• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekilas Mengenai Pendidikan Anak Berbaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sekilas Mengenai Pendidikan Anak Berbaka"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Sekilas Mengenai Pendidikan Anak Berbakat Ignatius Dharta Ranu Wijaya

Aspek Historis

Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 1974 dengan pemberian beasiswa bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi dan keluarganya. Selanjutnya pada tahun 1982, Balitbang Dikbud membentuk Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB). Tahun 1998 Depdiknas memberikan Surat Keputusan Penetapan Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar. Kelompok Kerja ini mewakili unsur-unsur struktural serta unsur-unsur keahlian seperti Balitbang Dikbud, Ditje Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian di bidang sains, matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa dan humaniora, serta psikologi. Kelompok kerja tersebut antara lain bertugas untuk mengembangkan ”Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat”, serta merencanakan, mengembangkan, menyelenggarkan, dan menilai kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan rencana induk pengembangan anak berbakat kemudian, pada tahun 1984 Balitbang Dikbud menyelenggarakan perintisan pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, dan SMA di satu daerah perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur).

(2)

kecerdasan dan bakat istimewa hanya 9,7 % (Reni H., dkk., 1998 – pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar Depdiknas hal 4).

Landasan Hukum

Perhatian pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa secara tegas telah dinyatakan sejak Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1983, dan 2004 yang menyebut kan: “… Demikian pula perhatian khusus perlu diberikan kepada anak -anak yang berbakat istimewa agar mereka dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal”.

Tekad tersebut berlanjut terus dan dipertahankan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara berikutnya yaitu GBHN Tahun 1988, yang berbunyi: “Anak didik berbakat istimewa perlu mendapat perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sesuai dengan tingkat pertumbuhan pribadinya“; GBHN Tahun 1993 menyatakan “Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa perlu mendapat perhatian khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya”;dan selanjutnya GBHN Tahun 1998 mengamanatkan bahwa : “Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya.

Undang–Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 8 ayat (2) menegaskan bahwa:“Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus.” Begitu pula dalam Pasal 24 dinyatakan bahwa “setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut: (1) mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (2) mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri, maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; (6) menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan”. Kesungguhan untuk mengembangkan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa ditekankan pula oleh Presiden Republik Indonesia ketika menerima anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tanggal 19 Januari 1991, yang menyatakan bahwa: “ Agar lebih memperhatikan pelayanan pendidikan terhadap anak-anak yang mempunyaikemampuan dan kecerdasan luar biasa.

(3)

memperoleh pendidikan khusus” (pasal 5 ayat 4). Begitu pula dalam pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa: “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan” UU Sisdiknas sangat menghargai dan berakar pada martabat peserta didik dengan segala keunikannya. Fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 3 jelas-jelas menegaskan tujuan Utuh Pendidikan Nasional (TUPN). Secara filosofis ada tiga domain TUPN sebagai satu keutuhan, yaitu:

(1) tujuan eksistensial yang terefleksikan dalam perkembangan kemampuan, watak atau karakter, dan peradaban bangsa yang bermartabat;

(2) tujuan kolektif terwujud dalam kecerdasan kehidupan bangsa

(3) tujuan individual terwujud dalam perkembangan potensi peserta didik.

Kajian Teoretik Keberbakatan

Beberapa kajian mengenai keberbakatan telah disampaikan oleh beberapa ahli, antara lain adalah: a. Heller (2004)

Mengembangkan model multifaktor yang merupakan pengembangan dari Triadic Interdependence model Monks serta Multiple Intellegences dari Howard Gardner. Menurut Heller konsep keberbakatan dapat ditinjau berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling terkait satu sama lain:

1. Faktor talenta (talent)yang relatif mandiri, 2. Faktor kinerja (performance)

3. Faktor kepribadian, dan 4. Faktor lingkungan;

(4)

Kreatifitas Kapasitas

Intelektual

Komitmen terhadap

tugas

Keluarga

LingkunganSekolah

The “three-Ring Conception”atau konsepsi tiga cincin dari Renzulli menyatakan bahwa tiga ciri pokok yang merupakan kriteria (persyaratan) keberbakatan (giftedness) adalah adanya keterkaitan antara:

1. Kemampuan umum (kapasitas intelektual) dan/atau kemampuan khusus di atas rata-rata. 2. Kreativitas di atas rata-rata.

3. Pengikatan diri terhadap tugas (taskcommitment) yang cukup tinggi.

c. Renzulli-Monks yang merupakan pengembangan dari Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli.

Model Renzulli-Monks ini disebut model multifactor yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli. Dalam model multi faktornya Monks mengatakan bahwa potensi kecerdasan istimewa (giftedness) yang dikemukakan oleh Renzulli tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan dimana anak tinggal (Monks dan Ypenburg, 1995).

(5)

karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuh kembangnya yang menjadi penghambat baginya, serta dalam mengupayakan layanan pendidikanyang terbaik baginya. Lebih lanjut model pendekatan ini menuntut keterlibatan pihak orangtua dalam pengasuhan di rumah agar berpartisipasi secara penuh dan simultan dengan layanan pendidikan di sekolah.

Konsep-konsep keberbakatan di atas semakin berkembang dengan adanya model multipleintelligence dari Howard Gardner (1983). Gardner menjelaskan bahwa intelegensi bukan merupakan suatu konstruk unit tunggal namun merupakan konstruk sejumlah kemampuan yang masing-masing dapat berdiri sendiri. Pendapatnya ini seiring dengan jalan yang ditempuh oleh para psikolog untuk memahami kembali apa yang dimaksud dan bagaimana cara mengukur intelegensi. Semua sepakat bahwa intelegensi tidak dapat diukur melalui pengukuran kemampuan skolastik semata. Gardner berpendapat bahwa manusia memiliki 7 dimensi yang semi otonom dan bahkan saat ini telah berkembang lagi menjadi 9 jenis intelegensi.

“Multidimensional model consists of seven relatively independent ability factor groups (predictors), and various performance domains (criterion variables), as well as personality (e.g., motivational) and social environ-mental factor that serve as moderators for the transition of individual potentials into excellent performances in various domains.”

(menurut Heller et al., 1992, 2001).

Pengembangan model tersebut kemudian dipengaruhi juga oleh pembentukan pengetahuan dan rutinitas dalam suatu perjalanan yang panjang dan intens dari proses belajar (Ziegler, 1997).

Identifikasi Keberbakatan

(6)

Alat yang dapat dipergunakan dalam melakukan identifikasi anak berbakat diantaranya adalah :

1. Kemampuan intelektual umum; Galton dalam Conny Semiawan (1994; 124) “Pengukuran kemampuan intelektual umum diperoleh melalui pengukuran kekuatan otot, kecakapan gerak, sensitivitas terhadap rasa sakit, kecermatan dalam pendengaran dan penglihatan, perbedaan dalam ingatan dan lain-lain yang semua disebut “tes mental”.

2. Tes inteligensi umum; Salah satu perkembangan yang amat penting dalam pengmbangan pengukuran intelegensi adalah timbulnya skala Wechsler dalam mengukur inteligensi orang dewasa dengan menggunakan norma tes bagi perhitungan IQ yang menyimpang.

3. Tes kelompok kontra tes individual; Tes kelompok l ebih banyak digunakan dalam sistem pendidikan, pelayanan pegawai, industri dan militer. Tes kelompok dirancang untuk sekelompok tertentu, biasanya tes kelompok menyediakan lembar jawaban dan “kunci-kunci” tes. Bentuk tes kelompok berbda dari tes individual dalam menyusun item dan kebanyakan menggunakan item pilihan ganda.

4. Pengukuran hasil belajar; Tes ini mengukur hasil belajar setelah mengikuti proses pendidikan. Tes hasil belajar ini berbeda dengan tes bakat, tes inteligensi, tes hasil belajar pada umumnya merupakan evaluasi terminal untuk menentukan kedudukan individu setelah menyelesaikan suatu latihan atau pendidikan tertentu. Penekanannya terutama pada apa yang dapat dilakukan individu saat itu setelah mendapatkan pendidikan tertentu.

5. Tes hasil belajar individual; Pada umumnya tes hasil belajar adalah tes kelompok yang bermaksud membandingkan kemajuan belajar antar individu sebaya, namun di sini hanya hasil belajar individual saja. Di Indonesia sering menggunakan pengukuran acuan norma (PAN) dan pengukuran acuan kriteria (PAK).

Penilaian yang baik akan menempatkan peserta didik dengan keberbakatan pada posisi yang menguntungkan dalam arti tidak menuntut peserta didik melakukan pekerjaan atau kinerja yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Identifikasi ini biasanya berguna bagi peramalan tentang kinerja tertentu di dalam waktu yang akan datang.

Layanan Pendidikan

(7)

tentang pola layanan pendidikan anak cerdas berbakat. Bahkan menjadi lebih menarik lagi, karena banyak terjadi miskonsepsi terhadap keberbakatan. Namun demikian, beberapa pokok layanan yang dapat disebutkan di sekolah bagi peserta didik berbakat, antaranya adalah:

1. Kurikulum

Kurikulum berdiferensiasi bagi anak berbakat mengacu pada penanjakan kehidupan mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan kreativitasnya serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual pada tingkat tinggi. Dilihat dari kebutuhan perkembangan anak berbakat, maka kurikulum berdiferensiasi memperhatikan perbedaaan kualitatif individu berbakat dengan individu lainnya. Dalam kurikulum berdeferensiasi terjadi penggemukan materi, artinya materi kurikulum diperluas atau diperdalam tanpa menjadi lebih banyak. Secara kualitatif materi pelajaran berubah daalam penggemukan beberapa konsep esensial dari urikulum umum sesuai dengan tuntutan bakat, perilaku, keterampilan dan pengetahuan serta sifat luar biasa anak berbakat. Dengan demikian, kurikulum pendidikan seyogyanya bisa mengakomodasi dimensi vertikal maupun horisontal pendidikan anak. Secara vertikal, anak-anak berbakat harus dimungkinkan untuk menyelesaikannya pendidikannya lebih cepat. Secara horisontal, disediakan program pengayaan (enrichment), dimana siswa berbakat dimungkinkan untuk menerima materi tambahan, baik dengan tugas maupun sumber-sumber belajar tambahan, baik dengan tugas-tugas maupun sumber-sumber belajar tambahan.

2. Model Pembelajaran

Untuk layanan pendidikan terhadap anak berbakat ini ada beberapa model yang dapat digunakan, yaitu; pengayaan, percepatan, dan segregasi. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Philip E. Veron (1979; 42) sebagai berikut; “Acceleration, segregation, and enrichment”. Sedangkan David G. Amstrong and Tom . Savage (19883; 327) mengemukakan dua model, yaitu; “Enrich ment and acceleration”.

Penjelasan dari mode-model di atas adalah sebagai berikut :

1. Pengayaan (enrichment) dalam model enrichment ini anak mendapatkan pembelajaran tambahan sebagai pengayaan. Pengayaan ini dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu sebagai berikut : a. Secara vertikal; Cara ini untuk memperdalam salah satu atau sekelompok mata pelajaran

tertentu. Anak diberi kesempatan untuk aktif memperdalam ilmu Pengetahuan yang disenangi, sehingga menguasai materi pelajaran secara luas dan mendalam.

(8)

2. Percepatan (scceleration) secara konvensional bagi anak yang memiliki kemampuan superior dipromosikan untuk naik kelas lebih awal dari biasa nya. Dalam percepatan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut :

a. Masuk sekolah lebih awal/sebelum waktunya (early admission), misalnya sebelum usia 6 tahun, dengan catatan bahwa anak sudah matang untuk masuk Sekolah Dasar.

b. Loncat kelas (grade skipping) atau skipping class, misalnya karena kemampuannya luar biasa pada salah satu kelas, maka langsung dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi satu tingkat (dari kelas satu langsung ke kelas tiga).

c. Penambahan pelajaran dari tingkatan di atasnya, sehingga dapat menyelesaikan materi pelajaran lebih awal.

d. Maju berkelanjutan tanpa adanya tingkatan kelas. Dalam hal ini sekolah tidak mengenal tingkatan, tetapi menggunakan sistem kredit. Ini berarti anak berbakat dapat maju terus sesuai dengan kemampuannya tanpa menunggu teman-teman yang lainnya.

3. Segregasi Anak-anak berbakat dikelompokkan ke dalam satu kelompok yang disebut “ability grouping” dan diberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman belajar yang sesuai dengan potensinya. Mengenai sistem penyelenggaraan pendidikan, selain yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa sistem dalam pendidikan bagi anak berbajat, yaitu; (1) Sekolah khusus, (2) Kelas khuus, dan (Terintegrasi dalam kelas reguler atau normal dengan perlakukan khusus. Model pertama dan ke dua nampaknya banyak mengundang kritik, karena cenderung eksklusif dan elit, sehingga bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Kedua sistem ini hanya bisa dilakukan untuk bidang-bidang tertenu saja. Model yang kini populer adalah sistem dimana anak -anak berbakat diintegrasikan dalam kelas reguler atau normal. Cara ini mempunyai banyak keuntungan bagi perkembangan psikologis dan sosial anak. Hal yang menyulitkan adalah bagaimanakah perhatian diberikan secara berbeda melalui apa yang disebut “pengajaran yang diindividualisasikan”, yaitu settingnya kelas tetapi perhatian diberikan kepada individu anak. Konsekwensinya perlu kurikulum yang fleksibel, yaitu kurikulum yang berdiferensiasi, yang bisa mengakomodasi anak-anak biasa dan anak berbakat.

(9)

pengelompokkan bisa berupa jenis kelamin, tingkat kemampuan belajar, atau minat-minat khusus pada mata pelajaran tertentu.

Fahrle, Duffi dan Schulz (1985) dalam DediSupriadi (1992; 23) mengemukakan bahwa program pendidikan untuk anak-anak berbakat harus memberikan kepada anak-anak dua macam pengalaman yang bernilai sosial.

Pertama mereka harus memiliki kesempatan untuk bergaul secara luas dan wajar engan teman-teman sebayanya. Kedua program pendidikan untuk anak-anak berbakat harus menyediakan peluang kepada peserta didik untuk secara intelektual tumbuh bersama rekan-rekan sebayanya. Sistem manapun yang dipilih, penyelenggara harus tetap berpegang pada prinsip bahwa pendidikan itu tidak boleh mengorbankan fungsi sosialisasi nilai-nilai budaya (toleransi, solidaritas, kerja sama) kepada anak. Program pendidikan untuk anak-anak berbakat tidak identik dengan perlakuan yang eksklusif dan elitis, melainkan semata-mata supaya untuk memberikan peluang kepada anak didik untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Dalam layanan pendidikan bagi anak berbakat, khususnya pada jenjang sekolah dasar di Indonesia saat ini adalah sistem yang terpadu, yakni anak-anak berbakat masuk ke sekolah yang samaadian mereka diperlakukan dengan sistem pengajaran yang dindividualisasikan, yakni sistem yang memberikan perhatian secara individual kepada setiap siswa dalam kelas biasa. Dengan demikian yang diperlukan dalam layan pendidikan bagi anak berbakat khususnya pada sekolah dasar, bukanlah sekolah, kelas, ataupun kurikulum khusus, melainkan modifikasi kurikulum dan sarana pendukungnya agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat.

(10)

pada dasarnya berbeda-beda, bila hendak membandingkan anak tertentu, maka gunakan pengukuran acuan norma dengan :

a. Membandingkan anak berbakat dengan seluruh populasi b. Membandingkan anak berbakat dengan teman sebaya.

c. Membandingkan anak berbakat dengan populasi anak berbakat lagi. d. Membandingkan anak berbakat dengan dirinya sendiri.

Sedangkan proses dan produk belajar yang mengacu pada ketuntasan belajar menggunakan instrumen dan prosedur yang merupakan :

a.Pengejawantahan dari kekhususan layanan pendidikan anak berbakat. b. Hasil umpan balik untuk keperluan tertentu.

c. Pemantulan tingkat kemantapan penguasaan suatu materi sesuai sifat, keterampilan, kemampuan maupun kecepatan belajar seseorang.

4. Guru Anak Berbakat

Untuk menangani anak berbakat di Sekolah Dasar, tentunya membutuhkan guru-guru yang memiliki kemampuan yang khusus. Dalam hal ini David G. Armstrong And Tom V. Savage (1983; 334) mengutip pendapat James O. Schnur (1980) sebagai berikut; “most descriptions of capable teachers of the gifted and talented”. Deskripsi kemampuan guru yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a.Memiliki kematangan dan keamanan. b. Memiliki kreativitas dan fleksibilitas.

b. Memiliki kemampuan mengindividualisasikan materi pelajaran. c. Memiliki kedalaman pemahaman terhadap pengajaran.

Penutup

Model layanan siswa unggul–cerdas berbakat (gifted students) hingga kini masih menjadi wacana yang sangat menarik, baik bagi pemerintah maupun masyarakat tentang pola layanan pendidikan anak cerdas berbakat. Bahkan menjadi lebih menarik lagi, karena banyak terjadi miskonsepsi terhadap keberbakatan. Layanan pendidikan khusus bagi anak berbakat diperlukan setidaknya atas empat pertimbangan faktor berikut ini :

1. Adanya bakat yang berbeda, perkembangan fisik, mental, dan sosial yang lebih cepat, juga minat intelektual serta perspektif masa depan yang jauh melampaui rata-rata orang.

(11)

3. Merupakan aset masyarakat dan bangsa, serta peluang sebagai calon pemimpin

4. Mencegah kemubadziran potensi dan harapan kontribusi mereka nantinya kepada masyarakat, bangsa, dan negara.

Banyak istilah yang dapat dipakai untuk menyebut anak berbakat, di antaranya: anak unggul, anak berkemampuan istimewa, anak superior, anak genius, anak cerdas istimewa, dan masih banyak sebutan lainnya. Secara konseptual pengertian anak berbakat juga semakin berkembang dewasa ini.

Bahan Bacaan

1. Amstrong, David G. and Savage, Tom V. (1983), Secondary Education : An Introduction, New York, Macmillan Publishing Co., Inc.

2. Bryan, James H. and Bryan Tanis H. (1979), Exceptional Children, California : Alfred Publishing Co., Inc.

3. Conny Semiawan, (1994), Perspektif Pendidikan Anak Berbakat , Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Proyek Pembinaan Dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan.

4. Dedi Supriadi, (1992), Perspektif Psikologis Dan Sosial Pendidikan Anak-Anak Berbakat, IKIP Bandung, Makalah Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II IKIP Medan.

5. Hallahan, Daniel P. and Kauffman, James M. (1982), Exceptional Children Introduction to Special Education,New York : Prentice-Hall, Inc.

6. Rnzulli, J.S., (1979), What Makes Giftednees : A. Reexamination of the Definition of the Gifted and Talented,California, Ventura Cauntry Superintendent Schools Office.

7. Tirtonegoro, Sutratinah, (1984), Anak Supernormal dan Program Pendidikannya , Jakarta, PT. Bina aksara.

8. Undang-undang Republik Indonesia, No. 20/2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Utami Munandar, SC., (2009),

9. Pemanduan Anak Berbakat, Jakarta, CV Rajawali. ---, (1992), Mengembangkan Bakat dan Kreativias Anak Sekolah, Petunjuk Bagi Para Guru dan Orang Tua , Jakarta, PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Hasil Evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga pada Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi kegiatan Rehabilitasi Ruang Belajar MTsN Salido Tahun Anggaran

Dengan ini saya menginovasi olahan tahu yang biasanya di goreng biasa pakai minyak dan wajan, hal tersebut membuat masyarakat kurang bisa membuat sajian dari makanan yang

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari gusjigang dan penerapan akuntansi terhadap literasi keuangan pra-nikah.. Jenis penelitian yang digunakan

PENERAPAN STRATEGI DIRECTED READING THINKING ACTIVITY (DRTA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA INTENSIF TEKS BIOGRAFI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Disamping itu pula, Pelabuhan Sunda Kelapa telah diresmikan sebagai pelabuhan tertua sejak Tahun 1970 dan ditetapkan sebagai salah satu dari 12 Jalur Destinasi Kawasan

Keseluruhan indikator dituangkan dalam 28 item pertanyaan yang diukur dengan menggunakan lima poin skala likert untuk mengukur tingkat profesionalisme akuntan publik,

Bangsa Arab saat itu hanya memiliki sedikit kemampuan berdagang namun keahlian tersebut juga tidak cukup untuk menjadikan bangsa mereka menjadi bangsa yang beradab, selain itu