2.1. Pengertian Pencemaran dan Lingkungan
Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari
bentuk asal pada keadaan yang lebih buruk. Pergeseran bentuk tatanan dari
kondisi asal pada kondisi yang buruk ini dapat terjadi sebagai akibat masukan dari
bahan-bahan pencemar atau polutan. Bahan polutan tersebut pada umumnya
mempunyai sifat racun (toksik) yang berbahaya bagi organisme hidup. Toksisitas
atau daya racun dari polutan itulah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya
pencemaran.
Lingkungan dapat diartikan sebagai media atau suatu areal, tempat atau
wilayah yang di dalamnya terdapat bermacam-macam bentuk aktivitas yang
berasal dari ornamen-ornamen penyusunnya. Ornamen-ornamen yang ada dalam
dan membentuk lingkungan, merupakan suatu bentuk sistem yang saling
mengikat, saling menyokong kehidupan mereka. Karena itu suatu tatanan
lingkungan yang mencakup segala bentuk aktivitas dan interaksi di dalamnya
disebut juga dengan ekosistem. Suatu lingkungan hidup dikatakan tercemar
apabila telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan itu sehingga
tidak sama lagi dengan bentuk asalnya, sebagai akibat dari masuk dan atau
dimasukkannya suatu zat atau benda asing ke dalam tatanan lingkungan itu. Jadi
pencemaran lingkungan adalah terjadinya perubahan dalam suatu tatanan
Contohnya, pembuangan limbah industri ke sungai dan laut akan menyebabkan
perubahan ekosistem pada perairan (Palar, 2008).
2.1.1. Hal-hal yang Mencemari Lingkungan
Aktivitas yang pada prinsipnya merupakan usaha manusia untuk dapat
hidup dengan layak dan berketurunan dengan baik, telah merangsang manusia
untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi kaidah-kaidah yang ada
dalam tatanan lingkungan hidupnya. Akibatnya, terjadi pergeseran keseimbangan
dalam tatanan lingkungan dari bentuk asal ke bentuk baru yang cenderung lebih
buruk. Suatu tatanan lingkungan hidup dapat tercemar atau menjadi rusak
disebabkan oleh banyak hal. Namun yang paling utama dari sekian banyak
penyebab tercemarnya suatu tatanan lingkungan adalah limbah.
Limbah dalam konotasi sederhana dapat diartikan sebagai sampah. Limbah
atau dalam bahasa ilmiahnya disebut juga dengan polutan, dapat digolongkan atas
beberapa kelompok berdasarkan pada jenis, sifat dan sumbernya. Limbah padat
adalah semua bahan sisa atau bahan buangan yang sudah tidak berguna dan
berbentuk benda padat. Limbah cair adalah semua jenis bahan sisa yang dibuang
dalam bentuk larutan atau berupa zat cair. Limbah cair dapat berupa air bekas
pencucian pemurnian emas yang mengandung unsur merkuri, busa detergen, dsb.
Limbah organik adalah semua jenis bahan sisa atau buangan yang merupakan
bentuk-bentuk organik, yang dapat terurai dan habis dalam tatanan lingkungan
oleh organisme-organisme pengurai, sedangkan limbah an-organik adalah semua
adalah semua jenis bahan sisa atau bahan buangan yang berasal dari hasil samping
suatu proses perindustrian (Palar, 2008).
2.1.2. Pencemaran Oleh Limbah Industri
Industri memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Secara
ekonomi, industri penting bagi negara dan dapat memberikan pekerjaan bagi
jutaan orang di seluruh dunia. Sektor industri bukan hanya berkaitan dengan
bangunan dan pabrik, tetapi juga mencakup industri pertanian, perkapalan dan
kendaraan laut lainnya, kilang minyak dan pengeboran minyak lepas pantai serta
truk-truk yang digunakan untuk membawa barang-barang dan bahan mentah yang
dihasilkan oleh pabrik (Widyastuti, 2002). Istilah industri sering diindentikkan
dengan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau
bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi atau menjadi barang
yang lebih tinggi nilai kegunaannya. Defenisi ini merupakan defenisi industri
dalam arti sempit. Dalam pengertian yang lebih luas industri dapat diartikan
sebagai semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif
dan bersifat komersial untuk memenuhi kebutuhan hidup. Industri dalam
pengertian luas dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Industri primer, yaitu jenis industri yang langsung mengambil komoditas
ekonomi dari alam tanpa proses pengolahan, seperti pertanian,
pertambangan, dan kehutanan.
b. Industri sekunder, yaitu kegiatan manusia dalam mengolah barang mentah
menjadi barang yang lebih tinggi nilai kegunaannya. Industri sekunder
dinamakan pula industri manufaktur atau pabrik (Utoyo, 2007).
Perindustrian telah mengalami kemajuan yang sangat pesat sejak terjadinya
revolusi industri di daratan Eropa pada abad pertengahan. Seluruh negara maju di
dunia berpacu untuk mendirikan pabrik-pabrik, untuk kemudahan bagi manusia.
Perkembangan yang sangat pesat tersebut kemudian memberikan efek yang buruk
bagi manusia. Kontrol yang hampir tidak pernah dilakukan terhadap buangan atau
limbah industri telah mengakibatkan terjadinya pencemaran yang sangat luas di
seluruh dunia.
Bentuk pencemaran akibat buangan industri adalah pencemaran yang
ditimbulkan oleh limbah industri yang mengandung gugus logam berat. Sebagai
contoh adalah terjadinya peningkatan kadar merkuri (Hg) di perairan Teluk
Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar merkuri dalam perairan Teluk
Jakarta telah mencapai 0,027 ppm, berarti hampir empat kali dari jumlah hasil
penelitian yang dilakukan dua tahun sebelumnya. Tercatat satu orang telah
meninggal dan beberapa orang lainnya mengalami kelumpuhan, lidah kelu dan
sama sekali tidak memiliki daya. Penyakit itu nyaris sama dengan penyakit yang
timbul di Teluk Minamata di Jepang pada tahun 1950-an (Palar, 2008).
2.1.3. Pencemaran Laut
Laut adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang
menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau-pulau (Setiawan, 2015).
dibuang langsung dan bercampur menjadi satu ke badan sungai atau laut,
ditambah lagi dengan kebiasaan penduduk melakukan kegiatan MCK di bantaran
sungai (Chandra, 2005).
Selain itu pencemaran laut yang lainnya terjadi pula dari buangan zat kimia
limbah pabrik yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut. Pembuangan tailing
atau ampas sisa kegiatan penambangan ke laut juga menyebabkan pencemaran,
karena tailing yang seharusnya mengendap di dasar laut dapat terbawa ke
permukaan laut dengan adanya pembalikan arus dari bawah laut (Rizky, 2013).
Di pihak lain, lautan merupakan tempat pembuangan benda-benda asing dan
pengendapan barang sisa yang diproduksi oleh manusia, serta buangan dari kapal,
tumpahan minyak dari kapal tanker dan pengeboran minyak lepas pantai.
Kandungan logam di daerah laut dalam dengan laut dangkal biasanya berbeda.
Laut dangkal memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan laut dalam. Hal
tersebut disebabkan karena lautan dapat melarutkan dan menyebarkan
bahan-bahan tersebut sehingga konsentrasinya menjadi menurun, terutama di daerah laut
dalam. Daerah pantai, terutama daerah muara sungai sering mengalami
pencemaran berat yang disebabkan karena proses pencemaran yang berjalan
sangat lambat (Darmono, 2001).
A. Laut Sebagai Tempat Pembuangan Limbah
Pembuangan limbah di laut saat ini masih banyak dilakukan. Bahan
buangan tersebut terutama berasal dari bahan kerukan pelabuhan yang
mendangkal, sungai yang mendangkal, dan sebagainya. Diperkirakan 20% dari
lumpur yang bercampur dengan bahan kimia toksik, agen infeksi, dan bahan padat
yang berasal dari endapan pengolahan limbah.
Limbah industri walaupun telah diproses dengan menggunakan IPAL,
namun bila tidak diolah dengan prosedur yang benar akan menimbulkan kualitas
limbah yang buruk. Sehingga permasalahan lingkungan masih sering muncul di
daerah industri (Supriharyono, 2000).
2.2. Pencemaran Logam Berat
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terpisahkan dari
benda-benda yang terbuat dari logam. Fungsi beberapa jenis logam antara lain, Cr untuk
memberi warna cemerlang pada perkakas dari logam, Co sebagai bahan magnet
yang kuat pada loudspeaker atau mikrofon, Cu sebagai kawat listrik, Ni sebagai
bahan baja tahan karat/stainless steel, Pb sebagai bahan baterai pada mobil, Zn
sebagai bahan pelapis kaleng, dan Hg sebagai bahan pelarut emas.
Di Indonesia, pencemaran logam berat cenderung meningkat sejalan
dengan meningkatnya proses industrialisasi. Pencemaran logam berat dalam
lingkungan bisa menimbulkan bahaya bagi kesehatan, baik pada manusia, hewan
maupun lingkungan (Wahyu dkk, 2008).
Menurut Endang (2007) dalam Djuangsih penyebab utama logam berat
menjadi bahan pencemar berbahaya yaitu logam berat tidak dihancurkan (non
degradable) oleh organisme hidup di lingkungan dan terakumulasi ke lingkungan,
terutama mengendap di dasar perairan membentuk senyawa kompleks bersama
2.2.1. Pengertian Logam Berat
Unsur logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas lebih dari 5
gr/cm³. Diantara semua unsur logam berat, Hg menduduki urutan pertama dalam
hal sifat racunnya, dibandingkan dengan logam berat lainnya. Kemudian diikuti
dengan logam berat antara lain Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, Zn.
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) adalah setiap bahan yang karena
sifatnya atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain (Pasal 1 (17) UU No. 23
1997). Zat kimia B3 dapat berupa senyawa logam (anorganik) atau senyawa
organik, sehingga dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, B3 biologis, B3
logam dan B3 organik. Menurut data dari Environmental Protection Agency
(EPA) tahun 1997, terdapat ‘top 20’ B3 dimana dari 20 B3 tersebut diantaranya
adalah logam berat, Arsenic (As), Lead (Pb), Mercury (Hg), Kadmium (Cd), dan
Chromium (Cr) (Sudarmaji dkk, 2006).
Perbedaan logam berat dengan logam-logam lain terletak dari pengaruh
yang akan dihasilkan bila suatu logam berat berikatan atau masuk ke dalam tubuh
organisme hidup. Sebagai contoh apabila logam besi (Fe) masuk ke dalam tubuh,
meski dalam jumlah agak berlebihan, hal itu tidak menimbulkan pengaruh yang
buruk terhadap tubuh. Karena unsur Fe dibutuhkan dalam darah untuk mengikat
oksigen. Sedangkan unsur logam berat baik logam berat beracun yang diperlukan
berlebihan akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap fungsi fisiologis tubuh
(Palar, 2008).
2.2.2. Kandungan Logam Berat di Perairan
Daya racun logam berat di perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor
lingkungan perairan seperti pH, kesadahan, temperatur dan salinitas. Penurunan
pH air akan menyebabkan daya racun logam berat semakin besar. Kesadahan
yang tinggi dapat mempengaruhi daya racun logam berat, karena logam berat
dalam air yang berkesadahan tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang
mengendap ke dalam dasar perairan.
Menurut Hasan Sitorus (2011) yang dikutip dari Manahan akumulasi
logam berat dalam tubuh hewan air dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain 1)
kadar logam berat dalam air, 2) kadar logam berat dalam sedimen, 3) pH air dan
pH sedimen dasar perairan, 4) tingkat pencemaran air dalam bentuk COD
(Chemical Oxygen Demand), 5) kandungan sulfur dalam air dan sedimen, 6) jenis
hewan air, 7) umur dan bobot tubuh dan 8) fase hidup (telur, larva). Biota air
seperti ikan yang hidup di perairan yang tercemar logam berat, dapat
mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya. Semakin tinggi
kandungan logam dalam perairan, maka akan semakin tinggi pula kandungan
logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan tersebut.
Logam berat yang masuk ke dalam jaringan tubuh ikan melalui beberapa
jalan, yaitu saluran pencernaan, saluran pernapasan dan penetrasi melalui kulit.
Absorpsi logam melalui pernapasan biasanya cukup besar, sedangkan logam yang
Menurut Wahyu (2008) yang dikutip dari Rozanah berdasarkan hasil
penelitian Tim Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB,
diketahui bahwa kandungan logam berat timbal (Pb), kadmium (Cd), kuprum
(Cu), dan merkuri (Hg) di perairan Teluk Jakarta, yaitu di perairan Ancol dan
perairan Dadap, telah melampaui nilai ambang batas. Pencemaran ini diakibatkan
oleh pembuangan limbah industri kertas, minyak goreng, limbah rumah tangga,
industri pengolahan logam di kawasan Pantai Marunda, dan industri dari 13
sungai yang ada di DKI Jakarta, serta pembuangan minyak secara rutin dari kapal
dan perahu kecil di kawasan Teluk Jakarta.
2.2.3. Batas Cemaran Logam Berat Kadmium (Cd) dan Timbal (Pb)
Sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7387:2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan yang disusun antara lain dengan
memperhatikan Keputusan Ditjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 disebutkan
bahwa batas maksimum cemaran logam kadmium (Cd) pada ikan dan hasil
olahannya yaitu sebesar 0,1 mg/kg sedangkan logam timbal (Pb) pada ikan dan
hasil olahannya sebesar 0,3 mg/kg.
2.3 . Kadmium (Cd)
2.3.1. Karakteristik Kadmium (Cd)
Berdasarkan sifat fisikanya kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih
perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta
menghasilkan kadium oksida bila dipanaskan. Logam ini akan kehilangan
mengalami kerusakan bila dikenai oleh uap amonia (NH3) dan sulfur hidroksida.
Cd umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang
(Cd sulfit). Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4 g/mol ; titik leleh
321ºC dan titik didih 767ºC. Kadmium bersifat lentur, tahan terhadap tekanan
serta dapat dimanfaatkan sebagai pencampur logam lain, seperti nikel (Ni), emas
(Au), kuprum (Cu), dan besi (Fe) (Wahyu dkk, 2008).
2.3.2. Penyebaran dan Sumber Cd
Cd terutama terdapat dalam kerak bumi bersama dengan seng (Zn). Hanya
ada satu jenis mineral kadmium di alam yaitu greennockite (CdS) yang selalu
ditemukan bersamaan dengan mineral spalerite (ZnS) yang biasanya merupakan
produksi sampingan dari peristiwa peleburan dan refening bijih-bijih Zn. Cd dari
hasil sampingan peleburan dan refining bijih Zn rata-rata memiliki kadar Cd
sebesar 0,2-0,3%.
Sumber pencemaran dan paparan Cd berasal dari polusi udara, keramik
berglazur, rokok, air sumur, makanan yang tumbuh di daerah pertanian yang
tercemar Cd, fungisida, pupuk, serta cat. Paparan dan toksisitas kadmium berasal
dari rokok, tembakau, pipa rokok yang mengandung Cd, perokok pasif, plastik
berlapis Cd serta air minum (Wahyu dkk, 2008).
2.3.3. Penggunaan Dalam Bidang Industri
Kadmium (Cd) merupakan logam yang sangat penting dan banyak
kegunaannya, khususnya untuk elektroplating (pelapisan elektrik) serta
dalam pembuatan alloy, dan digunakan pula sebagai pigmen warna cat, keramik,
plastik, stabilizer plastik, katode untuk Ni-Cd pada baterai, bahan fotografi,
pembuatan tabung TV, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil, dan pigmen
untuk gelas dan email gigi. Pada dasarnya penggunaan kadmium adalah sebagai
bahan ‘stabilisasi’ yaitu sebagai bahan pewarna dalam industri plastik dan pada
elektroplating. Kadmium yang terdapat di dalam lingkungan pada kadar yang
rendah berasal dari kegiatan penambangan seng (Zn), timah (Pb), dan kobalt (Co)
serta kuprum (Cu). Sementara dalam kadar tinggi, kadmium berasal dari emisi
industri, antara lain dari hasil sampingan penambangan, peleburan seng (Zn) dan
timbal (Pb).
Pemanfaatan Cd dan persenyawaannya meliputi :
a. Senyawa Cds dan CdSeS yang banyak digunakan sebagai zat warna.
b. Senyawa Cd sulfat (CdSO) yang digunakan dalam industri baterai yang
berfungsi sebagai pembuatan sek wseton karena memiliki potensial voltase
stabil, yaitu 1,0186 volt.
c. Senyawa Cd bromida (CdBr) dan Cd-ionida (CdI) yang digunakan untuk
fotografi.
d. Senyawa dietil-Cd yang digunakan untuk pembuangan tetraetil-Pb.
e. Senyawa Cd-stearat untuk perindustrian manufaktur polyvinilkhlorida (PVC)
sebagai bahan untuk stabilizer (Wahyu dkk, 2008).
2.3.4. Mekanisme Toksisitas Kadmium (Cd)
keluar lagi melalui faeses sekitar 3-4 minggu setelah terpapar Cd, dan sebagian
kecil dikeluarkan melalui urin. Absorpsi kadmium (Cd) dalam saluran pencernaan
meliputi 2 tahap, yaitu :
1. Penyerapan Cd dari lumen usus melewati membran brush border ke dalam sel
mukosa.
2. Transpor Cd ke dalam aliran darah dan deposisi dalam jaringan, terutama
dideposit di hati dan ginjal. Kadmium memiliki afinitas yang tinggi pada testis
sehingga konsentrasi pada testis juga akan lebih tinggi dibandingkan pada
jaringan lainnya.
Daya akumulasi kadmium sangat efisien dalam tubuh manusia, yaitu
kurang lebih 40 tahun. Kadmium dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan
ginjal terutama yang berikatan dengan proteintionin dan mengubah tionin
menjadi metalotionin. Metalotionin mengandung unsur sistein, dimana Cd
terikat dalam gugus sulfhidril (-SH) dalam enzim seperti karboksil sisteinil,
histidil, hidroksil, dan fosfatil dari protein dan purin (Wahyu dkk, 2008).
2.3.5. Dampak Toksik Kadmium (Cd) Terhadap Kesehatan
A. Secara akut
Kasus keracunan akut kadmium kebanyakan dari menghisap debu dan asap
kadmium, terutama kadmium oksida (CdO). Gejala-gejala keracunan akut yang
akan timbul adalah rasa sakit dan panas pada bagian dada. Gejala ini akan muncul
setelah 4-10 jam sejak penderita terpapar oleh uap logam Cd. Kematian
disebabkan karena terjadinya oedema paru-paru. Apabila dapat bertahan hidup,
Penyakit paru-paru akut ini dapat terjadi bila penderita terpapar oleh uap Cd
atau CdO dalam waktu 24 jam, dan akan menyebabkan kematian bila konsentrasi
berkisar dari 2500-2900 mg/m. Sedangkan pada pekerjaan-pekerjaan yang
menggunakan solder dengan kandungan 24% Cd. Kematian akan segera terjadi
bila konsentrasi uap solder secara keseluruhan sebesar 1 mg/m.
B. Secara kronis
Keracunan yang bersifat kronis disebabkan karena daya racun yang dibawa
oleh logam Cd terjadi dalam selang waktu yang sangat panjang. Keracunan kronis
ini membawa akibat yang lebih buruk dibandingkan dengan keracunan akut.
Akibat yang ditimbulkan pada umumnya terjadi kerusakan-kerusakan pada sistem
fisiologis tubuh, seperti sistem urinaria (ginjal), sistem respirasi (paru-paru),
sistem sirkulasi (darah) dan jantung. Di samping itu, keracunan kronis juga
merusak kelenjar reproduksi, sistem penciuman dan bahkan dapat mengakibatkan
kerapuhan pada tulang (Palar, 2008).
Salah satu contoh penyakit akibat keracunan logam berat kadmium yaitu
Itai-itai Disease. Itai-itai disease terjadi di Jepang, pertama kali ditemui di area
yang sangat tercemar di lembah sungai Jinzu, terletak di Prefektur Toyama,
Jepang. Penyakit ini sendiri menunjukkan gejala nephropathy dan osteomalacia.
Kedua penyakit ini adalah penyakit yang timbul akibat adanya kandungan
kadmium (Cd) dalam tubuh. Menurut hasil identifikasi Dinas Kesehatan setempat
atau Public Welfare Office of Toyama terhadap area yang terpolusi Cd bahwa
sejak tahun 1967, 97% orang dari 132 penduduk yang meninggal dunia adalah
sedang memproduksi senjata untuk kebutuhan militer. Penambangan yang
dilakukan Mitsui Mining and Smelting Co. Ltd secara tidak langsung membuat
dampak di sungai Jinzu. Banyak kasus meninggalnya pasien yang terkena
penyakit ini setelah mengkonsumsi air sungai Jinzu serta memakan beras yang
diirigasi oleh sungai tersebut. Pada 34 area persawahan di sekitar sungai Jinzu
ditemukan 4,04 ppm kandungan logam berat dalam air, 2,42 ppm kandungan
logam berat dalam di tengah area persawahan dan 2,24 ppm di area outlet irigasi.
Sedangkan logam kadmium berkisar kurang dari 1,0 ppm di seluruh wilayah
persawahan. Hasil hipotesis masuknya kadmium dalam tubuh manusia diduga
adalah karena padi yang dihasilkan dari kawasan tersebut tercemar kadmium.
Seluruh padi yang diteliti memiliki konsentrasi Cd yang beragam mulai dari 1,0
ppm hingga yang tertinggi mencapai 6,88 ppm (Istarani, F dan Elina S, 2014).
Pada ginjal, kadmium dapat menyebabkan nefrotoksisitas (toksik ginjal),
yaitu gejala proteinuria, glikosuria dan aminoasiduria disertai dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus ginjal. Kasus keracunan kadmium juga menyebabkan
gangguan kardio vaskuler dan hipertensi. Hal tersebut terjadi karena tingginya
afinitas jaringan ginjal terhadap kadmium. Selain itu, kadmium juga
mengakibatkan terjadinya gejala osteomalasea karena terjadi interferensi daya
keseimbangan kandungan kalsium dan fosfat dalam ginjal (Darmono, 2001)
Pada paru-paru dapat menyebabkan kerusakan terhadap organ respirasi
paru-paru. Pada peristiwa terhirupnya debu Cd selama 20 tahun oleh para pekerja
industri yang melibatkan Cd, akan menyebabkan terjadinya pembengkakan
Pada darah dan jantung logam Pb dapat menyebabkan penyakit anemia
(kekurangan darah). Hal ini ditemukan pada pekerja yang telah bekerja selama
5-30 tahun pada industri yang melibatkan CdO.
Pada tulang dapat menyebabkan kerapuhan tulang. Penyakit ini telah
ditemui sebelumnya di Jepang yang disebut dengan ‘itai-itai’ (Itai-itai Disease).
Menurut para ahli, efek yang ditimbulkan oleh Cd terhadap tulang kemungkinan
disebabkan karena kekurangan kalsium (Ca) dalam makanan yang tercemar oleh
Cd sehingga fungsi kalsium dalam pembentukan tulang digantikan oleh logam Cd
yang ada. Pada para penderita keracunan kronis, dapat diketahui dengan melihat
tanda-tanda keracunan berupa lingkaran kuning pada bagian pangkal gigi.
Pada sistem reproduksi logam Cd dalam konsentrasi tertentu dapat
mematikan sel-sel sperma pada laki-laki yang berakibat impotensi. Impotensi
yang ditimbulkan dapat dibuktikan dengan rendahnya kadar testosteron dalam
darah (Palar, 2008).
2.3.6. Pencegahan dan Penanggulangan Kadmium (Cd)
Orang yang rentan terpapar Cd adalah pekerja di lingkungan industri,
pekerja galvanisasi, perokok aktif dan perokok pasif, pekerja di penambangan Zn,
dan orang yang mengonsumsi makanan yang tercemar Cd. Untuk mencegah dan
mengurangi paparan Cd, dapat dilakukan beberapa hal berikut :
1. Menghindari paparan kadmium dengan mengurangi rokok, mengurangi
konsumsi makanan yang rentan terkontaminasi Cd, antara lain kerang dan
shellfish, serta mengurangi minuman yang rentan tercemar Cd, antara lain kopi
2. Bagi para pekerja, sebaiknya menggunakan masker serta tidak makan, minum
ataupun merokok di daerah industri.
3. Untuk mencegah toksisitas Cd, jaga kecukupan Zn dalam tubuh dengan
mengonsumsi makanan yang mengandung Zn tinggi, antara lain biji-bijian
yang tidak ditumbuk halus, makanan dari golongan leguminosae dan
kacang-kacangan. Konsumsi suplemen Zn 15-30 mg/hari bisa mengurangi toksisitas
Cd (Wahyu dkk, 2008).
Penanggulangan Kadmium (Cd) pada Makanan
Upaya menurunkan kandungan logam berat pada makanan banyak dilakukan
dengan penambahan bahan sekuestran (Chelating agents). Sekuestran adalah
bahan yang dapat mengikat logam dalam makanan sehingga mutu makanan tetap
terjaga dari cemaran logam berat. Beberapa kandungan alami makanan dapat
berperan sebagai bahan sekuestran antara lain asam-asam karboksilat (oksalat,
succinic), asam-asam hidroksi (laktat, malat, tartarat, sitrat) asam-asam amino,
peptida, protein dan porfirin. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menurunkan kadar kandungan kadmium (Cd) dalam makanan, yaitu :
a) Merendam makanan dengan menggunakan jeruk nipis, misalnya udang
windu. Dimana jeruk nipis mengandung asam sitrat yang dapat
menurunkan kadar kadmium. Perendaman selama 30 menit menunjukkan
terjadi penurunan kadar kadmium sebesar 56,09%, sedangkan perendaman
selama 60 menit dapat menurunkan kadar kadmium sebesar 69,17%
b) Menurut Hudaya (2010) yang mengutip dari Nihe dengan menambahkan
asam jawa pada ikan tongkol dapat menurunkan kadar logam kadmium.
Penambahan asam jawa yang mengandung asam hidroksi (malat, tartarat,
sitrat) dengan konsentrasi 5%, 15%, 25%, 35% dan 45% selama 30 menit
dapat menurunkan kadmium berturut-turut sebesar 0,175 ppm, 0,219 ppm,
0,298 ppm, 0,259 ppm dan 0,198 ppm.
c) Merendam kerang darah dengan belimbing wuluh. Kadar kadmium dalam
kerang darah dapat berkurang 94,7% setelah direndam dengan larutan
belimbing wuluh selama 1 jam. Hal ini karena belimbing wuluh
mengandung asam sitrat (Hudaya, 2010).
d) Merebus kerang bulu dengan menggunakan asam gelugur seberat 100
gram dapat menurunkan kandungan kadar logam kadmium sebesar
59,56% (Pransiska, 2010).
e) Merendam kerang bulu (Andara antiquata) menggunakan larutan chitosan
dengan konsentrasi 0,5%, 1% dan 1,5% serta dengan waktu yang
berbeda-beda. Perendaman dengan larutan chitosan 0,5% lama perendaman 15
menit menurunkan 37,2%, 0,5% lama perendaman 30 menit menurunkan
40,5%, 0,5% lama perendaman 60 menit menurunkan 45,4%, 1% lama
perendaman 15 menit menurunkan 38,79%, 1% lama perendaman 30
menit menurunkan 40,6%, 1% lama perendaman 60 menit menurunkan
55,5% dan perendaman dengan larutan chitosan konsentrasi 1,5% lama
menurunkan 41,3%, 1,5% lama perendaman 60 menit menurunkan 63,08%
(Afsyah, 2011).
2.4. Timbal (Pb)
2.4.1. Karakteristik Timbal (Pb)
Timbal atau yang dikenal dengan timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya
dinamakan plumbum dan disimbolkan dengan Pb. Timbal (Pb) memiliki titik
lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga bisa
digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Pb adalah logam
lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serta mudah dimurnikan dari
pertambangan. Timbal meleleh pada suhu 328ºC (662ºF); titik didih 1740ºC
(3164ºF); dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20 (Palar, 2008).
2.4.2. Penyebaran dan Sumber Pb
Logam timbal di bumi jumlahnya sangat sedikit, yaitu 0,0002% dari
jumlah kerak bumi bila dibandingkan dengan jumlah logam lainnya yang ada di
bumi. Pencemaran Pb berasal dari sumber alami maupun limbah hasil aktivitas
manusia dengan jumlah yang terus meningkat, baik di lingkungan air, udara,
maupun darat.
Keberadaan timbal di badan air berasal dari 2 sumber, yakni yang pertama
terdapat secara alami di dalam kerak bumi dan tersebar ke alam melalui proses
alami seperti letusan gunung berapi, bebatuan dan proses geokimia, kemudian
yang kedua berasal dari aktifitas manusia seperti air buangan industri,
electroplating/pelapisan logam, pertambangan, peleburan, panggunaan pestisida,
merupakan hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor dengan bantuan
hujan. Selain itu juga sebagai akibat proses korosifikasi bahan mineral akibat
hempasan dan angin. Timbal yang berasal dari air aktivitas manusia jatuh pada
jalur-jalur perairan seperti anak sungai dan kemudian terbawa menuju laut.
Kadar Pb secara alami dapat ditemukan dalam bebatuan sekitar 13 mg/kg.
Pb yang terdapat di tanah memiliki kadar sekitar 5-25 mg/kg dan di air bawah
tanah berkisar antara 1-60 µg/liter. Pb juga ditemukan di air permukaan, pada air
telaga dan air sungai sebesar 1-10 µg/liter, air laut lebih rendah dari air tawar.
Laut Bermuda yang bebas dari pencemaran Pb sekitar 0,07 µg/liter. Secara alami
Pb juga ditemukan di udara yang kadarnya antara 0,0001-0,001 µg/m³. Logam
berat Pb yang berasal dari tambang dapat berubah menjadi PbS (golena), PbCO3
(cerusite), dan PbSO4 (anglesite) dan ternyata golena merupakan sumber utama Pb
yang berasal dari tambang (Sudarmaji dkk, 2006). Di alam terdapat 4 macam
isotop timbal, yakni :
1. Timbal 204 dengan jumlah sebesar 1,48% dari seluruh isotop timbal.
2. Timbal 206 sebanyak 23,60%.
3. Timbal 207 sebanyak 22,60%.
4. Timbal 208 sebanyak 52,32% dari seluruh isotop timbal yang terdapat di alam.
Isotop-isotop ini merupakan hasil akhir dari peluruhan unsur-unsur radioaktif
alam (Palar, 2008).
2.4.3. Penggunaan Dalam Bidang Industri
Logam Pb digunakan dalam industri baterai, kabel, penyepuhan, pestisida,
formulasi penyambung pipa sehingga memungkinkan terjadinya kontak antara air
rumah tangga dengan Pb (Wahyu dkk, 2008).
Timbal dan persenyawaannya banyak digunakan dalam berbagai bidang.
Dalam industri baterai, timbal digunakan sebagai grid yang merupakan alloy
(suatu persenyawaan) dengan logam bismut (Pb-Bi) dengan perbandingan 93:7.
Timbal oksida (PbO) dan logam timbal dalam industri baterai digunakan sebagai
bahan yang aktif dalam pengaliran arus elektron. Persenyawaan yang dibentuk
oleh Pb dengan unsur kimia lainnya beserta dengan fungsinya, yaitu :
Tabel. 2.1. Bentuk Persenyawaan Pb dan Kegunaannya Bentuk Persenyawaan Kegunaan
Pb + Sb Kabel telepon
Pb + As + Sn + Bi Kabel listrik
Pb + arsenat Insektisida
Pb + Ni Senyawa azida untuk bahan peledak
Pb + Cr + Mo + Cl Untuk pewarnaan pada cat
Pb – asetat Pengkilapan keramik & bahan anti api
Pb + Te Pembangkit listrik tenaga panas
Tetrametil – Pb & Tetraetil – Pb Aditive untuk bahan bakar kendaraan bermotor
(Palar, 2008)
2.4.4. Mekanisme Toksisitas Timbal (Pb)
Orang dewasa mengabsorpsi Pb sebesar 5-15% dari keseluruhan Pb yang
dicerna, sedangkan anak-anak mengabsorpsi Pb lebih besar, yaitu 41,5%. Pb dapat
menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Hb).
Proses masuknya timbal ke dalam tubuh dapat melalui makanan dan
minuman, udara, dan penetrasi pada kulit. Penyerapan lewat kulit ini dapat terjadi
disebabkan karena senyawa ini dapat larut dalam minyak dan lemak (Palar, 2008).
berikatan dengan darah paru-paru kemudian diedarkan ke seluruh jaringan dan
organ tubuh.
Timbal yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan minuman
sekitar 14% akan masuk ke saluran pencernaan yang kemudian akan ikut dalam
proses metabolisme tubuh. Jumlah timbal yang masuk melalui makanan masih
mungkin ditolerir oleh lambung, karena adanya asam lambung yang dapat
menyerap timbal. Timbal yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan akan
melewati hati sebelum dibawa ke bagian tubuh lain. Melalui proses
biotransformasi hati akan mendetoksifikasi zat kimia yang masuk. Dari proses
tersebut akan dihasilkan metabolit yang seringkali larut dalam air sehingga dapat
diekskresi oleh tubuh (Oktaria, 2009).
Gambar 2.1 Akumulasi Timbal (Pb) dalam Tubuh Manusia (Depkes RI, 2001 dalam Naria, 2005)
Timbal yang diabsorpsi ke dalam tubuh akan didistribusikan ke darah,
cairan ekstraseluler dan beberapa tempat deposit, yang berada di jaringan lunak
terakumulasi dalam skeleton (tulang) sekitar 90% dari keseluruhan. Ekskresi
timbal melalui saluran cerna dipengaruhi oleh saluran aktif dan pasif kelenjar
saliva, pankreas dan kelenjar lainnya di dinding usus, regenerasi sel epitel dan
ekskresi empedu.
Pb yang telah diserap akan diendapkan dalam tulang bergabung dengan
matrik tulang yang mirip dengan kalsium (Ca). Karena logam ini dalam bentuk
ion (Pb²+) mampu menggantikan keberadaan ion Ca²+ (kalsium) yang terdapat
dalam jaringan tulang. Penyimpanan Pb dalam tulang menyebabkan kenaikan
katabolisme tulang yang memungkinkan dapat meningkatkan konsentrasi Pb
dalam sirkulasi darah. Beberapa penyakit yang dapat timbul karena proses
pergantian tulang berkaitan dengan tingginya kadar Pb dalam darah seperti
hipertiroidisme dan osteoporosis.
Secara intraseluler, Pb terikat pada kelompok sulfhidril dan ikut berperan
dalam sejumlah enzim seluler, seperti dalam sintesis heme. Pengikatan seperti itu
juga terdapat pada keberadaan Pb dalam rambut dan kuku.
Waktu paruh timbal secara biologi dalam tulang manusia diperkirakan 2-3
tahun. Timbal dalam darah akan dapat dideteksi dalam waktu paruh sekitar 20
hari, sedangkan ekskresi timbal dalam tubuh secara keseluruhan terjadi dalam
waktu paruh sekitar 28 hari. Dari darah dan tempat deposit, timbal kemudian
2.4.5. Dampak Toksik Timbal (Pb) Terhadap Kesehatan
A. Secara akut
Toksisitas akut akibat logam Pb terjadi jika Pb masuk ke dalam tubuh
melalui makanan atau menghirup gas Pb dalam waktu yang relatif pendek dengan
dosis atau kadar yang relatif tinggi. Gejala dan tanda-tanda klinis akibat paparan
Pb secara akut dapat menimbulkan beberapa gejala, antara lain :
1. Gangguan gastrointestinal, seperti kram perut, kolik, dan biasanya diawali
dengan sembelit, mual, muntah dan sakit perut yang hebat.
2. Gangguan neurologi berupa ensefalopati seperti sakit kepala, bingung atau
pikiran kacau, sering pingsan dan koma.
3. Gangguan fungsi ginjal, oliguria, dan gagal ginjal yang akut bisa berkembang
dengan cepat.
B. Secara kronis
Pada kasus terpapar Pb akibat kerja, intoksikasi Pb secara kronis berjalan
lambat. Gejala awal ditandai dengan kelelahan, kelesuan, irritabilitas dan
gangguan gastrointestinal. Apabila terpapar secara terus-menerus, pada sistem
saraf pusat menyebabkan gejala seperti insomnia, bingung atau pikiran kacau,
konsentrasi berkurang, dan gangguan ingatan (memori).
Berbagai penelitian secara epidemiologi telah menunjukkan bahwa tingkat
paparan dengan dosis rendah akan menimbulkan dampak yang merugikan pada
sistem saraf pusat. Dampak tersebut diantaranya dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk mengikuti perintah yang sederhana dan pada tes IQ
analisis dari Needlemen dan Gatsonis menyatakan bahwa kadar Pb darah sebesar
10-15 µg/dl akan menimbulkan gangguan terhadap IQ anak. Hasil penelitian juga
menyatakan bahwa setiap kenaikan kadar timbal dalam darah sebanyak 10 µg/dL
akan menurunkan IQ sebanyak 4,6 poin.
Gejala lainnya yang timbul akibat terpapar Pb secara kronis adalah
kehilangan libido, infertilitas pada laki-laki, gangguan menstruasi serta aborsi
spontan pada wanita, sedangkan pada laki-laki telah terbukti adanya perubahan
dalam spermatogenesis. Pada ibu hamil yang terpapar Pb selama kehamilan, Pb
akan melewati plasenta dan kemudian akan ikut masuk dalam sistem peredaran
darah janin dan selanjutnya setelah bayi lahir, Pb akan dikeluarkan bersama air
susu (Riyadina, 1997).
2.4.6. Pencegahan dan Pengendalian Timbal (Pb)
Berbagai upaya untuk mencegah dan menghindari efek toksik Pb antara lain :
1. Melakukan tes medis (Pb dalam darah) terutama bagi pekerja yang berisiko
terpapar Pb. Tes medis tersebut meliputi :
a) Sejarah Medis Pekerja (masa kerja)
Dilihat dalam hal riwayat terpapar Pb secara individu, kondisi higiene
tempat kerja, kondisi gastrointestinal, hematologi, saluran ginjal,
reproduksi dan masalah neurologi.
b) Tes Fisik
Diperiksa pada keadaan gusi dan gastrointestinal, hematologi, saluran
ginjal, reproduksi, dan sistem saraf serta kondisi paru-paru.
d) Tes Darah
Kandungan Pb dalam darah, Zinc protoporfyrin atau eritrosit forfirin
bebas, hemoglobin, hematokrit, kreatinin serum dan urinalisis dengan tes
mikroskopik.
e) Tes Lain
Indikasi klinis lain yang timbul (Riyadina, 1997).
2. Menghindari penggunaan peralatan-peralatan dapur atau tempat
makanan/minuman yang mengandung Pb (keramik berglasur, wadah/kaleng
yang dipatri atau mengandung cat).
3. Pemantauan kadar Pb di udara dan kadar Pb dalam makanan/minuman secara
berkesinambungan.
4. Mencegah anak menelan/menjilat mainan bercat atau berbahan mengandung
cat.
5. Menghindari atau tidak berada lama di tempat-tempat yang udaranya
terpolusi oleh gas buang kendaraan, terkhusus bagi anak-anak dan ibu hamil.
6. Menjaga higiene dan sanitasi makanan/minuman dan lingkungan.
7. Bagi para pekerja yang kontak dengan Pb sebaiknya menggunakan peralatan
standar keamanan dan keselamatan kerja.
8. Mengurangi emisi gas buang yang mengandung Pb, baik dari kendaraan
bermotor maupun industri (Wahyu dkk, 2008).
Penanggulangan Timbal (Pb) pada Makanan
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar timbal (Pb)
a. Merendam makanan dengan menggunakan jeruk nipis, misalnya udang
windu. Perendaman selama 30 menit menunjukkan terjadi penurunan kadar
timbal sebesar 48,40%, sedangkan perendaman selama 60 menit dapat
menurunkan kadar timbal sebesar 64,46% (Armanda, 2009).
b. Merebus kerang bulu dengan menggunakan asam gelugur seberat 100 gram
dapat menurunkan kandungan kadar logam timbal sebesar 68,08% (Pransiska,
2010).
2.5. Bahan Kimia Berbahaya Pada Makanan
Bahan berbahaya adalah bahan kimia baik dalam bentuk tunggal maupun
campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara
langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat racun, karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :
472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi Kesehatan).
Kasus keracunan makanan sudah kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik
yang disebabkan oleh toksin dalam makanan maupun oleh parasit, protozoa atau
bakteri patogen yang terkontaminasi pada makanan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.033 Tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan terdapat 10 jenis bahan tambahan yang dilarang
yaitu :
1. Asam Borat dan senyawanya
2. Asam Salisilat dan garamnya
3. Dietilpirokarbonat
5. Formalin
6. Kalium bromat
7. Kalium klorat
8. Kloramfenikol
9. Minyak nabati yang dibrominasi
10. Nitrofurazon
11. Dulkamara
12. Kokain
13. Nitrobenzen
14. Sinamil antranilat
15. Dihidrosafrol
16. Biji tonka
17. Minyak kalamus
18. Minyak tansi
19. Minyak sasafras
Menurut Badan POM (2006) bahan kimia yang paling sering disalahgunakan
pada pangan antara lain boraks, formalin, rhodamin B dan kuning metanil.
Beberapa tujuan peruntukan dari senyawa-senyawa tersebut adalah :
a. Boraks digunakan untuk mematri logam; pembuatan gelas dan enamel; anti
jamur kayu; pembasmi kecoa; antiseptik; obat untuk kulit dalam bentuk salep
dan campuran pembersih.
b. Formalin digunakan untuk pembunuh kuman sehingga banyak digunakan
bahan untuk pembuatan sutra buatan; zat pewarna; pembuatan gelas dan
bahan peledak; dalam dunia fotografi digunakan sebagai pengeras lapisan
gelatin dan kertas; untuk mengawetkan mayat; bahan pembuatan pupuk lepas
lambat dalam bentuk urea formaldehid; untuk membuat parfum; bahan
pengawet produk kosmetika dan pengeras kuku; pencegah korosi untuk
sumur minyak; bahan untuk insulasi busa; bahan perekat untuk produk kayu
lapis; dalam konsentrasi yang kecil (< 1%) digunakan sebagai pengawet
untuk berbagai produk konsumen.
c. Rhodamin B digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil, sabun, kayu dan
kulit; sebagai reagensia di laboratorium untuk pengujian antimon, kobal,
niobium, emas, mangan, air raksa, dll serta untuk pewarna biologik.
d. Kuning metanil selain digunakan sebagai pewarna tekstil dan cat juga
digunakan sebagai indikator reaksi netralisasi (asam-basa).
2.5.1. Bahan Pengawet
Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang
paling tua penggunaannya. Pada permulaan paradaban manusia, asap telah
digunakan untuk mengawetkan daging, ikan dan jagung. Demikian pula dengan
menggunakan garam, asam dan gula. Kemudian dikenallah penggunaan bahan
pengawet untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba sehingga
pangan tetap awet seperti semula (Cahyadi, 2009).
Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat
dan kimia makanan (Anonimous, 2015). Beberapa keuntungan yang diperoleh
dalam upaya pengawetan makanan, antara lain :
1. Segi ekonomi
Makanan yang telah diawetkan dapat dijual dimana saja dan kapan saja tanpa
mengurangi kualitas suatu makanan, serta dapat memperluas pemasarannya tanpa
terikat oleh waktu.
2. Mempermudah transportasi
Indonesia memiliki iklim tropis, dimana makanan mudah membusuk. Dengan
pengawetan, makanan dapat dipertahankan atau diolah dengan cara lain sehingga
mudah dibeli dan tidak berbahaya serta dapat menghemat biaya transpor.
3. Mudah dihidangkan
Makanan yang telah diawetkan sebagian siap dihidangkan karena bagian yang
tidak diperlukan telah dibuang. Dengan begitu, untuk masyarakat yang telah maju
masalah waktu dapat diatasi.
4. Bermanfaat dalam keadaan tertentu
Misalnya dalam kejadian bencana alam, kelaparan, pengungsian dan kondisi
darurat lainnya, bantuan makanan yang telah diawetkan dapat didatangkan dengan
mudah (Chandra, 2005).
2.5.2. Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet
Penambahan bahan pengawet pada pangan secara umum menurut (Cahyadi, 2009)
yaitu :
1) Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang
2) Memperpanjang umur simpan pangan
3) Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa dan bau bahan pangan yang
diawetkan
4) Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah
5) Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau
tidak memenuhi persyaratan
6) Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan
2.5.3. Persyaratan Bahan Pengawet Kimia
Beberapa persyaratan bahan pengawet kimia untuk bahan pangan antara lain :
1. Memberikan arti ekonomis dari pengawetan
2. Digunakan hanya apabila cara-cara pengawetan yang lain tidak mencukupi
atau tidak tersedia
3. Memperpanjang umur simpan dalam pangan
4. Tidak menurunkan kualitas (warna, cita rasa dan bau) bahan pangan yang
diawetkan
5. Mudah dilarutkan
6. Menunjukkan sifat-sifat antimikroba pada jenjang pH bahan pangan yang
diawetkan
7. Aman dalam jumlah yang diperlukan
8. Mudah ditentukan dengan analisa kimia
9. Tidak menghambat enzim-enzim pencernaan
10. Tidak mengalami dekomposisi atau tidak bereaksi untuk membentuk suatu
11. Mudah dikontrol dan didistribusikan secara merata dalam bahan pangan
12. Mempunyai spektra antimikrobia yang luas, meliputi macam-macam
pembusukan oleh mikrobia yang berhubungan dengan bahan pangan yang
diawetkan (Cahyadi, 2009).
2.6. Formaldehid
2.6.1. Pengertian Formaldehid
Formaldehid adalah gas yang biasanya tersedia dalam bentuk larutan 40%
(formalin). Larutan formaldehid atau formalin memiliki rumus molekul CH2O
mengandung kira-kira 37% gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan
10-15% metanol untuk menghindari polimerisasi. Formaldehid adalah gas yang
biasanya dikenal dengan formalin 100% atau formalin 40% yang mengandung 40
gram formaldehid dalam 100 ml pelarut. Formalin merupakan cairan jernih yang
tidak berwarna atau hampir tidak berwarna dengan bau yang menusuk, uapnya
merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan, dan rasa membakar. Formalin
merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10-40% dari formaldehid
(Cahyadi, 2009).
Dipasaran formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu
dengan kadar formalin 10, 20, 30, dan 40%. Beberapa nama kimia dari formalin
yaitu : formol, methylene aldehyde, paraforin, morbicid, oxomethane,
polyoxymethylene glycols, methanal, formoform, superlysoform, formic
aldehyde, formalith, tetraoxymethylene, methyl oxide, karsan, trioxane,
Di Indonesia beberapa undang-undang yang melarang penggunaan
formalin sebagai pengawet makanan adalah Peraturan Menteri Kesehatan No.
722/1988, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/Menkes/PER/X/1999, UU No
8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini disebabkan oleh bahaya residu
yang ditinggalkan formalin bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia (Sitiopan,
2012).
2.6.2. Karakteristik dan Fungsi Formaldehid A. Karakteristik Formaldehid
Konsentrasi 0,5 sampai 1 bpj di udara dapat dideteksi dari baunya.
Konsentrasi 2 sampai 3 bpj dapat menyebabkan iritasi ringan. Sedangkan pada
konsentrasi 4 sampai 5 bpj pada umumnya tidak dapat ditoleransi oleh manusia.
Sifat fisik larutan formaldehid adalah merupakan cairan jernih, tidak berwarna
atau hampir tidak berwarna, bau menusuk, uap merangsang selaput lendir hidung
dan tenggorokan dan jika disimpan di tempat dingin dapat menjadi keruh.
Menurut Alfina (2006) dalam Fardiaz, sifat fisik dan kimia formalin adalah
sebagai berikut :
- Titik didih (pada 7000 mmHg) 96ºC
- Titik nyala 60ºC
- pH 2,8 - 4,0
- Dapat bercampur dengan air, alkohol, dan aseton
- Tidak berwarna
B. Fungsi Formaldehid
Fungsi formaldehid yang sebenarnya ialah sebagai antibakteri atau
pembunuh kuman dalam berbagai jenis keperluan industri, yakni pembersih lantai,
kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat maupun serangga lainnya. Dalam
dunia fotografi digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan kertas. Formalin
juga sering digunakan sebagai bahan pembuatan pupuk urea, bahan pembuatan
produk parfum, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku dan bahan untuk
insulasi busa. Formalin juga digunakan sebagai pencegah korosi untuk sumur
minyak. Di bidang industri kayu, formalin digunakan sebagai bahan perekat untuk
produk kayu lapis (plywood). Dalam konsentrasi yang sangat kecil digunakan
sebagai bahan pengawet untuk berbagai barang konsumen. Di dunia kedokteran
formalin digunakan dalam pengawetan mayat yang akan dipelajari dalam
pendidikan bagi mahasiswa kedokteran maupun kedokteran hewan. Konsentrasi
formalin untuk pengawetan biasanya yang digunakan adalah 10% (Yuliarti, 2007).
2.6.3. Jalur Distribusi Formaldehid
Penyalahgunaan produk atau bahan tertentu yang tidak sesuai dengan
peruntukannya sering sekali terjadi di Indonesia. Kondisi inilah yang terjadi pada
kasus penyalahgunaan formalin yang kian marak akhir-akhir ini. Dikutip dari
majalah media industri, untuk mengatasi merebaknya masalah formalin
ditengah-tengah masyarakat, telah dibentuk tiga tim, yaitu pertama Tim Penanggulangan
Penyalahgunaan Formalin. Tanggung jawab ini diserahkan kepada Menteri
Perdagangan. Kedua, Tim Penyelamatan IKM atas imbas penyalahgunaan
terkena imbas dari masalah ini. Tugas ini diberikan kepada Menteri Perindustrian.
Ketiga adalah Tim Pembinaan. Tim ini melakukan sosialisasi informasi
seluas-luasnya tentang masalah formalin, Menteri Komunikasi dan Informasi ditugaskan
untuk melaksanakan tugas ini.
Menurut Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan,
formalin impor sudah ditataniagakan berdasarkan Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No.254/MPP/Kep/7/2000 tanggal 4 Juli 2000
tentang Tata Niaga Impor dan Peredaran Bahan Berbahaya Tertentu melalui
penunjukkan sebagai Importir Terdaftar (IT-B2) dan pengakuan sebagai Importir
Produsen (IP-B2) dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri. Bahan berbahaya yang
disingkat B2 adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal
maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup
secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas),
karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. Impor formalin selama
ini hanya dilakukan oleh 2 IP-B2 dan 1 IT-B2 sehingga formalin impor sangat
terbatas perdagangannya karena sudah ditentukan importirnya (Departemen
Perindustrian RI, 2006).
IT-B2 mengimpor formalin untuk kemudian mendistribusikannya kepada
pengguna akhir dalam hal ini pengguna yang membutuhkan formalin sebagai
bahan baku industrinya. Perusahaan yang ditetapkan sebagai IT-B2 untuk jenis B2
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan
mengimpor formalin yang digunakan sendiri untuk bahan baku industrinya dan
hanya diperuntukkan bagi kebutuhan produksinya sendiri, serta tidak untuk
diperjualbelikan maupun dipindahtangankan.
Pengangkutan B2 dari pelabuhan tujuan ke gudang IP-B2 wajib mematuhi
prosedur dan ketentuan dari instansi terkait serta dilengkapi dengan Emergency
Transport Guide. Jenis B2 sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009
Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan hanya dapat didistribusikan oleh
P-B2 (Produsen), IT-B2 (Importir Terdaftar), IP-B2 (Importir Produsen), DT-B2
(Distributor Terdaftar) dan PT-B2 (Pengecer Terdaftar).
Dalam mendistribusikan B2 sesuai dengan peraturan P-B2, IT-B2, IP-B2,
DT-B2, dan PT-B2 wajib memenuhi ketentuan :
a. IP-B2 mendistribusikan B2 hanya untuk kebutuhan proses produksi
perusahaan yang bersangkutan;
b. IT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2
(Pengguna Akhir);
c. P-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2
d. DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2;
e. PT-B2 hanya dapat mendistribusikan B2 kepada PA-B2.
Setiap orang atau badan usaha yang tidak memiliki pengakuan sebagai IP-B2,
penetapan sebagai IT-B2 atau SIUP-B2 (Surat Izin Usaha Perdagangan Bahan
Berbahaya), dilarang untuk mendistribusikan/mengedarkan atau menjual B2;
Selama ini yang banyak beredar di pasaran dalam negeri adalah justru
formalin produksi dalam negeri yang dijual dalam berbagai merek seperti formol,
morbicid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene, methylene
aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan, methylene glycol, paraforin,
polyxymethylene glycols, superlysoform, tetraoxymethylene dan trioxane
(Departemen Perindustrian, 2006).
Penggunaan pengawet yang tidak sesuai juga masih sering terjadi di
tengah-tengah masyarakat, dan sudah luas penggunaannya sehingga tidak lagi
mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan konsumen. Contohnya adalah
masih adanya nelayan/kapal penangkap ikan/pukat harimau yang tega
menambahkan formalin pada ikan hasil tangkapannya tanpa memikirkan bahaya
bagi kesehatan tubuh manusia. Penambahan formalin oleh nelayan dapat
dilakukan di dalam kapal penangkap ikan atau dapat juga dilakukan setelah kapal
merapat di pelabuhan (Badan POM, 2005).
2.6.4. Mekanisme Formaldehid
Formaldehid sangat reaktif, apabila masuk ke dalam tubuh melalui oral
akan dimetabolisme dengan cepat terutama dalam hati dan eritrosit yang dapat
dirubah menjadi asam formiat dan dikeluarkan melalui urin. Namun, formalin
juga bereaksi dengan protein dinding sel hati (lipoprotein) sehingga dapat
merusak dinding sel hati yang dapat menyebabkan fungsi hati terganggu atau
menjadi penyebab terbentuknya radikal bebas yang toksik. Jika formalin terhirup
(inhalasi) lewat pernafasan, maka akan segera diabsorpsi ke paru dan
lakrimasi (keluar air mata dan pada dosis lebih tinggi bisa buta, bronkhitis, edema
pulmonari atau pneumonia karena dapat mengecilkan bronkhus dan menyebabkan
akumulasi cairan di paru. Pada orang yang sensitif dapat menyebabkan alergi,
asma dan dermatitis.
Jika lewat pencernaan (ingestion) sebanyak 30 ml (2 sendok makan) dari
larutan formalin dapat menyebabkan kematian, hal ini disebabkan sifat korosif
formalin terhadap mukosa saluran cerna lambung disertai mual, muntah, nyeri,
perdarahan dan perforasi. Menurut Lembaga perlindungan lingkungan Amerika
Serikat (EPA) dan lembaga internasional untuk penelitian kanker (IARC),
formalin digolongkan sebagai senyawa yang bersifat karsinogen. Hal itu
disebabkan karena formalin akan mengacaukan susunan protein atau RNA sebagai
pembentuk DNA di dalam tubuh manusia. Jika susunan DNA kacau, maka akan
memicu terjadinya sel-sel kanker dalam tubuh manusia. Proses ini akan memakan
waktu yang lama, tetapi cepat atau lambat jika setiap hari tubuh mengonsumsi
makanan yang mengandung formalin, maka kemungkinan terjadinya kanker akan
sangat besar (Widyaningsih dan Erni, 2006).
2.6.5. Efek Formaldehid Terhadap Kesehatan
Pemakaian formaldehid pada makanan dapat menyebabkan timbulnya efek
akut dan kronik yang dapat menyerang saluran pernapasan, pencernaan, sakit
kepala, hipotensi (tekanan darah tinggi), kejang, tidak sadar hingga koma. Selain
itu, juga dapat terjadi kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem
susunan syaraf pusat dan ginjal. Efek kronik berupa timbul iritasi pada saluran
penurunan suhu tubuh dan rasa gatal di dada. Bila formalin dikonsumsi secara
menahun dapat menyebabkan kanker (Sitiopan, 2012).
A. Secara Akut
Efek secara akut merupakan akibat jangka pendek yang terjadi bila terpapar
formalin dalam jumlah yang banyak, seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berat,
mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut dan pusing, bersin, radang tonsil, radang
tenggorokan, sakit dada yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala,
diare. Pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan kematian.
B. Secara Kronis
Efek kronis terlihat pada individu dalam jangka waktu yang lama, berulang,
biasanya jika mengonsumsi formalin dalam jumlah kecil dan terakumulasi dalam
jaringan akan mengakibatkan : mata berair, gangguan pada pencernaan, hati,
ginjal, pankreas, sistem saraf pusat, menstruasi dan bersifat karsinogen (Yuliarti,
2007). Menurut Artha (2007) dalam anonimous formaldehid dapat masuk ke
dalam tubuh manusia dengan berbagai cara misalnya lewat udara, saluran
pencernaan, dan kontak langsung dengan kulit. Berikut adalah beberapa efek yang
ditimbulkan formaldehid pada tubuh manusia berdasarkan dosis pemaparannya.
Tabel 2.2. Efek Formaldehid Terhadap Kesehatan Berdasarkan Dosis Pemaparannya
No Dosis Pemaparan Efek Terhadap Kesehatan
1 0-0,5 ppm -
2 0,05-1,5 ppm Efek pada syaraf (neurophysiological) 3 0,01-2,0 ppm Iritasi pada mata
4 0,1-25 ppm Iritasi tingkat tinggi pada organ luar
5 5-30 ppm Efek pada paru-paru
6 50-100 ppm Radang dan pneumonia
2.6.6. Pengendalian/Penanggulangan Formaldehid
Tindakan pencegahan terhadap formaldehid dilakukan berdasarkan jalur masuk
formalin tersebut ke dalam tubuh, yaitu :
1. Terhirup
Untuk mencegah agar tidak terhirup sebaiknya gunakan alat pelindung untuk
pernafasan seperti masker, kain, atau alat pelindung yang dapat mencegah
kemungkinan masuknya formaldehid ke dalam hidung atau mulut. Lengkapi
alat ventilasi dengan penghisap udara (exhaust fan) yang tahan ledakan.
2. Terkena Mata
Gunakan pelindung mata atau kacamata, penahan yang tahan terhadap
percikan. Sediakan air untuk mencuci mata di tempat kerja yang berguna
apabila terjadi keadaan yang darurat.
3. Terkena Kulit
Gunakan pakaian pelindung bahan kimia yang cocok dan gunakan sarung
tangan yang tahan bahan kimia.
4. Tertelan
Hindari makan, minum, merokok selama bekerja dan cuci tangan sebelum
makan (Artha, 2007).
Penanggulangan Formaldehid dalam Makanan
Menurut penelitian Aditya (2011) terhadap ayam kemasan yang dijual di
beberapa Supermarket Kota Medan, formaldehid dapat diturunkan kadarnya
dengan merendam ayam dalam air dingin dan air mendidih. Semua sampel yang
air mendidih lebih efektif dibandingkan dengan air dingin. Hasil penurunan kadar
formalin dalam ayam kemasan yang diperoleh di Supermarket Carrefour dengan
perendaman dalam air mendidih yaitu 62,42%, perendaman dengan air dingin
39,14%. Sedangkan hasil penurunan kadar formalin dalam ayam kemasan yang
diperoleh dari Supermarket Hypermart dengan perendaman dalam air mendidih
yaitu 62,30% dan perendaman dalam air dingin 38,99%.
2.7. Ikan Segar
2.7.1. Pengertian Ikan Segar
Ikan memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, dengan kadar protein
sebesar 18-30%. Ikan digemari oleh seluruh lapisan masyarakat, dibanding
dengan produk lainnya. Ikan memiliki efek yang baik bagi kesehatan, dagingnya
relatif lunak, lebih cepat dan mudah diolah serta harganya murah. Ikan laut
merupakan salah satu sumber makanan yang kaya akan asam lemak tak jenuh.
Senyawa ini telah banyak ditemukan memberikan efek positif bagi kesehatan,
seperti menurunkan resiko penyakit jantung, kanker, arhitis dan lain-lain. Ikan
segar adalah ikan yang masih mempunyai sifat sama seperti ikan hidup, baik rupa,
bau, rasa, maupun teksturnya serta belum mengalami proses pengawetan maupun
pengolahan lebih lanjut. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ikan segar
adalah :
1. Cara penangkapan ikan
2. Pelabuhan perikanan
3. Berbagai faktor lainnya, yaitu mulai dari pelelangan, pengepakan,
2.7.2. Penggolongan Ikan Segar
1. Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)
Ikan tongkol termasuk ikan tuna dan salah satu famili scombridae. Ikan
tongkol memiliki badan yang memanjang, tidak bersisik kecuali pada garis rusuk.
Ukuran asli ikan tongkol cukup besar, bisa mencapai 1 meter dengan berat 13,6
kg. Rata-rata ikan tongkol berukuran sepanjang 50-60 cm dengan kulit yang licin
berwarna abu-abu, memiliki daging yang tebal dan warna dagingnya merah tua.
Struktur daging ikan tongkol terdiri dari daging yang berwarna merah dan putih.
Daging warna merah hanya terdapat di bagian samping dari tubuh ikan di bawah
kulit, sedangkan daging warna putih terdapat hampir di semua bagian tubuh ikan.
Berdasarkan tempat hidupnya, ikan tongkol termasuk jenis pelagik besar
yaitu ikan yang hidup di perairan lepas dasar atau lapisan antara dasar dan
permukaan. Makanan ikan tongkol adalah ikan-ikan kecil dan cumi-cumi. Pada
bagian atas terdapat warna hitam kebiruan dan putih perak pada bagian bawah,
terdapat ban-ban hitam, serong, menggelombang pada bagian atas garis rusuk.
Sirip perut dan dada berwarna gelap keunguan. Daerah penyebaran terdapat di
Gambar 2.2 Ikan Tongkol (Euthynnus affinis)
2. Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer)
Kakap putih adalah ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar
terhadap kadar garam (eurhyhaline) dan merupakan ikan yang hidupnya beruaya
dari laut ke air payau (katadromous). Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch)
atau lebih dikenal dengan nama seabass/Baramundi merupakan jenis ikan yang
mempunyai nilai ekonomis, baik untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam
negeri maupun ekspor. Secara morfologi ikan kakap putih berbentuk pipih dan
ramping dengan badan memanjang dan ekor melebar. Kepala menjorong, mulut
besar, sirip pectoral pendek dan bulat sedangkan sirip dorsal dan anal memiliki
lembaran yang bersisik. Warna dasar tubuh coklat olive di atas dengan sisi
samping (Bertiantono, 2011). Kakap putih dapat hidup di daerah laut yang
berlumpur, berpasir, serta di ekosistem mangrove selain itu kakap putih juga dapat
Gambar 2.3 Ikan Kakap Putih (Lates calcarifer)
2.7.3. Ciri-ciri Ikan Segar
Tabel. 2.3. Ciri-ciri Ikan Segar dan Ikan yang Mulai Membusuk
Ikan Segar Ikan Mulai Busuk
Kulit
- Warna kulit terang dan jernih
- Kulit masih kuat membungkus tubuh, tidak mudah sobek, terutama pada bagian perut tua, terang, dan lamella insang terpisah
- Insang tertutup oleh lendir berwarna terang dan berbau segar seperti bau ikan
- Insang berwarna coklat suram atau abu-abu dan lamella insang berdempetan
Daging
- Daging kenyal, menandakan rigor mortis masih berlangsung
- Daging perut utuh dan kenyal
- Warna daging putih
- Daging lunak menandakan rigor mortis telah selesai
- Daging dan bagian tubuh lain mulai berbau busuk
2.7.4. Pengolahan dan Pengawetan Ikan A. Pengolahan dan Pengawetan Tradisional
1). Penggaraman
Penggaraman merupakan proses yang menggunakan garam sebagai media
pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses
penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan
dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapat
melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan
keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh
ikan. Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam
tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan
mengencerkan larutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam
tubuh ikan, partikel garam pun masuk ke dalam tubuh ikan.
2). Pengeringan
Dasar pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena
perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan.
Kemampuan udara membawa uap air bertambah besar jika perbedaan antara
kelembapan nisbi udara pengering dengan udara sekitar bahan semakin besar.
Salah satu faktor yang mempercepat proses pengeringan adalah kecepatan angin
atau udara yang mengalir.
Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas
perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat atau bahkan terhenti sama sekali. Dengan demikian, bahan
yang dikeringkan mempunyai waktu simpan lebih lama.
Faktor-faktor yang memengaruhi pengeringan ada dua, yaitu faktor yang
berhubungan dengan udara pengering seperti suhu, kecepatan aliran udara
pengering, dan kelembapan udara, sedangkan faktor yang berhubungan dengan
sifat bahan yang dikeringkan berupa ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan
parsial dalam bahan.
3). Pengasapan
Pembakaran merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia
alami dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Tujuan pengasapan ikan, pertama
memberikan aroma yang khas tanpa peduli kemampuan daya awetnya. Faktor
yang mempengaruhi proses pengasapan diantaranya adalah suhu pengasapan dan
kelembapan udara, jenis kayu, jumlah asap, ketebalan asap dan kecepatan aliran
asap di dalam alat pengasap. Faktor tersebut akan memengaruhi banyaknya asap
yang kontak dan menempel pada ikan.
4). Fermentasi
Fermentasi merupakan suatu cara pengolahan melalui proses memanfaatkan
penguraian senyawa dari bahan-bahan protein kompleks. Protein kompleks
tersebut terdapat dalam tubuh ikan yang diubah menjadi senyawa-senyawa lebih
sederhana dengan bantuan enzim yang berasal dari tubuh ikan atau
mikroorganisme serta berlangsung dalam keadaan yang terkontrol atau diatur.
Proses fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara
biologis atau semibiologis terhadap senyawa-senyawa kompleks terutama protein
menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Proses
fermentasi ikan dibedakan menjadi empat golongan, yaitu fermentasi
menggunakan kadar garam tinggi, fermentasi dengan asam mineral, dan
fermentasi dengan bakteri asam laktat. Cara pengolahan dengan menggunakan
prinsip fermentasi yang paling mudah dilakukan adalah proses fermentasi
menggunakan bakteri asam laktat.
B. Pengolahan dan Pengawetan Modern
1). Pendinginan
Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan