BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kepuasan Hidup
1. Defenisi kepuasan hidup
Kepuasan hidup merupakan dimensi kognitif subjective well-being.
Kepuasan hidup (life satisfaction) merupakan penilaian kognitif seseorang
mengenai kehidupannya, apakah kehidupan yang dijalaninya berjalan dengan
baik. Ini merupakan perasaan cukup, damai dan puas, dari kesenjangan antara
keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian dan pemenuhan. Campbell,
Converse, dan Rodgers (dalam Diener, 1994) menyatakan bahwa komponen
kognitif ini merupakan kesenjangan yang dipersepsikan antara keinginan dan
pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak.
Neugarten & Havighurst menyatakan bahwa kepuasan hidup erat
kaitannya dengan kualitas moral, dimana menjelaskan kualitas kepuasan hidup
secara baik (McDowell, 2006). Menurut pendekatan quality of life, kepuasan
hidup mengacu pada evaluasi subjektif mengenai seberapa banyak kebutuhan,
tujuan, dan nilai-nilai yang kita punya telah terpenuhi dalam kehidupan. Sehingga,
kesenjangan yang dirasakan antara apa yang kita miliki dan apa yang kita
inginkan menjadi penentu tingkat kepuasan hidup atau ketidakpuasan seseorang.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan hidup
meliputi perasaan cukup, damai dan puas terkait kesenjangan antara yang
diinginkan dengan yang dicapai.
2. Komponen kepuasan hidup
Neugarten (McDowell, 2006) menyatakan bahwa terdapat lima komponen
dalam kepuasan hidup yaitu :
a. Zest vs apathy
Berkaitan dengan antusiasme respon terhadap kehidupan secara umum dan
tidak berhubungan dengan jenis kegiatan tertentu, seperti kegiatan sosial atau
intelektual.
b. Resolution & fortitude
Mengukur penerimaan aktif individu akan tanggung jawab pribadi untuk
kehidupan mereka, bukan secara pasif menerima atau memaafkan apa yang
telah terjadi pada mereka. Konsep integritas oleh Erikson mirip dengan
konseptualisasi dan berhubungan dengan kebermaknaan hidup dan kurangnya
rasa takut akan kematian. Terlalu banyak menyalahkan diri sendiri atau
menempatkan terlalu banyak tanggung jawab pada orang lain dan dunia pada
umumnya akan menghasilkan nilai yang rendah pada komponen ini.
c. Congruence between desired and achieved goals
Komponen ketiga adalah persepsi kesesuaian antara apa yang diinginkan dan
yang dicapai. Perbedaan relatif antara apa yang diinginkan dengan tujuan
yang dicapai menyebabkan individu merasa puas atau tidak puas dengan
d. Positive self concept
Penetapan penilaian konsep diri termasuk di dalamnya dimensi emosional,
fisik, dan intelektual individu. Individu yang tidak merasa dirinya tua namun
memperhatikan penampilan dan menuntut diri menjadi bijaksana dan
kompeten cenderung memiliki self concept yang lebih baik. Selain itu,
kesuksesan hidup di masa lalu juga turut berkontribusi terhadap self concept
individu namun secara tidak langsung. Individu yang merasa berada di
belakang orang lain dan menganggap diri tidak berharga akan memiliki self
concept yang buruk.
e. Mood tone
Berkaitan dengan optimism dan kebahagiaan serta respon afektif positif
lainnya. Depresi, kesedihan karena kesendirian, mudah marah, dan pesimisme
merupakan perasaan yang menyebabkan rendahnya tingkat mood tone
individu. Penilaian akan kepuasan hidup memang lebih kompleks daripada
penilaian akan kebahagiaan, namun kebahagiaan akan kehidupan saat ini
merupakan kontributor penting dalam pengukuran kepuasan hidup.
3. Struktur kepuasan hidup
Kepuasan hidup merupakan aspek kognitif dari subjective well being
(Diener, 2009). Kepuasan hidup dapat dilihat dari dua pendekatan berbeda yakni
teori bottom-up dan top-down. Teori bottom-up, dimana kepuasan hidup
dipengaruhi oleh penilaian individu terhadap domain-domain yang menurutnya
mempengaruhi domain kepuasan seseorang. Seseorang yang umumnya puas
dengan kehidupannya juga akan mengevaluasi domain penting dalam kehidupan
dengan lebih positif, meskipun kepuasan hidup secara umum tidak hanya
didasarkan pada kepuasan terhadap domain tersebut saja.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan hidup
Kepuasan hidup merupakan dimensi kognitif subjective well-being,
sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being juga merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan hidup. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi subjective well-being menurut Diener yaitu:
a. Perbedaan jenis kelamin
Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum tidak terdapat
perbedaan subjective well being yang signifikan antara pria dan wanita.
b. Tujuan
Emmons (dalam Diener, 1999) menyatakan bahwa berbagai bentuk
tujuan seseorang, termasuk adanya tujuan yang penting, kemajuan
tujuan-tujuan yang dimiliki, dan konflik dalam tujuan-tujuan yang
berbeda memiliki implikasi pada emotional dan cognitive well being.
c. Kepribadian
Tatarkiewicz (dalam Diener, 1984) menyatakan bahwa kepribadian
lebih berpengaruh pada subjective well being dibandingkan dengan
faktor lainnya. Beberapa variabel kepribadian menunjukkan
Campbell (dalam Diener, 1984) menunjukkan bahwa kepuasan
terhadap diri merupakan prediktor kepuasan terhadap hidup.
d. Kualitas hubungan sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Seligman (dalam Diener & Scollon,
2003) menunjukkan bahwa individu dengan kepuasan hidup tinggi
memiliki kualitas hubungan sosial yang dinilai baik, biasanya
berhubungan dengan keluarga, teman, dan pasangan.
e. Agama dan spiritualitas
Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum orang yang religius
cenderung memiliki tingkat well being yang lebih tinggi. Partisipasi
dalam pelayanan relijius, kegiatan keagamaan bersama, berhubungan
dengan Tuhan biasanya melalui berdoa dikaitkan dengan tingkat well
being yang lebih tinggi. Diener (2009) juga menyatakan bahwa
hubungan positif antara spiritualitas dan religiusitas dengan subjective
well being berkaitan dengan terciptanya kelompok dan dukungan
sosial oleh kelompok keagamaan.
Spiritualitas dan religiusitas mengacu kepada keyakinan dan praktek
bahwa terdapat dimensi transenden di dalam kehidupan. Keyakinan ini
menentukan jenis atribusi yang dibuat manusia, makna hidup, dan bagaimana
manusia menciptakan hubungan. Religiusitas diyakini menjelaskan derajat
penerimaan individu dari keyakinan yang berhubungan dengan pemujaan figure
Illahi dan partisipasi individu pada pemujaan publik maupun pribadi. Relijiusitas
dengan istilah ‘agama’ yang apabila dipahami maka seseorang akan dapat
mencapai kepuasan hidup Agama merupakan doktrin kepercayaan yang diatur
secara formal yang merupakan sumber dukungan dan dapat membantu
penyembuhan (Singh, 2005). Spiritualitas, diyakini menjelaskan hubungan intim
dan pribadi antara manusia dengan Illahi, dan sejumlah kebaikan sebagai hasil
dari hubungan tersebut (Peterson & Seligman, 2004).Penelitian ini akan berfokus
pada spiritualitas yang akan dibahas pada sub bab berikut.
B. Spiritualitas
1. Defenisi spiritualitas
Spiritualitas diartikan sebagai ‘respon manusia terhadap panggilan Tuhan
yang baik untuk dapat membangun hubungan dengan-Nya’, ‘pengalaman
subjektif terkait sesuatu yang suci’, ‘alam luas yang berisi kemampuan manusia
untuk bertransaksi dengan atau mencapai tujuan utama, dengan kesatuan yang
lebih tinggi, dengan Tuhan, dengan cinta, dengan iba, dengan tujuan’ (Benner,
Vaughan & Tart dalam Zinnbauer, dkk, 1997). Hill menambahkan bahwa
spiritualitas merupakan sisi personal dan pengalaman akan hubungan kita dengan
sesuatu yang suci atau maha.
Spiritualitas berkaitan dengan kekuatan yang tidak tampak, yang
menangani hal-hal mendasar terkait makna hidup, dengan asumsi bahwa terdapat
sesuatu yang lebih daripada apa yang kita lihat atau pahami. Spiritualitas dapat
Menurut Dossey, et al. (dalam Young & Koopsen, 2007) spiritualitas
adalah hakikat dari siapa dan bagaimana manusia hidup di dunia dan dikatakan
juga spiritualitas amat penting bagi kehidupan manusia. Young & Koopsen (2007)
juga menambahkan bahwa spiritualitas merupakan ekspresi dari motif dan
dorongan dalam diri manusia yang diarahkan pada kedalaman hidupnya dan pada
Tuhan, serta usaha seseorang dalam mencari makna, tujuan dan arah hidup.
Spiritualitas juga dapat didefinisikan sebagai kebutuhan bawaan manusia
untuk berhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri manusia itu. Istilah
‘sesuatu yang lebih besar dari manusia’ adalah sesuatu yang diluar diri manusia
dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian spiritualitas oleh
Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal :
- Komponen vertikal, merujuk pada adanya sesuatu yang suci,
tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah kekuatan yang tinggi
(maha), sumber,kesadaran yang luar biasa, biasanya disebut
Tuhan. Schreurs (2002) menambahkan bahwa spiritualitas
merupakan hubungan personal dengan sosok transenden.
- Komponen horizontal, yaitu melayani manusia secara
keseluruhan, merujuk pada aktivitas yang dilakukan
bersama-sama misalnya kegiatan afiliasi atau ibadah keagamaan
bersama. Fernando (2006) menambahkan bahwa spiritualitas
juga bias tentang perasaan akan tujuan, makna, dan perasaan
Dari berbagai definisi diatas, definisi spiritualitas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kepercayaan akan adanya kekuatan non fisik yang lebih besar
daripada kekuatan diri kita; suatu kesadaran yang menghubungkan seseorang
langsung kepada Tuhan, atau yang disebut sebagai sumber keberadaan seseorang
dalam mencapai suatu kebermaknaan hidup , yang disertai dengan melakukan
pelayanan maupun aktifitas keagamaan kepada sesama manusia.
2. Aspek-aspek spiritualitas
Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek
eksistensial, aspek kognitif, dan aspek relasional :
a. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk ‘mematikan’
bagian dari dirinya yang bersifat egosentrik dan defensive.
Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek ini dicirikan oleh
proses pencarian jati diri (true self).
b. Aspek kognitif, merupakan kegiatan pencarian pengetahuan
spiritual dimana seseorang mencoba untuk menjadi lebih dapat
memahami realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara
menelaah literatur atau melakukan refleksi atas suatu bacaan
spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk konsentrasi, juga
dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk
sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih
pengalaman yang terjadi serta melakukan refleksi atas pengalaman
c. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang
merasa bersatu dengan Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya).
Pada aspek ini seseorang membangun, mempertahankan, dan
memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.
3. Dimensi kunci spiritualitas
Dimensi kunci spiritualitas (Underwood dalam Fetzer Institude, 1999)
antara lain:
a. Connection with the Transcendent
Seperti halnya hubungan individu dengan orang lain, kualitas
keintiman dengan sosok transcendental juga sangat penting. Hal ini
ditujukan baik kepada individu yang mwmiliki pengalaman
hubungan dengan sosok transcendental secara pribadi dan individu
yang menggambarkan pengertian yang lebih umum akan hubungan
dengan sosok transenden.
b. Sense of Support from the Transcendent
Dimensi ini dinyatakan dalam 3 cara yakni
- Strength and support : dinyatakan dalam bentuk dukungan sosial
dan rasa nyaman dari sosok transendental.
- Perceived love : individu percaya bahwa Tuhan mencintai tanpa
dicintai. Dukungan emosional serta perasaan dicintai dapat
membuktikan bahwa hal ini penting dalam hubungan agama
Tuhan berbeda dengan cinta manusia akan sesamannya, dan ada
banyak jenis cinta yang ditujukan kepada Tuhan. Kasih Tuhan
dapat sebagai penegasan, serta dapat berkontribusi terhadap rasa
percaya diri dan harga diri.
- Inspiration/Discernment : terkait dengan harapan akan campur
tangan Ilahi atau inspirasi dan perasaan bahwa kekuatan Ilahi telah
menginspirasi atau melakukan pertolongan.
c. Sense of Wholeness, Internal Integration
Dimensi ini mencoba menggali lebih dalam melampaui
kesejahteraan psikologis seseorang.
d. Transcendent Sense of Self
Mencoba mengidentifikasi pengalaman pelayanan dan kebaktian
semasa hidup dimana saat ini perhatian individu dapat dialihkan
saat melakukan ibadah. Adanya sosok transcendental yang
melebihi penyakit fisik dan masalah psikologis menunjukkan
bahwa hidup tidak hanya terdiri dari aspek fisik dan psikologis.
e. Sense of awe
Aspek ini mencoba menjelaskan bagaimana cara individu
mengalami pengalaman transcendental. Rasa kagum dapat dipicu
oleh pemaparan akan alam, atau langit malam, dan memiliki
kemampuan untuk memperoleh pengalaman spiritual yang
melintasi batas agama dan mempengaruhi individu tanpa koneksi
f. Sense of gratitude
Aspek ini dianggap sebagai pusat spiritualitas bagi kebanyakan
orang, serta kemungkinan berkoneksi dengan cara –cara positif
secara psikologis dalam memandang kehidupan. Hal ini
dikarenakan kemungkinan koneksi antara rasa syukur dan keadaan
hidup, stressor eksternal dapat mengubah perasaan individu terkait
rasa syukur. Penting untuk diingat bahwa beberapa orang
menemukan berkat yang mendalam bahkan dalam situasi
mengerikan sekalipun.
g. Sense of compassion
Compassion merupakan nilai dalam Buddha, Kristiani, Yahudi,
dan juga dapat berguna diluar agama tersebut.
h. Sense of mercy
Membahas pengertian perasaan akan belas kasihan, bukan sekedar
kesadaran kognitif bahwa belas kasihan merupakan kualitas yang
baik. Mercy berkaitan erat dengan pengampunan, namun lebih
dalam dari sekedar tindakan mengampuni.
i. Longing for the transcendent
Mengevaluasi pengalaman spiritual, untuk menilai keinginan atau
C. Pensiun
1. Defenisi Pensiun
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pensiun merupakan individu
yang tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai. Hurlock (1996)
menyatakan bahwa masa pensiun merupakan pengunduran diri individu dari
aktivitas sehari-hari dan kebanyakan individu memandang pensiun sebagai masa
kritis, dikarenakan persepsi orang lain terhadap dirinya yang sudah tidak berguna
dan tidak kompeten lagi. Masa pensiun, menurut Schwartz (dalam Hurlock, 1996)
merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup yang baru sehingga
pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan
perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup individu.
Santrock (1998) mengungkapkan bahwa pensiun merupakan masa
penyesuaian yang mengakibatkan pergantian peran, perubahan dalam interaksi
sosial dan terbatasnya sumber keuangan. Individu yang merasa pekerjaan sebagai
hidup dan identitas mereka akan merasa kehilangan saat pensiun tiba.
2. Batas Usia Pensiun
Batas usia pensiun Pegawai Negeri Sipil di Indonesia diatur dalam Pasal 3
Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 tahun 2014 Bab II tentang Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil Yang Mencapai Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat
(1) Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan fungsional yang
telah mencapai Batas Usia Pensiun diberhentikan dengan hormat
sebagai Pegawai Negeri Sipil.
(2) Batas Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu :
a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat fungsional Ahli
Muda dan Ahli Pertama serta Pejabat fungsional Keterampilan;
b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang
memangku:
(1) Jabatan Fungsional Ahli Utama dan Ahli Madya;
(2) Jabatan Fungsional Apoteker;
(3) Jabatan Fungsional Dokter yang ditugaskan secara penuh
pada unit pelayanan kesehatan negeri;
(4) Jabatan Fungsional Dokter Gigi yang ditugaskan secara
penuh pada unit pelayanan kesehatan negeri;
(5) Jabatan Fungsional Dokter Pendidik Klinis Muda dan
Pertama;
(6) Jabatan Fungsional Medik Veteriner;
(7) Jabatan Fungsional Penilik;
(8) Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah;
(9) Jabatan Fungsional Widyaiswara Madya dan Muda; atau
(10)Jabatan Fungsional lain yang ditentukan oleh Presiden.
c. 65 (enam puluh lima) tahun bagi Pegawai Negeri Sipil yang
(1) Jabatan Fungsional Peneliti Utama dan Peneliti Madya
yang ditugaskan secara penuh di bidang penelitian;
(2) Jabatan Fungsional Dokter Pendidik Klinis Utama dan
Madya;
(3) Jabatan Fungsional Widyaiswara Utama;
(4) Jabatan Fungsional Pengawas Radiasi Utama;
(5) Jabatan Fungsional Perekayasa Utama;
(6) Jabatan Fungsional Pustakawan Utama;
(7) Jabatan Fungsional Pranata Nuklir Utama; atau
(8) Jabatan Fungsional lain yang ditentukan oleh Presiden.
Menurut Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan dalam UU
No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak mengatur kapan saatnya pensiun
dan berapa Batas Usia Pensiun (BUP) untuk pekerja sektor swasta. Dalam pasal
167 ayat 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa salah satu alasan pemutusan
hubungan kerja (PHK) adalah karena pekerja telah memasuki usia pensiun. Akan
tetapi tidak diatur secara jelas dan tegas pada usia berapa batas usia pensiun
berlaku. Ketentuan mengenai batas usia pensiun ditetapkan dalam Perjanjian
Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP) / Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
`Maka dapat disimpulkan bahwa batas usia pensiun bagi pegawai negeri
Ditinjau berdasarkan batas usia pensiun diatas, maka tergolong ke dalam
kategori middle adulthood yakni rentang usia 40 hingga 65 tahun (Papalia, Olds,
& Feldman, 2009). Adapun perubahan yang terjadi pada masa ini adalah :
- Perubahan fisik : menurunnya kinerja sensoris dan psikomotor,
masalah penglihatan seperti myopia dan byopia, menurunnya
kemampuan pendengaran, mengalami gangguan pada
metabolisme, terjadinya menopause pada wanita, dan
andropause pada pria, serta kemungkinan terjadinya beberapa
masalah kesehatan lainnya.
- Perubahan kognitif : berada pada masa puncak kognitif,
meningkatnya kemampuan memecahkan masalah, serta
menggabungkan logika dengan intuisi dan emosi.
3. Faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah pada masa pensiun Menurut Jacinta (2001) terdapat beberapa penentu terjadinya masalah di
masa pensiun yaitu :
a. Kepuasan kerja dan pekerjaan
Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping
mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan nila
dan kebanggaan pada diri sendiri (karena berprestasi maupun
kebebasan menuangkan kreativitas). Pada saat pensiun, mereka
akan merasa kehilangan harga diri dan ditambah kesepian
b. Usia
Banyak orang yang takut menghadapi masa tua karena
asumsinya jika sudah tua maka fisik akan semakin lemah,
makin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan makin tidak
menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat hidup
makin terbatas. Pensiun sering diidentikkan dengan tanda
seseorang memasuki masa tua. Banyak orang mempersepsi
secara negative dengan menganggap bahwa pensiun itu
merupakan pertanda dirinya sudah tidak berguna dan
dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas makin
menurun sehingga tidak menguntungkan lagi bagi organisasi
tempat mereka bekerja. Seringkali pemahaman itu tanpa sadar
mempengaruhi persepsi seseorang sehingga ia menjadi over
sensitive dan subyektif terhadap stimulus yang ditangkap.
Kondisi inilah yang akan membuat orang jadi sakit-sakitan saat
pensiun tiba.
c. Kesehatan
Beberapa peneliti melakukan penelitian dan menemukan bahwa
kesehatan mental dan fisik merupakan prekondisi yang
mendukung keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap
perubahan yang disebabkan oleh pensiun. Hal ini masih
ditambah dengan persepsi orang tersebut terhadap penyakit
atau penyakit yang dideritanya itu sebagai hambatan besar dan
bersikap pesimistik terhadap hidup, maka ia akan mengalami
masa pensiun dengan penuh kesukaran. Menurut hasil
penelitian, pensiun tidak menyebabkan orang menjadi cepat tua
dan sakit-sakitan, karena justru berpotensi meningkatkan
kesehatan karena mereka semakin bias mengatur waktu untuk
berolah tubuh.
d. Persepsi seseorang tentang bagaimana ia akan menyesuaikan
diri dengan masa pensiunnya
Hal ini erat kaitannya dengan rencana persiapan yang dibuat
jauh sebelum masa pensiun tiba. Menurut para ilmuwan,
perencanaan yang dibuat sebelum pensiun akan memberikan
kepuasan dan rasa percaya diri pada individu bersangkutan.
Bagaimana pun juga, perencanaan untuk masa pensiun
bukanlah sesuatu yang berlebihan karena banyak aspek
kehidupan yang harus disiapkan dan dipertahankan seperti
keuangan (apa yang akan dilakukan untuk tetap bisa
berpenghasilan, apakah terdapat keinginan untuk mencari kerja
part time), kesehatan (bagaimana cara agar dapat menjaga
kesehatan ), spiritualitas (bagaimana supaya saya memiliki
kehidupan rohani yang sehat dan tetap memiliki hubungan
yang erat dengan Tuhan), dan kehidupan sosial (apa kegiatan
dalam kegiatan seperti apa, dsb). Namun, hal ini juga tidak
terlepas dari persepsinya tentang hidup dan diri sendiri.
Individu yang kurang percaya pada potensi diri dan kurang
memiliki kompetensi sosial yang baik cenderung akan
pesimistik dalam menghadapi masa pensiunnya karena merasa
cemas dan ragu, akankah ia mampu menghadapi dan mengatasi
perubahan hidup dan membangun kehidupan yang baru.
e. Status sosial sebelum pensiun
Status sosial berpengaruh terhadap kemampuan seseorang
menghadapi masa pensiunnya. Jika semasa kerja ia memiliki
status sosial tertentu sebagai hasil dari berprestasi dan kerja
keras (sehingga mendapat penghargaan dan pengakuan dari
masyarakat atau organisasi), maka ia cenderung lebih memiliki
kemampuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang
positif atau social network yang baik). Namun, jika status
sosial tersebut didapat bukan murni dari hasil jerih payah
prestasinya (misalnya lebih karena politis dan uang/harta) maka
orang tersebut justru cenderung mengalami kesulitan saat
menghadapi pensiun karena begitu pensiun, maka kebanggaan
dirinya lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas
D. Hubungan Spiritualitas Dengan Kepuasan Hidup Pada Pensiunan
Bekerja merupakan aktivitas penting dalam kehidupan manusia guna
memenuhi salah satu dari kelima hierarki kebutuhan Maslow yakni physiological
need, safety need, love and belongingness need, self esteem need, dan self
actualization (Eliana, 2003). Akan tetapi, seiring dengan bertambahnya usia maka
seseorang akan mengalami penurunan fungsi fisik dan kognitif yang akan
mempengaruhi produktivitasnya dalam bekerja. Saat memasuki batas usia
tertentu, instansi tempat individu bekerja mengharuskan individu untuk berhenti
dari pekerjaannya, atau disebut dengan pensiun (Tarigan dalam Rahmi, 2013).
Masa pensiun, menurut Schwartz merupakan akhir pola hidup atau masa
transisi ke pola hidup yang baru, dimana pensiun selalu menyangkut perubahan
peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap
pola hidup individu (Hurlock, 1991).
Individu diharapkan dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang
terjadi baik secara fisik maupun mental, demi dapat mencapai kepuasan hidup
(Minaswari, 2007). Salah satu variabel prediktor kepuasan hidup adalah
spiritualitas (Diener & Biswas-Diener, 2008). Dengan kegiatan spiritual, mereka
dapat mencari makna kehidupan setelah tidak bekerja lagi. Spiritualitas
diperkirakan dapat membantu proses penerimaan dan penyesuaian atas kondisi
yang dialami pensiunan. Sehingga, mereka dapat merasa lebih puas akan
E. HIPOTESIS
Hipotesa dalam penelitian ini adalah spiritualitas berpengaruh pada
kepuasan hidup pensiunan. Hipotesis ini mengandung pengertian bahwa semakin
tinggi tingkat spiritualitas pensiunan maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan
hidupnya, dan semakin rendah tingkat spiritualitas pensiunan maka semakin