BAB II
KONSEPCYBER NOTARYDALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris
Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlidungan hukum dibutuhkan alat
bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan
hukum yang dibuat dihadapan pejabat tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu
yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu
mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.31
Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak hukum
dikenal masyarakat itu sendiri, oleh karena hukum itu dibuat untuk mengatur
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum
diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum, yaitu
“ubi so cietes ibi ius” yang artinya dimana ada masyarakat di sana ada hukum.32 Notaris adalah profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat,
mengingat peranan dalam lalu lintas hukum kehidupan bermasyarakat melalui akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti
terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila
terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Tugas Notaris adalah mengkonstantir
31 Djuhad Mahja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Durat
Bahagia, Jakarta, 2005, hal. 59.
32 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu,
sehingga merupakan suatu akta otentik. Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat
dalam suatu proses hukum.33 Langkah-langkah itu (antara lain mendengar
pihak-pihak mengutarakan kehendaknya, kemudian membacakan isi akta kepada para
penghadap, menandatangani akta, dan lain-lain) memang khusus diadakan pembuat
undang-undang untuk menjamin bahwa apa yang tertulis dalam akta itu memang
mengandung apa yang dikehendaki para pihak.34
Menurut Gandasubrata, notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh
pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat.35 Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam Artikel 1 Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3), yang diterjemahkan oleh G.H.S Lumban Tobing menjadi pejabat umum,
yang berbunyi “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai segala perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki
untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”36Dalam kamus hukum, salah satu
33Tan Thong Kie,Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris,
Buku I,Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 159.
34Tan Thong Kie,Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris,
Buku II, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 261.
35 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia Cabang
Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998, hal 484.
arti dari ambtenaren adalah Pejabat,37 kemudian dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, istilah openbare diterjemahkan sebagai umum.38 Dengan demikian openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan umum. Openbare ambtenaren dapat juga diartikan sebagai Pejabat Publik.39 Berkaitan dengan openbare ambtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum, diartikan sebagai pejabat yang diberikan
kewenangan untuk membuat alat bukti otentik yang melayani kepentingan
masyarakat umum.
Oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, istilah Openbare ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) diterjemahkan menjadi pegawai-pegawai umum. Dengan terjemahannya bunyi Pasal 1868 BW
menyatakan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”40 Menurut R. Subekti,
yang dimaksud pegawai-pegawai umum adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu
pengadilan, pegawai pencatatan sipil.41 Diterjemahkan sebagai pegawai-pegawai
umum tersebut disebabkan perkembangan perundang-undangan yang memberikan
37Habib Adjie,Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Refika Aditama, Bandung, cet. ke-1, 2009, hal. 27.
38N.E. Algra, H.R.W. Gokkel,
Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Binacipta, Bandung, 1983, hal. 363.
39Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 009-014/PUU-III/2005,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diunduh pada tanggal 8 Juni 2014, hal. 119.
40R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, cet. ke-40, 2009, hal. 475.
kewenangan pembuatan akta otentik tidak hanya diberikan kepada notaris saja.
Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, tidak berarti memberikan
kualifikasi sebagai Pejabat Umum juga akan tetapi hanya menjalankan fungsi sebagai
Pejabat Umum ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan
kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pegawai negeri
sipil. Misalnya akta-akta yang dibuat oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan
menandatanganinya tetap berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Namun demikian
juga bukan berarti notaris diberikan kualifikasi pegawai negeri sipil notaris
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian, karena
notaris tidak menerima gaji dari pemerintah, melainkan menerima honorarium dari
klien atas jasa yang diberikan.
Dengan demikian Notaris bukanlah bagian dari Korps Pegawai Negeri Sipil
yang tersusun dalam suatu struktur birokrasi dengan pola hubungan yang hirarkis,
Notaris di angkat dan diberhentikan oleh pemerintah sesuai Pasal 2 UUJN yang
mengatur pengangkatan dan pemberhentiannya melalui Surat Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengangkatan Notaris dilakukan dengan syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perubahan UUJN, yakni:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari
dokter dan psikiater;
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris
dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada
kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris
setelah lulus strata dua kenotariatan;
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris; dan
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Kemudian sesuai Pasal 8 UUJN notaris diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya oleh pemerintah Apabila telah mencapai umur 65 tahun dan dapat
diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kondisi
kesehatannya.
Kalimat “dibuat oleh atau di hadapan” dalam Pasal 1868 BW, mengandung
makna adanya 2 macam akta, yaitu :
dilihat atau disaksikan oleh notaris, sebagai contoh relaas akta misalnya berita
acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, berita acara undian
berhadiah dan sebagainya;
2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta
partij(partij akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan apa yang diterangkan para pihak kepada notaris dalam melaksanakan jabatannya
dimana para pihak ingin agar keterangan atau perbuatan tersebut dikonstatir
oleh notaris di dalam suatu akta otentik, sebagai contoh partij akta misalnya
perjanjian hibah, jual beli, tukar menukar dan sebagainya.
Selanjutnya menurut Irfan Fachruddin, Pasal 1868 BW secara implisit
memuat perintah kepada pembuat undang supaya mengatakan suatu
undang-undang yang mengatur perihal tentang Pejabat Umum, dimana harus ditentukan
kepada siapa masyarakat dapat meminta bantuannya jika perbuatan hukumnya ingin
dituangkan dalam suatu akta otentik.42Oleh pembuat undang-undang defenisi notaris
terdapat dalam Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN, dan akta notaris terdapat dalam
Pasal 1 angka (7) Perubahan UUJN, serta kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15
Perubahan UUJN. Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN menyebutkan, “Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang
42Irfan Fachruddin,Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha
tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat
umum (Openbare Ambtenaren), di mana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta otentik berdasarkan perundang-undangan. Kemudian Pasal
1 angka (7) Perubahan UUJN menyebutkan, “Akta Notaris yang selanjutnya disebut
Akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk
dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Menurut hukum, akta yang
dibuat oleh atau di hadapan notaris, adalah akta otentik, barang siapa yang
membantah kebenaran suatu akta otentik, yang membantah harus dapat membuktikan
sebaliknya.43
Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)
perubahan UUJN. Ketentuan pasal 15 ayat (1) Perubahan UUJN menyebutkan
“Notaris berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse,
salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang tersirat, yaitu
kewenangan notaris yang bersifat luas namun terbatas sepanjang pembuatan akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Dengan demikian tidak semua pembuatan akta otentik menjadi wewenang
Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat lain, bukan merupakan wewenang Notaris,
seperti akta kelahiran, pernikahan, dan perceraian dibuat selain Notaris. Akta yang
dibuat Notaris tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai
wewenang yang meliputi empat hal, yaitu:44
a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang;
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai kepentingan siapa akta itu dibuat.
Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang.
Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak diperkenankan
membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan Notaris baik karna perkawinan maupun hubungan
darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta
dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk
diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.
Maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan
memihak dan penyalahgunaan jabatan;
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.
Bagi setiap Notaris ditentukan wilayah jabatannya dan hanya di dalam daerah
yang ditentukan tersebut Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Dalam
Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di
daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah
propinsi dari tempat kedudukannya. Akta yang dibuat diluar daerah jabatannya
adalah tidak sah;
d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu;
keadaan dimana Notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat akta otentik, yaitu:
1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris, ketentuan ini
diatur dalam Pasal 7 Perubahan UUJN. Notaris tidak berwenang membuat
akta otentik sebelum mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris;
2. Selama Notaris diberhentikan sementara. Selama notaris diberhentikan
sementara pemberhentian sementara maka notaris yang bersangkutan tidak
berwenang membuat akta otentik sampai masa skorsingnya berakhir;
3. Selama Notaris cuti. Notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta
otentik.
B. Pengertian Dan Lingkup Transaksi Elektronik
Menurut Pasal 1 UU ITE, yang dimaksud dengan Transaksi Elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan
Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan
dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik. Adapun perbuatan hukum itu terdiri
dari:45
a. Perbuatan hukum sepihak;
Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan
hak dan kewajiban pada satu pihak pula, contoh:
1. Perbuatan membuat surat wasiat (pasal 875 KUH Perdata);
2. Pemberian hibah sesuatu benda (pasal 1666 KUH Perdata);
3. Dan lain-lain.
b. Perbuatan hukum dua pihak;
Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak-hak (timbal balik), Contoh:
1. persetujuan jual beli (pasal 1457 KUH Perdata);
2. perjanjian sewa menyewa (pasal 1548 KUH Perdata);
3. Dan lain-lain.
Untuk adanya suatu perbuatan hukum harus disertai dengan pernyataan
kehendak dari yang melakukan perbuatan hukum tersebut dan akibat dari perbuatan
itu diatur oleh hukum. Pernyataan kehendak pada asasnya tidak terikat dengan
bentuk-bentuk tertentu dan tidak ada pengecualiannya. Oleh karena itu bentuk
pernyataan kehendak dapat terjadi dengan:46
1. Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan dengan:
45C. S. T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
cet. ke-12, 2002, hal. 27.
a. Tertulis, yang dapat terjadi antara lain; ditulis sendiri, ditulis oleh pejabat
tertentu, ditanda-tangani oleh pejabat itu, disebut juga akta otentik seperti
mendirikan PT dan semacamnya.
b. Lisan, pernyataan kehendak ini cukup dengan mengucapkan kata setuju,
misalnya dengan mengucapkan ya, dan semacamnya.
2. Pernyataan kehendak secara diam-diam, dapat diketahui dari sikap atau
perbuatan, misalnya sikap diam yang ditunjukkan dalam rapat berarti setuju.
Hal yang harus diperhatikan dalam peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum
adalah akibat, oleh karena akibat itu dapat dianggap sebagai kehendak dari si
pembuat (pelaku). Jika akibatnya tidak dikehendaki, maka perbuatan itu bukanlah
perbuatan hukum. Jadi adanya kehendak agar dikatakan sebagai perbuatan hukum,
perlu diperhatikan unsurnya yang esensil (werkelijk = sebenarnya) yang merupakan hakekat dari perbuatan hukum itu.47 Adapun perbuatan yang akibatnya tidak
dikehendari oleh pelaku adalah bukan perbuatan hukum, meskipun perbuatan tersebut
diatur oleh peraturan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa kehendak dari yang
melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan tersebut.
Perbuatan hukum yang timbul dalam transaksi elektronik dapat dilaksanakan
melalui 2 (dua) konteks, yaitu:48
1. Hubungan penyelenggara negara kepada publiknya (pelayanan publik);
47H. Hilman Hadikusuma,Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2005, hal. 40-41. 48 Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Rajawali Pers,
2. Hubungan perdata para pihak untuk melakukan perikatan atau kontrak
elektronik.
Pada dasarnya baik untuk pelayanan publik maupun privat, suatu komunikasi
elektronik bersifat privat hanya antara para pihak saja (baik B2B, B2C, C2C, G2C).49
Jenis-jenis transaksi elektronik tersebut antara lain:
a. Bussiness to Bussiness atau yang sering disebut B2B, adalah hubungan perdagangan antara pebisnis, seperti antara produsen dan grosir, atau antara
grosir dan pengecer. Perkembangan B2B lebih pesat jika dibandingkan
dengan perkembangan jenis e-commerce yang lainnya. Contohnya adalah
http://www.alibaba.com, http://www.indotrading.com,dan sebagainya.
b. Bussiness to Customer atau yang dikenal dengan B2C, adalah hubungan perdagangan antara produsen, grosir, atau pengecer ke pengguna akhir.
Contohnya adalah http://www.amazon.com, http://www.bhinneka.com, dan sebagainya.
c. Customer to Customer atau yang dikenal dengan C2C adalah hubungan perdagangan dimana pengguna akhir saling menjual barang satu sama lain.
Contohnya adalah http://www.ebay.com, http://www.olx.com (sebelumnya
http://www.tokobagus.com), dan sebagainya.
d. Government to Citizen atau yang dikenal dengan G2C adalah hubungan pemerintah kepada warga negaranya dalam hal pemberian informasi,
transaksi, ataupun pelayanan publik, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan
pemerintahan. Contohnya adalah http://www.indonesia.go.id, http://insw.go.id, https://efiling.pajak.go.id, http://ahu.web.id, dan sebagainya. Menurut Edmon Makarim, transaksi elektronik adalah perikatan ataupun
hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan
(networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet (network of network).50 Dengan demikian jika dipandang dari ruang lingkup hukum keperdataan, transaksi elektronik
dapat dipandang sebagai bagian dari perikatan para pihak (Pasal 1233 KUH Perdata),
Transaksi tersebut akan merujuk kepada semua jenis dan mekanisme dalam
melakukan hubungan hukum secara elektronik itu sendiri yang akan mencakup jual
beli, lisensi, asuransi, lelang, dan perikatan-perikatan lain yang lahir sesuai dengan
perkembangan teknologi dalam lingkungan masyarakat.
Kemudian jika dipandang dalam ruang lingkup hukum dagang, transaksi
elektronik dirumuskan definisinya dari terminologi electronic commerce ( e-commerce) yang lazim dipakai dalam perdagangan internasional. Defenisi e-commerce secara eksplisit disebutkan dalam sub bab ruang lingkup pada United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law on
50Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kajian Kompilasi, Rajawali Pers
Electronic Commerce (1996) with additional article 5 bis as adopted in 1998 (MLEC)51, yang mendefinisikane-commerce, sebagai berikut:
“The title of the Model Law refers to “electronic commerce.” While a definition of “electronic data interchange (EDI)” is provided in article 2, the Model Law does not specify the meaning of “electronic commerce.” In preparing the Model Law, the Commission decided that, in addressing the subject matter before it, it would have in mind a broad notion of EDI, covering a variety of trade-related uses of EDI that might be referred to broadly under the rubric of “electronic commerce” (see A/CN.9/360, paras. 28-29), although other descriptive terms could also be used. Among the means of communication encompassed in the notion of “electronic commerce” are the following modes of transmission based on the use of electronic techniques: communication by means of EDI defined narrowly as the computer-to-computer transmission of data in a standardized format; transmission of electronic messages involving the use of either publicly available standards or proprietary standards; transmission of free-formatted text by electronic means, for example through the INTERNET. It was also noted that, in certain circumstances, the notion of “electronic commerce” might cover the use of techniques such as telex and telecopy.”52
Kemudian melihat pada dokumen kelompok kerja nomor A/CN.9/360
paragraph ke 28-29 disebutkan sebagai berikut:
“As to the specific order in which issues should be discussed at the present session, a suggestion that the discussion generally follow the order in which the issues were presented in the paper before the Working Group was generally accepted, although it was noted that the list was not exhaustive and might require future additions. As to the definition of EDI, there was general agreement that in addressing the subject matter before it the Working Group would not have in mind a notion of EDI that was limited to the electronic exchange of information between closed networks of users that had become party to a communication agreement. Rather, the Working Group would have in mind a notion of EDI encompassing also open networks that allowed EDI users to communicate without having previously adhered to a communication agreement,
51Model hukum yang disarankan untuk diikuti oleh negara-negara anggota UNCITRAL saat
mereka membuat perundangan tentang e-commerce (atau transaksi elektronik secara umum), prinsip-prinsip yang ada didalamnya juga dapat diterapkan untuk transaksi perdagangan elektronik secara umum karena memuat prinsip-prinsip umum yang cukup universal untuk berbagai jenis transaksi elektronik.
52UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce, 1996with additional article 5 bis as
thus covering a variety of trade-related EDI uses that might be referred to broadly under the rubric of "electronic commerce.” Differing views were expressed as to whether the Working Group should attempt at the outset of its discussion to consider a more specific definition of EDI. One view was that such an exercise would usefully set out the scope of the issues to be considered by the Working Group since it might not be immediately clear whether certain methods of communicating information electronically (e.g., facsimile) were to be considered as falling within the notion of EDI. The prevailing view, however, was that, having the above-mentioned general notion of EDI or "electronic commerce" in mind for the purpose of defining the scope of the Working Group's task, it would be best to leave the matter of a specific definition to a later stage. This order of discussion was felt to be particularly appropriate because the question of the definition of EDI might arise repeatedly with respect to various points and in fact might differ with respect to different issues to be considered by the Working Group, and because the panoramic view of the issues involved would place the Working Group in a better position to consider a definition of EDI.”53
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa defenisi e-commerce
berdasarkan MLEC, adalah bentuk pertukaran dengan menggunakan teknik
komunikasi secara elektronik dengan sarana EDI, yang dapat juga didefinisikan
secara sempit sebagai pertukaran data antara komputer ke komputer dalam format
yang ditentukan, pertukaran pesan elektronik tersebut baik yang tersedia untuk umum
atau privat; pertukaran bebas dengan format teks secara elektronik, misalnya melalui
internet. Oleh karena itu transaksi elektronik dapat ditafsirkan sebagai salah satu
bentuk transaksi yang bersifatpaperless(tanpa berbasis kertas), danborderless(tanpa batas geografis).
C. Kekuatan Pembuktian Transaksi Elektronik
Dalam transaksi elektronik, alat pembuktian yang lazim digunakan adalah
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditransmisikan secara
53
elektronik antara para pihak. Menurut pasal 1866 KUH Perdata, dikenal adanya
beberapa alat bukti, antara lain:
1. Bukti tulisan;
2. Bukti dengan saksi-saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;
4. Pengakuan;
5. Sumpah;
Selanjutnya dalam Pasal 1867 KUHPerdata dinyatakan bahwa bukti tulisan
ada dua jenis, yakni:
1. Akta bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (private deeds); dan 2. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (authentic deeds).54
Kedua jenis akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda
dimana akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Selanjutnya
bahkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (UUJN) dinyatakan bahwa akta otentik dianggap sempurna karena ia
mengandung kebenaran formal. Namun perlu juga dipahami bahwa Pasal 1869
KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak
cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak
dapat diperlakukan sebagai akta otentik, ia hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai tulisan dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.55
54Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary
atau Electronic Notary,Op. Cit., hal. 29.
Selanjutnya pada pasal 1872 KUHPerdata juga dinyatakan bahwa suatu akta otentik,
yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka kekuatan eksekutorialnya dapat
ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Reglement Acara Perdata.
Kemudian disebutkan dalam Pasal 1877 KUHPerdata, jika seseorang memungkiri
tulisan atau tanda tangannya ataupun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang
mendapat hak daripadanya menerangkan tidak mengakuinya, maka Hakim harus
memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di
muka pengadilan.
Dalam pemahaman kekuatan pembuktian yang paling lemah, suatu informasi
elektronik adalah bernilai secara hukum karena secara fungsional keberadaannya
adalah sepadan atau setara dengan suatu informasi yang tertulis di atas kertas,
sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL tentang nilai hukum dari suatu
rekaman elekronik (legal value of electronic records) karena memenuhi unsur-unsur tertulis (writing), bertanda tangan (signed), dan asli (original).56 Hal tersebut dikeluarkan oleh UNCITRAL dalam Recommendations to Governments and international organizations concerning the legal value of computer records (1985)57, dalam rekomendasinya disebutkan:
"1. Recommends to Governments:
"(a)to review the legal rules affecting the use of computer records as evidence in litigation in order to eliminate unnecessary obstacles to their admission, to be assured that the rules are consistent with developments in technology, and to
56Op. Cit.hal. 24.
57UNCITRAL, Recommendations to Governments and international organizations
provide appropriate means for a court to evaluate the credibility of the data contained in those records;
"(b)to review legal requirements that certain trade transactions or trade related documents be in writing, whether the written form is a condition to the enforceability or to the validity of the transaction or document, with a view to permitting, where appropriate, the transaction or document to be recorded and transmitted in computer-readable form;
"(c) to review legal requirements of a handwritten signature or other paper-based method of authentication on trade related documents with a view to permitting, where appropriate, the use of electronic means of authentication; "(d)to review legal requirements that documents for submission to governments be in writing and manually signed with a view to permitting, where appropriate, such documents to be submitted in computer-readable form to those administrative services which have acquired the necessary equipment and established the necessary procedures;
"2. Recommends to international organizations elaborating legal texts related to trade to take account of the present Recommendation in adopting such texts and, where appropriate, to consider modifying existing legal texts in line with the present Recommendation.”
Menindaklanjuti hal tersebut dengan keberlakuan UU ITE, suatu informasi
elektronik di Indonesia juga telah diterima sebagai alat bukti sebagaimana telah
diakomodir dalam Pasal 5 UU ITE, sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak hanya
karena bentuknya yang elektronik.58Dalam Pasal 5 UU ITE, disebutkan:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang
sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
58Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang- Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Kemudian terdapat Penjelasan Pasal 5 ayat 4 huruf a, yakni: Surat yang
menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat
berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan
hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.
Berbeda dengan ketentuan dalam UNCITRAL, yang memasangkan secara
satu per satu kesetaraan fungsional antar informasi tertulis dengan informasi
elekronik terlebih dahulu (melalui kejelasan syarat pemenuhan unsur tertulis,
bertanda tangan dan asli), sementara Pasal 6 UU ITE lebih merangkumkan semua
unsur tersebut secara kumulatif sehingga akan lebih fleksibel dalam penerapannya.59
Dalam Pasal 6 UU ITE, disebutkan: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang
diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus
berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan. Kemudian dalam Pasal 7 UU ITE, disebutkan: “Setiap
Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak
Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan
Peraturan Perundang- undangan”.
Perihal persamaan atau kesetaraan tersebut dikenal dengan istilah kesetaraan
fungsional (functional equivalent approach) yakni mempersamakan secara fungsional bahwa suatu informasi elektronik adalah sama dengan bukti tulisan jika memenuhi
setidaknya tiga dasar, yakni:
1. Informasi tersebut dianggap tertulis jika ia dapat disimpan dan ditemukan
kembali;
2. Informasi tersebut dianggap asli jika yang disimpan dan ditemukan serta
dibaca kembali tidak berubah substansinya atau dengan kata lain terjamin
keotentikan dan integritasnya; dan
3. Informasi tersebut dianggap bertandatangan apabila terdapat informasi yang
menjelaskan adanya suatu subyek hukum yang bertanggungjawab di atasnya
atau terdapat sistem otentikasi yang reliable menjelaskan identitas dan otorisasi ataupun verifikasi dari pihak tertentu.60
D. Pengaruh Sistem Hukum Yang Dianut Di Indonesia
Kekuatan akta otentik sebagai alat bukti sempurna yang terkuat dan terpenuh
tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum yang dianut di Indonesia, Indonesia
sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum sebagaimana yang
diwariskan oleh Belanda yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Diantara berbagai
sistem hukum yang ada di dunia secara garis besar terbagi dalam dua sistem hukum,
yaitu sistem hukum Anglo Saxon atau juga disebutCommon Law System dan Eropa Kontinental atau juga disebut sistem hukum Romawi atau Civil Law System. Sistem hukum Anglo Saxon adalah sistem hukum dimana yang diutamakan adalah hukum tidak tertulis yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan
digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang ditujukan
kepadanya, yang pada umumnya menggunakan sistem juri pada peradilannya dan
pembuktian diutamakan pada adanya saksi dan bukti tertulis hanya merupakan
penunjang dari keterangan saksi, sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental
adalah sistem hukum dimana hukum dibuat dalam bentuk tertulis dan terkodifikasi
yang dalam hal pembuktian diutamakan pada bukti tertulis.61
Hal ini juga berpengaruh dalam pratik kenotariatan di dunia juga yang secara
garis besar terbagi menjadi dua aliran, yakni Notaris Latin dan NotarisAnglo Saxon. Notaris Latin diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Sipil (Civil Law System), sedangkan NotarisAnglo Saxondiadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Kasus (Common Law System). Civil Law System mulai masuk ke Indonesia
pada permulaan abad ke-17, berdasarkan penelusuran sejarah zaman “Republik der Verenigde Nederlanden, yang pada tahun 1620 Melchior Kerchem, diangkat
sebagai notaris pertama di Indonesia.62Asal mula aliran Notaris Latin ini dimulai dari
daerah Italia Utara. Dari Italia Utara, kemudian berkembang juga ke perancis,
Belanda dan sampai ke Indonesia dengan keberadaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).63 Kelompok negara yang menganut Civil Law System adalah negara-negara Eropa seperti Belanda, Prancis, Luxemburg, Jerman, Austria, Swiss,
Skandinavia, Italia, Yunani, Spanyol dan juga negara-negara bekas jajahan mereka.
Untuk kelompok yang termasuk dalam negara yang menganut Common Law System
adalah Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan.64
Bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental,
kewenangan notaris sangat berbeda dengan Notaris di negara-negara penganut sistem
hukum Anglo Saxon. Notaris di negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental atau juga disebut Notaris Latin merupakan profesi yang dilakukan oleh
ahli hukum (yurist) yang dijabat seumur hidup atau sampai memasuki masa pensiun, Notaris Latin dapat memberikan nasihat kepada kliennya dalam pembuatan alat bukti
tertulis. Kewenangan notaris di negara-negara penganut sistemAnglo Saxonrata-rata hanyalah merupakan pendaftaran surat-surat saja, yang bagi notaris di Indonesia yang
menganut sistem hukum Eropa Kontinental merupakan waarmerking (pendaftaran
62R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993 hal. 22.
63G.H.S. Lumban Tobing,Op. Cit., hal. 15.
64Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
surat di bawah tangan), notaris pada sistem hukumAnglo Saxontidak berperan dalam pembuatan dan menentukan isi surat/ akta. Selain itu, untuk menjadi seorang Notaris
di negara-negara penganut sistem Anglo Saxon rata-rata tidak menjalani pendidikan sebagai ahli hukum (yurist) dan menjabat dalam jangka waktu tertentu terlebih dahulu. Akta yang merupakan produk notaris Latin mempunyai kekuatan bukti
formil, materiil dan untuk perbuatan hukum tertentu juga mempunyai kekuatan
eksekutorial. Kekuatan alat bukti tertulis berupa akta otentik mempunyai tempat yang
tertinggi, terkuat dan terpenuh atau alat bukti sempurna dalam sistem hukum Eropa
Kontinental, hal tersebut menyebabkan kedudukan Notaris dalam sistem hukum
Eropa Kontinental ini sangat penting mengingat tugas dan kewenangannya dalam
membuat akta otentik.65 Oleh karena itu penerapan konsepcyber notary pada sistem
common law tidak akan berpengaruh pada kekuatan akta. Sedangkan Notaris di Indonesia yang menggunakan sistem civil law memandang bahwa akta yang dibuat oleh dan dihadapan notaris adalah akta yang otentik.66
E. Penerapan Konsep Cyber Notary Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.
Bentuk-Bentuk penerapan dari konsepcyber notarydi Indonesia menjadi jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (perubahan
65Herlien Budiono,Akta Otentik Dan Notaris Pada Sistem Hukum Anglo-Saxon Dan
Sistem Hukum Romawi, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke-III, Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni FH Unpar, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 104.
UUJN), yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat 3 perubahan UUJN, yakni
yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara
elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang. Sesungguhnya pemakaian istilah cyber notary di Indonesia sebagai Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental dirasakan kurang tepat. Berdasarkan literatur
yang menerangkan sejarahnya, istilahcyber notarydan electronic notaryseakan lahir dari dua konsep yang berbeda, yakni istilah “e-notary” yang dipopulerkan oleh ahli hukum dari Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental, sementara istilah “cyber
notary” dipopulerkan oleh ahli hukum yang mewarisi tradisiCommon Law.67Dengan demikian pemakaian istilah electronic notary atau e-notary di Indonesia sebagai Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental dirasakan lebih tepat.
Penelitian yang dilakukan oleh Leslie Smith mengemukakan bahwa istilah
“electronic notary” digulirkan oleh delegasi Prancis dalam forum Trade Electronics Data Interchange System (TEDIS) legal workshop pada Konferensi EDI yang diselenggarakan oleh European Union tahun 1989 di Brussel. Esensinya adalah
adanya suatu pihak yang menyajikan independen record terhadap suatu transaksi elektronik yang dilakukan para pihak. Sementara istilah cyber notary menurut Stephen Mason pada awalnya merupakan gagasan American Bar Association Information Security Committe(1994).68
67Edmon Makarim,Op. Cit., hal. 10.
Berkenaan dengan pelaksanaancyber notarytersebut, pada awalnya ketentuan mengenai pelayanan kenotariatan secara elektronik diharapkan dapat masuk ke dalam
salah satu Pasal pada perubahan UUJN. Namun hal tersebut tidak dapat dipenuhi.
Meskipun begitu, Pasal 15 ayat (3) perubahan UUJN mengatur bahwa notaris juga
mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3), kewenangan lain yang dimaksudkan tersebut
adalah juga termasuk kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara
elektronik atau cyber notary. Sesungguhnya kewenangan ini tidak terlalu tepat apabila dirujuk sebagai sertifikasi, karena makna yang dituju sebenarnya adalah
‘penguatan’ atau ‘menguatkan’ transaksi elektronik tersebut sehingga bisa dianggap
sah secara hukum (legal). Salah satu bentuk penguatan atau legalisasi secara
elektronik ini adalah dalam bentuk time stamp, atau mengesahkan terjadinya suatu transaksi pada waktu tertentu yang dilaksanakan antara para pihak. Bentuk legalisasi
secara konvensional diantaranya adalah pengesahan tanda tangan dalam suatu
dokumen, yang juga diatur sebagai salah satu kewenangan notaris berdasarkan
UUJN.69
Selain daripada itu, kewenangan lain dari profesi notaris adalah sebagai kuasa
masyarakat untuk pembentukan Perseroan Terbatas (PT), pengurusan fidusia, dan
lainnya yang memerlukan tanda tangan atau peran dari notaris agar sahnya suatu
dokumen. Dalam hal pembentukan PT, Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak
69 Fardhian, Legalisasi Dokumen Publik dan Transaksi Elektronik,
Asasi Manusia (Menkumham) untuk pembentukan sudah menggunakan aplikasi
elektronik, namun notaris mengalami kendala dalam hal penyimpanan SK tersebut
secara elektronik dan penggunaannya dikarenakan keabsahan atas SK elektronik
tersebut secara hukum mungkin dipertanyakan oleh pihak-pihak tertentu. Oleh karena
itu, menjadi perhatian bagi para notaris untuk dapat memiliki acuan prosedur atau
sistem yang dapat menjamin pembuatan, penyimpanan, maupun penggunaan
dokumen-dokumen publik yang mereka buat atau sahkan, agar dapat dianggap
otentik, selayaknya akta otentik secara tertulis. Perubahan UUJN yang dirasa Fardian
sebagai suatu langkah mundur dari perkembangan pelaksanaan legalisasi informasi
atau dokumen secara elektronik, adalah yang tertuang dalam Pasal 16 huruf c
perubahan UUJN, dimana diwajibkan bagi penghadap untuk melekatkan surat dan
dokumen serta sidik jari pada Minuta Akta. Dengan demikian, pembuatan akta secara
elektronik dengan menggunakan tanda tangan elektronik bisa diragukan
keotentikannya karena tidak adanya sidik jari penghadap dimaksud.70
Dalam hal konsepcyber notary yang oleh sebagian ahli hukum dikembangkan dengan pemanfaatan media elektronik secara telekonferensi, ternyata sebagaimana
dikemukakan Edmon Makarim71, selama ini ada sedikit kesalapahaman dalam
menafsirkan frasa “di hadapan” sesuai Pasal 1868 KUH Perdata yang dikaitkan
dengan cyber notary. Yang mengidentikkan dengan pembuatan akta yang dilakukan secara telekonferensi, padahal tidak. Prinsip kerja cyber notary tidak jauh berbeda
70Ibid.
71 Edmon Makarim, INI Gembira Cyber Notary masuk ke UU Jabatan Notaris, Op. Cit.,
dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan dengan para notarisnya.
Hanya saja, para pihak langsung membaca draft aktanya di masing-masing komputer,
setelah sepakat, para pihak segera menandatangani akta tersebut secara elektronik di
kantor notaris. Jadi aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi para pihak berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya
menggunakanwebcam, negara lain juga belum menggunakan metode itu.
Bilamana dicermati hubungannya berdasarkan analisa uraian-uraian
sebelumnya, serta dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 15 ayat 3 Perubahan UUJN
yang berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas
norma tertentu dalam batang tubuh Perubahan UUJN, maka ditarik kesimpulan
bahwa konsep cyber notary yang telah diakomodir adalah dalam hal kewenangan dalam mencetak dan melegalisasi surat dan/ atau mencetak sertifikat yang dicetak