• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kandungan Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd), dalam Cacing Tanah Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kandungan Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd), dalam Cacing Tanah Secara Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KANDUNGAN TIMBAL (Pb) dan KADMIUM (Cd), dalam CACING TANAH SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM (SSA)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SYARIFAH FITRIA ULFA NIM : 081524069

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

ANALISIS KANDUNGAN TIMBAL (Pb) dan KADMIUM (Cd), dalam CACING TANAH SECARA

SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM (SSA) OLEH:

SYARIFAH FITRIA ULFA NIM : 081524069

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada tanggal: Desember 2010

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Sudarmi, M.Si, Apt. Dr.M.Pandapotan Nst, MPS., Apt NIP: 195409101983032001 NIP. 194908111976031001 Pembimbing II,

Dra. Sudarmi, M.Si, Apt. Drs. Chairul Azhar Dlt, M.Sc., Apt. NIP: 195409101983032001 NIP.194907061980021001

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt NIP. 195107231982032001

Dra. Nurmadjuzita, M.Si., Apt NIP. 194809041974122001

Dekan,

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat, karunia, dan ridha-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Kandungan Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd), dalam Cacing Tanah Secara SPEKTROFOTOMETRI Serapan Atom (SSA)”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih tidak terhingga kepada Ayahanda Sayid Saifullah dan Ibunda Yusmidar tercinta, adik-adikku yang memberikan cinta dan kasih sayang yang tidak ternilai, pengorbanan baik materi maupun motivasi beserta doa yang tulus tidak pernah berhenti dan adinda Muthia dan Sayid ali yang memberikan doa dan dorongan demi suksesnya penulis.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dra.Sudarmi,Msi.,Apt., dan Bapak Chairul Azhar Dlt, Msc.,Apt yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung.

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menyadari telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

(4)

2. Bapak Drs. Salim Usman, M.Si., Apt selaku Penasehat Akademik yang telah memperhatikan dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

3. Bapak Dr.M.Pandapotan Nst, MPS., Apt; Ibu Dra. Suwarti Aris,M.Si.,Apt; dan Ibu Dra. Nurmadjuzita, M.Si., Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan kritikan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Staf pengajar dan staf administrasi Fakultas Farmasi yang telah mendidik penulis selama di perguruan tinggi dan membantu kemudahan administrasi.

5. Bapak Sianipar dan Bapak Arlen yang telah memberi masukan dan saran selama proses penulisan skripsi ini.

6. Teman-teman penulis, Willy, Denny, Dedi, Kiki, Diana, Meri, Aida, Rita dan Riza.

7. Teman-teman fakultas farmasi ekstensi stambuk 2008.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati bersedia menerima kritikan dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Desember 2010 Penulis,

(5)

ANALISIS KANDUNGAN TIMBAL (Pb) dan KADMIUM (Cd), dalam CACING TANAH SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

(SSA)

ABSTRAK

Cacing tanah adalah hewan invertebrata yang sering dikonsumsi oleh masyarakat umum sebagai makanan maupun sebagai obat. Efek toksik cacing tanah adalah kemampuan tubuhnya dalam mengakumulasi logam berat yang ada pada tanah dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kandungan logam berat timbal dan kadmium di dalam tubuh cacing tanah yang hidup di habitat sampah.

Sampel diambil dari tiga habitat sampah yang berbeda, yaitu sampah kering, sampah basah dan sampah dedaunan. Tiga spesies cacing tanah yang diteliti adalah Megascolex sp., Drawida sp., dan Pontoscolex corethurus. Penetapan kadar timbal

dan kadmium dalam cacing ini dilakukan menurut metode SPEKTROFOTOMETRI Serapan Atom di salah satu perusahaan swasta di Kawasan Industri Medan.

Hasil analisis menunjukkan kadar timbal sebesar 6,5381 ± 0,20918 mg/kg (Drawida sp); 8,4259 ± 0,16987 mg/kg (Megascolex sp) ; 9,0923 ± 0,13234 mg/kg (Pontoscolex corethaurus) dan kandungan kadmium sebesar 1,1734 ± 0,05655 mg/kg (Drawida sp); 0,4303 ± 0,01275 mg/kg (Megascolex sp); 1,1380 ± 0,04109 mg/kg (Pontoscolex corethaurus). Kadar cemaran timbal dan kadmium di dalam ketiga jenis cacing tanah ini melebihi batas maksimum yang diperbolehkan berdasarkan SNI No.7387-2009. Batas maksimum cemaran logam berat yang diperbolehkan dalam makanan adalah 2 mg/kg untuk timbal dan 0,2 mg/kg untuk kadmium

(6)

ANALYSIS CONTENT OF LEAD (Pb) and CADMIUM (Cd), in EARTHWORMS BY ATOMIC ABSORPTION SPECTROFOTOMETRY

ABSTRACT

Earthworm is an invertebrate animal which often consumed as food or medicine. The toxic effect of earthworm is the ability of their body to accumulate heavy metal from soil in quite high concentration. The purpose of this research is to determine the heavy metal accumulation in earthworms that live in trash habitat.

Sample is taken from three different trash habitat. They are dry trash, wet trash and leaves trash. Three earthworm species analyzed are Megascolex sp., Drawida sp., and Pontoscolex corethurus. The determination of lead and cadmium in

these earthworms is measured by Atomic Absorption Spectrofotometry in one of commercial enterprise in Medan Industry Area.

The result shows lead’s value are 6,5381 ± 0,20918 mg/kg for Drawida sp; 8,4259 ± 0,16987 mg/kg for Megascolex sp ; and 9,0923 ± 0,13234 mg/kg for Pontoscolex corethaurus. And cadmium’s value are 1,1734 ± 0,05655 mg/kg for Drawida sp; 0,4303 ± 0,01275 mg/kg for Megascolex sp; and 1,1380 ± 0,04109 mg/kg for Pontoscolex corethaurus. The contamination of lead and cadmium in these three species of earthworm is above the allowed limit according to SNI No.7387-2009 which stated the maximum limit of heavy metal contamination is 2 mg/kg for lead and 0,2 mg/kg for cadmium.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Hipotesis ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Cacing Tanah ... 6

2.1.1. Anatomis dan Morfologis ... 6

2.1.2. Manfaat Cacing Tanah ... 7

(8)

2.1.2.2.Bidang Pertanian ... 10

2.1.2.3.Bidang Peternakan ... 10

2.2.Spesies Cacing Tanah ... 11

2.2.1. Drawida sp ... 11

2.2.2. Megascolex sp ... 12

2.2.3. Pontoscolex corethaurus ... 12

2.3.Logam Berat ... 13

2.3.1. Kadmium (Cd) ... 14

2.3.2. Timbal (Pb) ... 14

2.4.Pencemaran Logam Berat pada Tanah ... 15

2.5.Spektrofotometri Serapan Atom ... 17

2.5.1. Teori Spektrofotometri Serapan Atom ... 17

2.5.2. Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom ... 19

2.5.3. Gangguan dalam Spektrofotometri Serapan Atom ... 22

2.6.Validasi Metode Analisis ... 23

2.6.1. Kecermatan (accuracy) ... 24

2.6.2. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 24

BAB III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Lokasi /Waktu Penelitian ... 25

3.2. Bahan-bahan ... 25

3.3. Alat-alat ... 25

3.4. Pembuatan Pereaksi ... 26

(9)

3.4.2.Larutan Dithizon 0,005% b/v ... 26

3.4.3.Larutan NH4OH 1 N ... 26

3.5. Sampel ... 26

3.5.1.Identifikasi Sampel ... 26

3.5.2.Pengambilan sampel ... 26

3.5.3.Penyiapan sampel ... 27

3.6. Prosedur Destruksi dan Pembuatan Larutan Sampel ... 27

3.7. Pemeriksaan Kualitatif ... 28

3.7.1.Pemeriksaan Kualitatif untuk Kadmium... 28

3.7.2.Pemeriksaan Kualitatif untuk Timbal ... 28

3.8. Pemeriksaan Kuantitatif ... 28

3.8.1.Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 28

3.8.1.1.Kurva Kalibrasi Timbal ... 28

3.8.1.2.Kurva Kalibrasi Kadmium ... 29

3.8.2.Penetapan Kadar Timbal dan Kadmium dalam Sampel ... 29

3.9. Validasi Metode Analisis ... 30

3.9.1.Penentuan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) ... 30

3.9.2.Uji Perolehan Kembali ... 31

3.9.2.1.Pembuatan Larutan Baku ... 31

3.9.2.2.Prosedur Uji Perolehan Kembali ... 31

3.10. Analisis Statistik ... 33

(10)

3.10.2.Rata – Rata Kadar Timbal dan Kadmium ... 33

3.10.3.Uji Beda Rata-rata Kadar Timbal dan Kadmium ... 33

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

4.1.Pengambilan Sampel ... 34

4.2.Proses Destruksi ... 34

4.3.Pemeriksaan Kualitatif ... 34

4.4.Pemeriksaan Kuantitatif ... 36

4.4.1.Kurva Kalibrasi Timbal dan Kadmium ... 36

4.4.2.Pemeriksaan Kadar Timbal dan Kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus... 37

4.5. Uji Validasi Metode Analisis ... 39

4.5.1.Batas deteksi dan Batas Kuantitasi ... 39

4.5.2.Uji Perolehan kembali ... 39

4.6. Analisis Statistik ... 40

4.6.1.Analisis Beda Nilai Rata-rata kadar Timbal dan kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus ... 40

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

5.1 Kesimpulan ... 44

5.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Kandungan logam berat dalam tanah secara alamiah (µg/g) ... 17 Tabel 2. Rentang Kesalahan yang diijinkan pada uji perolehan kembali .. 32 Tabel 3. Harga Koefisien Penolakan t... 33 Tabel 4. Hasil Uji Kualitatif Logam Pb dan Cd dengan Pereaksi

Dithizon 0,005% b/v ... 35 Tabel 5. Kadar Timbal dan Kadmium (ppm) pada cacing tanah

Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus ... 38

Tabel 6. Uji F logam timbal dan kadmium pada cacing tanah

Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus ... 40

Tabel 7. Analisis beda nilai rata-rata logam timbal dan kadmium pada

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil Identifikasi Sampel ... 48 Lampiran 2. Gambar Sampel Cacing Tanah ... 49 Lampiran 3. Flowsheet Destruksi Basah ... 51 Lampiran 4. Gambar Hasil Analisis Kualitatif Timbal dengan Pereaksi Ditizon

0,005% b/v... 52 Lampiran 5. Gambar Hasil Analisis Kualitatif Kadmium dengan Pereaksi Ditizon

0,005% b/v ... 54 Lampiran 6. Data Kalibrasi Timbal dengan Spektrofotometer Serapan Atom dan

Perhitungan Persamaan Garis Regresi dan Koefisien Korelasi (r) 56 Lampiran 7. Data Kalibrasi Kadmium dengan Spektrofotometer Serapan Atom

dan Perhitungan Persamaan Garis Regresi dan Koefisien

Korelasi (r) ... 58 Lampiran 8. Contoh Perhitungan Kadar Kadmium atau Timbal dalam

Sampel ... 60 Lampiran 9. Data Kadar Logam Timbal dalam sampel cacing tanah Drawida sp.,

Megascolex sp., dan Pontoscolex corethaurus ... 61 Lampiran 10. Data Kadar Kadmium dalam sampel cacing tanah Drawida sp.,

Megascolex sp., dan Pontoscolex corethaurus ... 62 Lampiran 11. Perhitungan Statistik Kadar Timbal pada Drawida sp ... 63 Lampiran 12. Perhitungan Statistik Kadar Timbal pada Megascolex sp ... 67 Lampiran 13. Perhitungan Statistik Kadar timbal pada Pontoscolex

corethaurus ... 70 Lampiran 14. Perhitungan Statistik Kadar kadmium pada Drawida sp ... 73 Lampiran 15. Perhitungan Statistik Kadar kadmium pada Megascolex sp .... 77 Lampiran 16. Perhitungan Statistik Kadar kadmium pada Pontoscolex

(14)

Lampiran 17 Rekapitulasi Data Statistik (Uji t) kadar logam timbal ... 84 Lampiran 18 Rekapitulasi Data Statistik (Uji t) kadar logam timbal ... 85 Lampiran 19. Perhitungan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation

(LOQ) Timbal ... 86 Lampiran 20. Perhitungan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation

(LOQ) Kadmium ...

Lampiran 21. Contoh Perhitungan Uji Perolehan Kembali Timbal dan kadmium 88 Lampiran 22. Data hasil Uji Perolehan Kembali Timbal dalam Megascolex 89

Lampiran 23. Persen Uji Perolehan Kembali Logam Timbal ... 90

Lampiran 24. Gambar Spektrofotometer Serapan Atom (AAS Graphite

Furnace Avanta) ... 91

(15)

ANALISIS KANDUNGAN TIMBAL (Pb) dan KADMIUM (Cd), dalam CACING TANAH SECARA SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

(SSA)

ABSTRAK

Cacing tanah adalah hewan invertebrata yang sering dikonsumsi oleh masyarakat umum sebagai makanan maupun sebagai obat. Efek toksik cacing tanah adalah kemampuan tubuhnya dalam mengakumulasi logam berat yang ada pada tanah dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kandungan logam berat timbal dan kadmium di dalam tubuh cacing tanah yang hidup di habitat sampah.

Sampel diambil dari tiga habitat sampah yang berbeda, yaitu sampah kering, sampah basah dan sampah dedaunan. Tiga spesies cacing tanah yang diteliti adalah Megascolex sp., Drawida sp., dan Pontoscolex corethurus. Penetapan kadar timbal

dan kadmium dalam cacing ini dilakukan menurut metode SPEKTROFOTOMETRI Serapan Atom di salah satu perusahaan swasta di Kawasan Industri Medan.

Hasil analisis menunjukkan kadar timbal sebesar 6,5381 ± 0,20918 mg/kg (Drawida sp); 8,4259 ± 0,16987 mg/kg (Megascolex sp) ; 9,0923 ± 0,13234 mg/kg (Pontoscolex corethaurus) dan kandungan kadmium sebesar 1,1734 ± 0,05655 mg/kg (Drawida sp); 0,4303 ± 0,01275 mg/kg (Megascolex sp); 1,1380 ± 0,04109 mg/kg (Pontoscolex corethaurus). Kadar cemaran timbal dan kadmium di dalam ketiga jenis cacing tanah ini melebihi batas maksimum yang diperbolehkan berdasarkan SNI No.7387-2009. Batas maksimum cemaran logam berat yang diperbolehkan dalam makanan adalah 2 mg/kg untuk timbal dan 0,2 mg/kg untuk kadmium

(16)

ANALYSIS CONTENT OF LEAD (Pb) and CADMIUM (Cd), in EARTHWORMS BY ATOMIC ABSORPTION SPECTROFOTOMETRY

ABSTRACT

Earthworm is an invertebrate animal which often consumed as food or medicine. The toxic effect of earthworm is the ability of their body to accumulate heavy metal from soil in quite high concentration. The purpose of this research is to determine the heavy metal accumulation in earthworms that live in trash habitat.

Sample is taken from three different trash habitat. They are dry trash, wet trash and leaves trash. Three earthworm species analyzed are Megascolex sp., Drawida sp., and Pontoscolex corethurus. The determination of lead and cadmium in

these earthworms is measured by Atomic Absorption Spectrofotometry in one of commercial enterprise in Medan Industry Area.

The result shows lead’s value are 6,5381 ± 0,20918 mg/kg for Drawida sp; 8,4259 ± 0,16987 mg/kg for Megascolex sp ; and 9,0923 ± 0,13234 mg/kg for Pontoscolex corethaurus. And cadmium’s value are 1,1734 ± 0,05655 mg/kg for Drawida sp; 0,4303 ± 0,01275 mg/kg for Megascolex sp; and 1,1380 ± 0,04109 mg/kg for Pontoscolex corethaurus. The contamination of lead and cadmium in these three species of earthworm is above the allowed limit according to SNI No.7387-2009 which stated the maximum limit of heavy metal contamination is 2 mg/kg for lead and 0,2 mg/kg for cadmium.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Cacing tanah adalah hewan invertebrata yang sering dikonsumsi oleh masyarakat umum terutama di Pulau Jawa sebagai obat maupun makanan menurut Harian Bernas Yogyakarta (2008). Ekstrak cacing ini digunakan masyarakat Magelang Jawa Tengah, sebagai jamu untuk mengobati tifus. Selain itu, cacing tanah juga akrab bagi warga Bangkalan, Madura yang sering menjadikannya sebagai obat. Cacing tanah berkhasiat sebagai anti bakteri, antipiretik, dan obat stroke dan jantung akibat trombosis. Sebagai obat tradisional untuk mengobati tifus dan diare, cacing tanah biasanya dikonsumsi dengan cara direbus lalu diminum airnya, cara lainnya cacing tersebut di keringkan di oven hingga kering lalu ditumbuk hingga halus dan dikonsumsi bubuk atau tepungnya. Ada juga yang dipanggang di api langsung sampai mengarang, kemudian arangnya ditumbuk sampai halus dan diseduh seperti teh (Anonim 2008 Jacinta, dkk.2010; Muchtaromah,2010; Zeily, 2006).

(18)

Sentra peternakan cacing terbesar terdapat di Jawa Barat khususnya Bandung-Sumedang dan sekitarnya. Cacing tanah hasil budidaya ini dimanfaatkan untuk pakan ternak, bahan baku pembuatan obat, kosmetik, dan sumber protein makanan. Selain itu, cacing tanah juga banyak yang hidup di alam bebas. Cacing ini banyak hidup di tempat-tempat kaya zat organik, seperti tempat sampah. Cacing yang tumbuh di tempat sampah ini terdiri dari beberapa spesies, di antaranya Pryonix sp, Megascolex sp., Drawida sp., dan Pontoscolex corethurus. Megascolex sp., Drawida sp., dan Pontoscolex corethurus merupakan tiga spesies yang paling banyak ditemukan.

Ketiga cacing ini hidup di tempat sampah yang berbeda, yaitu Megascolex sp. hidup di tumpukan sampah basah, Drawida sp. di tumpukan sampah kering, dan Pontoscolex corethurus hidup di tumpukan sampah dedaunan (Anonim4, 2010).

Peneliti menemukan ada sebagian masyarakat yang mengambil cacing tanah secara acak di lingkungan tempat tinggal mereka tanpa mengetahui jenis cacing tersebut dan tingkat keamanannya untuk dikonsumsi sebagai obat. Karena kemungkinan adanya akumulasi logam berat yang cukup tinggi di dalam jaringan cacing tanah, maka dikhawatirkan pemanfaatan cacing ini secara sembarangan dapat memberikan efek negatif bagi konsumen.

(19)

Batas maksimum cemaran logam berat yang tidak termasuk dalam tabel produk pangan, seperti olahan cacing tanah berdasarkan SNI No.7387-2009 adalah 2 ppm untuk timbal dan 0,2 ppm untuk kadmium (Badan Standarisasi Nasional, 2009).

Logam timbal dan kadmium dapat ditetapkan kadarnya dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Analisis logam berat timbal dan kadmium dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Spektrofotometri Serapan Atom Graphite Furnace karena metode ini dapat menentukan kadar logam konsentrasi yang rendah dan memiliki kepekaan yang lebih tinggi daripada alat SSA nyala karena menggunakan sumber panas elektrotermal.

Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis tertarik untuk meneliti mengenai kandungan logam berat dalam 3(tiga) spesies cacing tanah yang hidup di tempat sampah berbeda karena diduga biota tanah ini rentan terhadap cemaran, dapat digunakan sebagai indikator tingkat pencemaran dan juga sebagai sumber informasi seberapa aman cacing tanah tersebut untuk dikonsumsi masyarakat.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diungkap dari penelitian ini adalah:

1. Apakah Cacing tanah yang hidup di tempat sampah mengandung logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd).

(20)

3. Apakah kadar kadar logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tiga spesies cacing tanah ini berbeda?

4. Apakah kadar logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tiga spesies cacing tanah yang hidup di tempat sampah melewati batas cemaran maksimum yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional dalam SNI No. 7387-2009.

1.3Hipotesis

1. Cacing tanah yang hidup di tempat sampah mengandung logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tubuhnya.

2. Kadar logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tiga spesies cacing tanah yang hidup di tempat sampah cukup tinggi.

3. Kadar logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tiga spesies cacing tanah yang hidup di tempat sampah berada dalam jumlah berbeda.

4. Logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tubuh cacing tanah yang hidup di tempat sampah berada dalam jumlah yang melampaui batas maksimum sesuai dengan SNI No.7387-2009.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk menguji kandungan Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tiga spesies cacing tanah yang hidup di tempat sampah berbeda secara kualitatif.

(21)

3. Untuk melihat perbedaan Kadar logam Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) dalam tiga spesies cacing tanah yang hidup di tempat sampah.

4. Untuk mengetahui kadar Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada tiga jenis cacing tanah yang hidup di tempat sampah.

1.5Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini sebagai informasi bagi masyarakat mengenai seberapa aman cacing tanah dikonsumsi dan untuk memilih cacing tanah yang hidup di alam bebas sebagai produk obat dan makanan yang aman.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cacing Tanah

Cacing tanah termasuk hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata),

filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Clitellata yang hidup dalam tanah, berukuran beberapa cm hingga panjang >2 m. Oligochaeta yang hidup di daratan (terrestrial) ada 10 famili dan berukuran lebih besar, disebut Megadrila, sedangkan yang hidup di dalam air, ada tujuh famili dan berukuran lebih kecil, disebut Micodrila. Kelompok Megadrila inilah yang biasanya dikenal sebagai cacing tanah

yang diseluruh dunia tersebar sekitar 1.800 spesies, tetapi yang paling banyak dijumpai di Eropa, Asia Barat, dan sebagian besar Amerika Utara adalah yang termasuk famili Lumbricidae. (Hanafiah, dkk.2003).

Secara alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Faktor-faktor ekologis yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH), (b) kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan organik, (f) jenis, dan (g) suplai nutrisi (Hanafiah, dkk.2003).

2.1.1. Anatomis dan Morfologis

(23)

segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa, bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk klitelum (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon (selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin (kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas langsung serupa cacing dewasa.

Secara struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang mengandung coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan sistem vaskuler tertutup. Saluran makanan berupa tabung anterior dan posterior, kotoran dikeluarkan lewat anus atau peranti khusus yang disebut nephridia. Respirasi (pernapasan) terjadi melalui kutikuler (Anas, 1990).

2.1.2. Manfaat Cacing Tanah

Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” (intestines of the earth) (Hanafiah, dkk.2003). 2.1.2.1.Bidang Farmasi

(24)

Hasil penelitian terhadao cacing tanah menyebutkan bahwa senyawa aktifnya mampu melumpuhkan bakteri patogen, khususnya Eschericia coli penyebab diare. Bisik-bisik pengalaman nyata lain juga santer menyebutkan cacing bermanfaat untuk menyembuhkan rematik, batu ginjal, dan cacar air. Di beberapa negara Asia dan Afrika, cacing tanah yang telah dibersihkan dan dibelah kemudian dijemur hingga kering, lazim dijadikan makanan obat (healing foods). Biasanya disangrai atau digoreng kering, disantap sebagai keripik cacing. Diduga kebiasaan menyantap cacing ini dapat membantu menekan angka kematian akibat diare di negara-negara miskin Asia-Afrika.

Dalam dunia moderen sekarang ini, senyawa aktif cacing tanah digunakan sebagai bahan obat. Bahkan, tak sedikit produk kosmetik yang memanfaatkan bahan aktif tersebut sebagai substrat pelembut kulit, pelembab wajah, dan antiinfeksi. Sebagai produk herbal, telah banyak merek tonikum yang menggunakan ekstrak cacing tanah sebagai campuran bahan aktif.

Ba Hoang, MD, PhD, di Vietnam, yang berpraktek pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional China, telah membuktikan efektivitas cacing tanah untuk mengobati pasien-pasiennya yang mengidap stroke, hipertensi, penyumbatan pembuluh darah (arterosklerosis), kejang ayan (epilepsi), dan berbagai penyakit infeksi. Resep-resepnya telah banyak dijadikan obat paten untuk pengobatan alergi, radang usus, dan stroke.

(25)

masa tersebut, Mihara Hisahi, peneliti dari Jepang, berhasil mengisolasi enzim pelarut fibrin dalam cacing yang bekerja sebagai enzim proteolitik. Karena berasal dari Lumbricus (cacing tanah), maka enzim tersebut kemudian dinamakan lumbrokinase.

Canada RNA Biochemical, Inc. kemudian mengembangkan penelitian tersebut dan berhasil menstandarkan enzim lumbrokinase menjadi obat stroke. Obat berasal dari cacing tanah ini populer dengan nama dagang " Boluoke". Lazim diresepkan untuk mencegah dan mengobati penyumbatan pembuluh darah jantung (ischemic) yang berisiko mengundang penyakit jantung koroner (PJK), tekanan darah tinggi (hipertensi), dan stroke.

Selama ini obat penghancur gumpalan darah uang banyak digunakan adalah aktivator jaringan plasminogen (tissue-plasminogen activator, tPA) dan stretokinase. Padahal, kedua jenis obat tersebut daya kerjanya lambat. Selain itu, aspirin-pun sering digunakan untuk mencegah penggumpalan darah, sayangnya reaksinya terlalu asam bagi tubuh, sehingga banyak pengguna tidak tahan dan beresiko mengakibatkan tukak lambung.

(26)

2.1.2.2.Bidang Pertanian

Tanah yang terkontaminasi logam berat dapat dimonitor oleh cacing tanah. Hasil

penelitian Fang et al. (1999) dalam Paoletti (1999) menunjukkan bahwa di sub tropik, China

adanya korelasi negatif antara konsentrasi arsenic di tanah dengan populasi cacing tanah

Megascolecidae. Selain itu cacing tanah sangat dipengaruhi oleh produk terkontaminasi Cu.

Tanah dengan konsentrasi 100-150 ppm Cu umumnya merusak populasi cacing tanah, sebab

hanya sedikit spesies yang bertahan pada kondisi ini. Banyak spesies endogeis tidak

ditemukan pada tanah terkontaminasi Cu dan jumlah spesies lubang besar drastis seperti

Lumbricus terrestris.

Jumlah cacing tanah bermanfaat untuk memonitoring sistem pertanian yang

berbeda-beda, serta untuk mengevaluasi tanah terkontaminasi dan manajemen praktis seperti efek

residu pestisida, pengolahan tanah, pemadatan, dan bahan organik. Hasil penelitian di Alto

Adige, Italia menunjukkan bahwa populasi cacing tanah pada kebun apel yang dikelola

secara konvensional lebih rendah dibandingkan dengan kebun apel yang dikelola secara

organik (Paoletti et al., 1995).

2.1.2.3.Bidang Peternakan

(27)

jauh lebih rendah dibanding cacing tanah. Demikian pula susunan asam amino yang sangat penting bagi unggas, seperti arginin, tryptophan dan tyrosin yang sangat kurang dalam bahan pakan yang lain, pada cacing tanah kandungannya cukup tinggi. Kandungan arginin cacing tanah berkisar 10,7% tryptophan, 4,4% tyrosin, 2,25%.

Oleh karena itu cacing tanah mempunyai potensi yang cukup baik untuk mengganti tepung ikan dalam ransum unggas dan dapat menghemat pemakaian bahan dari biji-bijian sampai 70%.Walaupun demikian, penggunaan cacing tanah dalam ransum unggas disarankan tidak lebih dari 20% total ransum. Hal ini sudah sangat menguntungkan mengingat cacing tanah yang banyak tersebar di dataran nusantara kita dan potensinya cukup baik, serta sangat mudah untuk dibudidayakan sehingga dapat menekan biaya makanan unggas yang sangat tinggi dipasaran, sehingga keuntungan yang akan diraih lebih tinggi (Anonime, 2009).

2.2. Spesies Cacing Tanah 2.2.1. Drawida Sp.

Warna tubuh bagian dorsal kuning kecoklatan, bagian ventral kuning kekuningan (pucat), panjang tubuh 65-160 mm, diameter 2,5-5,5 mm, jumlah segmen 135 – 160 (Arlen, 2010).

Kingdom Animalia

Filum Annelida

Kelas Clitellata

(28)

Marga Drawida

Spesies ----

2.2.2. Mogascolex Sp.

Warna tubuh bagian dorsal merah keunguan, bagian ventral kuning kekuningan (pucat), panjang tubuh 65-105 mm, diameter 1,5-3,5 mm, jumlah segmen 160 – 180 (Arlen, 2010).

Kingdom Animalia -- Animal, animals, animaux

Filum Annelida

Kelas Clitellata

Subkelas Oligochaeta

Order Haplotaxida

Suborder Lumbricina

Family Megascolecidae Marga Megascolex

Spesies ----

2.2.3. Pontoscolex corethaurus Sp.

Warna tubuh bagian dorsal keputih-putihan dengan sedikit kecoklatan, panjang tubuh 55-110 mm, diameter 1,5-4 mm, jumlah segmen 190 – 205 (Arlen, 2010). Klassifkasi spesies ini sebagai berikut :

Kingdom Animalia

Filum Annelida

(29)

Subkelas Oligochaeta

Order Haplotaxida

Suborder Lumbricina

Family Glossoscolecidae

Marga Pontoscolex Schmarda, 1861 Spesies Pontoscolex corethrurus (Mueller)

2.3. Logam Berat

Logam berat umumnya berbahaya karena memiliki rapat massa tinggi dan dalam jumlah konsentrasi kecil dapat bersifat racun dan berbahaya. Beberapa dari logam ini merupakan logam bahan berbahaya dan beracun (logam B3) yang pada umumnya secara alami merupakan komponen tanah. Logam ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau melalui udara (Martaningtyas, 2005).

(30)

2.3.1. Kadmium (Cd)

Kadmium adalah logam keperakan, yang dapat ditempa dan liat. Logam ini melebur pada 3210C dan larut dengan lambat dalam asam encer dengan melepaskan hidrogen (disebabkan potensial elektrodanya yang negatif) (Vogel,1990).

Kasus toksisitas Kadmium dilaporkan sejak pertengahan tahun 1980-an dan kasus tersebut semakin meningkat sejalan dengan perkembangan ilmu kimia di akhir abad 20-an. Sampai sekarang diketahui bahwa kadmium merupakan logam berat yang paling banyak menimbulkan toksisisitas pada makhluk hidup (Darmono, 2001).

Kadmium dalam tubuh terakumulasi dalam hati dan ginjal terutama terikat sebagai metalotionin. Metalotionin mengandung unsur sistein, dimana kadmium terikat dalam gugus sulfhidril (-SH) dalam enzim. Kemungkinan besar pengaruh toksisisitas kadmium disebabkan oleh interaksi antara kadmium dan protein tersebut, sehingga menimbulkan hambatan terhadap aktivitas kerja enzim dalam tubuh (Darmono, 2001).

2.3.2. Timbal (Pb)

Timbal adalah sejenis logam abu-abu kebiruan, mempunyai kerapatan yang tinggi, sangat lembut dan mudah meleleh. Larut dalam HNO3 pekat, sedikit larut dalam HCl dan H2SO4 encer ( Vogel, 1990).

(31)

bersirkulasi dalam darah setelah diabsorpsi dari usus, terutama hubungannya dengan sel darah merah (eritrosit). Selanjutnya didistribusikan ke dalam jaringan lunak seperti tubulus ginjal dan sel hati, lalu disimpan dalam tulang, rambut, dan gigi, dimana 90% deposit terjadi dalam tulang dan hanya sebagian kecil tersimpan dalam otak (Darmono, 2001).

Timbal (Pb) mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan bukan karena penggunaan terapinya, melainkan lebih disebabkan karena sifat toksisitasnya. Absobsi timbal di dalam tubuh sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi dan menjadi dasar keracunan yang progresif. Keracunan timbal ini menyebabkan kadar timbal yang tinggi dalam aorta, hati, ginjal, pankreas, paru-paru, tulang, limpa, testis, jantung dan otak (Supriyanto, dkk. 2007)

2.4. Pencemaran Logam Berat pada Tanah

Secara ekologis tanah tersusun oleh tiga kelompok material, yaitu material hidup (faktor biotik) berupa biota (jasad-jasad hayati), faktor abiotik berupa bahan organik, dan faktor abiotik berupa pasir, debu dan liat. Umumnya sekitar 5% penyusun tanah merupakan biomass biotik dan abiotik (Hanafiah, dkk.2003).

(32)

logam non esensial dan pada tingkat tertentu menjadi logam beracun bagi makhluk hidup (Arnold (1990 dalam Subowo et al. 1995)

Logam dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada makhluk hidup. Hal ini terjadi jika sejumlah logam mencemari linbgkungan. Logam logam tertentu sangat berbahaya bila ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan (dalam air, tanah dan udara), karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh makhluk hidup. Pencemaran lingkungan oleh logam-logam berbahaya (Cd, Pb, Hg) dapat terjadi jika orang atau pabrik yang menggunakan logam tersebut untuk proses produksinya tidka memerhatikan keselamatan lingkungan (Darmono, 1995).

Komunitas organisme tanah selain berperan penting dalam proses ekologi seperti siklus hara juga respon terhadap gangguan pada lingkungan tanah seperti kontaminasi dari logam berat dan pestisida. Sistem biologi sangat sensitif terhadap degradasi yang baru terjadi sekalipun, sehingga perubahan status biologi dari sistem tersebut dapat menjadi peringatan dini atas kemunduran lingkungan (Ansyori. 2004)

(33)
[image:33.612.107.511.114.340.2]

Tabel 1. Kandungan logam berat dalam tanah secara alamiah (µg/g) Logam Kandungan (Rata-rata) Kisaran Non Populasi

As 100 5 – 3000

Co 8 1 – 40

Cu 20 2 – 300

Pb 10 2 – 200

Zn 50 10 – 300

Cd 0,06 0,05 – 0,07

Hg 0,03 0,01 – 0,03

Sumber : Peterson dan Alloway (1979) dalam Darmono (1995) 2.5. Spektrofotometri Serapan Atom

2.5.1. Teori Spektrofotometri Serapan Atom

Prinsip dasar Spektrofotometri serapan atom adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan atom. Spektrofotometri serapan atom merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah (Khopkar, 1990). Teknik ini adalah teknik yang paling umum dipakai untuk analisis unsur.

(34)

Jika radiasi elektromagnetik dikenakan kepada suatu atom, maka akan terjadi eksitasi elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Setiap panjang gelombang memiliki energi yang spesifik untuk dapat tereksitasi ke tingkat yang lebih tingggi. Besarnya energi dari tiap panjang gelombang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :

E = h . λ C

...(1)

Dimana E = Energi (Joule)

h = Tetapan Planck ( 6,63 . 10 -34 J.s) C = Kecepatan Cahaya ( 3. 10 8 m/s), dan

λ= Panjang gelombang (nm)

Larutan sampel disemprotkan ke suatu nyala dalam bentuk aerosol dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang terbuat oleh unsur-unsur yang bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala.

(35)

larutan sampel. Teknik-teknik analisisnya yaitu kurva kalibrasi, standar tunggal dan kurva standar adisi (Azis, 2007).

Aspek kuantitatif dari metode spektrofotometri diterangkan oleh hukum Lambert-Beer, yaitu:

A = ε . b . c atau A = a . b . c ...(2)

Dimana : A = Absorbansi

ε = Absorptivitas molar (mol/L)

a = Absorptivitas (gr/L) b = Tebal nyala (nm) c = Konsentrasi (ppm)

Absorpsivitas molar (ε) dan absorpsivitas (a) adalah suatu konstanta dan

nilainya spesifik untuk jenis zat dan panjang gelombang tertentu, sedangkan tebal media (sel) dalam prakteknya tetap. Dengan demikian absorbansi suatu zat akan merupakan fungsi linier dari konsentrasi, sehingga dengan mengukur absorbansi suatu zat konsentrasinya dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan konsentrasi larutan standar.

2.5.2. Instrumentasi Spektrofotometri Serapan Atom

(36)
[image:36.612.191.476.91.236.2]

Gambar 1. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Haris, 1982).

Komponen-komponen Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) 1. Sumber Sinar

Sumber radiasi SSA adalah Hallow Cathode Lamp (HCL). Setiap pengukuran dengan SSA kita harus menggunakan Hallow Cathode Lamp khusus misalnya akan menentukan konsentrasi tembaga dari suatu cuplikan. Maka kita harus menggunakan Hallow Cathode Cu. Hallow Cathode Cu akan memancarkan energi radiasi yang

sesuai dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom.

(37)

2. Sumber atomisasi

Sumber atomisasi dibagi menjadi dua yaitu sistem nyala dan sistem tanpa nyala. Kebanyakan instrumen sumber atomisasinya adalah nyala dan sampel diintroduksikan dalam bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk aerosol. Aerosol biasa dihasilkan oleh nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray). Jenis nyala yang digunakan secara luas untuk pengukuran analitik adalah campuran gas udara-asetilen dan nitrous oksida-asetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis yang sesuai untuk kebanyakan analit dapat ditentukan dengan menggunakan metode-metode emisi, absorbsi dan juga fluorosensi.

3. Monokromator

Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh Hallow Cathode Lamp.

4. Detektor

Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka.

5. Sistem pengolah

Sistem pengolah berfungsi untuk mengolah kuat arus dari detektor menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi data dalam sistem pembacaan.

(38)

Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau gambar yang dapat dibaca oleh mata.

2.5.3. Gangguan dalam Spektrofotometri Serapan Atom

Berbagai faktor dapat mempengaruhi pancaran nyala suatu unsur tertentu dan menyebabkan gangguan pada penetapan konsentrasi unsur.

1. Gangguan akibat pembentukan senyawa refraktori

Gangguan ini dapat diakibatkan oleh reaksi antara analit dengan senyawa kimia, biasanya anion, yang ada dalam larutan sampel sehingga terbentuk senyawa yang tahan panas (refractory). Sebagai contoh fospat akan bereaksi dengan kalsium dalam nyala menghasilkan pirofospat (Ca2P2O7). Hal ini menyebabkan absorpsi ataupun emisi atom kalsium dalam nyala menjadi berkurang. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan stronsium klorida atau lanthanum nitrat ke dalam larutan. Gangguan ini dapat juga dihindari dengan menambahkan EDTA berlebih. EDTA akan membentuk kompleks kelat dengan kalsium, sehingga pembentukan senyawa refraktori dengan fospat dapat dihindarkan. Selanjutnya kompleks Ca-EDTA akan terdisosiasi dalam nyala menjadi atom netral Ca yang menyerap sinar. Gangguan yang lebih serius terjadi apabila unsur-unsur seperti: Al, Ti, Mo, V dan lain-lain bereaksi dengan O dan OH dalam nyala menghasilkan logam oksida dan hidroksida yang tahan panas. Gangguan ini hanya dapat diatasi dengan menaikkan temperatur nyala, sehingga nyala yang umum digunakan dalam kasus semacam ini adalah nitrous oksida-asetilen.

(39)

Gangguan ionisasi ini biasa terjadi pada unsur-unsur alkali tanah dan beberapa unsur yang lain. Unsur-unsur tersebut mudah terionisasi dalam nyala. Dalam analisis dengan SSA yang diukur adalah emisi dan serapan atom yang tak terionisasi. Oleh sebab itu dengan adanya atom-atom yang terionisasi dalam nyala akan mengakibatkan sinyal yang ditangkap detektor menjadi berkurang. Namun demikian gangguan ini bukan gangguan yang sifatnya serius, karena hanya sensitivitas dan linearitasnya saja yang terganggu. Gangguan ini dapat diatasi dengan menambahkan unsur-unsur yang mudah terionisasi ke dalam sampel sehingga akan menahan proses ionisasi dari unsur yang dianalisis.

3. Gangguan fisik alat

Gangguan fisik adalah semua parameter yang dapat mempengaruhi kecepatan sampel sampai ke nyala dan sempurnanya atomisasi. Parameter-parameter tersebut adalah kecepatan alir gas, berubahnya viskositas sampel akibat temperatur nyala. Gangguan ini biasanya dikompensasi dengan lebih sering membuat kalibrasi atau standarisasi (Syahputra, 2004).

2.6. Validasi Metode Analisis

(40)

2.6.1. Kecermatan (accuracy)

Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai perses perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan (Harmita, 2004).

Perolehan kembali dapat ditentukan dengan cara membuat sampel plasebo (eksipien obat, cairan biologis) kemudian ditambahkan analit dengan konsentrasi tertentu (biasanya 80% sampai 120% dari kadar analit yang diperkirakan), kemudian dianalisis dengan metode yang akan divalidasi (Harmita, 2004).

Tetapi bila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo, maka dapat dipakai metode adisi. Metode adisi dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisa dengan metode tersebut (Harmita, 2004).

2.6.2. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi dapat didefenisikan sebagai konsentasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi dan batas kuantifikasi didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007; Harmita, 2004).

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan tujuan utama untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang kandungan logam berat dalam tiga jenis cacing tanah yang hidup bebas di tempat sampah yang berbeda.

3.1Lokasi / Waktu Penelitian

Penyiapan sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Farmasi Kuantitatif Fakultas Farmasi USU dan pengukuran kadar dilakukan di salah satu perusahaan swasta di Kawasan Industri Medan (KIM) yang dilakukan dari bulan April-Juli 2010.

3.2Bahan-Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini berkualitas pro analisa keluaran E. Merck antara lain larutan standar Timbal 1000 ppm , larutan standar Kadmium 1000 ppm, Ammonium Hidroksida 25% v/v, dithizon 98% b/b, Asam Nitrat 65% v/v, Kloroform dan Akuabides.

3.3Alat-Alat

Alat-alat yang digunakan yaitu AAS GBC Avanta G-GF 3000 (AAS-Graphite Furnace), Neraca Listrik (AND GF-200), lampu katoda Timbal, dan Kadmium

(42)

3.4Pembuatan Pereaksi 3.4.1 Larutan HNO3 1% v/v

Larutan HNO3 65% v/v sebanyak 15,4 ml diencerkan dengan air suling hingga 1000 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.2 Larutan Dithizon 0,005% b/v

Dithizon sebanyak 5 mg dilarutkan dalam 100 ml kloroform (Vogel, 1990). 3.4.3 Larutan NH4OH 1 N

Ammonium hidroksida 25% v/v sebanyak 7,4 ml diencerkan dalam 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.5Sampel

3.5.1 Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel di lakukan oleh Bagian Taksonomi dan Ekologi Hewan Fakultas MIPA Biologi Universitas Sumatera Utara, Medan. Hasil identifikasi sampel, yaitu :

1. Megascolex sp 2. Drawida sp

3. Pontoscolex corethrurus

(hasil identifikasi dapat dilihat di Lampiran 1, hal. 28). 3.5.2 Pengambilan Sampel

(43)

Sementara (TPS) Kecamatan Medan Sunggal untuk Drawida sp, Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Marelan untuk Megascolex sp dan Lahan Pertanian di Kawasan Fakultas Pertanian USU Pontoscolex corethrurus.

3.5.3 Penyiapan Sampel

Cacing segar jenis Drawida sp sebanyak 71,08 gr, Megascolex sp sebanyak 165,15 gr, dan Pontoscolex corethrurus sebanyak 111,15 gr, dibersihkan dari kotoran dengan cara dicuci dengan air mengalir hingga air cucian bersih dari kotoran, kemudian dibilas dengan akuabides. Lalu cacing yang telah dicuci dikeringkan di oven pada suhu 100°C sampai cukup kering untuk dapat digerus, lalu dihaluskan sampai homogen. Diperoleh bubuk cacing Drawida sp sebanyak 12,68 gr, Megascolex sp sebanyak 26,37 gr, dan Pontoscolex corethrurus sebanyak 17,8 gr.

3.6Prosedur Destruksi dan Pembuatan Larutan Sampel

Timbang ±1 gram bubuk cacing, tambahkan 5 ml asam nitrat 65% v/v, kemudian dipanaskan di atas hotplate pada temperatur sekitar 100°C selama setengah jam atau sampai mengering. Tambahkan 10 ml asam nitrat 65% v/v hingga residu larut, disaring ke dalam labu tentukur 25ml menggunakan kertas saring Whatman No.42 sebanyak 2 kali dengan membuang 2 ml filtrat pertama. Kemudian diencerkan dengan akuabides sampai garis tanda (Chapple:1991).

(44)

3.7Pemeriksaan Kualitatif

3.7.1 Pemeriksaan Kualitatif untuk Timbal

Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 2 ml larutan sampel hasil destruksi, diatur pH-nya 7 dengan penambahan ammonium hidroksida 1N, dimasukkan kristal kalium sianida, ditambahkan 2 ml dithizon 0,005% b/v kocok kuat, dibiarkan lapisan memisah dan terbentuk warna merah tua (Fries, 1977).

3.7.2 Pemeriksaan Kualitatif untuk Kadmium

Ke dalam tabung reaksi dimasukkan 2 ml larutan sampel, diatur pH-nya 12 dengan penambahan ammonium hidroksida 1N, dimasukkan kristal kalium sianida, ditambahkan 2 ml dithizon 0,005% b/v kocok kuat, dibiarkan larutan memisah dan terbentuk warna merah muda (Fries, 1977).

3.8Pemeriksaan Kuantitatif

3.8.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi 3.8.1.1Kurva Kalibrasi Timbal

Larutan baku timbal (1000 ppm) dipipet sebanyak 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 100 ppm). Larutan baku 100 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 10 ppm).

(45)

HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda, diperoleh larutan dengan konsentrasi 0,05 ppm; 0,1 ppm; 0,2 ppm ; 0,3 ppm dan 0,4 ppm lalu diukur pada panjang gelombang 217 nm menggunakan lampu katoda 6 mA.

3.8.1.2Kurva Kalibrasi Kadmium

Larutan baku kadmium (1000 ppm) dipipet sebanyak 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 100 ppm). Larutan baku 100 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 10 ppm).

Larutan kadmium 10 ppm ini dipipet 0,1 ml; 0,25 ml; 0,5 ml ; 0,75 ml dan 1 ml, masing-masing dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda diperoleh larutan dengan konsentrasi 0,01 ppm; 0,025 ppm; 0,05 ppm; 0,075 ppm dan 0,1 ppm lalu diukur pada panjang gelombang 228,8 nm menggunakan lampu katoda 4 mA. 3.8.2 Penetapan Kadar Timbal dan Kadmium dalam Sampel

Dari grafik kurva standar masing-masing logam terdapat hubungan antara Konsentrasi (C) dengan Absorbansi (A) maka dapat diketahui nilai slope dan intersep. Konsentrasi logam dalam sampel dapat diketahui dengan memasukkan nilai

tersebut ke dalam persamaan regresi linear menggunakan hukum Lambert-Beer yaitu: Y = Bx + A

(46)

X = Konsentrasi sampel B = Slope

Dari perhitungan regresi linear, maka dapat diketahui kadar dari sampel dengan menggunakan rumus :

C Sebenarnya (ppm) =

(g) Sampel Berat

n pengencera Faktor

x (ml) preparat Volume

x ) / ( pembacaan

C mcg ml

3.9Validasi Metode Analisis

3.9.1 Penentuan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) Batas deteksi atau Limit of Detection (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi. Batas kuantitasi atau Limit of Quantitation (LOQ) merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel.

Batas deteksi dapat dihitung berdasarkan pada Standar Deviasi (SD) dari kurva antara respon dan kemiringan (slope) dengan rumus :

SD =

2 )

( 2

− −

n

Yi Y

LOD = slope

SD x 3

Sedangkan untuk penentuan batas kuantitasi dapat digunakan rumus :

LOQ = slope

SD x 10

(47)

3.9.2 Uji Perolehan Kembali 3.9.2.1Pembuatan Larutan Baku

Larutan baku timbal (1000 ppm) dipipet sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 10 ppm). Larutan baku timbal 10 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 1 ppm).

Larutan baku kadmium (1000 ppm) dipipet sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 10 ppm). Larutan baku kadmium 10 ppm dipipet 10 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, kemudian ditambahkan 10 ml larutan HNO3 1% v/v dan ditepatkan dengan air suling hingga garis tanda (konsentrasi 1 ppm).

3.9.2.2Prosedur Uji Perolehan Kembali

(48)

Kadar larutan baku yang ditambahkan dalam sampel dapat dilihat pada Lampiran 19 hal. , selanjutnya dilakukan dengan cara yang sama seperti 3.6; lalu dihitung persentase uji perolehan kembali dengan rumus :

Uji perolehan kembali (%) =

Kadar zat setelah ditambahkan standar - kadar zat dalam sampel

X 100 % Jumlah standar yang ditambahkan dalam sampel

[image:48.612.140.493.344.554.2]

Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2. Rentang kesalahan yang diijinkan pada uji perolehan kembali

Analit pada matriks

sampel Rata-rata yang diperoleh (%) 100

>10 >1 >0,1 0,01 0,001

0,000.1 (1 ppm) 0,000.01 (100 ppb) 0,000.001 (10 ppb) 0,000.000.1 (1 ppb)

(49)

3.10 Analisis Statistik

3.10.1 Penolakan Hasil Pengamatan

Kadar Timbal dan Kadmium yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing 6 larutan sampel, diuji secara statistik dengan uji t. Data diterima jika t hitung < t tabel.

t hitung =

n SD

X X

/ −

Tabel 3. Harga Koefisien Penolakan t

Jumlah pengamatan ttabel (nilai tkritis)

2 12,706

3 4,3027

4 3,1824

5 2,7765

6 2,5706

Sumber: Gandjar dan Rohman (2007).

3.10.2 Rata – Rata Kadar Timbal dan Kadmium

Kadar Timbal dan Kadmium yang diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing 6 larutan sampel, ditentukan rata-ratanya secara statistik dengan taraf kepercayaan 95% dengan rumus sebagai berikut (Wibisono, 2005) :

n s t(12 ,df )

X α

µ = ±

3.10.3 Uji Beda Rata – Rata Kadar Timbal dan Kadmium

Uji beda rata-rata sampel diuji dengan uji F menggunakan software SPSS. Data berbeda secara signifikan jika F hitung > F tabel.

[image:49.612.116.426.303.395.2]
(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Pengambilan Sampel

Sampel diambil di tempat sampah yang berbeda, yaitu Megascolex sp. yang hidup di tumpukan sampah basah, diambil di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Marelan. Drawida sp. yang hidup di tumpukan sampah kering, diambil di Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) Medan Sunggal dan Pontoscolex corethurus yang hidup di tumpukan sampah dedaunan, di ambil di lahan Fakultas

Pertanian, USU.

4.2. Proses Dekstruksi

Pada penyiapan dan dekstruksi sampel, dilakukan modifikasi berat sampel agar didapat konsenstrasi kecil untuk menghindari pengenceran. Kemudian dilakukan modifikasi suhu pemanasan dan jumlah pelarut yang ditambahkan. Hal ini dilakukan berdasarkan percobaan orientasi pendahuluan untuk melihat prediksi kandungan logam berat dalam sampel cacing. Hasil orientasi menunjukkan bahwa logam timbal dan kadmium masih bisa terdeteksi dengan pemanasan di hotplate pada suhu 100°C. Dihindari penggunaan asam yang berlebihan sebagai pelarut karena dapat mengganggu keakuratan alat Spektrofotometri Serapan Atom Grafite Furnace.

4.3. Pemeriksaan Kualitatif

(51)
[image:51.612.114.521.167.286.2]

dianalisis secara kuantitatif dengan spektrofotometri serapan atom. Hasil pemeriksaan kualitatif dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Kualitatif Logam Pb dan Cd dengan Pereaksi Dithizon 0,005% b/v N

o.

Loga m

p H

Reaksi dengan larutan

Dithizon 0,005% b/v Sampel Hasil

. Pb 7 Merah tua

Dra +

Mgx +

Ptx +

2

. Cd

1

2 Merah muda

Dra +

Mgx +

Ptx +

Keterangan :

+ = Mengandung logam

Dra = Cacing tanah Drawida sp. Mgx = Cacing tanah Megascolex sp

Ptx = Cacing tanah Pontoscolex corethaurus

(52)

4.4. Pemeriksaan Kuantitatif

4.4.1. Kurva Kalibrasi Timbal dan Kadmium

Kurva kalibrasi logam timbal dan kadmium diperoleh dengan cara mengukur absorbansi dari larutan standar kedua logam pada konsentrasi yang berbeda-beda. Logam timbal diukur pada panjang gelombang 217,0 nm dan kadmium pada panjang gelombang 228,8 nm. Berdasarkan pengukuran kurva kalibrasi tersebut, maka diperoleh persamaan garis regresi untuk timbal yaitu: y = 2,223x + 0,0402 dan untuk kadmium y = 8,834x + 0,0408.

Data hasil pengukuran absorbansi larutan standar timbal dan kadmium serta contoh perhitungan persamaan garis regresi dapat dilihat pada Lampiran 6 hal. 36 dan Lampiran 7 hal.38. Kurva kalibrasi larutan standar timbal dan kadmium dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut.

Kurva Kalibrasi Pb

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45

Konsentrasi

A

b

s

o

rb

a

n

s

i

y = 2,223x + 0,0402 r = 0,0,9985

[image:52.612.140.546.417.603.2]
(53)

Kurva Kalibrasi Cd

0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000

0,000 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120

Konsentrasi

A

b

s

o

rb

a

n

s

i

y = 8,834x + 0,0408 r = 0,9978

Gambar 3. Kurva Kalibrasi Logam Kadmium Konsentrasi 0,01 ppm; 0,025 ppm; 0,05 ppm ; 0,075 ppm dan 0,1 ppm yang diukur dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang gelombang 228,8 nm.

Berdasarkan kurva di atas diperoleh hubungan antara konsentrasi logam dengan serapannya dengan nilai koefisien korelasi (r) untuk timbal sebesar 0,9985 dan untuk kadmium sebesar 0,9978. Harga r berada pada rentang nilai antara -1 ≤ r ≤ 1. Nilai r terbaik adalah yang mendekati 1. Hal ini sesuai dengan Hukum Lambert-Beer yaitu A = abc, dimana nilai absorbansi (A) berbanding lurus dengan nilai konsentrasi (c) (Gandjar, I. G., dan Rohman, A. 2007).

4.4.2. Pemeriksaan Kadar Timbal dan Kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus

[image:53.612.117.523.87.272.2]
(54)

Tabel 5 Kadar Timbal dan Kadmium (ppm) pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus

No. Sampel Kadar Timbal

(ppm)

Kadar Kadmium (ppm) 1. Drawida sp 2,5925 ± 0,0409 1,1760 ± 0,01543 2. Megascolex

sp

4,5122 ± 0,0543 0,4414 ± 0,00224 3 Pontoscolex

sp

5,1657 ± 0,07066 1,1613 ± 0,01508

Hasil analisis timbal dan kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus menunjukkan kadar timbal sebesar

2,5925 ± 0,0409 ppm (Drawida sp); 4,5122 ± 0,0543 ppm (Megascolex sp); 5,1657 ± 0,07066 ppm (Pontoscolex corethaurus) dan kandungan kadmium sebesar 1,1760 ± 0,01543 ppm (Drawida sp); 0,4414 ± 0,00224 ppm (Megascolex sp); 1,1613 ± 0,01508 ppm (Pontoscolex corethaurus) (Data dan perhitungan statistik dapat dilihat pada Lampiran 10 hal.42 sampai dengan Lampiran 15 hal.55. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar timbal dan kadmium yang signifikan pada ketiga jenis cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus.

[image:54.612.121.536.134.234.2]
(55)

4.5. Uji Validasi Metode Analisis

4.5.1. Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Untuk melihat kadar terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama, maka dilakukan perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi (Miller, 2005). Dari hasil perhitungan diperoleh batas deteksi untuk logam timbal dan kadmium masing-masing sebesar 0,01867 ppm dan 0,01372 ppm. Sedangkan batas kuantitasi untuk logam timbal dan kadmium masing-masing sebesar 0,06225 ppm dan 0,04575 ppm. Perhitungan batas deteksi dan batas kuantitasi kedua logam ini dapat dilihat pada Lampiran 17 hal 63 dan lampiran 18 hal 64 .

Hasil pengukuran konsentrasi larutan sampel menunjukkan bahwa konsentrasi tersebut melewati batas deteksi dan batas kuantitasi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa data yang diperoleh dari hasil pengukuran memenuhi kriteria cermat dan seksama.

4.5.2. Uji Perolehan Kembali

(56)

Hasil yang diperoleh dari uji perolehan kembali memberikan ketepatan pada pemeriksaan kadar logam dalam sampel. Menurut Miller (2005), suatu metode dikatakan teliti jika nilai recovery-nya antara 80-120%.

Uji perolehan kembali adalah salah satu dari uji validasi analisis untuk melihat kecermatan analisis yang dilakukan. Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya (Harmita, 2004).

4.6. Analisis Statistik

Dilakukan uji penolakan hasil pengamatan, yaitu uji t, dan uji beda nilai rata-rata, yaitu uji F pada taraf kepercayaan 95%. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Uji F logam timbal dan kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Tim bal

Between Groups

21.064 2 10.532 231

6.392

.00 0 Within

Groups

.068 15 .005

Total 21.132 17

Kad mium

Between Groups

2.109 2 1.054 413

5.953

.00 0 Within

Groups

.004 15 .000

[image:56.612.115.514.450.658.2]
(57)

Dari tabel diperoleh F hitung untuk faktor pengujian timbal terhadap ketiga jenis cacing tanah adalah 2316,392 dan F tabel adalah 2,29 dimana F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa jenis cacing mempengaruhi kadar timbal di dalam cacing tanah. Untuk faktor pengujian kadmium terhadap ketiga jenis cacing tanah adalah 4135,953 dan F tabel adalah 2,29 dimana F hitung > F tabel. Hal ini menunjukkan bahwa jenis cacing yang berbeda akan memberikan kadar kadmium yang berbeda pula.

4.6.1. Analisis Beda Nilai Rata-rata kadar Timbal dan kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus

Analisis beda nilai rata-rata kadar timbal dan kadmium secara statistik pada taraf kepercayaan 95% dapat dilihat pada tabel 7 di bawah ini :

Tabel 7. Analisis beda nilai rata-rata logam timbal dan kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus

Timbal Duncana Sampel

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Drawida 6 6.538117

Megascolex 6 8.425900

Pontoscolex 6 9.092350

Sig. 1.000 1.000 1.000

[image:57.612.108.518.441.581.2]
(58)

Kadmium Duncana Sampel

N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Megascolex 6 .430300

Pontoscolex 6 1.138017

Drawida 6 1.173383

Sig. 1.000 1.000 1.000

[image:58.612.112.513.93.232.2]

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.

Tabel di atas bertujuan untuk mencari atau menguji kelompok mana yang tidak berbeda atau tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kelompok lainnya. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kadar Timbal paling rendah terdapat pada Drawida sp. Dari hasil ini diketahui bahwa kandungan timbal terendah terdapat pada Drawida yang hidup pada tempat sampah basah dan tertinggi pada Pontoscolex corethaurus yang hidup pada tempat sampah dedaunan yang merupakan lahan pertanian.

Sedangkan untuk kandungan kadmium diketahui bahwa kadmium paling rendah terkandung dalam Megascolex sp dan paling tinggi terkandung dalam Drawida sp. Kadar timbal dan kadmium pada ketiga cacing tanah ini menunjukkan

(59)

Kadar timbal dan kadmium pada ketiga cacing tanah ini menunjukkan jumlah kandungan timbal yang lebih besar daripada kadmium. Hal ini dapat disebabkan karena tingginya jumlah material yang mengandung timbal di tempat penumpukan sampah karena adanya pencemaran dari cemaran asap kendaraan bermotor karena lokasi pengambilan sampel ini sangat dekat dengan jalan raya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari oleh Wee Pou Lis Ng Shie Ling, Malaysia mengenai cemaran logam berat dalam tubuh cacing tanah yang diteliti pada kawasan dekat jalan raya dengan hasil bahwa ketersediaan timbal dan kadmium dalam cacing tanah memiliki korelasi positif dengan jumlah kendaraan (Ling,, 2008).

(60)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa :

1. Cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus mengandung timbal dan kadmium.

2. Hasil analisis timbal dan kadmium pada cacing tanah Drawida sp, Megascolex sp dan Pontoscolex corethaurus menunjukkan kadar timbal sebesar 2,5925 ± 0,0409 ppm pada Drawida sp; 4,5122 ± 0,0543 ppm pada Megascolex sp ; dan 5,1657 ± 0,07066 ppm pada Pontoscolex corethaurus. Kandungan kadmium adalah sebesar 1,1760 ± 0,01543 ppm pada Drawida sp; 0,4414 ± 0,0022 ppm pada Megascolex sp; 1,1613 ± 0,01508 ppm pada Pontoscolex corethaurus. 3. Kadar logam timbal dan kadmium didalam ketiga jenis cacing tanah yang hidup

di tempat sampah ini menunjukkan jumlah yang berbeda secara statistik.

(61)

5.2. Saran

1. Disarankan bagi masyarakat umum untuk tidak memilih cacing tanah yang hidup di tempat sampah sebagai produk obat dan makanan.

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Anonima (2008). Cacing Tanah sebagai Obat.

(Diakses 15 Desember 2009)

Anonimb 2010). Manfaat Cacing Tanah bagi Kesehatan Manusia,

Anonimc (2010). Efek Antipiretik Cacing Tanah. http://pt-sar.com/? pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=23 (diakses tanggal 30 November 2010)

Anonimd (2010). Budidaya Cacing Tanah. www.warintek.ristek.go.id/ peternakan/budidaya/cacing_tanah.pdf (diakses tanggal 30 November 2010) Anonime (2010). Cacing Tanah untuk Ransum Ternak Unggas.

Ansyori. (2004). Potensi Cacing Tanah sebagai Alternatif Bio-indikator Pertanian

Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor.

Badan Standarisasi Nasional. (1998). Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan. SNI 19-7387-2009. Hal. 14 dan 23.

Chapple, Graeme dan Athanasopoulos, Nick. (1991). System 2000/3000 Graphite Furnace Methonds Manual. Ed. 1-1. GBC. Australia. Hal. 18-19,48-49.

Darmono. (1995). Logam dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Cetakan pertama. Jakarta: UI-Press. Hal. 10-12, 21-23, 26-27.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal

Gandjar, I. G., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hal. 22-23.

Fries, J,.and Getrost, H. (1997). Organic Reagents For Trace Analysis. E. Merck Darmstadt. Page. 208-209.

Hanafiah, dkk. (2003) Biologi Tanah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal.1-3, 70, 78-79, 91-94, 142-150.

(63)

Jacinta, dkk. (1991). Uji Air Rebusan Cacing Tanah Sebagai Antipiretik dan Uji terhadap Beberapa Bakteri Penyebab Diare. Skripsi Departemen Penelitian Bahan Alam ITB, Bandung. (diakses tanggal 01 November 2010).

Jundai, dkk. (2003). Heavy Metal Accumulation by Two Earthworm Species and Its relationship to Total and DTPA-extractable Metal in Soils. Diakses tanggal 01 November 2010. ww.environmentalhealthclinic.net/

J. Ermer, J. H. McB. Miller. (2005). Method Validation in Pharmaceutical Analysis. Weinheim : WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. Page. 171.

Khopkar, S. M. (1990). Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah: Saptohardjo. Jakarta: UI-Press. Hal. 274-275.

Ling. Wee Pou Lis Eng Shie. (2008). An assesment of earthworm as Bioindicator for Heavy Metal Contamination in Pasture Land Adjacent to A High Way. Universiti Putra Malaysia, Malaysia. Diakses tanggal 01 November 2010. Muchtaromah, Bayyinatul, Dr.drh. (2010). Pengaruh Pengolahan Jenis Tepung

Cacing Dengan Variasi Suhu Terhadap Penghambatan Pertumbuhan Bakteri Salmonella Typhi Secara In Vitro. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Diakses tanggal 01 November 2010.

Paoletti, M.G. 1999. The role of earthworms for assessment of sustainability and as bioindicators. Journal of Agriculture, Ecosystem and Enviroment 74:137-155.

Sudjana. (2001). Metode Statistika. Edisi Keenam. Bandung : Tarsito. Hal 167, 206.

Tim Penyusun. (2008). Pedoman Penulisan Skripsi

Vogel, A. I. (1990). Kimia Analisis Kualitatif Anorganik. Penerjemah: Soetiono, L., dkk. Edisi kelima. Bagian I. Jakarta: PT. Kalman Media Pustaka. Hal. 229, 293-294, 300.

Wibisono, y. (2005). Metode Statistik. Cetakan pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 451-452.

(64)
(65)

Lampiran 2. Gambar Sampel Cacing Tanah

A. Cacing tanah Drawida sp.

(66)
(67)

Lampiran 3. Flowsheet Destruksi Basah

Cacing tanah basah

Dikeringkan di oven pada suhu 100°C -120°C sampai mengering

Digerus di lumpang sampai halus dan homogen

Ditimbang sebanyak 1 gram Cacing tanah kering

Ditambahkan HNO3 65% v/v sebanyak 5 ml

Dipanaskan di atas hotplate pada suhu 100°C sampai kering

Sampel yang telah mengering

Ditambahkan HNO3 65% v/v sampai larut

Disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 ke dalam labu tentukur 25 ml sebanyak 2 kali

Di cukupkan volume dengan akuabides sampai garis tanda

Larutan Sampel

Hasil

Diukur pada panjang gelombang 217,0 nm untuk timbal

(68)

Lampiran 4. Gambar Hasil Analisis Kualitatif Timbal dengan Pereaksi Ditizon 0,005% b/v

A. Timbal pada cacing tanah Drawida sp

(69)
(70)

Lampiran 5. Gambar Hasil Analisis Kualitatif Kadmium dengan Pereaksi Ditizon 0,005% b/v

(71)

B. Kadmium pada cacing tanah Megascolex sp.

(72)

Lampiran 6. Data Kalibrasi Timbal dengan Spektrofotometer Serapan Atom dan Perhitungan Persamaan Garis Regresi dan Koefisien Korelasi (r) No, Konsentrasi (mcg/ml) Absorbansi Absorbansi-Blanko

1 0,00 0,0516 0,0000

2 0,05 0,1561 0,1045

3 0,10 0,2578 0,2062

4 0,20 0,4512 0,3996

5 0,30 0,7267 0,6751

6 0,40 0,9322 0,8806

) ( ) ( . .

a 2 2

x n x xy n y x Σ − Σ Σ − Σ Σ = ) 3025 , 0 ( 6 ) 05 , 1 ( ) 66054 , 0 .( 6 ) 2660 , 2 ).( 0500 , 1 ( a 2 − − = 7125

Gambar

Tabel 1. Kandungan logam  berat dalam tanah secara alamiah (µg/g)
Gambar 1. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom (Haris, 1982).
Tabel 2. Rentang kesalahan yang diijinkan pada uji perolehan kembali
tabel 12,706 (nilai tkritis4,3027
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari hasil analisis dan interpretasi terhadap representasi nasionalisme kebangsaan yang terkandung dalam lirik lagu “Dari Mata Sang Garuda” adalah adanya ungkapan

Deputi Bidang KB dan KR, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan pengadaan

Pokja ULP/Panitia Pengadaan Pada Satker Deputi Bidang KB dan KR BKKBN Pusat TA 2013 akan melaksanakan pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket

Deputi Bidang KB dan KR,Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia yang teregistrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik ( LPSE ) yang memenuhi persyaratan :.. a) Siup yang masih berlaku

004/ULPD.KALTIM/KPP.PRATAMA.SMD/2016 tanggal 20 Juni 2016 telah melaksanakan pemilihan penyedia untuk Pekerjaan Pengadaan Jasa Konstruksi Pengecoran Jalan Lingkungan KPP

Panitia Pengadaan VTP Kit pada Satuan Kerja Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Pusat akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan

Pada umumnya jumlah sarana ibadah yang terdapat di Desa Pariksabungan.. adalah 8 (unit) bangunan gereja dan tidak mempunyai masjid ataupun