BAB II
LANDASAN TEORI
2.1Citra
Secara harafiah, citra (image) adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi).
Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus (continue)
dari intensitas cahaya pada bidang dwimatra. Sumber cahaya menerangi objek, objek
memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut. Pantulan cahaya ini
ditangkap oleh oleh alat-alat optik, misalnya mata pada manusia, kamera, pemindai
(scanner), dan sebagainya, sehingga bayangan objek yang disebut citra tersebut
terekam.
Citra sebagai keluaran dari suatu sistem perekaman data dapat bersifat:
1. optik berupa foto;
2. analog berupa sinyal video seperti gambar pada monitor televisi;
3. digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik;
Citra bergerak (moving images) adalah rangkaian citra diam yang ditampilkan
secara beruntun (sekuensial) sehingga memberi kesan pada mata kita sebagai
gambar yang bergerak. Setiap citra di dalam rangkaian itu disebut frame. Gambar-
gambar yang tampak pada film layar lebar atau televisi pada hakikatnya terdiri atas
ratusan sampai ribuan frame (Ahmad, 2005).
2.2Citra Digital
Citra adalah suatu representasi (gambaran), kemiripan atau imitasi dari suatu objek.
6
digital adalah citra yang dapat diolah oleh komputer. Citra digital merupakan
teknologi dengan penerapan angka dalam computer untuk proses citra digital. Hasil
pengaplikasian citra digital biasa ditemukan dalam robotik, fotografi, dan representasi
visual dalam medis (Thyagarajan, 2006).
Citra atau gambar dapat didefinisikan sebagai sebuah fungsi dua dimensi f(x, y)
dimana x dan y adalah koordinat bidang datar, sedangkan harga fungsi f di
setiap pasangan koordinat (x, y) disebut intensitas atau level keabuan (grey
level) dari gambar di titik tersebut. Jika x, y dan f semuanya berhingga (finite)
dan nilainya diskrit, maka gambarnya disebut citra digital atau gambar digital.
Sebuah citra digital terdiri dari sejumlah elemen yang berhingga, dimana
masing-masing mempunyai lokasi dan nilai tertentu. Elemen-elemen ini disebut
sebagai picture element, image element, pels atau piksels (Ahmad, 2005).
2.2.1 Jenis-jenis Citra Digital
Ada banyak cara untuk menyimpan citra digital di dalam memori. Cara
penyimpanan menentukan jenis citra digital yang terbentuk. Beberapa jenis citra
digital yang sering digunakan adalah citra biner, citra grayscale dan citra warna.
2.2.1.1 Citra Biner
Citra biner merupakan citra yang telah melalui proses pemisahan piksel-piksel
berdasarkan derajat keabuan yang dimiliki. Citra biner adalah citra yang hanya
direpresentasikan nilai tiap piksel-nya dalam satu bit (satu nilai binary). Citra
biner dimana citra pikselnya hanya bernilai hitam dan putih. Dibutuhkan satu bit di
memori untuk menyimpan kedua warna ini. Setiap piksel pada citra bernilai 0
untuk warna hitam dan 1 untuk warna putih (Burger, 2009). Salah satu contoh dari
7
2.2.1.2. Citra Grayscale
Citra grayscale menggunakan warna tingkatan keabuan. Warna abu-abu
merupakan satu-satunya warna pada ruang RGB dengan komponen merah, hijau,
dan biru yang mempunyai nilai intensitas yang sama. Citra grayscale memiliki
kedalaman warna 8 bit (256 kombinasi warna keabuan). Banyaknya warna yang
ada tergantung pada jumlah bit yang disediakan di memori untuk menampung
kebutuhan warna ini. Citra grayscale ditunjukan seperti pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Citra Grayscale 2.2.1.3. Citra Warna
Citra berwarna, atau biasa dinamakan citra RGB, merupakan jenis citra yang
menyajikan warna dalam bentuk komponen R (red), G (green), dan B (blue).
Setiap komponen warna menggunakan 8 bit (nilainya berkisar antara 0 sampai
dengan 255). Dengan demikian, kemungkinan warna yang bisa disajikan mencapai
255 x 255 x 255 atau 16.581.375 warna. Itu sebabnya format ini dinamakan true
color karena memiliki jumlah warna yang cukup besar. Citra RGB ditunjukan
8
Gambar 2.3 Citra RGB
2.3Pengolahan Citra
Meskipun sebuah citra kaya informasi, namun seringkali citra yang ada
mengalami penurunan mutu (degradasi), misalnya mengandung cacat atau derau
(noise), warnanya terlalu kontras, kurang tajam, kabur (blurring), dan sebagainya.
Tentu saja citra semacam ini menjadi lebih sulit diinterpretasi karena informasi
yang disampaikan oleh citra tersebut menjadi berkurang. Agar citra yang
mengalami gangguan mudah diinterpretasi (baik oleh manusia maupun mesin),
maka citra tersebut perlu dimanipulasi menjadi citra lain yang kualitasnya lebih
baik. Bidang studi yang menyangkut hal ini adalah pengolahan citra (image
processing).
Pengolahan citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan
komputer, menjadi citra yang kualitasnya lebih baik . Sebagai contoh, citra burung
nuri pada Gambar 2.4 (a) tampak agak gelap, lalu dengan operasi pengolahan citra
kontrasnya ditingkatkan sehingga menjadi lebih terang dan tajam (b).
Umumnya, operasi-operasi pada pengolahan citra diterapkan pada citra bila:
1. perbaikan atau memodifikasi citra perlu dilakukan untuk meningkatkan
kualitas penampakan atau untuk menonjolkan beberapa aspek informasi yang
terkandung di dalam citra;
2. elemen di dalam citra perlu dikelompokkan, dicocokkan, atau diukur;
9
Gambar 2.4 (a) Citra burung nuri yang agak gelap, (b) Citra burung yang telah ditingkatkan kontrasnya sehingga terlihat jelas dan tajam
Pengolahan citra bertujuan memperbaiki kualitas citra agar mudah
diinterpretasi oleh manusia atau mesin (dalam hal ini komputer). Teknik-teknik
pengolahan citra mentransformasikan citra menjadi citra lain. Jadi, masukannya
adalah citra dan keluarannya juga citra, namun citra keluaran mempunyai kualitas
lebih baik daripada citra masukan. Termasuk ke dalam bidang ini juga adalah
pemampatan citra (Kadir, 2013).
2.4Segmentasi
Segmentasi citra bertujuan untuk membagi wilayah-wilayah yang homogen.
Segmentasi adalah salah satu metode penting yang digunakan untuk mengubah
citra input ke dalam citra output berdasarkan atribut yang diambil dari citra
tersebut. Segmentasi membagi citra ke dalam daerah intensitasnya masing-masing
sehingga bisa membedakan antara objek dan background-nya. Pembagian ini
tergantung pada masalah yang akan diselesaikan. Segmentasi harus dihentikan
apabila masing-masing objek telah terisolasi atau terlihat jelas. Tingkat
keakurasian segmentasi bergantung pada tingkat keberhasilan prosedur analisis
yang dilakukan. Dan diharapkan proses segmentasi memiliki tingkat keakuratan
yang tinggi. Algoritma dari segmentasi citra terbagi dalam dua macam, yaitu:
1. Diskontinuitas
Pembagian citra berdasarkan perbedaan dalam intensitasnya, contohnya titik,
2. Similaritas
Pembagian citra berdasarkan kesamaan-kesamaan kriteria yang dimilikinya,
contohnya thresholding, region growing, region splitting, dan region merging
(Sutoyo, 2009).
2.4.1 Deteksi Titik
Pendeteksian titik yang terisolasi dari suatu citra secara prinsip berlangsung secara
straight forward. Dapat dikatakan bahwa suatu titik dinyatakan terisolasi jika:
| R | ≥ T
Dimana T adalah threshold positif dan R adalah nilai dari persamaan:
R = ∑𝟗𝒊=𝟏𝑾𝒊𝒁𝒊
Dengan demikian, titik yang terisolasi adalah titik yang berbeda (secara
signifikan) dengan titik-titik di sekitarnya. Adapun mask-nya adalah :
-1 -1 -1 -1 8 -1
-1 -1 -1
2.4.2 Deteksi Garis
Pendeteksian garis dari suatu citra dilakukan dengan mencocokkan dengan mask
dan menunjukkan bagian tertentu yang berbeda secara garis lurus baik secara
vertikal, horisontal, maupun miring 450 (baik kanan maupun kiri).
Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
Adapun mask untuk mendeteksi garis adalah sebagai berikut:
Arah horizontal dan vertikal
Arah + 450
2.4.3. Deteksi Tepi
Deteksi tepi adalah proses untuk menemukan perubahan intesitas yang berbeda
nyata dalam sebuah bidang citra. Deteksi tepi sensitif terhadap perubahan nilai
keabuan yang diambil dari nilai lingkungannya. Dengan cara ini, citra terbentuk
dimana bagian-bagian dari citra tampak terang dan di mana perubahan terjadi
ketika semua bagian lainnya tetap gelap (Jähne, 2004)
Biasanya operator yang digunakan untuk mendeteksi tepi yang pertama
adalah operator berbasis Gradient (turunan pertama), yaitu operator Robert,
operator Sobel, dan operator Prewitt. Yang kedua adalah operator berbasis turunan
kedua, yaitu operator Laplacian dan operator Laplacian of Gaussian.
2.4.4 Deteksi Tepi Berdasarkan Turunan Pertama
Terdapat berbagai operator deteksi tepi yang telah dikembangkan berdasarkan
turunan pertama (first order derivative), diantaranya operator Robert, operator
Canny, operator Prewitt, operator Krisch dan operator Sobel. Konsep dasar dari
perhitungan deteksi tepi menggunakan turunan pertama adalah dengan
memanfaatkan perbedaan nilai suatu piksel dengan piksel tetanggnya, seperti
persamaan dibawah ini.
∆y = f(x,y) – f(x,y+1)
∆x = f(x,y) – f(x-1,y) -1 -1 -1
2 2 2
-1 -1 -1
dimana ∆y menyatakan perbedaan nilai piksel dalam arah y, sedangkan ∆x
menyatakan perbedaan nilai piksel dalam arah x. dalam proses konvolusi, ∆y
diwakili dengan matrik 2 x 1,
�−11�
Sedangkan∆x diwakili dengan matrik 1 x 2 :
[−1 1]
∆y dan ∆x dapat digunakan untuk menghitung nilai gradiean sebagai berikut:
gradient = tan-1�∆𝑦∆𝑥�
2.4.5 Deteksi Tepi Berdasarkan Turunan Kedua
Adanya pengembangan selanjutnya dari deteksi tepi mengarah pada turunan kedua
(second order detection). Setiap operator deteksi tepi yang telah dijelaskan
sebelumnya, akan menampilkan area yang terdeteksi sebagai tepian. Tepian yang
dihasilkan masih berupa garis yang tebal. Idealnya, suatu operator deteksi harus
dapat menampilkan pusat tepian. Jika suatu deteksi tepi menghasilkan tepian yang
lebar maka sangat sulit untuk menentukan pusat dari tepian tersebut. Oleh karena
itu perlu dilakukan proses thining untuk mengurangi lebar tepian menjadi 1 piksel.
Deteksi tepi dari turunan kedua adalah Laplacian of Gaussian (Putra, 2010).
2.4.6 Operator Canny
Deteksi tepi Canny dapat mendeteksi tepian yang sebenarnya dengan tingkat
kesalahan minimum. Dengan kata lain, operator Canny didesain untuk
menghasilkan citra tepian optimal. Berikut adalah langkah-langkah dalam
melakukan deteksi tepi Canny.
a. Menghilangkan derau yang ada pada citra dengan mengimplementasikan tapis
Gaussian. Proses ini akan menghasilkan citra yang tampak sedikit buram. Hal
ini dimaksudkan untuk mendapatkan tepian citra yang sebenarnya. Bila tidak
dilakukan maka garis-garis halus juga akan dideteksi sebagian tepian. Berikut
13
b. Melakukan deteksi tepi dengan salah satu operator deteksi tepi seperti Roberts,
Prewitt atau Sobel dengan melakukan pencarian secara horizontal (GRxR) dan
secara vertikal (GRyR).
c. Menentukan arah tepian yang ditemukan dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
𝜃 = arctan �𝐺𝐺𝑦
𝑥�
Selanjutnya membagi ke dalam 4 warna sehingga garis dengan arah berbeda
dan memiliki warna yang berbeda. Pembagiannya adalah 0 – 22,5 dan 157,5 –
180 derajat berwarna kuning, 22,5 – 67,5 berwarna hijau, dengan derajat 67,5
– 157,5 berwarna merah.
d. Memperkecil garis tepi yang muncul dengan menerapkan nonmaximum
suppression sehingga menghasilkan garis tepian yang lebih ramping.
e. Terakhir yaitu binerisasi dengan menerapkan dua buah thresholding (Putra.
2010).
Gambar 2.5 menunjukan contoh dari deteksi tepi metode Canny.
Gambar 2.5 Deteksi tepi dengan operator Canny 2.4.7 Operator Robert
14
grayscale. Operator Robert dapat digambarkan dengan dua matriks berukuran 2 x
2.
GRx R GRy
Matriks diatas dapat merespon tepian maksimal hingga 45P
0
P
. Kedua matriks di
atas dapat diterapkan pada citra secara terpisah, baik untuk mendapatkan tepian
horisontal maupun tepian vertikal. Kedua matriks ini juga dapat dikombinasikan
dengan salah satu dari cara berikut untuk mendapatkan hasil gradient dari tepi,
yaitu:
| G | = | GRxR | + | GRyR |
Gambar 2.6 menunjukan contoh dari deteksi tepi metode Robert.
Gambar 2.6 Deteksi tepi dengan operator Robert 2.4.8 Operator Laplacian of Gaussian
Laplacian of Gaussian adalah salah satu operator deteksi tepi yang dikembangkan
dari turunan kedua. Operator Laplacian of Gaussian sangat berbeda dengan
operator dengan operator yang lainnya, karena operator Laplacian berbentuk omny
directional (tidak horizontal tidak vertikal). Operator ini akan menangkap tepian
dari semua arah dan menghasilkan tepian yang lebih tajam dari operator yang
lainnya. Laplacian of Gaussian terbentuk dari proses Gaussian yang diikuti
operasi Laplace. Hasilnya tidak terlalu terpengaruh oleh derau karena fungsi
Gaussian adalah mengurangi derau. Laplacian mask meminimalisasi kemungkinan 0 1
-1 0 1 0
15
kesalahan deteksi tepi. Fungsi dari Laplacian of Gaussian adalah sebagai berikut
(Putra, 2010) :
LoG(x,y) = −𝜋𝜎14 �1−𝑥2+𝑦2
2𝜎2 � 𝑒
−(𝑥2+𝑦2)
2𝜎2
Fungsi diatas merupakan fungsi untuk membentuk tapis dari Laplacian of
Gaussian. Salah satu contoh operator LoG dalam matriks 3 x 3 berikut ini:
�−01
Gambar 2.7 menunjukan contoh dari deteksi tepi metode LoG.
Gambar 2.7Deteksi tepi dengan operator LoG 2.5 Camera 360
Sebagian besar pengguna situs jejaring sosial sering mengambil gambar
menggunakan smartphone kemudian meng-upload nya ke akun mereka. Dengan
aplikasi Camera 360, hal seperti ini dapat dilakukan dengan cepat dan mudah,
berkat fitur Easy Sharing yang disediakannya. Camera 360 sudah lebih dari
100.000.000 juta pengguna (sumber : Play Store). Dan tentunya, hasil jepretan
yang didapatkan pun jauh lebih bagus. Para pengguna aplikasi ini tinggal memilih
saja modus pengambilan gambar mana yang ingin mereka gunakan. Beberapa
modus pengambilan gambar yang tersedia antara lain adalah Effects Mode, Sony
Camera Mode, Quick-shoot Mode, Tilt-shift Mode, dan Self-portrait Mode. Camera
360 dapat diunduh secara gratis dari Google Play Store. Aplikasi kamera ini
16
(a) Efek Sketch (b) Efek Light Color
Gambar2.8 Penggunaan efek Camera 360 2.6 Format File Citra Bitmap
Citra bitmap sering disebut juga dengan citra raster. Citra bitmap merupakan
format file citra yang tidak mengalami proses kompresi sehingga kualitas
gambar yang dihasilkan lebih baik daripada file citra dengan format lain. Citra
bitmap menyimpan data kode citra secara digital dan lengkap (cara
penyimpanannya adalah per piksel). Citra bitmap dipresentasikan dalam bentuk
matriks atau dipetakan dengan menggunakan bilangan biner atau sistem
bilangan lain. Citra ini memiliki kelebihan untuk memanipulasi warna, tetapi
untuk mengubah objek lebih sulit. Tampilan bitmap mampu menunjukkan
kehalusan gradasi bayangan dan warna dari sebuah gambar.Oleh karena itu, bitmap
merupakan media elektronik yang paling tepat untuk gambar-gambar dengan
perpaduan gradasi warna yang rumit, seperti foto dan lukisan digital. Citra
bitmap biasanya diperoleh dengan cara scanner, camera digital, video capture,
dan lain-lain.
2.7 Peak Signal to Noise Ratio (PSNR)
Peak Signal to Noise Ratio (PSNR) adalah sebuah perhitungan yang menentukan
nilai dari sebuah citra yang dihasilkan. PSNR adalah perbandingan antara nilai
maksimum dari sinyal yang diukur dengan besarnya noise yang berpengaruh pada
sinyal tersebut. PSNR biasanya diukur dalam satuan desibel. Nilai PSNR
ditentukan oleh besar atau kecilnya nilai MSE yang terjadi pada citra. Semakin
besar nilai PSNR, semakin baik pula hasil yang diperoleh pada tampilan citra hasil.
Sebaliknya, semakin kecil nilai PSNR, maka akan semakin buruk pula hasil yang
yaitu dB (deciBell). Jadi hubungan antara nilai PSNR dengan nilai MSE adalah
semakin besar nilai PSNR, maka akan semakin kecil nilai MSE-nya (Ainun, 2014).
Perhitungan PSNR dilakukan dengan menggunakan rumus:
PSNR = 10 log 255𝑀𝑆𝐸2
Keterangan :
MSE = nilai dari Mean Squared Error
255 = nilai skala keabuan dari citra
2.8 Mean Square Error (MSE)
Mean Square Error (MSE) adalah kesalahan kuadrat rata-rata. Nilai MSE didapat
dengan membandingkan nilai selisih piksel-piksel citra asal dengan citra hasil pada
posisi piksel yang sama. Semakin besar nilai MSE, maka tampilan pada citra hasil
akan semakin buruk. Sebaliknya, semakin kecil nilai MSE, maka tampilan pada
citra hasil akan semakin baik. Satuan nilai dari MSE. Perhitungan MSE dilakukan
dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
f (x, y) = citra asli dengan dimensi m x n
fˆ(x, y) = citra hasil yang telah mengalami proses