• Tidak ada hasil yang ditemukan

gambaran self regulation pada remaja yan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "gambaran self regulation pada remaja yan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

THE DESCRIPTION OF SELF REGULATION PHASE ON TEENAGER

This research was conducted to find out the description of self regulation phase on teenager with brain tumor post-surgical blindness. The Subject of this study is a 15-years-old teenager who suffer brain tumor post-surgical blindness. Teenager who suffer brain tumor post-surgical blindness must be able to adapt and cope with the problems incurred, that ability is referred to as self regulation. So, self regulation is appropriate to help the teenagers in solving their problems. Self regulation is the ability of controlling, arranging, planning, aiming, and monitoring behavior for achieve purpose. This qualitative research used study case approach, which is the subject who was choosen by purposive sampling. The methods of data collection were interview and observation. The researcher analyzed the data by using data reduction, data display, and conclusion drawing. The result of this research found that the phase of self regulation the subject of the study did not through self observation, however the subject through the judgemental process and self-response. So, the effort to fulfill its goal which able to socialize with new people did not run optimally although there was behavior change in able to socialize.

Keyword : self regulation phase, teenager, surgical brain tumor, blindness

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran tahap self regulation pada remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak. Subjek adalah remaja berusia 15 tahun, dan mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak. Remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak harus mampu beradaptasi dengan mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialaminya dengan kondisi baru, kemampuan itu disebut sebagai self regulation. Sehingga self regulation ini sesuai untuk membantu remaja dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Self regulation diartikan sebagai kemampuan untuk mengontrol, mengatur, merencanakan, mengarahkan, dan memonitor perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan satu subjek dan pemilihan subjek menggunakan purposive sampling. Metode pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Analisis data menggunakan reduksi data, display data, dan conclusion drawing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek tidak melalui setiap tahap self regulation. Tahap yang tidak dilalui subjek adalah tahap observasi diri sedangkan tahap yang dilalui subjek adalah tahap penilaian diri dan respon diri. Sehingga usaha untuk memenuhi tujuannya yaitu dapat bersosialisasi dengan orang baru belum berjalan secara optimal meskipun terdapat perubahan perilaku untuk bersosialisasi.

(2)

LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan masa transisi dari tahapan masa kanak-kanak ke tahap dewasa. Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Menurut Scheidt (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009) sembilan dari sepuluh remaja menganggap diri mereka sehat, padahal kenyataannya seringkali remaja mengeluhkan rasa sakit dari yang ringan

seperti sakit kepala dan sakit perut hingga sakit berat seperti sakit tumor dan kanker. Prevalensi kejadian tumor dan kanker di Indonesia pada tahun 2004 dari data yang didapatkan Yayasan Kanker Indonesia diketahui adanya 171 kasus remaja yang terserang tumor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang periode Januari 2008 hingga Desember 2010 dari data rekam medis didapatkan 361 kasus tumor kelenjar liur dan 1760 kasus pasien tumor payudara (Norahmawati, 2012). Banyak macam-macam tumor salah satunya adalah tumor otak yang merupakan penyakit penyebab kematian dan kecacatan pada masyarakat. Gejala spesifik yang dijumpai pada penderita tumor otak adalah adanya gangguan perubahan perilaku, psikosis, gangguan penciuman, gangguan telinga, kurang pendengaran, rasa sakit, mata tak bisa dikatupkan dan akhirnya koma. Gangguan yang paling akhir sebelum kematian adalah kebutaan (Hakim, 2005).

Berdasarkan data gejala yang dialami oleh penderita tumor otak, saat remaja terserang penyakit tumor otak maka harus ada penanganan untuk mengobatinya. Penanganan yang dilakukan adalah dengan operasi. Menurut Kusmawan (2011) operasi merupakan salah satu tindakan medis yang dilakukan untuk penyakit yang ada didalam tubuh, karena apabila tidak dilakukan pembedahan kondisi tubuh akan semakin parah. Sebelum melakukan operasi ada prosedur yang dilakukan yaitu prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik diagnostik maupun terapi sehingga pasien atau keluarga dapat

(3)

gejala-gejala yang akan ditimbulkan hingga kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pasca operasi. Kemungkinan yang terjadi pasca operasi tumor otak adalah adanya gangguan pada mata atau bahkan buta total (Hakim, 2005). Kondisi pasca operasi yang menurut Hakim (2005) paling parah adalah adanya kebutaan total pada pasien pasca operasi tumor otak karena hal tersebut terjadi sebelum resiko kematian. Menurut Soemantri (2007), tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya atau kedua-duanya tidak berfungsi sebagai saluran menerima informasi dalam kegiatan sehari-hari. Remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak akan mengalami perubahan dalam

hidupnya, dimana pada awalnya remaja mampu melihat kemudian pasca operasi tumor otak harus kehilangan fungsi penglihatannya. Keadaan fisik yang baik dan memenuhi harapan remaja akan menimbulkan kepuasan akan tetapi sebaliknya ketika perubahan fisik tersebut menyimpang maka akan menimbulkan kerisauan pada remaja (Monks dkk, 2001). Fillah (2008) menyatakan bahwa kehilangan penglihatan adalah sebuah musibah yang besar. Remaja harus mengenali lagi segala yang pernah dilihat dengan raba, aroma, dan rasa kemudian harus belajar mengenali semuanya dari awal. Penglihatan yang dapat berfungsi dengan normal kemudian mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak, bila tidak diimbangi dengan bekal secara psikologis akan menjadi hambatan bagi perkembangan kepribadian remaja. Kondisi tersebut akan menjadikan remaja mengalami hambatan dalam masa perkembangannya dan mengharuskan adanya tindakan yang dilakukan oleh remaja agar mampu bangkit dari keterpurukan pasca operasi tumor otak. Remaja akan melakukan proses penyesuaian diri untuk memotivasi, mengurangi dan mengatasi permasalahan yang dihadapinya. Kemampuan individu untuk memanipulasi lingkungan terhadap permasalahan disebut self regulation (Kurniawan, 2010). Menurut Bandura self regulation adalah kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan di masa yang akan datang dengan mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing kearah tujuan jangka panjang.

Self regulation menunjukkan adanya kemampuan untuk mengubah perilaku

(4)

regulation mampu membantu untuk mengurangi kesedihan atas kebutuhan yang tidak terpenuhi. Self regulation membantu individu untuk menyesuaikan diri dengan mengenali tanda-tanda awal ketidaknyamanan dan kesusahan yang berhubungan dengan kondisi baru yang dialami oleh individu (Kurniawan, 2010). Self regulation yang baik akan mendorong individu berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pribadi mereka dalam hal metakognisi, motivasi dan perilaku mereka. Hal tersebut dapat meningkatkan toleransi terhadap masalah yang sedang dihadapi (Zimmerman, 2008). Berdasarkan paparan diatas, dapat diketahui bahwa remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak harus dapat

menyesuaikan diri dengan kondisi baru yang ia hadapi. Apalagi pada tahap perkembangan remaja sangat memperhatikan kondisi fisiknya (Monks dkk, 2001). Remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak perlu melakukan tindakan untuk menyesuaikan diri. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan self regulation. Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian gambaran tahap self regulation pada remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak. Tujuan dari penelitian ini adalah agar dapat diketahui gambaran tahap self regulation pada remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor.

LANDASAN TEORI A. Self Regulation

1. Pengertian Self Regulation

Menurut Bandura, self regulation adalah kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan di masa yang akan datang dengan mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing kearah tujuan yang remaja inginkan. Secara umum self regulation digunakan untuk mengontrol proses berpikir, kondisi emosional, reaksi impulsive, dan kinerja dari suatu tugas sehingga tidak menimbulkan kelelahan. Self

regulation juga diartikan sebagai perubahan yang diarahkan, dimana individu melihat kemampuan dirinya dalam memberikan suatu reaksi sesuai dengan beberapa standar yang ada (Alwisol, 2004).

(5)

motivasi diri secara langsung. Menurut Taylor regulasi diri terdapat dalam setiap individu meskipun tidak semua individu dapat memanfaatkan hal tersebut pada situasi yang tepat, oleh karena itu regulasi diri perlu dilatih sehingga dapat menentukan pilihan- pilihan dalam hidup (Istriyanti dan Simamarta, 2014).

Berdasarkan dari beberapa pengertian yang sudah di uraikan, dapat disimpulkan bahwa self regulation adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan cara mengontrol, merencanakan, dan mengatur perilaku untuk memenuhi tujuan yang diinginkan.

2. Tahap self regulation

Setiap orang akan berusaha untuk meregulasi fungsi dirinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu yang membedakan hanyalah efektivitas dari self regulation itu sendiri. Pada waktu seseorang mampu mengembangkan kemampuan self regulation secara optimal, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara optimal. Sebaliknya pada saat seseorang kurang mampu mengembangkan kemampuan self regulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidakefektifan dalam kemampuan self regulation ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu tahap self regulation (Boekaerts, 2000). Pada tahap self regulation lingkungan atau pengaruh sosial berperan sebagai model, strategi, atau umpan balik dan hal ini mempengaruhi tindakan remaja (Arjanggi dan Suprihatin, 2010).

Berdasarkan tahap self regulation dari Bandura (Boeree, 2008) terdapat tiga tahap self regulation, yaitu:

a. Pengamatan Diri (Self Observation)

Pengamatan diri adalah melihat diri dan perilaku yang sudah dilakukan serta mengawasinya dengan sengaja atau diartikan sebagai observasi diri terhadap performa yang sudah dilakukan (Boeree, 2008). Manusia sanggup memonitor penampilannya meskipun tidak lengkap atau akurat. Dalam hal ini, remaja memilih perilaku yang ingin

diamatinya (Alwisol, 2007).

b. Penilaian Diri (Self evaluation)

(6)

remaja akan membuatnya menyesuaikan diri dengan standar yang ada dengan menetapkan tujuan yang sesuai dengan standar yang ada. Menurut Cervone dan Williams beberapa individu menyusun tujuan-tujuan yang menantang, yang lain membuat tujuan-tujuan yang mudah, beberapa individu memiliki tujuan-tujuan yang spesifik, yang lain membuat tujuan-tujuan yang ambigu, beberapa menekankan pada tujuan yang singkat, tujuan yang dekat, sementara yang lain menekankan pada rentang yang panjang tujuan yang jauh. Cropanzano menjelaskan bahwa penetapan tujuan tersusun secara hirarkis dari orientasi yang abstrak yang berada diatas, kemudian diturunkan kesesuatu yang lebih

konkret.Penetapan tujuan yang abstrak biasanya merupakan penetapan tujuan jangka panjang, sedangkan penetapan tujuan yang kongkret merupakan penetapan tujuan jangka pendek. Orientasi tujuan jangka pendek dan kongkret inilah yang sangat berpengaruh terhadap motivasi remaja dan memberikan panduan bagi remaja untuk mencapainya (Sunawan dan Trianni, 2005)

Pada pencapaian tujuan kepercayaan terhadap efikasi diri juga mempengaruhi bagaimana orang mengatasi kekecewaan dan tekanan dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya (Cervone dan Pervin, 2012). Hjelle dan Ziegler menyatakan bahwa efikasi diri berhubungan dengan penilaian bagaimana seseorang menyakini kemampuan mereka melakukan suatu perilaku atau tindakan yang berhubungan dengan suatu tugas (Wulandari dan Zulkaida, 2007).

c. Respon diri

Pada respon diri individu akan memberikan imbalan pada dirinya. Jika individu telah membandingkan diri dan perilaku dengan standar ukuran tertentu, maka individu dapat memberi imbalan respon diri pada diri sendiri. Sebaliknya, jika perilaku tidak sesuai dengan standar ukuran, remaja dapat mengganjar diri sendiri juga dengan respon diri. Menurut Boere (2008) bentuk respon diri bisa bermacam-macam mulai dari yang sangat jelas misalnya bekerja keras, bekerja larut malam, dan berusaha merubah perilaku agar lebih baik sesuai standar yang telah ditentukan sampai pada bentuk implisit seperti

(7)

B. Remaja 1. Definisi Remaja

Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Menurut Larson definisi mengenai remaja tidak hanya melibatkan pertimbangan mengenai usia namun juga sosio historis, tugas pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa.

2. Perkembangan remaja

Ramaja mengalami masa perkembangan yang meliputi: a. Biologis

Santrock (2007) mengungkapkan pubertas adalah sebuah periode dimana kematangan fisik berlangsung pesat, yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh yang terutama berlangsung di masa remaja awal. Pada remaja awal, pertumbuhan fisiknya sangat pesat. Pada remaja akhir, proporsi tubuh mencapai ukuran tubuh orang dewasa dalam semua bagiannya (Yusuf, 2005).

b. Kognitif

Menurut Piaget pemikiran remaja berada pada tahap operasional formal yang muncul antara 11 hingga 15 tahun. Tahap ini individu melampaui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai bagian dari pemikiran yang lebih abstrak remaja mengembangkan gambaran mengenai keadaan yang ideal. Mereka dapat berpikir bagaimanakah orang tua yang ideal itu dan membandingkan orangtua mereka dengan standar ideal ini. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan dimasa depan dan terkagum-kagum terhadap hal yang bisa mereka lakukan. Ketika memecahkan masalah mereka dapat bekerja secara lebih sistematis dan mengembangkan hipotesis mengenai mengapa sesuatu terjadi seperti itu, kemudian menguji hipotesis ini (Santrock, 2007).

c. Emosi

(8)

d. Sosial

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Secara bertahap remaja meninggalkan rumah dan bergaul secara lebih luas dalam lingkungan sosialnya. Luasnya pergaulan mereka dimulai dari terbentuknya kelompok-kelompok teman sebaya sebagai wadah penyesuaian diri, yang didalamnya timbul persahabatan. Saat pergaulan ini, remaja mendapat pengaruh yang kuat dari teman sebaya, sehingga mereka mengalami perubahan-perubahan tingkah laku sebagai salah satu usaha penyesuaian diri (Santrock, 2007).

e. Sosio-emosional

Keadaan fisik yang baik dan memenuhi harapan remaja akan menimbulkan kepuasan akan tetapi sebaliknya ketika perubahan fisik tersebut menyimpang maka akan menimbulkan kerisauan pada remaja (Monks dkk, 2001). Keadaan fisik mempunyai arti khusus bagi remaja, oleh karena itu penyimpangan fisik tidak dapat ditoleransi remaja. Kekhawatiran akan penolakan sosial dan keraguan bahwa ramaja tidak mempunyai daya tarik fisik begitu besar bagi remaja penyandang cacat tubuh. Menurut Monks, dkk (2001) cacat-cacat badan sangat merisaukan terutama pada masa remaja sebab penampilan fisik pada masa ini sangat dianggap penting, Kecacatan yang mempengaruhi penilaian remaja sedemikian rupa sehingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat.

Menurut Kohlberg ada dua tingkatan dari penalaran moral (moral reasoning) pada usia remaja. Pertama conventional morality pada usia 10 hingga 13 tahun atau lebih, orang telah menginternalisasi standar dari figur otoritas. mereka peduli tentang menjadi baik, menyenangkan orang lain, dan mempertahankan aturan sosial. Tingkat ini biasanya tercapai setelah umur 10 tahun, banyak yang tidak pernah bergerak naik dari tingkatan ini bahkan ketika dewasa. Pada tingkat ini lebih pada mempertahankan hubungan timbal balik, persetujuan dari orang lain, dan aturan harus ditaati. Selanjutnya adalah postconventional morality pada usia remaja awal atau tidak terbentuk sampai dewasa awal atau tidak akan pernah tercapai dengan ciri yaitu orang mengenali konflik antara standar

(9)

C. Operasi Tumor Otak

Menurut Tamsuri operasi adalah suatu bentuk tindakan invasif yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga profesional dan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan pasien dan keluarganya. Operasi atau pembedahan merupakan salah satu prosedur khusus medik yang dapat atau harus dilakukan sebagai terapi terhadap penyakit (Triana, 2012). Menurut Kusmawan (2011) operasi adalah salah satu tindakan medis yang harus dijalankan menyangkut penyakit yang ada pada tubuh, yang apabila tidak dilakukan pembedahan akan semakin parah dan kebanyakan orang merasa cemas bahkan tidak sedikit yang panik

ketika divonis harus menjalani operasi (Kusmawan, 2011). Tumor otak mulai dikenal sebagai salah satu penyebab kebutaan dan kematian pada masyarakat. Penyakit ini diartikan sebagai suatu masa abnormal yang ada dalam tengkorak disebabkan oleh multiplikasi sel-sel yang berlebihan dan menyebabkan adanya proses desak ruang. Penyebab multiplikasi itu sendiri sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, bagaimana sebetulnya proses terjadinya tumor ganas atau tumor jinak tersebut (Hakim, 2005). Berdasarkan dari beberapa pengertian yang ada dapat disimpulkan bahwa operasi tumor otak adalah tindakan medis berupa pembedahan yang dilakukan untuk mengurangi akibat yang akan ditimbulkan oleh penyakit tumor otak.

D. Tunanetra

Menurut Soemantri (2007), tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya atau kedua-duanya tidak berfungsi sebagai saluran menerima informasi dalam kegiatan sehari-hari. Tunanetra terdiri dari dua kata yaitu tuna dan netra, tuna berarti rusak, luka, kurang, dan tiada memiliki sedangkan netra berarti mata sehingga tunanetra dapat diartikan rusak mata. Sedangkan menurut Tarsidi tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak cukup baik untuk dapat membaca tulisan biasa meskipun sudah dibantu dengan kaca mata. Kemudian tunanetra juga didefinisikan sebagai seorang

individu yang harus menggunakan banyak teknik alternatif jika ia ingin berfungsi secara efisien, sehingga pola kehidupan sehari-harinya sangat berubah. Teknik alternatif yang

(10)

METODE

Partisipan dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif, Bogdan dan Taylor (Moleong, 2012) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Mereka juga menjelaskan bahwa metodologi kualitatif merupakan cara pengumpulan data yang disesuaikan dengan ungkapan hati orang (yang diteliti) itu sendiri, sikap, dan tingkah laku mereka. Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kasus, studi kasus adalah penelitian mengenai status subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas, yang menyelediki fenomena khusus didalam konteks kehidupan nyata. Kasus ini dapat berupa individu, peran kelompok kecil, organisasi, komunitas, dapat pula berupa keputusan, kebijakan atau peristiwa khusus (Poerwandari, 2005). Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah seorang remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak.

Teknik Pengumpulan Data dan Prosedur Penelitian

(11)

HASIL

Hasil penelitian ini menggambarkan tahap self regulation pada remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak.

Tabel 1 Hasil Penelitian Tahap Self Regulation

Tema Sub Tema Bagian Hasil

Penilaian diri Tujuan Subjek menentukan tujuan yang diinginkannya yaitu subjek mampu bersosialisasi khususnya dengan orang baru. Agar dapat bersosialisasi subjek harus dapat mengontrol emosi dan memperjelas bahasa yang digunakan. Efikasi diri Subjek yakni dengan kemampuannya

untuk melakukan tujuan yang telah yang subjek lakukan untuk memperbaiki kemampuan bersosialisasi subjek dengan orang baru. Hal ini dapat dilihat dengan perubahan perilaku subjek. Secara perlahan subjek mampu mengajak orang lain untuk berbicara meskipun hanya beberapa kara. Namum subjek masih terkesan membatasi pembicaraan dan mencoba diam ketika ada orang baru agar tetap bisa mengontrol emosinya. hanya menunjukkan perubahan kecil dari perilaku sebelumnya

(12)

DISKUSI

Tahap self regulation ini dilakukan oleh remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor. Menjalani tahapan self regulation bukanlah hal yang mudah, subjek harus berusaha melalui beberapa proses dalam tahap self regulation untuk mencapai tujuannya dengan kondisi yang baru dialaminya yaitu kebutaan pasca operasi tumor otak. Subjek menjalani tahap self regulation dengan usaha sendiri dan bantuan dari keluarganya. Berikut gambaran tahap self regulation pada subjek yang mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak.

1. Tahap Pengamatan Diri

Subjek tidak melewati pengamatan diri, namun subjek mampu membuat tujuan untuk mampu bersosialisasi dengan baik terutama pada orang baru yang berada disekitarnya. Pada hasil observasi pertama diketahui bahwa subjek berteriak ketika ada orang baru diruang tamu. Subjek juga tidak memperdulikan ketika orang baru tersebut mendekati subjek dan kemudian menyapa subjek. Subjek memalingkan tubuhnya dan wajahnya bahkan ketika orang baru tersebut menyentuh tangan subjek, subjek menjauhkan tangannya. Ditinjau dari segi psikis menurut Soemantri (2007) pada tunanetra adanya kecurigaan pada orang lain dan ini subjek tunjukkan dengan kesulitannya untuk bersosialisasi dengan orang baru. Subjek memahami bahwa dirinya tidak melakukan sosialisasi dengan baik hal ini dikarenakan adanya tujuan subjek untuk dapat bersosialisasi dengan baik dan merubah sikapnya. Namun hal tersebut tidak dapat dijelaskan oleh subjek karena keterbatasan yang dimiliki subjek. Tidak dilaluinya pengamatan diri pada tahap ini dapat mempengaruhi efektifitas proses self regulation pada subjek hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Boekaerts (2000) bahwa pada saat seseorang kurang mampu mengembangkan kemampuan self regulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidakefektifan dalam kemampuan self regulation ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu tahap self regulation.

2. Tahap penilaian diri

(13)

ini dilakukan subjek tanpa ada pengamatan diri yang terukur. Pada penilaian diri terdapat dua bagian yaitu penetapan tujuan dan efikasi diri. Berikut penjelasannya:

a. Penetapan tujuan

Penilaian diri yang dilakukan oleh remaja akan membuatnya menyesuaikan diri dengan standar yang ada dengan menetapkan tujuan. Berdasarkan data yang didapatkan diketahui bahwa subjek memiliki sosialisasi yang buruk dengan orang lain khususnya pada orang baru yang berada disekitarnya dan hal ini tidak sesuai dengan standar yang ada pada masyarakat umum. Pada proses penetapan tujuan subjek menetapkan tujuan untuk

mampu bersosialisasi. Penetapan tujuan untuk mampu bersosialisasi ini dinyatakan oleh subjek pasca operasi terjadi. Sebelumnya subjek menyatakan bahwa tujuannya adalah kembali seperti semula dan itu merupakan tujuan jangka panjang dan terlalu abstrak sehingga subjek membuat tujuan jangka pendek yaitu mampu bersosialisasi dengan orang baru agar tindakan yang dilakukan lebih konkret. Cropanzano menjelaskan bahwa penetapan tujuan tersusun secara hirarkis dari orientasi yang abstrak yang berada diatas, kemudian diturunkan kesesuatu yang lebih konkret. Penetapan tujuan yang abstrak biasanya merupakan penetapan tujuan jangka panjang, sedangkan penetapan tujuan yang kongkret merupakan penetapan tujuan jangka pendek. Orientasi tujuan jangka pendek dan kongkret inilah yang sangat berpengaruh terhadap motivasi remaja dan memberikan panduan bagi remaja untuk mencapainya (Sunawan dan Trianni, 2005).

b. Efikasi diri

Hjelle dan Ziegler menyatakan bahwa efikasi diri berhubungan dengan penilaian bagaimana seseorang menyakini kemampuan mereka melakukan suatu perilaku atau tindakan yang berhubungan dengan suatu tugas (Wulandari dan Zulkaida, 2007). Subjek memiliki efikasi diri yaitu subjek yakin akan mampu melaksanakan sosialisasi yang diharapkan. Hal ini dikarenakan subjek yakin seluruh cobaan yang diberikan Tuhan akan dapat dilalui dengan usaha optimal. Adanya efikasi diri pada subjek dipengaruhi lingkungan sekitar yang sering memberikan semangat keyakinan dengan pertolongan

(14)

Arjanggi dan Suprihatin (2010) bahwa pada tahap self regulation lingkungan sosial berpengaruh pada faktor pribadi remaja seperti tujuan dan kepekaan efikasi diri. Efikasi diri subjek mendapat pengaruh positif dari lingkungan sosial yang berperan dalam membantu perkembangan subjek untuk mencapai tujuan sosialisasi dengan orang baru. 3. Tahap respon diri

Tahap respon diri merupakan tahap setelah penilaian diri. Tujuan dan efikasi diri subjek kemudian mendapatkan respon. Respon diri merupakan imbalan yang diberikan oleh remaja pada dirinya. Pada respon diri terdapat dua bagian yaitu respon diri bentuk

yang sangat jelas yaitu berupa perilaku dan respon diri dengan bentuk implisit. Berikut penjelasan tiap bagian pada tahap respon diri ini:

a. Bentuk yang sangat jelas (perilaku)

Menurut Boeree (2008) respon diri pada bentuk yang sangat jelas ini ditampakkan dengan perubahan perilaku sesuai tujuan pada penilaian diri yang dilakukan sebelumnya. Perubahan perilaku yang diinginkan subjek adalah mampu bersosialisasi dengan orang baru hal ini sesuai tujuan pada tahap penilaian diri. Subjek memilih tujuan ini karena ketika subjek bertemu dengan orang baru, subjek menghindar dengan mengeluarkan suara yang keras atau menangis. Subjek ingin mengubah hal tersebut dengan cara mengontrol emosi, berbicara dengan jelas dan mengajak oranglain berbicara. Subjek berusaha untuk tidak membentak ataupun menangis, berbicara perlahan dengan artikulasi yang jelas, dan mengawali pembicaraan dengan orang baru. Semua itu tidak dilakukan subjek dengan optimal. Kesulitan subjek dalam mengontrol emosi ketika bertemu dengan orang baru juga dikarenakan subjek mengalami kebutaan pasca operasi tumor otak yang menyebabkanya harus beradaptasi dengan kondisi baru dan menurut Fillah (2008) kehilangan penglihatan merupakan sebuah musibah yang besar. Emosi yang ditunjukkan oleh subjek dengan menangis dan berteriak adalah karena subjek merasa bahwa dirinya kehilangan penglihatan dan penyimpangan fisik pada remaja menurut Monks dkk (2001) akan mengakibatkan adanya kekhawatiran akan penolakan sosial dan merupakan perasan tidak

(15)

untuk bersosialisasi hal ini tidak sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Cernove dan Pervin (2012) bahwa efikasi diri mempangaruhi bagaimana orang mengatasi kekecewaan dan tekanan dalam mencapai tujuannya.

Respon selanjutnya ditunjukkan oleh subjek adalah usaha untuk berbicara pelan-pelan dan jelas yaitu subjek menggunakan bahasa dengan jelas dan perlahan agar artikulasi yang digunakan dapat dimengerti oleh orang lain meskipun hal ini masih dibantu oleh lawan bicara dengan cara bertanya pada subjek untuk kelimat yang tidak dimengerti. Bersosialisasi dengan orang baru merupakan moral yang harus dilakukan dalam keluarga

subjek. Berbicara sopan adalah moral dari kebudayaan masyarakat dan subjek menginginkan mampu bersosialisasi pada orang lain dengan berbicara perlahan. Hal ini sesuai dengan apa yang Kohlberg (Papalia, 2009) katakan bahwa pada usia 10 hingga 13 tahun atau lebih berada pada tahap conventional morality dimana remaja telah menginternalisasi standar dari figur otoritas. Keluarga subjek banyak membantu subjek dalam bersosialisasi dengan orang baru Arjanggi dan Suprihatin (2010) yang menyatakan pada tahap self regulation lingkungan atau pengaruh sosial berperan sebagai pengaruh untuk menentukan strategi bagi remaja. Pada tahap respon diri keluarga subjek berperan dalam membantu subjek agar subjek mampu bersosialisasi khususnya pada orang baru. Respon diri untuk mampu bersosialisasi belum optimal dilakukan oleh subjek juga karena pada pengamatan diri subjek tidak melaluinya dan hal ini menurut Boekaerts (2000) bahwa pada saat seseorang kurang mampu mengembangkan kemampuan self regulation dalam dirinya, maka pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya tidak dapat dicapai secara optimal. Ketidakefektifan dalam kemampuan self regulation ini bisa disebabkan oleh kurang berkembangnya salah satu tahap self regulation.

b. Bentuk implisit (perasaan)

Subjek senang dengan apa yang telah dilakukannya dalam menjalani perubahan perilaku agar lebih bisa bersosialisasi dengan baik. Subjek tidak kecewa dan menyesal dengan seluruh usaha yang dilakukannya meskipun usaha yang dilakukan subjek belum

(16)

Subjek hanya merasa senang dengan apa yang dilakukannya karena ia telah memberikan usaha yang mampu dilakukan. Hal ini mempengaruhi tahap self regulation selanjutnya. Tingkat kepuasaan diri ini sangat berpengaruh terhadap motivasi remaja dalam melakukan siklus self regulation dalam usaha di masa mendatang. Apabila tingkat kepuasaan diri tinggi maka dalam siklus self regulation berikutnya motivasi untuk melakukan usaha atau kegigihannya akan meningkat, sedangkan apabila tingkat kepuasaannya rendah maka akan mengurangi motivasi usaha atau kegigihan pada siklus self regulation berikutnya. Meskipun pada kenyataannya subjek hanya melakukan sedikit perubahan dan hal itu

belum maksimal namun berdasarkan data yang didapatkan maka dapat diprediksikan bahwa subjek akan menjalani tahap self regulation selanjutnya dengan meningkatkan usahanya melihat dari kepuasaan subjek dalam menjalani tujuan untuk kemampuannya dalam bersosialisasi. Pencapaian yang berhasil mendapatkan respon diri berupa peningkatan efikasi diri atau pengaturan standar yang lebih tinggi untuk upaya selanjutnya. Kegagalan pencapaian mungkin dapat menyebabkan individu menyerah atau bekerja keras, bergantung pada hasil penelitian individu dan perasaan efikasi diri mereka terkait upaya selanjutnya (Cervone dan Pervin, 2012).

Penelitian ini memiliki beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut yang nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya jika ingin meneliti tentang tahap self regulation pada remaja yang mengalami kebutaan pasca operasi hendaknya memilih tahap self regulation dengan teori yang berbeda sehingga dapat dilihat gambaran tahap self regulation pada remaja pasca operasi yang mengalami kecacatan dari segi yang berbeda atau menambah fokus penelitian. Kedua, perlunya membangun raport yang lebih intensif dan memperhatikan penggunaan tata bahasa dalam mengajukan topik-topik sensitif yang berhubungan dengan masa lalu subjek penelitian serta hendaknya peneliti memberi dukungan kepada remaja pasca operasi yang mengalami kebutaan untuk menjalani tantangan hidup yang dialaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2004). Psikologi Kepribadian, Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Arjanggi, R., & Suprihatin, T. (2010). The effectiveness of peer tutoring method on self regulated learning. Jurnal Sosial Humaniora, 14(2), 91-97.

(17)

Fahmi, A. (2012). Aksesibilitas Penyandang Tunanetra dan Tunadaksa pada Taman Rekreasi Selecta. Thesis. (tidak diterbitkan). Malang: Universitas Brawijaya.

Fillah, S. (2008). Jalan Cinta Para Pejuang. Yogyakarta: Pro-U Media

Hakim, A. (2005). Tindakan Bedah pada Tumor Cerebellopontine; Angle. Jurnal Kedokteran Nusantara. (Online), Jilid 38, No 3, (http://usupress.usu.ac.id, diakses 20 Desember 2013)

Istriyanti, A & Simarmata, N. (2014). Hubungan Antara Regulasi Diri dan Perencanaan Karir pada Remaja Putri Bali. Jurnal Psikologi Udayana. (Online), Jilid 1, No 2.

(http://ojs.unud.ac.id, diakses 20 Desember 2013)

Kurniawan, T. (2010). Stress pada Calon Tenaga Kerja Wanita yang akan Bekerja di Luar Negeri Ditinjau dari Self Regulation. Skripsi. (tidak diterbitkan). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata

Kusmawan, E. (2011). Jangan Segera Katakan ‘’Ya’’ Untuk Operasi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Pohon Cahaya.

Moleong, L.J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P. & Haditono, S.R. (2001). Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Norahmawati, E. (2012). Akurasi Diagnosa FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy) pada

Tumor di Instalasi Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum dr. Saiful Anwar Malang Periode 2008 – 2010. Jurnal Kedokteran Brawijaya. (Online), Jilid 25 No 2, (http://fk.ub.ac.id, diakses 14 Juni 2013)

Papalia, D.E., Old, S.W. & Feldman, R.D. (2001). Human Development. Jakarta: Salemba Humanika.

Poerwandari, E.K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI.

Santrock, J.W. (2007). Remaja Edisi 11 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Soemantri, S. (2007). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Adittama.

(18)

Triana, E. (2012). Perbedaan Tingkat Kecemasan Sebelum dan Sesudah Pemberian Informed Consent pada Pasien Pra Operasi di RSUD Gayolues.Thesis. (tidak diterbitkan). Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara.

Wulandari, T. & Zulkaida, A. (2007). Self Regulated Behavior pada Remaja Putri yang Mengalami Obesitas. Jurnal proceeding PESAT. (Online), Jilid 2, No 51, (http://publication.gunadarma.ac.id, diakses 20 Juni 2013).

Yusuf, S. (2005). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Gambar

Tabel 1 Hasil Penelitian Tahap Self Regulation

Referensi

Dokumen terkait

Desmita (2012) mengatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan resiliensi, memiliki kehidupan yang lebih kuat dengan mampu menyesuaikan diri pada perubahan diri dan sosial

Keterbukaan diri (self disclosure) siswa dalam perspektif budaya dan implikasinya bagi konseling.. Universitas

Komponen regulasi diri masing-masing subjek secara garis besar ingin mencapai tujuan yang di inginkan, tetapi berbeda hasilnya karena masing-masing subjek memiliki

Terapis membantu subjek untuk memilih perilaku yang mengganggu diri subjek, sehingga subjek mampu memahami permasalahan yang dihadapi serta mampu memilah-milah

Sebagian besar anak jalanan kota Medan juga mampu mengasihi diri sendiri, tidak menyakiti ataupun tidak bersikap kasar kepada diri sendiri dalam menghadapi permasalahan

Mahasiswa juga mempunyai keyakinan diri (self effi cacy), bahwa: 1) mereka mampu menghadapi tugas-tugas dan tantangan dalam berbagai situasi khususnya dalam mempelajari mata

Pada subjek pertama dari ketujuh faktor yang mempengaruhi identitas diri subjek, faktor subyektif dan status eksistensial merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap

Penelitian ini merupakan sebuah Studi kasus mengenai pengukuran self regulation pada kasus pemakai ecstasy yang berusaha berhenti tetapi belum mampu melalukan regulasi diri untuk tidak