• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo 2.1.1 Pola Perkampungan - Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo 2.1.1 Pola Perkampungan - Transformasi Bentuk Arsitektural pada Rumah Tinggal Suku Karo"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Arsitektur Karo

2.1.1 Pola Perkampungan

Pola perkampungan karo secara umum mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai sehingga peletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu utama atau depan menghadap kehulu sungau dan bagian belakang atau pintu belakang rumah manghadap ke hilir sungai.

2.1.2 Arah Rumah Tradisional

Pada masyarakat karo mereka mengenal mata angin yang disebut “Desa Siwaluh”, pada awalnya rumah dibuat dengan arah kenjahe-jenjulu, sesuai dengan arah pengaliran sungai disuatu kampung, pengertian kenjahe kenjulu berbeda dengan utara selatan, arah hilir disebut kenjahe sering disebut juga kahe-kahe atau jahe-jahe dan arah kenjulu disebut kolu-kolu atau julu (Masri Singalimbun 1960 : 149 No. 839 & 151 No. 847).

(2)

2.1.3 Tipologi Bangunan Rumah Adat Karo

M. Nawawiy (2004) dalam buku Raibnya Para Dewa, mengatakan, menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja . Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung-anjung).

Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu) dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak diatas beberapa tiang.

Rumah tradisional Karo diperuntukan bagi delapan keluarga (Jabu) yang memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga diataur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo.

(3)

dikenakan sanksi membersihkan halaman dan kolong rumah yang merupakan simbol dunia bawah atau neraka.

Rumah Adat Karo disebut juga Rumah Siwaluh Jabu karena pada umumnya dihuni oleh Waluh Jabu (delapan keluarga), selain rumah si waluh jabu ada juga rumah adat yang lebih besar yaitu Sepuludua Jabu (dua belas keluarga) yang dulu terdapat di kampung Lingga, Sukanalu dan rumah adat yang terbesar adalah Rumah adat Sepuluenem Jabu yang pernah ada di Kampung Juhar dan Kabanjahe, tetapi sekarang rumah adat Sepuludua Jabu dan Sepuluenem Jabu sudah tidak ada lagi. Setiap Jabu (keluarga) menempati posisi di Rumah Adat sesuai dengan struktur sosialnya dalam keluarga. Letak Rumah Adat Karo selalu disesuaikan dari arah Timur ke Barat yang disebur Desa Nggeluh, di sebelah Timur disebut Bena Kayu (pangkal kayu) dan sebelah barat disebut Ujung Kayu. Sistem Jabu dalam Rumah Adat mencercerminkan kesatuan organisasi, dimana terdapat pembagian tugas yang tegas dan teratur untuk mencapai keharmonisan bersama yang dipimpin Jabu Bena Kayu/Jabu Raja.

(4)

Gambar 2.2 Aksonometri Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)

(5)

Gambar 2.3 Nama-nama dari Ornamen pada Atap Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)

Menurut Ir. Myrtha Soeroto (2003) dalam buku Dari Arsitektur Tradisional Menuju Arsitektur Indonesia, Nama, Posisi dan Peran Jabu dalam Rumah Adat Karo (Rumah Siwaluh Jabu):

(6)

2. JABU UJUNG KAYU Merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat.

3. JABU LEPAR BENA KAYU Merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu.

(7)

Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum.

5. JABU SEDAPUREN BENA KAYU Merupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.

6. JABU SEDAPUREN UJUNG KAYU Merupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.

(8)

8. JABU SEDAPUREN LEPAR UJUNG KAYU Merupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu. 2.1.4 Jenis Rumah Adat Karo

Rumah adat karo dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dan ditinjau dari dua hal, yaitu : a. Bentuk Atapnya

b. Binangunnya (rangka)

Si waluh jabu Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :

A. Rumah Sianjung-anjung

(9)

Gambar 2.4 Rumah Sianjung-anjung (Sumber : karo.or.id)

(10)

B. Rumah Mecu

Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka dua mempunyai sepasang tanduk.

Gambar 2.6 Jenis Atap Rumah Mecu (Sumber : sorasirulo.net)

(11)

Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:

1) Rumah Sangka Manuk

Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.

(12)

2) Rumah Sendi

Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh.

Gambar 2.9 Rumah Sendi (Sumber : karo.or.id)

(13)

2.1.5 Struktur Rumah Siwaluh Jabu

Rumah adat siwaluh jabu ini berbentuk rumah panggung dengan ketinggian dua meter dari permukaan tanah. Ukuran rata-rata bangunan ini adalah 17×12 m2 dengan ketinggian kurang lebih 12 m. Bangunan ini simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya terlihat sama. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan 16 tiang yang bertumpu pada batu-batu alam berukuran besar (pondasi). Terdapat pembagian penyaluran beban dari bangunan terhadap pondasinya, dimana delapan dari tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi hanya menyangga lantai saja. Pada bangunan ini masih menggunakan struktur post and lintel, dimana pada bagian atas bangunan (semacam plafon) merupakan suatu penyusunan antar kayu yang dimana balok hanya menumpu pada kolom. Namun sudah ditemukan kemajuan dimana sudah digunakan sistem sendi pada bagian lantai untuk mengikat balok lantainya.

(14)

2.1.6 Konstruksi Rumah Siwaluh Jabu

Pembangunan rumah adat ini menggunakan tiga jenis kayu, yaitu kayu ndarasi, ambertuah dan sibernaek. Pada pemasangan tiap-tiap bagiannya tidak digunakan paku sama sekali. Hanya menggunakan pengikatan dengan tali ijuk untuk menyatukan tiap-tiap bangunannya. Terkadang juga digunakan suatu bahan untuk merekatkan bagian yang dibuat dengan bahan-bahan dari hutan.

Beberapa bagian pembentuk konstruksi rumah ini antara lain : 1. Pondasi atau Palas

Palas terbuat dari batu-batuan yang diambil dari gunung ataupun sungai. Batu ini dugunakan sebagai pondasi rumah adat ini. Bebatuan ini akan dilubangi bagian atasnya supaya beberapa bahan yang menurut masyarakat setempat dapat mendukung kekuatan dan kekokohan bangunan ini. Bahan ini antara lain yaitu belo cawir (sirih), besi mersik, dan ijuk. Hal ini tentu berkaitan dengan lokasinya yang diapit kedua gunung sehingga sering sekali terjadi gempa. Konstruksinya tentu spesifik dengan konstruksi tahan gempa.

(15)

Gambar 2.12 Sketsa Pondasi Rumah Adat Karo (Sumber : karo.or.id)

2. Tangga

Pada bangunan ini dibutuhkan tangga untuk memasukinya karena letaknya yang beradap pada ketingian dua meter dari muka tanah. Tangga terbuat dari bambu berdiameter kurang lebih 15 cm. Terdapat dua buah tangga. Di bagian muka berjumlah tiga sedangkan di bagian belakang berjumlah lima.

(16)

3. Serambi (Ture – Naki-naki)

Merupakan bagian muka yang tersusun dari rangkaian bayu yang rapat (diameter kurang lebih 10-15cm). Bagian ini merupakan tempat yang pada siang hari digunakan untuk menganyam bagi kaum wanita, dan tempat pertemuan pada malam hari. Penopang serambi ini adalah bayu yang memiliki diameter lebih besar.

Gambar 2.14 Serambi (Ture-Naki-naki) (Sumber : sorasirulo.net)

4. Dinding

(17)

Gambar 2.15 Dinding Rumah Adat Karo (Sumber : sorasirulo.net)

5. Suhi Cuping (Sudut Dinding)

Terbuat dari kayu yang sudah tua, yang berupa lembar papan yang berukuran 4x30cm. Posisinya terletak pada sudut-sudut dinding yang berfungsi untuk menahan dan memikul dinding. Pemasangannya dengan menggunakan sambungan pen. Cuping ini dibentuk dengan pola ukiran.

(18)

6. Pintu

Terbuat dari kayu yang sudah tua berupa dua lembaran kayu tebal yang masing-masing berukuran 5 x 40 cm. Tinggi pintu dibuat setinggi orang dewasa dengan posisi kedua pintu menghadap ke arah timur dan barat. Dipasang pada dinding bangunan yang miring, di atas balok bulat yang dipasang mengelilingi bangunan. Balok ini sendiri berfungsi untuk menahan dinding bangunan.

7. Labah – Jendela

Jendela terbuat dari papan yang berukuran 8x30 cm. Dibuat miring 40 cm keluar mengikuti kemiringan dinding. Terdapat 8 buah jendela. 2 di bagian depan, 2 di belakang, dan 4 di kanan kiri bangunan.

8. Atap

Penutup atap rumah adat karo ini terbuat dari ijuk yang bersusun-susun sehingga mencapai tebal 20 cm. Rangkanya sendiri terbuat dari bambu yang di belah sebesar 1 x 3 cm dan di ikat dengan rotan dengan jarak antar bambu 4 cm. Fungsi utama dari bentuk ujung atap yang menonjol ini adalah untuk memungkinkan asap keluar dari tungku dalam rumah.

(19)

9. Ornamen

Ornamen-ornamen mengandung arti mistik, ini berkaitan dengan kepercayaan pada masa itu Secara umum menggambarkan jati diri, kebersatuan keluarga dan permohonankeselamatan Mengunakan 5 warna : putih, merah, hitam, biru, kuning yang melambangkan jumlah marga di tanah Karo Bahan pewarnanya dibuat dari alam (dah atah taneh)selalu menggambarkan cicak di dinding rumah mereka, baik nampak seperti cicak sebenarnya ataupun bentuk yang menyerupainya Artinya, orang Batak dapat beradaptasi dengan lingkungannya seperti hidup cicak.

(20)

Gambar 2.19 Ornamen pada Rumah Adat Karo (Sumber : sorasirulo.net)

2.2 Transformasi Arsitektur 2.2.1 Pengertian Transformasi

(21)

faktor ruang dan waktu menjadi hal yang sangat mempengaruhi transformasi tersebut (Webster Dictionary, 1970).

Adapun pengertian Transformasi menurut beberapa ahli, yakni:

• Menurut D’ Arcy Thompson, 1961. Transformasi adalah sebuah proses

fenomena transformasi bentuk dalam keadaan yang berubah-ubah, dengan demikian transformasi dapat terjadi secara tak terbatas.

• Menurut Jorge Silvetti, 1977. Transformasi adalah tindakan transformasi

yang dilakukan terhadap elemen-elemen ataupun aturan-aturan (codes) yang ada dengan cara penyimpangan, pengelompokan kembali, yang mana mengacu pada keaslian dan diharapkan menghasilkan arti yang baru. Cara-cara ini mampu untuk mempertahankan keasliannya dalam mengahasilkan makna dan wujud yang baru.

• Menurut Anthony Antoniades, 1990. Transformasi adalah sebuah proses

transformasi secara berangsur-angsur sehingga sampai pada tahap ultimate, transformasi dilakukan dengan cara memberi respon terhadap pengaruh unsur eksternal dan internal yang akan mengarahkan transformasi dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui proses menggandakan secara berulang-ulang atau melipat gandakan.

(22)

dan ruang arsitektur akan memerlukan bentuk dasar. Penetapan bentuk dasar dilakukan terlebih dahulu karena pengubahan menyangkut dua kesatuan yang berbeda yaitu sebagai transformasi bentuk arsitektur dan pengubahan ruang arsitektur. Transformasi bentuk atau transformasi bentuk bisa didapat melalui berbagai variasi seperti dengan transformasi dimensi bentuk, pengurangan beberapa bagian dari bentuk awal, dan penambahan beberapa bentuk.

Gambar 2.20 Proses transformasi Sumber: imageshack.com

(23)

disebabkan oleh adanya kekuatan non-fisik yaitu transformasi budaya, sosial, ekonomi & politik (Rossi, 1982 dalam sari, 2007).

2.2.2 Kategori dan Strategi Transformasi Arsitektur

Menurut Laseau, 1980 dalam Sembiring, 2006 kategori transformasi dapat dibedakan menjadi empat kategori Transformasi yang memiliki sifat yang berbeda, yakni:

• Transformasi bersifat (geometri) bentuk geometri yang berubah dengan

komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama.

• Transformasi bersifat hiasan (ornamental) dilakukan dengan menggeser,

memutar, mencerminkan, menjungkirbalikan, melipat, dan lain-lain.

• Transformasi bersifat (kebalikan) pembalikan citra pada figur objek

dirubah menjadi citra sebaliknya.

• Transformasi bersifat (merancukan) kebebasan perancangan dalam

beraktifitas.

Strategi Transformasi dalam mendisain sebuah karya sangat berkaitan erat dengan munculnya ide-ide baru, setiap ide baru yang muncul pastilah mempertimbangkan akan strategi yang digunakan. Dalam teori Anthony Antoniades tentang transformasi, beliau menggambarkan ada tiga strategi Transformasi Arsitektur, yakni:

• Strategi Tradisional adalah evolusi progresif dari sebuah bentuk melalui

(24)

-Artistik : kemampuan, kemauan dan sikap arsitek untuk memanipulasi bentuk, berdampingan dengan sikap terhadap dana dan kriteria pragmatis lainnya.

• Strategi Peminjaman (borrowing) adalah meminjam dasar bentuk dari

lukisan, patung,obyek benda - benda lainnya, mempelajari properti dua dan tiga dimensinya sambil terus menerus mencari kedalaman interpretasinya dengan memperhatikan kelayakan aplikasi dan validitasnya. Tranformasi pinjaman ini adalah ‘pictorial transferring’ (pemindahan rupa) dan dapat pula diklasifikasi sebagai ‘pictorial metaphora’ (metafora rupa).

• Dekonstruksi atau dekomposisi adalah sebuah proses dimana sebuah

susunan yang ada dipisahkan untuk dicari cara baru dalam kombinasinya dan menimbulkan sebuah kesatuan baru dan tatanan baru dengan strategi struktural dalam komposisi yang berbeda.

(25)

terlepas dan selalu memperhatikan bagian ini dalam mereka menghasilkan suatu karya desain, antara lain:

• Skala (scale). Bnyak hal dalam transformasi yang berhubungan dengan

skala. Pembesaran atau pengurangan (pengecilan) dilakukan dalam komposisi yang benar, agar ukuran yang baru dapat diterima dengan statistik visual.

• Keterkaitan antar bagian (whole vs. parts). Perhatian yang kedua yakni

berupa penjelasan dan penyatuan antara bentuk keseluruhan dan sebagainya. Setiap bagian, dalam hal ini ruang dan fungsinya mempunyai peranan dan pengaruh yang penting dalam transformasi bentuk secara keseluruhan.

• Pengaruh eksternal (forced eksternality). Transformasi juga terjadi dengan

mempertimbangkan pengaruh atau tekanan dari luar, lingkungan senantiasa tidak bisa dipisahkan dan mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi transformasi.

• Semantik (semantic). Perhatian yang terakhir yang sangat esensial yang

berpengaruh pada proses transformasi adalah masalah semantik atau bahasa visual. Transformasi didasarkan pada konotasi visual, berupa bentuk, wujud, tipologi, gambaran, tapak, dan bayangan.

2.2.3 Proses dan Faktor yang Menyebabkan Transformasi

(26)

masyarakat yang menempatinya yang muncul melalui proses panjang yang selalu terkait dengan aktifitas-aktifitas yang terjadi pada saat itu.

Ada 4 proses transformasi yang dikemukan oleh Pakpahan, 2010 dalam penelitiannya “Evaluasi Pasca Huni Perumnas Mandala Medan”, yaitu:

• Transformasi terjadi secara perlahan-lahan atau sedikit demi sedikit.

• Tidak dapat diduga kapan dimulainya dan sampai kapan proses tersebut

akan berakhir, tergantung dari faktor yang mempengaruhinya. • Komprehensif dan kesinambungan.

• Transformasi yang terjadi mempunyai keterkaitan erat dengan emosional

(sistem nilai) yang ada dalam masyarakat.

Ada 7 faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi (Pakpahan, 2010) adalah

• Kebutuhan identitas diri (identification). Pada dasarnya orang ingin

dikenal dan ingin memperkenalkan diri terhadap lingkungan

• Transformasi gaya hidup (life style). Transformasi struktur dalam

masyarakat, pengaruh kontak dgn budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya. • Penggunaan teknologi baru. Timbulnya perasaan ikut mode, dimana

(27)

• Transformasi sosial. Faktor lingkungan fisik, transformasi penduduk,

isolasi dan kontak, struktur masyarakat, sikap dan nilai-nilai, kebutuhan yang dianggap perlu dan dasar budaya masyarakat.

• Transformasi budaya. Budaya sebagai sistem nilai terlihat dalam

gaya hidup masyarakat yang mencerminkan status, peranan kekuasaan, kekayaan, dan keterampilan.

• Transformasi ekonomi. Kekuatan yang paling dominan dalam

menentukan transformasi lingkungan fisik adalah kekuatan ekonomi. • Transformasi politik. Peran aspek politis melalui bentuk intervensi

non fisik melalui kebijakan pengembangan kawasan (Rossi, 1982, Sari, 2007).

2.3. Kajian Literatur Arsitektur dengan JudulKelangsungan Bentuk Tradisional Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir

2.3.1. Dr.-Ing. Himasari Hanan (2013), Kelangsungan Bentuk Tradisional Dari Rumah Batak Di Pulau Samosir, Jurnal Sains.

Metodologi Penelitian

Penelitian lapangan telah dilakukan dalam empat perkampungan tradisional (huta) yang memperlihatkan karakter yang berbeda dari rumah tradisional dan usaha yang dilakukan dalam melestarikan warisan dan menjaga lingkungan rumah tertata dengan baik. Semua perkampungan yang dipilih ini dihuni oleh kelaurga kerabat dan sebagian rumah adalah dalam kondisi yang baik

(28)

wisatawan tetapi sisanya adalah merupakan rumah tinggal keluarga. Huta Siallagan diambil sebagai objek inti dan referensi dari penelitian untuk sejumlah alasan, : a) perkampungan ini masih dihuni oleh anggota kerabat,

b) perkampungan ini secara fisik adalah dalam keadaan baik seperti bentuk aslinya, c) pemukiman ini telah dikembangkan sebagai tujuan wisatawan yang penting, d) perkampungan ini adalah perkampungan tradisional khusus dari Batak Toba.

Huta lainnya diteliti adalah daerah sekitar huta Sillagan dengan jarak yang mendekati 20 km (1,2,3). Semua huta yang dipilih memenuhi kriteria yang sama sebagai objek inti, kecuali salah satus ebagai tujuan wisatawan, sehingga perbandingan antara konteks yang berbeda yang telah diuraikan. Rumah yang dipilih adalah sampel dari penelitian yang representatif dari perubahan fisik yang dilakukan dalam perkampungan dimaksud.

(29)

Tipologi perluasan bangunan

Gambar 2.21 Tipe 1 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

(30)

Gambar 2.22 Tipe 2 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

(31)

rumah tradisional adalah mengacupada kontrast dari unsur dan aktivitas bangunan yang baru.

Gambar 2.23 Tipe 3 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan konstruksi dua lantai. Meskipun bahan yang sama dapat diterapkan untuk ekstensi, tetapi warna

kontrast dan skala yang berbeda dari bangunan baru yang menganggu komposisi yang harmonis dari rumah yang lama. Perluasan ini tidak berarti dipadukan ke dalam rumah asli sebagai bagian yang lebih yang berlawanan dengan rumah yang lama. Substruktur dan bentuk arsitektural dari bangunan utama tidak dihargai dan oleh karena itu, bangunan baru didefinisikan sebagai sistem yang lain di rumah.

(32)

Ukuran yang lebih besar dari bangunan baru tidak menghargai rumah lama dan bahkan menganggu karakter dan gaya pemukimannya.

Gambar 2.24 Tipe 4 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli diperluas di bagian belakang dengan membangun rumah batu secara aksial segaris dengan rumah yang lama. Meskipun ruang bangunan ini memiliki sistem yang berbeda namun dinding yang terbuka ini mengadopsi pola rumah tradisional : pintu yang terbuka di bagian depan dan jendela yang membuka ke arah samping. Sistem pembukaan ini adalah menyatakan kembali seni tradisional dalam menempatkan satu bagian yang terbuka untuk setiap sisi bangunan. Struktur atap dan gaya arsitekturalnya tidak berhubungandengan rumah tradisional, dan sistem atap yang digunakan adalah merupakan bangunan perkotaan modern dengan ukuran kecil. Pembukaan jendela dan pintu juga tipikal dari gaya modern dari rumah perkotaan. Bangunan baru tidak menunjukkan

(33)

karena itu tidak ada kesatuan diantara bangunan baru dan bangunan lama. Ini adalah murni dua rumah yang berbeda dengan dua ekspresi yang berbeda yang termasuk pada kepemilikan dan keluarga yang ssama.

Gambar 2.25 Tipe 5 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

Rumah asli dikembangkan di bagian belakang dengan meniru sistem pembangunannya. Komposisi yang harmonis diciptakan dengan bahan dan ekspresi bangunan yang sama. Garis horizontal di bagian depan bangunan adalah tetap dipertahankan meskipun posisinya tidak tepat pada level yang sama dalam bangunan baru dan lama. Variasi pembukaan dinding berlaku tanpa merusak karakter rumah yang lama. Atap baru adalah versi yang paling sederhana dari rumah yang lama. Orientasi dari bangunan baru itu adalah tegak lurus dengan

(34)

Gambar 2.26 Tipe 6 Huta Siallagan Sumber: Field study, 2010

(35)

Analisis dan Pembahasan

(36)
(37)

Sistem

Dua tipe rumah secara konsisten akan mengadopsi struktur dan ruang bangunan dari rumah yang asli ke rumah yang baru. Kedua jenis ini membentuk massa bangunan dalam konfigurasi yang tegak lurus terhadap rumah yang lama, sementara ini menetapkan pemahaman baru dari tata letak rumah yang membedakan representatif bagian depan dan belakang yang suportif dari rumah. komposisi rumah pada sudut yang tepat meningkatkan keunikan nobilitas dari aslinya dan menyatakan potensinya sesuai dengan perkembangan dan tantangan baru. Ketidaksamaan dari inklinasi atap mendasari hirarkhi komposisi dan pemanfaatan ruang, dan lebih lanjut membantu memepertahankan nilai tradisional

(38)

Proses pertumbuhan dari rumah tradisional Batak Toba adalah dilakukan di

belakang rumah yang menunjukkan kesadaran dan penghormatan manusia untuk mempertahankan ekspresi simbolik dan keunikan tradisional. Namun demikian, kebutuhan baru dan cara hidup baru dari orang-orang tersebut adalah diakomodasikan dengan menciptakan mekanisme adaptasi yang berbeda dengan sensitivitas dan kesadrannya atas nilai budaya dan juga cara perolehan sumber keuangan mereka.

Dalam kenyataannya, alasan naluri dan fungsional dari ruang ini telah memperkenalkan klasifikasi baru dari mekanisme zona di area perumahan. Bagian depan rumah adalah diidedentifikasikan sebagai milik komunal yang dilestarikan untuk kelangsungan tradisi dan bagian belakang rumah dirancang sebagai zona privat yang merupakan otonomi dieksplorasi menurut kebutuhan dan potensi individu. Kelangsungan, dalam pengertian ini didefinisikan dan dikomprehensifkan sebagai ruang yang tersedia untuk penentuan dalam tradisi budaya dan kehidupan pribadi para penghuninya.

(39)

Kesimpulan

Kelangsungan arsitektur tradisional adalah diatur oleh motivasi pragmatik dan pertimbangan fungsional dari orang yang menghuni rumah. Alasan tentang fakta, keputusan, keyakinan dan nilai terhadap perluasan atau renovasi rumah tradisional adalah tidak dipertimbangkan didasarkan atas otoritas tradisi budaya, tetapi dikaitkan dengan ambisi pribadi, sumber keuangan dan motivasi pragmatik. Juga perlu untuk memfasilitasi arsitektur tradisional dari Batak Toba untuk memiliki hubungan dialektikal dengan penghuni yang memiliki kebutuhan dan otoritas untuk mengungkapkan dan mengekspresikan alasan mereka.

Gambar

Gambar 2.1  Rangka Atap Rumah Adat Karo
Gambar 2.2  Aksonometri Rumah Adat Karo
Gambar 2.3  Nama-nama dari Ornamen pada Atap Rumah Adat Karo
Gambar 2.5  Jenis Atap Rumah Sianjung-anjung
+7

Referensi

Dokumen terkait