• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewajiban Nafkah Anak Bagi Istri Yang Ha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kewajiban Nafkah Anak Bagi Istri Yang Ha"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Kewajiban Nafkah Anak Bagi Istri Yang Hak Hadhanahnya Jatuh Kepada Suami Oleh : Asep Ridwan H, SHi, M.Ag

Hakim Pengadilan Agama Kalianda A. Pendahuluan

Dalam beberapa perkara mengenai nafkah anak, kebanyakan Majelis Hakim menetapkan

kewajiban nafkah anak kepada suami atau ayah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum syara’. Akan tetapi bila kita melihat kondisi masyarakat saat ini, te

rutama di era modern dimana kedudukan perempuan atau isteri sudah bisa disejajarkan dengan lak-laki, maka perlu kita merekonstruksi kembali pemahaman syariat dan hukum yang telah ada ini. Sebab hari ini, posisi istri tidak lagi melulu berada di rumah, mengurus dapur, rumah tangga dan anak. Di beberapa tempat, ada pula pasangan suami isteri yang justru sang isteri lebih dominan dari pada suami dengan bekerja di luar rumah, mencari nafkah, sedangkan suami yang mengurus rumah tangga. Oleh karena itu ketika hukum ini disama-ratakan kepada setiap

pasangan suami isteri, tentu tidak akan melahirkan suatu keadilan yang hakiki, yaitu keadilan distributif.

Sejalan dengan itu, dalam terminologi sosiologi hukum, telah kita ketahui bersama bahwa hukum akan senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan budaya serta nilai yang dianut dalam masyarakat. Hukum yang hidup di masyarakat (living law) adalah hukum yang selaras dengan kehidupan masyarakat.

Dalam ushul fikh kita mengenal kaidah : ةمكحملا ةداعلا

“adat itu menjadi hukum”

دءاوعلاو ةنكاماو ةنامما ريغتب ماكاما ريغت

“Hukum berubah sejalan dengan perubahan waktu, tempat dan adat”.

Oleh karena itu perlu merekonstruksi hukum, berkaitan dengan nafkah anak pada saat ini khususnya bagi pasangan suami isteri yang mana istri lebih dominan mencari nafkah

dibandingkan suami. Dan pada artikel singkat ini, penulis mencoba memaparkan suatu wacana, dimana istri juga dapat dikenai kewajiban untuk menafkahi anak, dengan beberapa alas an dan pertimbangan hukum.

B. Analisis Kewajiban Nafkah Anak bagi Istri

Sejauh pemahaman yang menjadi tata nilai yang sudah mengkristal baik dikalangan masyarakat umum maupun kalangan praktisi hukum, kewajiban nafkah terhadap anak dibebankan kepada suami atau ayah. Doktrin Islam menempatkan suami dengan posisi lebih tinggi dibandingkan perempuan sebagaimana makna itu bisa kita lihat dalam al Qur’an :

…..

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) (Q.S. al Nisa : 34)

(2)

maupun bathin. Dalam Kitab Muhadzab jilid II hal 177 disebutkan :

“Nafkah anak adalah beban ayah, sesuai dengan riwayat Abi Hurairah bahwa seseorang datang kepada Nabi dan berkata : Ya Rasulallah saya mempunyai satu dinar. Nabi berkata : Pakailah untuk nafkah dirimu. Orang tersebut berkata lagi , saya mempuyai satu dinar lagi. Nabi berkata : Pakailah nafkah untuk anakmu….dan seterusnya”. (al Muhadzab II : 177).

Selain doktrin Islam, tata nilai budaya dan adat masyarakat Indonesia juga menganut nilai tersebut, kebanyakan masyarakat Indonesia menganut azaz patrilinear, dimana ayah lebih dominan dalam mengurus rumah tangga yang salah satunya kewajiban mencari nafkah untuk membiayai kebutuhan istri dan anak.

Tidaklah heran, ketika nilai agama dan budaya ini diakomodir oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia. Beberapa pasal dibawah ini menjadi rujukan bahwa kewajiban nafkah bagi anak dibebankan kepada ayah atau suami :

Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34

(1). Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

Kompilasi Hukum Islam Pasal 80

(4) sesuai dengan penghasislannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak; c. biaya pendididkan bagi anak.

Pasal 81

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. (4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c. biaya pemeliharaanditanggung olehayahnya. Pasal 104

(3)

setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

d. memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut

kemampuannya,sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang

Peradilan Agama Pasal 78

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, Pengadilan dapat: a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;

b. menentukan hal hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;

c. menentukan hal hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang barang yang menjadi hak suami atau barang barang yang menjadi hak istri.

Dalam praktek di pengadilan agama, putusan mengenai nafkah anak timbul sebagai akibat dari perceraian bilamana hak asuh anak / hadhanah berada di istri, apakah hak asuh tersebut

ditetapkan oleh suatu putusan atas tuntutan salah satu pihak, maupun hak asuh yang secara natura dan kesepakatan suami isteri berada pada ibu / istri tanpa diajukan tuntutan. Artinya tuntutan nafkah anak bisa terjadi bersamaan dengan adanya tuntutan hadhanah maupun tidak berbarengan. Akan tetapi kesemuanya itu titik tekan adanya nafkah anak, ketika hak asuh itu baik melalui putusan pengadilan maupun secara natura berada di pihak istri / ibu.

Pada saat gugatan hak asuh yang diajukan oleh isteri dikabulkan, kemudian istri juga menuntut nafkah anak, maka Majelis Hakim mengabulkannya pula dengan menetapkan nafkah anak kepada suami berlandaskan pasal-pasal tersebut diatas. Dan apabila hak asuh anak ditetapkan kepada ayah atau suami, terlepas suami atau isteri yang mengajukan, maka pada umumnya Majelis Hakim tidak menetapkan nafkah anak kepada suami, karena anak berada dalam pengasuhan suami dan berdasarkan pasal diatas, kewajiban nafkah anak terletak pada suami sehingga tidak perlu lagi ditetapkan nafkah anak.

Meskipun pada dasarnya hak asuh anak yang belum mumayyiz diberikan kepada ibu (vide : Pasal 105 KHI), akan tetapi dalam beberapa kasus terdapat pula Majelis Hakim yang menetapkan hak asuh anak kepada suami dengan beberapa pertimbangan.

(4)

dibawah pengasuhan ayah, maka Majelis Hakim dapat menetapkan hak hadhanah berada di suami atau ayah.

Selain itu juga Majelis Hakim ada yang menganalogikan dengan Pasal Pasal 109 KHI yang berbunyi : “Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatbya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros,gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya”. Artinya bilamana ibu tidak layak mengasuh anak karena ia seorang penjudi, pemadat, pemboros, dsb, maka demi kepentingan moril dan materil anak, hak hadhanah diberikan kepada suami.

Sebagaimana disinggung diatas, pada umumnya ketika hak asuh diberikan kepada suami, maka tidak ada nafkah anak yang ditetapkan dengan alasan bahwa kewajiban nafkah ada pada suami dan senyatanya anak berada dalam pengasuhannya. Akan tetapi menurut penulis, hal tersebut tidak dapat diterapkan pada semua kasus.

Sebut saja dalam satu kasus dimana istrinya adalah wanita karir dengan segudang kesibukan, sedangkan suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Di dalam persidangan terbukti bahwa baik suami memiliki waktu yang lebih banyak dari isteri untuk mengurus anak, dan terbukti pula suami memiliki kepribadian yang baik dan bertanggung jawab dalam mengurus anak. Sedangkan telah terbukti pula dipersidangan sang isteri telah lalai dalam mengurus anak dengan

menelantarkannya karena kesibukannya. Anak hanya diurus oleh pembantu dan bertemu dengan sang ibu tidak lebih dari satu atau dua kali dalam sepekan. Sehingga telah terbukti baik

perkembangan fisik maupun psikis anak terganggu. Kemudian dengan mengacu kepada Pasal 41 huruf (b) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 106 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, serta Bab III Pasal 4 s.d 18 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, Majelis Hakim pun menetapkan hak hadhanah kepada sang ayah.

Sebut saja, dalam kasus diatas ternyata terbukti bahwa istri memiliki penghasilan yang jauh lebih besar dibandingkan suami yang hanya bekerja serabutan.

Dengan melihat kasus posisi diatas, demi rasa keadilan berdasarkan ketuhanan YME, apakah cukup adil bila sang ayah harus menanggung seluruh beban nafkah anaknya, pada saat ia sendiri hidup serba kekurangan, sedangkan sang isteri memiliki penghasilan berlebih, dan ia telah melalaikan kewajibannya sebagai ibu ?

Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya mencoba melontarkan suatu wacana hukum, dimana istri dapat pula dibebani untuk memberikan nafkah kepada anak, dengan beberapa landasan sebagai berikut :

Landasan Filosofis

(5)

dan kemampuannya;

Kemudian, sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, kemudian

diperjelas dengan Pasal 1 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempesoalkan terdaftar atas nama siapapun. Dengan demikian sesungguhnya biaya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik primer, sekunder, tertier, bahkan termasuk untuk membiayai kebutuhan anak-anak, pada hakikatnya diambil dari harta bersama, karena penghasilan suami merupakan bagian dari harta bersama, dengan persetujuan kedua belah pihak (vide Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam);

Selanjuntya, bahwa oleh karena kebutuhan rumah tangga itu termasuk kebutuhan anak itu, dibiayai dari harta bersama sedangkan harta bersama itu sendiri terdiri dari penghasilan suami dan isteri, ini memiliki arti bahwa dari penghasilan isteri juga terdapat keharusan untuk

digunakan memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan persetujuan kedua belah pihak (vide Pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam), dengan tidak terkecuali memenuhi kebutuhan anak-anak;

Dari uraian diatas, penulis dapat menarik suatu benang merah, bahwa suami-isteri yang sama-sama memiliki penghasilan maka keduanya sama-sama-sama-sama memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga termasuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, karena harta yang mereka peroleh adalah harta bersama yang harus digunakan untuk kebutuhan bersama atas persetujuan bersama dan bukan lagi harta perseorangan dengan kewajiban perseorangan, karena keduanya sudah menyatu dalam suatu perikatan (syirkah) pernikahan;

Lalu bagaimanakan bila terjadi perceraian ? apakah suami isteri masih memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, sedangkan suami isteri telah terpisah dari perikatannya (syirkahnya) dengan perceraian ?

Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 menyebutkan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak- anak, Pengadilan memberi keputusannya;

Penulis memahami kedua pasal diatas, tidak bersifat parsial dengan pasal-pasal lain yang terdapat dalam undang-undang perkawinan, sehingga tidak memisahkan dan membedakan kewajiban antara suami dan isteri bagi anak-anaknya, baik pada saat masih berada dalam ikatan perkawinan maupun pasca perceraian.

Artinya, pasal ini menentukan bahwa putusnya perkawinan melalui perceraian tidak lantas meniadakan kewajiban suami dan isteri kepada anak-anaknya. Kewajiban suami dan isteri tetap berjalan dan berlangsung sebagaimana sebelumnya. Tidak ada sedikitpun hak-hak keperdataan dan kewajiban keperdataan yang berubah atau berkurang bagi ayah dan ibu terhadap anaknya. Seperti hak menjadi wali, hak saling mewarisi, termasuk kewajiban memelihara.

Hal ini dikuatkan pula dengan Pasal 45 Undang-udang Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi : (1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Perlu dicermati bahwa pasal 45 ini terdapat dalam BAB X, yaitu menngenai HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK, yang dituangkan setelah bab VIII tentang akibat

(6)

perceraian, undang-undang mengehendaki hak dan kewajiban orang tua tetap berjalan tidak tidak berubah.

Penulis juga perlu memperluas tafisr dari kata “memelihara” Landasan Yurdis Formil

Secara legal formal, sesungguhnya undang-undang telah memberikan ruang kepada Majelis Hakim untuk dapat menetapkan nafkah anak kepada isteri. Meskipun jarang digunakan, ada pasal yang sering luput dalam praktek peradilan agama sehari-hari, yaitu Pasal 41 huruf b. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang

diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

Berdasarkan pasal tersebut sesungguhnya sudah ada dasar hukum yang kuat bagi Hakim untuk menetapkan nafkah anak kepada Ibu, bilamana dipandang perlu. Hanya saja bagaimana hukum acara yang mengatur hal tersebut belum tertata secara lengkap.

Karena penetapan nafkah anak kepada istri belum familiar, apalagi dengan pemahaman yang ada yang sudah melekat maka bagi sebagian masyarakat terutama di kalangan awam belum banyak yang mengajukan tuntunan nafkah anak oleh suami kepada istri. Yang jadi persoalan apakah Majelis Hakim dapat menetapkan nafkah anak kepada istri tanpa adanya gugatan ? apakah hal tersebut tidak melanggar asas ultra petitum petita ?

Ada dua celah yang bisa menjadi pintu untuk penetapan ini.

Pertama, dengan hak ex officio hakim. Bagi sebagian berpendapat bahwa hak ex oficio hakim dalam bidang perceraian didasarkan karena adanya kewajiban yang melekat kepada suami setelah terjadinya perceraian. Bilamana illat hukum ex officio hakim dalam bidang perceraian adalah kewajiban yang melekat kepada suami, maka hal ini dapat dianalogikan kepada nafkah anak yang merupakan kewajiban suami dan istri secara bersama-sama (sebagaimana dibahas diatas).

Bagi yang berpendapat seperti ini, maka hak ex officio hakim mencakup kepada wilayah penetapan nafkah anak baik kepada suami maupun kepada isteri, meskipun tanpa adanya tuntutan dari salah satu pihak, dan karenanya tidak melanggar prinsip ultra petitum petita. Kedua melalui pintu ex aequo et bono. Dimana berdasarkan rasa keadilan hakim, meskipun tidak ada tuntutan nafkah anak oleh suami atau isteri, Majelis Hakim tetap menetapkan kewajiban nafkah anak baik kepada suami atau kepada istri dan memasukannya kepada amar putusan. Kedua hal tersebut bisa saja di tempuh selama Hakim mampu mengkontruksi alasan dan pertimbangan hukum dengan baik dalam putusannya.

C. Kesimpulan

Dari uraian diatas, penulis berpendapat, secara filosifis maupun secara yuridis formil,

sesungguhnya Hakim dapat menetapkan kewajiban nafkah anak kepada istri apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

- Hak Hadhanah jatuh kepada suami

- Istri terbukti lalai dalam memelihara anak.

- Istri terbukti memiliki kemampuan finansial yang lebih daripada suami. - Suami terbukti secara finansial kurang mampu menafkahi anak.

(7)

Hakim tidak semata-mata menjadi corong undang-undang, akan tetapi harus juga menggali nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat. Selain itu juga hakim memiliki independensi dalam menetapkan suatu hukum selama ia mampu mengkonstruksi alasan dan pertimbangan hukum secara baik dan logis.

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini perkembangan teknologi semakin pesat jika tidak diiringi dengan kewaspadaan yang baik terhadap penggunaan teknologi informasi, maka bisa-bisa kita dapat menjadi salah

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui sejauh mana Itenas telah berpartisipasi dalam menerapkan program-program yang ada dalam standar rating system

Untuk mendeskripsikan kesulitan belajar siswa pada materi Fungi digunakan 26 butir soal tes diagnostik yang meliputi lima indikator pada materi fungi yaitu ciri-ciri

Onderzoek naar zelforganisatie zou dan ook niet primair de overheid moeten helpen om te gaan met burgers die zich sneller, meer en beter organiseren maar zou in de eerste

Salah satu metode analisis yang digunakan untuk mempermudah menjawab pokok permasalahan dalam penelitian yakni dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Bab IV

0 responden sedangkan pada saat post test mengalami perubahan terdapat 6 responden yang tidak merasakan nyeri setelah dilakukan massage effuerage menggunakan aromaterapi

Sehubungan dengan pennohonan Saudara untuk melakukan praktek kerja , maka bersama ini kami sampaikan bahwa perusahaan kami dapat menerima Saudara dan akan

34 Tahun 2009 tentang Pengutamaan Pemasokan Kebutuhan Mineral dan Batubara Untuk Kebutuhan Dalam Negeri..  Pencegahan eksploitasi berlebihan di bidang pertambangan yang dapat