BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3) telah menjadi isu
global yang berpengaruh terhadap perdagangan dan arus barang antar Negara. Isu
kesehatan dan keselamatan kerja (K3) menjadi salah satu hambatan non tarif
dalam sistem perdagangan dunia di samping isu lingkungan, produk bersih, HAM,
pekerja anak, dan pengupahan (Ramli, 2010).
Di era globalisasi dan pasar bebasAsean Free Trade Area (AFTA), World Trade Organization (WTO)dan Asia Pacific Economic Community (APEC)yang akan berlaku pada tahun 2020 mendatang, kesehatan dan keselamatan kerja
merupakan salah satu prasyarat yang ditetapkan dalam hubungan ekonomi
perdagangan barang dan jasa antar Negara yang harus dipenuhi oleh seluruh
Negara anggota, termasuk Negara Indonesia (Arso, 2013).
Pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) adalah salah satu
bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari
pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja (Arso, 2013).
Dalam Undang-Undang RI No. 13 tahun 2003 dinyatakan dalam
mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup
kerja.Berbagai upaya dilakukan perusahaan sebagai tempat kerja untuk
melindungi pekerjanya dari bahaya kecelakaan kerja. Perilaku tidak aman
merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, hal ini menjadi
penting untuk menghindari terjadinya kematian maupun kerugian yang
ditimbulkan (Tambunan, 2015).
Terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja tentu saja menjadikan
masalah yang besar bagi kelangsungan sebuah perusahaan. Kerugian yang diderita
tidak hanya berupa kerugian materi, namun lebih dari itu adalah timbulnya korban
jiwa. Kehilangan sumber daya manusia merupakan kerugian yang sangat besar
karena manusia adalah satu-satunya sumber daya yang tidak dapat digantikan oleh
teknologi apapun. Kerugian yang berlangsung dari timbulnya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja adalah biaya pengobatan dan kompensansi. Biaya tidak
langsung adalah kerusakan alat-alat produksi, penataan manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja yang baik, penghentian alat produksi, dan hilangnya waktu
kerja (Helliyanti, 2009).
Menurut data ILO (2013) tercatat lebih dari 2,34 juta orang di dunia
meninggal dunia akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Sekitar
321.000 akibat kecelakaan kerja dan sekitar 2,02 juta akibat penyakit akibat kerja
(ILO,2013).
PT Jamsostek menyatakan pada tahun 2012 setiap hari ada 9 pekerja
peserta Jamsostek yang meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, sementara total
kecelakaan kerja tersebut akibat masih terjadinya pengabaian atas keselamatan
dan kesehatan kerja (K3) di lingkungan perusahaan (Anonim, 2013).
Menurut Kepala Divisi Teknis BPJS Ketenagakerjaan, Hendro Sucahyono
mengatakan bahwa sepanjang tahun 2013 rata-rata 9 peserta jaminan sosial
meninggal dunia/hari, 5-6 di antaranya karena kecelakaan lalu lintas, dan jumlah
kecelakaan kerja lebih besar terjadi di perusahaan namun biaya dan risiko kerja
lebih besar pada kecelakaan lalu lintas. Direktur Keuangan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Herdy Trisanto mengatakan angka kecelakaan
kerja secara nasional mencapai 8.900 kasus dari Januari hingga April 2014
(Anonim, 2014).
Teori Bird menyatakan bahwa near miss yang terus berulang dan kebanyakan disebabkan karena unsafe act atau unsafe behavior dapat meningkatkan risiko kecelakaan kerja yang lebih serius. Hal ini didukung oleh
hasil riset dariNational Safety Council(NSC) (2011) tentang penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Hasil risetNational Safety Council(NSC) menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena unsafe condition dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh DuPont Company (2005) menunjukkan bahwa kecelakaan kerja
96% disebabkan olehunsafe behaviordan 4% disebabkan olehunsafe condition. Unsafe behavior adalah tipe perilaku yang mengarah pada kecelakaan seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa izin,
berbahaya, menggunakan peralatan tidak standar, kurangnya pengetahuan, cacat
tubuh atau keadaan emosi yang terganggu (Cooper, 2009).
Silalahi (2011) menyatakan bahwa ada hubungan pelaksanaan behavior based safety dengan terjadinya kecelakaan kerja. Sebanyak 86 orang (88,7%) pekerja kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia yang memperoleh program
behavior based safety yang baik sebanyak 81 orang (83,5%) tidak mendapatkan kecelakaan kerja dan 5 orang (5,2%) pernah mendapat kecelakaan kerja.
Sedangkan sebanyak 11 orang (11,3%) pekerja kontraktor pernah mendapat
kecelakaan kerja akibat kurang baiknya pelaksanaan behavior based safety. Pekerja kontraktor yang mendapat kecelakaan kerja disebabkan karena perilaku
tidak aman dan kelalaian pekerja saat bekerja.
Penelitian oleh Handayani (2011) menunjukkan adanya aktivasi program
BBS di PT Denso Indonesia berhasil menurunkan frekuensi unsafe behaviordan meningkatkan frekuensi safe behavior pada pekerja di bagian radiator. Angka kecelakaan kerja PT Denso Indonesia juga mengalami penurunan sebesar
66,67-88,89%, sehingga aktivasi BBS di perusahaan dapat dijadikan salah satu solusi
untuk mencegah dan mengurangi kejadian kecelakaan kerja.
Tajvar dkk (2013) menyatakan bahwa sebelum ada pelatihan program
behavior based safety pada pekerja di Industri Pelabuhan Iran, perilaku tidak aman yang dilakukan oleh pekerja sebesar 78,29% dan setelah adanya intervensi
yang dilakukan selama 3 bulan, perilaku tidak aman pekerja menjadi berkurang
dari 26,5% pada bulan pertama, 39,12% pada bulan kedua, dan 67,69% pada
pengurangan perilaku tidak aman pada pekerja, dan efektivitas yang berkurang
dari waktu ke waktu.
Berdasarkan acuan bahwa unsafe behavior merupakan penyumbang terbesar dalam terjadinya kecelakaan kerja maka untuk mengurangi kecelakaan
kerja dan meningkatkan safety performance hanya bisa dicapai dengan usaha memfokuskan pada pengurangan unsafe behavior. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan perilaku yaitu Behavior Based Safety (BBS). Menurut Cooper (2009), Behavior Based Safety (BBS) adalah sebuah proses yang menciptakan kemitraan keamanan antara manajemen dan tenaga kerja dengan
fokus yang berkelanjutan terhadap perhatian dan tindakan setiap orang, dan orang
lain, serta perilaku selamat.
PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Kuala Tanjung merupakan
pabrik peleburan aluminium yang menghasilkan aluminium batangan (ingot) yang merupakan produk akhir dari PT Inalum yang dipasarkan di dalam dan ke luar
negeri. Pabrik ini memiliki 3 pabrik utama yaitu pabrik karbon, pabrik reduksi,
dan pabrik penuangan.
Pabrik karbon memproduksi blok anoda. Pabrik karbon terdiri dari pabrik
karbon mentah, pabrik pemanggangan dan pabrik penangkaian anoda. Di pabrik
karbon mentah, coke dan hard pitchdicampur dan dibentuk menjadi blok anoda dan dipanggang hingga temperatur 1.250oC di pabrik pemanggangan anoda.
Kemudian di pabrik penangkaian anoda, sebuah tangkai dipasang ke blok anoda
reduksi kemudian diolah dan digunakan kembali untuk memproduksi balok
karbon mentah.
Pabrik reduksi yaitu bagian pabrik yang bertugas untuk melaksanakan
reduksi untuk menghasilkan aluminium cair untuk dicetak pada bagian
pencetakan. Prosesnya adalah elektrolisa larutan alumina (Al203) di dalam lelehan
kriolit (Na3AlF6) pada temperatur ± 970oC sehingga menghasilkan aluminium
cair. Proses produksi dilakukan di dalam tungku reduksi pot (pot reduksi), yaitu
merupakan kotak baja persegi yang dinding sampingnya berlapis bata isolasi dan
karbon.
Pabrik penuangan yaitu bagian pabrik dimana aluminium cair dari tungku
reduksi diangkut ke bagian penuangan dan setelah dimurnikan lebih lanjut dalam
tungku-tungku penampung, dibentuk menjadi aluminium batangan (ingot) yang beratnya masing-masing 50 pon (±22,7 kg). Penggunaan bahan kimia seperti
alumina, karbon, listrik, mesin dan peralatan berat sebagai material utama untuk
berproses produksi berpotensi menimbulkan bahaya dan kecelakaan kerja.
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, di PT
Inalum Kuala Tanjung dari laporan petugassafety patrol,banyak ditemukan kasus unsafe action dan unsafe condition. Kasus tersebut dilaporkan banyak terjadi akibat unsafe action, yaitu akibat kelalaian dalam bekerja akibat kurangnya konsentrasi, kelalaian dalam melakukan pengamanan, melakukan tindakan yang
tidak tepat dengan posisi tidak aman dan ada pekerja yang tidak bekerja sesuai
Menurut laporan tim investigasi PT Inalum Kuala Tanjung tercatat angka
kecelakaan kerja pada tahun 2013 terjadi 5 kasus kecelakaan kerja, dan pada tahun
2014 juga terjadi 6 kasus kecelakaan kerja. Perilaku kerja yang tidak aman
terus-menerus dilakukan oleh pekerja akan berisiko menimbulkan kecelakaan kerja
yang serius. Perusahaan menyadari bahwa pekerja adalah aset utama. Oleh karena
itu, perusahaan harus memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan kerja (K3)
untuk setiap pekerja guna mengurangi angka kecelakaan kerja. Salah satu upaya
pencegahan kecelakaan kerja yang penyebab terbesarnya adalah unsafe action atau unsafe behavior adalah dengan menerapkan program behavior based safety sebagai proses peningkatan perilaku kerja yang aman. Program behavior based safety di PT Inalum Kuala Tanjung disebut dengan nama program Inalum Kartu Aman (IKA) yang memberikan pengajaran kepada pekerja untuk mengobservasi,
mengomunikasikan, dan mengambil tindakan perbaikan yang akan membantu
mengubah perilaku pekerja dalam hubungannya dengan kesehatan dan
keselamatan (K3) sehinggga tercipta kerja yang lebih aman. Dimana pelaksanaan
Inalum Kartu Aman (IKA) ini dilaksanakan oleh seluruh pekerja PT Inalum Kuala
Tanjung.
Observasi keselamatan kerja difokuskan pada aktivitas dan tindakan aman
pekerja. Sasaran dari program Inalum Kartu Aman (IKA) ini adalah untuk
mengetahui secara dini perilaku tidak aman sebelum cidera terjadi dan mengubah
perilaku kerja yang lebih aman. Jika suatu tindakan tidak aman diobservasi dan
dikomunikasikan dengan orang yang bersangkutan dapat mengurangi risiko
Kartu Aman (IKA) ini, pekerja akan merasa aman, terlindungi, dan terjamin
keselamatannya, sehingga mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan mencapai
efisiensi baik dari segi biaya, waktu dan tenaga serta dapat meningkatkan
produktivitas kerja.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai penerapan program Behavior Based Safety (BBS) dan kecelakaan kerja di PT Inalum Kuala Tanjung Tahun 2014.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang maka
rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana gambaran penerapan
program Behavior Based Safety (BBS) dan kecelakaan kerja di PT Inalum Kuala Tanjung Tahun 2014.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penerapan
programBehaviour Based Safety(BBS) dan kecelakaan kerja di PT Inalum Kuala Tanjung.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan kepada pihak perusahaan PT
Inalum Kuala Tanjung mengenai penerapan program Behavior Based Safety(BBS).
2. Menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai penerapan
programBehavior Based Safety(BBS).