• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP CYBER NOTARY DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris - Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KONSEP CYBER NOTARY DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris - Penerapan Konsep Cyber Notary Di Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEPCYBER NOTARYDALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

A. Pengertian Dan Lingkup Kewenangan Notaris

Untuk menjamin kepastian, ketertiban dan perlidungan hukum dibutuhkan alat

bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan

hukum yang dibuat dihadapan pejabat tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu

yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu

mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.31

Peranan hukum dalam mengatur kehidupan masyarakat sudah dikenal sejak hukum

dikenal masyarakat itu sendiri, oleh karena hukum itu dibuat untuk mengatur

kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum

diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum, yaitu

ubi so cietes ibi ius” yang artinya dimana ada masyarakat di sana ada hukum.32 Notaris adalah profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat,

mengingat peranan dalam lalu lintas hukum kehidupan bermasyarakat melalui akta

otentik yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat akta otentik sebagai alat bukti

terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila

terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Tugas Notaris adalah mengkonstantir

31 Djuhad Mahja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Durat

Bahagia, Jakarta, 2005, hal. 59.

32 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,

(2)

hubungan hukum antara para pihak dalam bentuk tertulis dan format tertentu,

sehingga merupakan suatu akta otentik. Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat

dalam suatu proses hukum.33 Langkah-langkah itu (antara lain mendengar

pihak-pihak mengutarakan kehendaknya, kemudian membacakan isi akta kepada para

penghadap, menandatangani akta, dan lain-lain) memang khusus diadakan pembuat

undang-undang untuk menjamin bahwa apa yang tertulis dalam akta itu memang

mengandung apa yang dikehendaki para pihak.34

Menurut Gandasubrata, notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh

pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada

masyarakat.35 Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare ambtenaren yang terdapat dalam Artikel 1 Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860: 3), yang diterjemahkan oleh G.H.S Lumban Tobing menjadi pejabat umum,

yang berbunyi “Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai segala perbuatan, perjanjian dan penetapan yang

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki

untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,

menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan

atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”36Dalam kamus hukum, salah satu

33Tan Thong Kie,Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris,

Buku I,Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 159.

34Tan Thong Kie,Studi Notariat, Beberapa Mata Pelajaran dan Serba-Serbi praktek notaris,

Buku II, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, cet. ke-2, 2000, hal. 261.

35 H.R. Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikatan Hakim Indonesia Cabang

Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998, hal 484.

(3)

arti dari ambtenaren adalah Pejabat,37 kemudian dalam kamus istilah hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, istilah openbare diterjemahkan sebagai umum.38 Dengan demikian openbare ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan umum. Openbare ambtenaren dapat juga diartikan sebagai Pejabat Publik.39 Berkaitan dengan openbare ambtenaren yang diterjemahkan sebagai pejabat umum, diartikan sebagai pejabat yang diberikan

kewenangan untuk membuat alat bukti otentik yang melayani kepentingan

masyarakat umum.

Oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, istilah Openbare ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) diterjemahkan menjadi pegawai-pegawai umum. Dengan terjemahannya bunyi Pasal 1868 BW

menyatakan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum

yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”40 Menurut R. Subekti,

yang dimaksud pegawai-pegawai umum adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu

pengadilan, pegawai pencatatan sipil.41 Diterjemahkan sebagai pegawai-pegawai

umum tersebut disebabkan perkembangan perundang-undangan yang memberikan

37Habib Adjie,Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,

Refika Aditama, Bandung, cet. ke-1, 2009, hal. 27.

38N.E. Algra, H.R.W. Gokkel,

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda-Indonesia, diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, A. Teloeki, H. Boerhanoeddin St. Batoeah, Binacipta, Bandung, 1983, hal. 363.

39Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 009-014/PUU-III/2005,

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diunduh pada tanggal 8 Juni 2014, hal. 119.

40R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,

Jakarta, cet. ke-40, 2009, hal. 475.

(4)

kewenangan pembuatan akta otentik tidak hanya diberikan kepada notaris saja.

Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, tidak berarti memberikan

kualifikasi sebagai Pejabat Umum juga akan tetapi hanya menjalankan fungsi sebagai

Pejabat Umum ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum dan

kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai pegawai negeri

sipil. Misalnya akta-akta yang dibuat oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

juga termasuk akta otentik. Kepala Kantor Catatan Sipil yang membuat dan

menandatanganinya tetap berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Namun demikian

juga bukan berarti notaris diberikan kualifikasi pegawai negeri sipil notaris

sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian, karena

notaris tidak menerima gaji dari pemerintah, melainkan menerima honorarium dari

klien atas jasa yang diberikan.

Dengan demikian Notaris bukanlah bagian dari Korps Pegawai Negeri Sipil

yang tersusun dalam suatu struktur birokrasi dengan pola hubungan yang hirarkis,

Notaris di angkat dan diberhentikan oleh pemerintah sesuai Pasal 2 UUJN yang

mengatur pengangkatan dan pemberhentiannya melalui Surat Keputusan Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengangkatan Notaris dilakukan dengan syarat

sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perubahan UUJN, yakni:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

(5)

d. sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari

dokter dan psikiater;

e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris

dalam waktu paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada

kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris

setelah lulus strata dua kenotariatan;

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak

sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk

dirangkap dengan jabatan Notaris; dan

h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Kemudian sesuai Pasal 8 UUJN notaris diberhentikan dengan hormat dari

jabatannya oleh pemerintah Apabila telah mencapai umur 65 tahun dan dapat

diperpanjang sampai berumur 67 tahun dengan mempertimbangkan kondisi

kesehatannya.

Kalimat “dibuat oleh atau di hadapan” dalam Pasal 1868 BW, mengandung

makna adanya 2 macam akta, yaitu :

(6)

dilihat atau disaksikan oleh notaris, sebagai contoh relaas akta misalnya berita

acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, berita acara undian

berhadiah dan sebagainya;

2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta

partij(partij akten), yaitu akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan apa yang diterangkan para pihak kepada notaris dalam melaksanakan jabatannya

dimana para pihak ingin agar keterangan atau perbuatan tersebut dikonstatir

oleh notaris di dalam suatu akta otentik, sebagai contoh partij akta misalnya

perjanjian hibah, jual beli, tukar menukar dan sebagainya.

Selanjutnya menurut Irfan Fachruddin, Pasal 1868 BW secara implisit

memuat perintah kepada pembuat undang supaya mengatakan suatu

undang-undang yang mengatur perihal tentang Pejabat Umum, dimana harus ditentukan

kepada siapa masyarakat dapat meminta bantuannya jika perbuatan hukumnya ingin

dituangkan dalam suatu akta otentik.42Oleh pembuat undang-undang defenisi notaris

terdapat dalam Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN, dan akta notaris terdapat dalam

Pasal 1 angka (7) Perubahan UUJN, serta kewenangan notaris diatur dalam Pasal 15

Perubahan UUJN. Pasal 1 angka (1) Perubahan UUJN menyebutkan, “Notaris adalah

pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki

kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau

berdasarkan undang-undang lainnya.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang

42Irfan Fachruddin,Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha

(7)

tersirat, yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat

umum (Openbare Ambtenaren), di mana kewenangannya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta otentik berdasarkan perundang-undangan. Kemudian Pasal

1 angka (7) Perubahan UUJN menyebutkan, “Akta Notaris yang selanjutnya disebut

Akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk

dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Menurut hukum, akta yang

dibuat oleh atau di hadapan notaris, adalah akta otentik, barang siapa yang

membantah kebenaran suatu akta otentik, yang membantah harus dapat membuktikan

sebaliknya.43

Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2), dan (3)

perubahan UUJN. Ketentuan pasal 15 ayat (1) Perubahan UUJN menyebutkan

“Notaris berwenang membuat Akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,

dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta otentik,

menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse,

salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh

undang-undang.” Dalam ketentuan tersebut ada hal penting yang tersirat, yaitu

kewenangan notaris yang bersifat luas namun terbatas sepanjang pembuatan akta itu

tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang

ditetapkan oleh undang-undang.

(8)

Dengan demikian tidak semua pembuatan akta otentik menjadi wewenang

Notaris. Akta yang dibuat oleh pejabat lain, bukan merupakan wewenang Notaris,

seperti akta kelahiran, pernikahan, dan perceraian dibuat selain Notaris. Akta yang

dibuat Notaris tersebut hanya akan menjadi akta otentik, apabila Notaris mempunyai

wewenang yang meliputi empat hal, yaitu:44

a. Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan

oleh undang-undang;

b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai kepentingan siapa akta itu dibuat.

Notaris tidak berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan setiap orang.

Dalam Pasal 52 ayat (1) UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak diperkenankan

membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang yang mempunyai

hubungan keluarga dengan Notaris baik karna perkawinan maupun hubungan

darah dalam garis lurus ke bawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta

dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk

diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa.

Maksud dan tujuan dari ketentuan ini ialah untuk mencegah terjadinya tindakan

memihak dan penyalahgunaan jabatan;

c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.

Bagi setiap Notaris ditentukan wilayah jabatannya dan hanya di dalam daerah

yang ditentukan tersebut Notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Dalam

(9)

Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di

daerah kabupaten/kota. Wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah

propinsi dari tempat kedudukannya. Akta yang dibuat diluar daerah jabatannya

adalah tidak sah;

d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu;

keadaan dimana Notaris tidak berwenang (onbevoegd) untuk membuat akta otentik, yaitu:

1. Sebelum Notaris mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris, ketentuan ini

diatur dalam Pasal 7 Perubahan UUJN. Notaris tidak berwenang membuat

akta otentik sebelum mengangkat sumpah/janji jabatan Notaris;

2. Selama Notaris diberhentikan sementara. Selama notaris diberhentikan

sementara pemberhentian sementara maka notaris yang bersangkutan tidak

berwenang membuat akta otentik sampai masa skorsingnya berakhir;

3. Selama Notaris cuti. Notaris yang sedang cuti tidak berwenang membuat akta

otentik.

B. Pengertian Dan Lingkup Transaksi Elektronik

Menurut Pasal 1 UU ITE, yang dimaksud dengan Transaksi Elektronik adalah

perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan

Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan

(10)

dapat dikategorikan sebagai transaksi elektronik. Adapun perbuatan hukum itu terdiri

dari:45

a. Perbuatan hukum sepihak;

Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak saja dan menimbulkan

hak dan kewajiban pada satu pihak pula, contoh:

1. Perbuatan membuat surat wasiat (pasal 875 KUH Perdata);

2. Pemberian hibah sesuatu benda (pasal 1666 KUH Perdata);

3. Dan lain-lain.

b. Perbuatan hukum dua pihak;

Ialah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak-hak (timbal balik), Contoh:

1. persetujuan jual beli (pasal 1457 KUH Perdata);

2. perjanjian sewa menyewa (pasal 1548 KUH Perdata);

3. Dan lain-lain.

Untuk adanya suatu perbuatan hukum harus disertai dengan pernyataan

kehendak dari yang melakukan perbuatan hukum tersebut dan akibat dari perbuatan

itu diatur oleh hukum. Pernyataan kehendak pada asasnya tidak terikat dengan

bentuk-bentuk tertentu dan tidak ada pengecualiannya. Oleh karena itu bentuk

pernyataan kehendak dapat terjadi dengan:46

1. Pernyataan kehendak secara tegas, dapat dilakukan dengan:

45C. S. T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

cet. ke-12, 2002, hal. 27.

(11)

a. Tertulis, yang dapat terjadi antara lain; ditulis sendiri, ditulis oleh pejabat

tertentu, ditanda-tangani oleh pejabat itu, disebut juga akta otentik seperti

mendirikan PT dan semacamnya.

b. Lisan, pernyataan kehendak ini cukup dengan mengucapkan kata setuju,

misalnya dengan mengucapkan ya, dan semacamnya.

2. Pernyataan kehendak secara diam-diam, dapat diketahui dari sikap atau

perbuatan, misalnya sikap diam yang ditunjukkan dalam rapat berarti setuju.

Hal yang harus diperhatikan dalam peristiwa yang dikatakan perbuatan hukum

adalah akibat, oleh karena akibat itu dapat dianggap sebagai kehendak dari si

pembuat (pelaku). Jika akibatnya tidak dikehendaki, maka perbuatan itu bukanlah

perbuatan hukum. Jadi adanya kehendak agar dikatakan sebagai perbuatan hukum,

perlu diperhatikan unsurnya yang esensil (werkelijk = sebenarnya) yang merupakan hakekat dari perbuatan hukum itu.47 Adapun perbuatan yang akibatnya tidak

dikehendari oleh pelaku adalah bukan perbuatan hukum, meskipun perbuatan tersebut

diatur oleh peraturan hukum. Jadi dapat dikatakan bahwa kehendak dari yang

melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan tersebut.

Perbuatan hukum yang timbul dalam transaksi elektronik dapat dilaksanakan

melalui 2 (dua) konteks, yaitu:48

1. Hubungan penyelenggara negara kepada publiknya (pelayanan publik);

47H. Hilman Hadikusuma,Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2005, hal. 40-41. 48 Edmon Makarim, Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, Rajawali Pers,

(12)

2. Hubungan perdata para pihak untuk melakukan perikatan atau kontrak

elektronik.

Pada dasarnya baik untuk pelayanan publik maupun privat, suatu komunikasi

elektronik bersifat privat hanya antara para pihak saja (baik B2B, B2C, C2C, G2C).49

Jenis-jenis transaksi elektronik tersebut antara lain:

a. Bussiness to Bussiness atau yang sering disebut B2B, adalah hubungan perdagangan antara pebisnis, seperti antara produsen dan grosir, atau antara

grosir dan pengecer. Perkembangan B2B lebih pesat jika dibandingkan

dengan perkembangan jenis e-commerce yang lainnya. Contohnya adalah

http://www.alibaba.com, http://www.indotrading.com,dan sebagainya.

b. Bussiness to Customer atau yang dikenal dengan B2C, adalah hubungan perdagangan antara produsen, grosir, atau pengecer ke pengguna akhir.

Contohnya adalah http://www.amazon.com, http://www.bhinneka.com, dan sebagainya.

c. Customer to Customer atau yang dikenal dengan C2C adalah hubungan perdagangan dimana pengguna akhir saling menjual barang satu sama lain.

Contohnya adalah http://www.ebay.com, http://www.olx.com (sebelumnya

http://www.tokobagus.com), dan sebagainya.

d. Government to Citizen atau yang dikenal dengan G2C adalah hubungan pemerintah kepada warga negaranya dalam hal pemberian informasi,

transaksi, ataupun pelayanan publik, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan

(13)

pemerintahan. Contohnya adalah http://www.indonesia.go.id, http://insw.go.id, https://efiling.pajak.go.id, http://ahu.web.id, dan sebagainya. Menurut Edmon Makarim, transaksi elektronik adalah perikatan ataupun

hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan

(networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet (network of network).50 Dengan demikian jika dipandang dari ruang lingkup hukum keperdataan, transaksi elektronik

dapat dipandang sebagai bagian dari perikatan para pihak (Pasal 1233 KUH Perdata),

Transaksi tersebut akan merujuk kepada semua jenis dan mekanisme dalam

melakukan hubungan hukum secara elektronik itu sendiri yang akan mencakup jual

beli, lisensi, asuransi, lelang, dan perikatan-perikatan lain yang lahir sesuai dengan

perkembangan teknologi dalam lingkungan masyarakat.

Kemudian jika dipandang dalam ruang lingkup hukum dagang, transaksi

elektronik dirumuskan definisinya dari terminologi electronic commerce ( e-commerce) yang lazim dipakai dalam perdagangan internasional. Defenisi e-commerce secara eksplisit disebutkan dalam sub bab ruang lingkup pada United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law on

50Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, Suatu Kajian Kompilasi, Rajawali Pers

(14)

Electronic Commerce (1996) with additional article 5 bis as adopted in 1998 (MLEC)51, yang mendefinisikane-commerce, sebagai berikut:

“The title of the Model Law refers to “electronic commerce.” While a definition of “electronic data interchange (EDI)” is provided in article 2, the Model Law does not specify the meaning of “electronic commerce.” In preparing the Model Law, the Commission decided that, in addressing the subject matter before it, it would have in mind a broad notion of EDI, covering a variety of trade-related uses of EDI that might be referred to broadly under the rubric of “electronic commerce” (see A/CN.9/360, paras. 28-29), although other descriptive terms could also be used. Among the means of communication encompassed in the notion of “electronic commerce” are the following modes of transmission based on the use of electronic techniques: communication by means of EDI defined narrowly as the computer-to-computer transmission of data in a standardized format; transmission of electronic messages involving the use of either publicly available standards or proprietary standards; transmission of free-formatted text by electronic means, for example through the INTERNET. It was also noted that, in certain circumstances, the notion of “electronic commerce” might cover the use of techniques such as telex and telecopy.”52

Kemudian melihat pada dokumen kelompok kerja nomor A/CN.9/360

paragraph ke 28-29 disebutkan sebagai berikut:

As to the specific order in which issues should be discussed at the present session, a suggestion that the discussion generally follow the order in which the issues were presented in the paper before the Working Group was generally accepted, although it was noted that the list was not exhaustive and might require future additions. As to the definition of EDI, there was general agreement that in addressing the subject matter before it the Working Group would not have in mind a notion of EDI that was limited to the electronic exchange of information between closed networks of users that had become party to a communication agreement. Rather, the Working Group would have in mind a notion of EDI encompassing also open networks that allowed EDI users to communicate without having previously adhered to a communication agreement,

51Model hukum yang disarankan untuk diikuti oleh negara-negara anggota UNCITRAL saat

mereka membuat perundangan tentang e-commerce (atau transaksi elektronik secara umum), prinsip-prinsip yang ada didalamnya juga dapat diterapkan untuk transaksi perdagangan elektronik secara umum karena memuat prinsip-prinsip umum yang cukup universal untuk berbagai jenis transaksi elektronik.

52UNCITRAL, Model Law on Electronic Commerce, 1996with additional article 5 bis as

(15)

thus covering a variety of trade-related EDI uses that might be referred to broadly under the rubric of "electronic commerce.” Differing views were expressed as to whether the Working Group should attempt at the outset of its discussion to consider a more specific definition of EDI. One view was that such an exercise would usefully set out the scope of the issues to be considered by the Working Group since it might not be immediately clear whether certain methods of communicating information electronically (e.g., facsimile) were to be considered as falling within the notion of EDI. The prevailing view, however, was that, having the above-mentioned general notion of EDI or "electronic commerce" in mind for the purpose of defining the scope of the Working Group's task, it would be best to leave the matter of a specific definition to a later stage. This order of discussion was felt to be particularly appropriate because the question of the definition of EDI might arise repeatedly with respect to various points and in fact might differ with respect to different issues to be considered by the Working Group, and because the panoramic view of the issues involved would place the Working Group in a better position to consider a definition of EDI.”53

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa defenisi e-commerce

berdasarkan MLEC, adalah bentuk pertukaran dengan menggunakan teknik

komunikasi secara elektronik dengan sarana EDI, yang dapat juga didefinisikan

secara sempit sebagai pertukaran data antara komputer ke komputer dalam format

yang ditentukan, pertukaran pesan elektronik tersebut baik yang tersedia untuk umum

atau privat; pertukaran bebas dengan format teks secara elektronik, misalnya melalui

internet. Oleh karena itu transaksi elektronik dapat ditafsirkan sebagai salah satu

bentuk transaksi yang bersifatpaperless(tanpa berbasis kertas), danborderless(tanpa batas geografis).

C. Kekuatan Pembuktian Transaksi Elektronik

Dalam transaksi elektronik, alat pembuktian yang lazim digunakan adalah

Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ditransmisikan secara

53

(16)

elektronik antara para pihak. Menurut pasal 1866 KUH Perdata, dikenal adanya

beberapa alat bukti, antara lain:

1. Bukti tulisan;

2. Bukti dengan saksi-saksi;

3. Persangkaan-persangkaan;

4. Pengakuan;

5. Sumpah;

Selanjutnya dalam Pasal 1867 KUHPerdata dinyatakan bahwa bukti tulisan

ada dua jenis, yakni:

1. Akta bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (private deeds); dan 2. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (authentic deeds).54

Kedua jenis akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda

dimana akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Selanjutnya

bahkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris (UUJN) dinyatakan bahwa akta otentik dianggap sempurna karena ia

mengandung kebenaran formal. Namun perlu juga dipahami bahwa Pasal 1869

KUHPerdata menyatakan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak

cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak

dapat diperlakukan sebagai akta otentik, ia hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai tulisan dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.55

54Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary

atau Electronic Notary,Op. Cit., hal. 29.

(17)

Selanjutnya pada pasal 1872 KUHPerdata juga dinyatakan bahwa suatu akta otentik,

yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka kekuatan eksekutorialnya dapat

ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Reglement Acara Perdata.

Kemudian disebutkan dalam Pasal 1877 KUHPerdata, jika seseorang memungkiri

tulisan atau tanda tangannya ataupun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang

mendapat hak daripadanya menerangkan tidak mengakuinya, maka Hakim harus

memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di

muka pengadilan.

Dalam pemahaman kekuatan pembuktian yang paling lemah, suatu informasi

elektronik adalah bernilai secara hukum karena secara fungsional keberadaannya

adalah sepadan atau setara dengan suatu informasi yang tertulis di atas kertas,

sebagaimana telah diamanatkan dalam UNCITRAL tentang nilai hukum dari suatu

rekaman elekronik (legal value of electronic records) karena memenuhi unsur-unsur tertulis (writing), bertanda tangan (signed), dan asli (original).56 Hal tersebut dikeluarkan oleh UNCITRAL dalam Recommendations to Governments and international organizations concerning the legal value of computer records (1985)57, dalam rekomendasinya disebutkan:

"1. Recommends to Governments:

"(a)to review the legal rules affecting the use of computer records as evidence in litigation in order to eliminate unnecessary obstacles to their admission, to be assured that the rules are consistent with developments in technology, and to

56Op. Cit.hal. 24.

57UNCITRAL, Recommendations to Governments and international organizations

(18)

provide appropriate means for a court to evaluate the credibility of the data contained in those records;

"(b)to review legal requirements that certain trade transactions or trade related documents be in writing, whether the written form is a condition to the enforceability or to the validity of the transaction or document, with a view to permitting, where appropriate, the transaction or document to be recorded and transmitted in computer-readable form;

"(c) to review legal requirements of a handwritten signature or other paper-based method of authentication on trade related documents with a view to permitting, where appropriate, the use of electronic means of authentication; "(d)to review legal requirements that documents for submission to governments be in writing and manually signed with a view to permitting, where appropriate, such documents to be submitted in computer-readable form to those administrative services which have acquired the necessary equipment and established the necessary procedures;

"2. Recommends to international organizations elaborating legal texts related to trade to take account of the present Recommendation in adopting such texts and, where appropriate, to consider modifying existing legal texts in line with the present Recommendation.”

Menindaklanjuti hal tersebut dengan keberlakuan UU ITE, suatu informasi

elektronik di Indonesia juga telah diterima sebagai alat bukti sebagaimana telah

diakomodir dalam Pasal 5 UU ITE, sehingga kehadirannya tidak dapat ditolak hanya

karena bentuknya yang elektronik.58Dalam Pasal 5 UU ITE, disebutkan:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang

sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

58Edmon Makarim, Notaris dan Transaksi Elektronik, Kajian Hukum tentang Cybernotary

(19)

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila

menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang- Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat dalam

bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Kemudian terdapat Penjelasan Pasal 5 ayat 4 huruf a, yakni: Surat yang

menurut undang-undang harus dibuat tertulis meliputi tetapi tidak terbatas pada surat

berharga, surat yang berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan

hukum acara perdata, pidana, dan administrasi negara.

Berbeda dengan ketentuan dalam UNCITRAL, yang memasangkan secara

satu per satu kesetaraan fungsional antar informasi tertulis dengan informasi

elekronik terlebih dahulu (melalui kejelasan syarat pemenuhan unsur tertulis,

bertanda tangan dan asli), sementara Pasal 6 UU ITE lebih merangkumkan semua

unsur tersebut secara kumulatif sehingga akan lebih fleksibel dalam penerapannya.59

Dalam Pasal 6 UU ITE, disebutkan: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang

diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus

berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses,

(20)

ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga

menerangkan suatu keadaan. Kemudian dalam Pasal 7 UU ITE, disebutkan: “Setiap

Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak

Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan

Peraturan Perundang- undangan”.

Perihal persamaan atau kesetaraan tersebut dikenal dengan istilah kesetaraan

fungsional (functional equivalent approach) yakni mempersamakan secara fungsional bahwa suatu informasi elektronik adalah sama dengan bukti tulisan jika memenuhi

setidaknya tiga dasar, yakni:

1. Informasi tersebut dianggap tertulis jika ia dapat disimpan dan ditemukan

kembali;

2. Informasi tersebut dianggap asli jika yang disimpan dan ditemukan serta

dibaca kembali tidak berubah substansinya atau dengan kata lain terjamin

keotentikan dan integritasnya; dan

3. Informasi tersebut dianggap bertandatangan apabila terdapat informasi yang

menjelaskan adanya suatu subyek hukum yang bertanggungjawab di atasnya

atau terdapat sistem otentikasi yang reliable menjelaskan identitas dan otorisasi ataupun verifikasi dari pihak tertentu.60

(21)

D. Pengaruh Sistem Hukum Yang Dianut Di Indonesia

Kekuatan akta otentik sebagai alat bukti sempurna yang terkuat dan terpenuh

tidak terlepas dari pengaruh sistem hukum yang dianut di Indonesia, Indonesia

sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum sebagaimana yang

diwariskan oleh Belanda yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Diantara berbagai

sistem hukum yang ada di dunia secara garis besar terbagi dalam dua sistem hukum,

yaitu sistem hukum Anglo Saxon atau juga disebutCommon Law System dan Eropa Kontinental atau juga disebut sistem hukum Romawi atau Civil Law System. Sistem hukum Anglo Saxon adalah sistem hukum dimana yang diutamakan adalah hukum tidak tertulis yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan

digunakan oleh hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang ditujukan

kepadanya, yang pada umumnya menggunakan sistem juri pada peradilannya dan

pembuktian diutamakan pada adanya saksi dan bukti tertulis hanya merupakan

penunjang dari keterangan saksi, sedangkan dalam sistem hukum Eropa Kontinental

adalah sistem hukum dimana hukum dibuat dalam bentuk tertulis dan terkodifikasi

yang dalam hal pembuktian diutamakan pada bukti tertulis.61

Hal ini juga berpengaruh dalam pratik kenotariatan di dunia juga yang secara

garis besar terbagi menjadi dua aliran, yakni Notaris Latin dan NotarisAnglo Saxon. Notaris Latin diadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Sipil (Civil Law System), sedangkan NotarisAnglo Saxondiadopsi oleh negara yang menganut Sistem Hukum Kasus (Common Law System). Civil Law System mulai masuk ke Indonesia

(22)

pada permulaan abad ke-17, berdasarkan penelusuran sejarah zaman “Republik der Verenigde Nederlanden฀, yang pada tahun 1620 Melchior Kerchem, diangkat

sebagai notaris pertama di Indonesia.62Asal mula aliran Notaris Latin ini dimulai dari

daerah Italia Utara. Dari Italia Utara, kemudian berkembang juga ke perancis,

Belanda dan sampai ke Indonesia dengan keberadaan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).63 Kelompok negara yang menganut Civil Law System adalah negara-negara Eropa seperti Belanda, Prancis, Luxemburg, Jerman, Austria, Swiss,

Skandinavia, Italia, Yunani, Spanyol dan juga negara-negara bekas jajahan mereka.

Untuk kelompok yang termasuk dalam negara yang menganut Common Law System

adalah Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan.64

Bagi negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental,

kewenangan notaris sangat berbeda dengan Notaris di negara-negara penganut sistem

hukum Anglo Saxon. Notaris di negara-negara penganut sistem hukum Eropa Kontinental atau juga disebut Notaris Latin merupakan profesi yang dilakukan oleh

ahli hukum (yurist) yang dijabat seumur hidup atau sampai memasuki masa pensiun, Notaris Latin dapat memberikan nasihat kepada kliennya dalam pembuatan alat bukti

tertulis. Kewenangan notaris di negara-negara penganut sistemAnglo Saxonrata-rata hanyalah merupakan pendaftaran surat-surat saja, yang bagi notaris di Indonesia yang

menganut sistem hukum Eropa Kontinental merupakan waarmerking (pendaftaran

62R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993 hal. 22.

63G.H.S. Lumban Tobing,Op. Cit., hal. 15.

64Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

(23)

surat di bawah tangan), notaris pada sistem hukumAnglo Saxontidak berperan dalam pembuatan dan menentukan isi surat/ akta. Selain itu, untuk menjadi seorang Notaris

di negara-negara penganut sistem Anglo Saxon rata-rata tidak menjalani pendidikan sebagai ahli hukum (yurist) dan menjabat dalam jangka waktu tertentu terlebih dahulu. Akta yang merupakan produk notaris Latin mempunyai kekuatan bukti

formil, materiil dan untuk perbuatan hukum tertentu juga mempunyai kekuatan

eksekutorial. Kekuatan alat bukti tertulis berupa akta otentik mempunyai tempat yang

tertinggi, terkuat dan terpenuh atau alat bukti sempurna dalam sistem hukum Eropa

Kontinental, hal tersebut menyebabkan kedudukan Notaris dalam sistem hukum

Eropa Kontinental ini sangat penting mengingat tugas dan kewenangannya dalam

membuat akta otentik.65 Oleh karena itu penerapan konsepcyber notary pada sistem

common law tidak akan berpengaruh pada kekuatan akta. Sedangkan Notaris di Indonesia yang menggunakan sistem civil law memandang bahwa akta yang dibuat oleh dan dihadapan notaris adalah akta yang otentik.66

E. Penerapan Konsep Cyber Notary Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

Bentuk-Bentuk penerapan dari konsepcyber notarydi Indonesia menjadi jelas setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (perubahan

65Herlien Budiono,Akta Otentik Dan Notaris Pada Sistem Hukum Anglo-Saxon Dan

Sistem Hukum Romawi, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke-III, Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni FH Unpar, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 104.

(24)

UUJN), yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat 3 perubahan UUJN, yakni

yang dimaksud dengan "kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan", antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara

elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang. Sesungguhnya pemakaian istilah cyber notary di Indonesia sebagai Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental dirasakan kurang tepat. Berdasarkan literatur

yang menerangkan sejarahnya, istilahcyber notarydan electronic notaryseakan lahir dari dua konsep yang berbeda, yakni istilah “e-notary” yang dipopulerkan oleh ahli hukum dari Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental, sementara istilah “cyber

notary” dipopulerkan oleh ahli hukum yang mewarisi tradisiCommon Law.67Dengan demikian pemakaian istilah electronic notary atau e-notary di Indonesia sebagai Negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental dirasakan lebih tepat.

Penelitian yang dilakukan oleh Leslie Smith mengemukakan bahwa istilah

electronic notary” digulirkan oleh delegasi Prancis dalam forum Trade Electronics Data Interchange System (TEDIS) legal workshop pada Konferensi EDI yang diselenggarakan oleh European Union tahun 1989 di Brussel. Esensinya adalah

adanya suatu pihak yang menyajikan independen record terhadap suatu transaksi elektronik yang dilakukan para pihak. Sementara istilah cyber notary menurut Stephen Mason pada awalnya merupakan gagasan American Bar Association Information Security Committe(1994).68

67Edmon Makarim,Op. Cit., hal. 10.

(25)

Berkenaan dengan pelaksanaancyber notarytersebut, pada awalnya ketentuan mengenai pelayanan kenotariatan secara elektronik diharapkan dapat masuk ke dalam

salah satu Pasal pada perubahan UUJN. Namun hal tersebut tidak dapat dipenuhi.

Meskipun begitu, Pasal 15 ayat (3) perubahan UUJN mengatur bahwa notaris juga

mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (3), kewenangan lain yang dimaksudkan tersebut

adalah juga termasuk kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara

elektronik atau cyber notary. Sesungguhnya kewenangan ini tidak terlalu tepat apabila dirujuk sebagai sertifikasi, karena makna yang dituju sebenarnya adalah

‘penguatan’ atau ‘menguatkan’ transaksi elektronik tersebut sehingga bisa dianggap

sah secara hukum (legal). Salah satu bentuk penguatan atau legalisasi secara

elektronik ini adalah dalam bentuk time stamp, atau mengesahkan terjadinya suatu transaksi pada waktu tertentu yang dilaksanakan antara para pihak. Bentuk legalisasi

secara konvensional diantaranya adalah pengesahan tanda tangan dalam suatu

dokumen, yang juga diatur sebagai salah satu kewenangan notaris berdasarkan

UUJN.69

Selain daripada itu, kewenangan lain dari profesi notaris adalah sebagai kuasa

masyarakat untuk pembentukan Perseroan Terbatas (PT), pengurusan fidusia, dan

lainnya yang memerlukan tanda tangan atau peran dari notaris agar sahnya suatu

dokumen. Dalam hal pembentukan PT, Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak

69 Fardhian, Legalisasi Dokumen Publik dan Transaksi Elektronik,

(26)

Asasi Manusia (Menkumham) untuk pembentukan sudah menggunakan aplikasi

elektronik, namun notaris mengalami kendala dalam hal penyimpanan SK tersebut

secara elektronik dan penggunaannya dikarenakan keabsahan atas SK elektronik

tersebut secara hukum mungkin dipertanyakan oleh pihak-pihak tertentu. Oleh karena

itu, menjadi perhatian bagi para notaris untuk dapat memiliki acuan prosedur atau

sistem yang dapat menjamin pembuatan, penyimpanan, maupun penggunaan

dokumen-dokumen publik yang mereka buat atau sahkan, agar dapat dianggap

otentik, selayaknya akta otentik secara tertulis. Perubahan UUJN yang dirasa Fardian

sebagai suatu langkah mundur dari perkembangan pelaksanaan legalisasi informasi

atau dokumen secara elektronik, adalah yang tertuang dalam Pasal 16 huruf c

perubahan UUJN, dimana diwajibkan bagi penghadap untuk melekatkan surat dan

dokumen serta sidik jari pada Minuta Akta. Dengan demikian, pembuatan akta secara

elektronik dengan menggunakan tanda tangan elektronik bisa diragukan

keotentikannya karena tidak adanya sidik jari penghadap dimaksud.70

Dalam hal konsepcyber notary yang oleh sebagian ahli hukum dikembangkan dengan pemanfaatan media elektronik secara telekonferensi, ternyata sebagaimana

dikemukakan Edmon Makarim71, selama ini ada sedikit kesalapahaman dalam

menafsirkan frasa “di hadapan” sesuai Pasal 1868 KUH Perdata yang dikaitkan

dengan cyber notary. Yang mengidentikkan dengan pembuatan akta yang dilakukan secara telekonferensi, padahal tidak. Prinsip kerja cyber notary tidak jauh berbeda

70Ibid.

71 Edmon Makarim, INI Gembira Cyber Notary masuk ke UU Jabatan Notaris, Op. Cit.,

(27)

dengan notaris biasa. Para pihak tetap datang dan berhadapan dengan para notarisnya.

Hanya saja, para pihak langsung membaca draft aktanya di masing-masing komputer,

setelah sepakat, para pihak segera menandatangani akta tersebut secara elektronik di

kantor notaris. Jadi aktanya bukan dibuat melalui jarak jauh menggunakan webcam, tetapi para pihak berhadapan langsung kepada notarisnya. Kalau caranya

menggunakanwebcam, negara lain juga belum menggunakan metode itu.

Bilamana dicermati hubungannya berdasarkan analisa uraian-uraian

sebelumnya, serta dengan mengacu pada Penjelasan Pasal 15 ayat 3 Perubahan UUJN

yang berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas

norma tertentu dalam batang tubuh Perubahan UUJN, maka ditarik kesimpulan

bahwa konsep cyber notary yang telah diakomodir adalah dalam hal kewenangan dalam mencetak dan melegalisasi surat dan/ atau mencetak sertifikat yang dicetak

Referensi

Dokumen terkait

Kerugian bila tidak melakukan mobilisasi dini pasca operasi antara lain; peningkatan suhu tubuh, karena adanya involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak

Hasil pengamatan morfologi buah matang, menunjukan bahwa buahklon Panter, Irian, Hibrida, ICS 60, Sulawesi 1 (S1) dan M01 memiliki fenotip yang

Berdasarkan data yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan model pembelajaran kolaboratif tipe Predict Observe Explain (POE) dapat meningkatkan rasa ingin tahu

Notaris memiliki kewenangan membuat akta, yang dapat digolongkan dalam 2 (dua) jenis, yaitu : (1) akta yang dibuat oleh (door) Notaris, biasa disebut dengan istilah

Opisat ´cemo razliˇcite klase realnih funkcija: konveksne, zvjezdaste, superaditivne i m -konveksne te dokazati neka njihova svojstva i ispitati odnose izmedu klasa

Konsentrasi ekstrak daun bandotan yang tinggi dapat mempertahankan kelangsungan hidup benih ikan nila, dapat menurunkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen sehingga mampu

Lem ikan dengan bahan baku sisik ikan Kakap Putih ( Lates calcarifer ), ikan Bandeng ( Chanos chanos Forks), dan ikan Nila ( Oreochromis niloticus ) berpengaruh

Sedangkan PDB merupakan nilai tambah bruto di tiap sector industri kreatif, dari hasil estimasi yang diperlihatkan persamaan diperoleh variabel tenaga kerja (TK)