) Peraturan Pemerintah Menteri Kesehatan tentang jangka waktu,

bentuk, isi dan tata cara pelaporan pemasokan dan/atau pengeluaran

narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang

besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,

apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,

dokter dan lembaga ilmu pengetahuan ( vide Pasala 14 UU No. 35

Tahun 2009);

9) Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara memperoleh

Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor narkotika (vide

(31)

10)Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara perizinan

peredaran narkotika dalam bentuk obat jadi (vide Pasal 36 UU No. 35

Tahun 2009);

11)Peraturan Menteri Kesehatan tentang daftar Narkotika Golongan II dan

Golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis,

yang digunakan untuk produksi obat (vide Pasal 37 UU No. 35 Tahun

2009);

12)Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyaluran

narkotika (vide Pasal 42 UU No. 35 Tahun 2009);

13)Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyerahan

narkotika (vide Pasal 44 UU No. 35 Tahun 2009);

14)Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara pencantuman

label dan publikasi narkotika (vide Pasal 22 UU No. 35 Tahun 2009);

15)Peraturan Menteri Kesehatan tentang perubahan penggolongan

prekursor narkotika (vide Pasal 49 UU No. 35 Tahun 2009);

16)Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyusunan

rencana kebutuhan tahunan prekursor narkotika (vide Pasal 50 UU No.

35 Tahun 2009);

17)Peraturan Menteri Kesehatan tentang rehabilitasi medis dan lembaga

rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika serta penyembuhan pecandu

narkotika melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (vide Pasal

59 UU No. 35 Tahun 2009).

m. Menteri Sosial harus membuat peraturan tentang rehabilitasi sosial bagi

(32)

n. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan harus membuat:

1. Peraturan tentang pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi

dan hasil akhir dari produksi narkotika ( vide Pasal 11 UU No. 35

Tahun 2009);

2. Peraturan tentang syarat dan tata cara pendaftaran narkotika dalam

bentuk obat jadi ( vide Pasal 36 UU No. 35 Tahun 2009).

o. Kepala Badan Narkotika Nasionalharus membuat:

1. Peraturan tentang syarat dan tata cara pengangkatan dan

pemberhentian penyidik BNN ( vide Pasal 72 UU No. 35 Tahun 2009);

2. Peraturan tentang pembentukan wadah koordinasi peran serta

masyarakat ( vide Pasal 108 UU No. 35 Tahun 2009).81

C. Peraturan lain Mengenai Pecandu dan Penyalahgunaan Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi yang Berkaitan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Bahwa dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 35 Tahun 2009 tanggal 12 Oktober 2009 tentang Narkotika, maka

dianggap perlu untuk mengadakan revisi terhadap Surat Edaran Mahkamah

Agung RI Nomor : 07 Tahun 2009 tanggal 17 Maret 2009 tentang menempatkan

Pemakai Narkotika ke dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Penerapan

pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 huruf a dan b

81

(33)

undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika hanya dapat

dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:

1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik BNN

dalam kondisi tertangkap tangan ;

2. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian 1 (satu)

hari dengan perincian an tara lain sebagai berikut :

a. Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram

b. Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir

h. Kelompok Psilosybin :3 gram

i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide: 2 gram

j. Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram

p. Kelompok Bufrenorfin : 32 gram

3. Surat uji Laboratorium positif menggunakan Narkotika

berdasarkanpermintaan penyidik.

4. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwapsikiater pemerintah yang

ditunjukoleh Hakim.

5. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam

peredaran gelapNarkotika.

Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk

dilakukantindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis Hakim

harusmenunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam

(34)

1. Lembaga rehabiltasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina

dandiawasi oleh Badan Narkotika Nasional.

2. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta.

3. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Depkcs RI).

4. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis

Daerah(UPTD).

5. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan

olehmasyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan

atauDepartemen Sosial (dengan biaya sendiri).

Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, Hakim harus

dengansungguh-sungguhmempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan Terdakwa,

sehingga wajibdiperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam

proses terapi danrehabilitasi adalah sebagai berikut :

a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi : lamanya 1 (satu) bulan.

b. Program Primer : lamanya 6 (enam) bulan.

c. Program Re-Entry : lamanya 6 (enam) bulan.

Dengan diterbitkannya Surat Edaran ini, maka Surat Edaran Mahkamah

AgungNomor : 07 Tahun 2009 tanggal 17 Maret 2009 perihal yang sama,

dinyatakantidak berlaku lagi.

2. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2011 Tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan

(35)

dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 telah mengatur bahwa sejauh

mungkin penanhan tersangka dan terdakwa pecandu narkotika ditempat tertentu

yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Hal ini tersurat dalam penjelasan

Pasal 21 ayat 4 huruf (b) KUHAP Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dengan

demikian penempatan tersangka/terdakwa dalam perawatan medis bukanlah hal

yang baru.

Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dan Pasal 13

ayat 2 Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 menyatakan bahwa perintah

untuk menjalankan rehabilitasi medis dan sosial hanya dapat dilakukan

berdasarkan:

a. Putusan Pengadilan bagi Pecandu yang terbukti bersalah melakukan

tindak pidana narkotika.

b. Penetapan Pengadilan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti

bersalah dan tersangka yang masih didalam proses penyidikan atau

penuntutan.

Selanjutnya pada pasal 13 ayat 3 menyatakan bahwa pecandu narkotika

yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga medis

dan sosial. Pasal 13 ayat 4 memberikan kewenangan penyidik, penuntut umum

dan hakim untuk penempatan tersangka/terdakwa selama proses peradilan di

lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Dan agar sejalan dengan ketentuan dalam

pasal 13 ayat 2 maka kewenangan penyidik dan penuntut umum dalam

implementasinya merupakan rekomendasi sekaligus memperkuat rekomendasi

(36)

rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, penuntutan sampai

pemeriksaan di persidangan untuk menuangkan dalam bentuk Penetapan.

Dengan uraian tersebut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dan Peraturan

Pemerintah No. 25 Tahun 2011 telah memberikan posisi yang sangat sentral

kepada hakim khususnya terkait pada penempatan dalam lembaga rehanilitasi

medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, penuntutan sampai proses

pemeriksaan di persidangan untuk menuangkan dalam bentuk penetapan. Tentang

berapa lama yang bersangkutan ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi perlu

ditetapkan paling sedikit selam proses peradilan berlangsung, sampai ada putusan

atau penetapan hakim setelah diperiksa di pengadilan sesuai Pasal 103

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.

3. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal

55 menyebutkan tentang kewajiban lapor diri bagi pecandu pada pusat kesehatan

masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau

perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Secara lebih rinci,

pelaksanaan wajib lapor diri pecandu narkotika dituangkan pada Peraturan

Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu

Narkotika.

Melalui program wajib lapor diharapkan pecandu dapat memperoleh

bantuan medis, intervensi psikososial, dan informasi yang diperlukan untuk

(37)

perawatan lanjutan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan yang bersangkutan.

Dengan demikian program wajib lapor diharapkan memberi kontribusi nyata atas

program penanggulangan dampak buruk yang seringkali dialami pecandu

narkotika.

Wajib Lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu

narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali

dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib

lapor untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial. Institusi Penerima Wajib Lapor adalah pusat

kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan

lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Pengaturan Wajib Lapor Pecandu Narkotika bertujuan untuk:

a. memenuhi hak Pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau

perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial;

b. mengikutsertakan orang tua, wali, keluarga, dan masyarakat dalam

meningkatkan tanggung jawab terhadap Pecandu Narkotika yang ada di

bawah pengawasan dan bimbingannya; dan

c. memberikan bahan informasi bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan

di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika.

Pada Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011, Wajib Lapor

dilakukan oleh:

1) Orang tua atau wali Pecandu Narkotika yang belum cukup umur; dan

(38)

Wajib Lapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan melaporkan

Pecandu Narkotika kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Institusi Penerima

Wajib Lapor sebagaimana dimaksud wajib melakukan asesmen terhadap Pecandu

Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika. Asesmen tersebut

meliputi aspek medis dan aspek sosial.

Pecandu Narkotika yang telah melaporkan diri ataudilaporkan kepada

Institusi Penerima Wajib Lapordiberi kartu lapor diri setelah menjalani

asesmen.Kartu lapor diri berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan. Pecandu

Narkotika yang sedang menjalani pengobatan dan/atau perawatan di rumah sakit

dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, dan lembaga rehabilitasi medis dan

sosial Wajib Lapor kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Pecandu Narkotika

yang sedang menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui terapi berbasis

komunitas (therapeutic community) atau melalui pendekatan keagamaan dan

tradisional tetap harus melakukan Wajib Lapor kepada Institusi Penerima Wajib

Lapor.

Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku

juga bagi Pecandu Narkotika yang diperintahkan berdasarkan:

a) putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan

tindak pidana Narkotika;

b) penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah

melakukan tindak pidana Narkotika.

c) Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat

(39)

d) Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial

merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai

dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim

Dokter.

e) Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau

rehabilitasi sosial berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika.

f) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penempatan dalam lembaga

rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada

ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi

dengan instansi terkait.

Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi Dokter, Rumah Sakit atau

Lembaga rehabilitasi lainnya yang sedang melakukan rehabilitasi medis dan/atau

rehabilitasi sosial wajib melaporkan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

4. Peraturan Menteri Sosial No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya.

Korban penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya

berhak atas rehabilitasi sosial yang menjadi tanggung jawab Pemerintah dan

masyarakat sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

Peraturan Menteri Sosial Nomor 56/HUK/2009 tentang Pelayanan dan

(40)

Adiktif Lainnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan

masyarakat, maka perlu disempurnakan.

Pada Peraturan Menteri Sosial No. 26 Tahun 2012, yang dimaksud dengan

Standar Rehabilitasi Sosial adalah spesifikasi teknis yang dibakukan sebagai

acuan dalam melakukan proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk

memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar

dalam kehidupan masyarakat. Tujuan Standar Rehabilitasi Sosial Korban

Penyalahgunaan NAPZA yaitu:

a. menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi korban

Penyalahgunaan NAPZA;

b. memberikan perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik;

c. memberikan arah dan pedoman kinerja bagi penyelenggara rehabilitasi sosial

korban Penyalahgunaan NAPZA; dan

d. meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara rehabilitasi

sosial korban Penyalahgunaan NAPZA.

Pencegahan Penyalahgunaan NAPZA meliputi:

1. Pencegahan primer adalah merupakan upaya untuk mencegah seseorang

menyalahgunakan NAPZA.

2. Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan yang dilakukan terhadap

pengguna agar tidak mengalami ketergantungan terhadap NAPZA.

3. Pencegahan tersier adalah upaya pencegahan terhadap pengguna yang sudah

pulih dari ketergantungan NAPZA setelah menjalani rehabilitasi sosial agar

(41)

Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dalam bentuk:

a. motivasi dan diagnosis psikososial; b. perawatan dan pengasuhan;

c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. bimbingan mental spiritual;

e. bimbingan fisik;

f. bimbingan sosial dan konseling psikososial; g. pelayanan aksesibilitas;

h. bantuan dan asistensi sosial; i. bimbingan resosialisasi; j. bimbingan lanjut; dan/atau k. rujukan.

Tahapan Rehabilitasi Sosial dilaksanakan dengan :

a. pendekatan awal;

b. pengungkapan dan pemahaman masalah; c. penyusunan rencana pemecahan masalah; d. pemecahan masalah;

e. resosialisasi; f. terminasi; dan g. pembinaan lanjut.

Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan

dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dapat dilakukan oleh:

1. perseorangan 2. keluarga ;

3. organisasi keagamaan;

4. organisasi sosial kemasyarakatan; 5. lembaga swadaya masyarakat; 6. organisasi profesi;

7. badan usaha;

8. lembaga kesejahteraan sosial; dan/atau 9. lembaga kesejahteraan sosial asing.

Untuk menjamin sinergi, kesinambungan, dan efektivitas langkah-langkah

(42)

pengembangan rehabilitasi sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA, pemerintah,

pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan pemantauan.

Yang bertujuan untuk mengetahui perkembangan dan hambatan dalam

pelaksanaan kebijakan, program, dan kegiatan rehabilitasi sosial Korban

Penyalahgunaan NAPZA.

Dengan ditetapkannya peraturan ini, Peraturan Menteri Sosial Nomor

56/HUK/2009 tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan

Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya dicabut dan dinyatakan tidak

berlaku. Peraturan ini dibuat sebagai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang

mengatur mengenai Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan

Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya yang menjadi acuan bagi

pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota.

5. Peraturan Menteri Kesehatan No. 80 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam Proses Penyidikan, Penuntutan, dan Persidangan atau Telah Mendapatkan Penetapan/Putusan Pengadilan.

Dalam rangka menjamin hak pecandu, penyalahguna, dan korban

penyalahgunaan narkotika untuk mendapatkan bantuan medis, intervensi

psikososial dan informasi yang diperlukan untuk meminimalisasi risiko yang

dihadapinya, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang

sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan atau telah

mendapatkan penetapan/putusan pengadilan dapat ditempatkan dalam fasilitas

rehabilitasi medis. bahwa untuk memberikan pedoman kepada fasilitas rehabilitasi

(43)

dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan atau telah mendapatkan

penetapan/putusan pengadilan, perlu disusun petunjuk teknis. bahwa Petunjuk

Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Oleh

Pengadilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46

Tahun 2012 perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum.

Ruang Lingkup Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Pecandu,

Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam Proses

Penyidikan, Penuntutan dan Persidangan atau telah mendapatkan

Penetapan/Putusan Pengadilan meliputi:

a. penetapan fasilitas rehabilitasi medis pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan atau telah mendapatkan penetapan/putusan pengadilan;

b. penetapan tim asesmen terpadu;

c. ruang lingkup kerja tim dokter sebagai anggota tim asesmen terpadu;

d. prosedur penyerahan pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika yang telah mendapatkan penetapan atau putusan pengadilan ke dalam fasilitas rehabilitasi;

e. tata laksana rehabilitasi medis; f. pembiayaan;

g. prosedur pengajuan klaim; h. pembayaran klaim;

i. pemanfaatan dana klaim; dan j. prosedur pelaporan

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Pecandu, Penyalahguna,

dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Sedang Dalam Proses Penyidikan,

Penuntutan, dan Persidangan atau telah mendapatkan Penetapan/Putusan

Pengadilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Dan digunakan sebagai acuan bagi fasilitas

(44)

Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam proses

penyidikan, penuntutan, dan persidangan atau telah mendapatkan penetapan/

putusan pengadilan serta melakukan klaim pembiayaan.

Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap

pelaksanaan Peraturan Menteri ini sesuai tugas fungsi dan kewenangannya

masing-masing. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 46 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan

Narkotika yang dalam Proses atau yang telah diputus oleh Pengadilan dicabut dan

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan pada skripsi ini yang berjudul :“PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK DI INDONESIA DITINJAU DARI PESPEKTIF EKONOMI ISLAM ”., penulis tidak membahas mengenai instrument keuangan

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,

Dengan bimbingan dan bantuan dari dosen pembimbing, guru pamong serta berbagai pihak di SMP N 4 Batang, banyak informasi dan pengetahuan yang diperoleh dalam

In this study, the writer attempts to help the readers understand more about the film narrative through the appl ication of Tzvetan Todorov’s narrative theory and

Kadang, Anda butuh pendapat dari orang lain untuk memahami diri Anda sendiri. Tak masalah, Anda bisa mencoba bertanya pada orang-orang terdekat soal pandangan

Hasil analisa menunjukan bahwa nilai optimum kekasaran permukaan pada proses pembubutan paduan Magnesium AZ31 menggunakan Responce Surface Methode Box-Behnken Design

Hasil Hasil asuhan kebidanan secara komprehensif pada Ny “S” selama kehamilan trimester III dengan pusing tidak ditemukan adanya komplikasi kehamilan, persalinan,

Sedangkan pengertian mengenai kebudayaan sendiri yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam