• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semangat Pasifikasi dan Etis dalam Pemba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Semangat Pasifikasi dan Etis dalam Pemba"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Semangat Pasifikasi dan Etis dalam Pembangunan Aceh Pada Era Kolonial

Oleh:

Ahmad Muhajir, Universitas Diponegoro

Periode paruh kedua abad ke-19 merupakan saat ekspansi geo-politik dan persaingan kolonial yang sedang terjadi dengan tempo cepat, bersamaan pula dengan sistem kapitalisme yang mulai menguasai dunia. Di Hindia Belanda, dorongan untuk mewujudkan cita-cita pax-Neerlandica semakin menguat, daerah-daerah taklukan semakin terintegrasi dalam kesatuan administratif dengan kecenderungan

perekonomian negara yang semakin liberal. Dalam konteks perluasan pax-Neerlandica ini, perang kolonial di Aceh (1873-1914) memperlihatkan bahwa gerak maju

kolonialisme Belanda bukanlah kasus yang berdiri sendiri, melainkan terkait pula dengan gerak maju kekuatan kolonial lain yang saling terlibat kontestasi, yaitu Inggris. Berbagai peperangan yang telah dilalui untuk mewujudkan cita-cita tersebut

merupakan kelanjutan dari kebijakan pasifikasi dan ekspedisi polisional. Eksploitasi kolonial peninggalan Van den Bosch tidak lagi efektif dan telah ditinggalkan, karena berimbas pada kesejahteraan rakyat yang semakin merosot dan menyengsarakan.

Di parlemen Belanda, kritik terhadap prinsip eksploitasi model lama dianggap telah usang oleh para politikus yang berhaluan agama Katolik maupun Sosialis.

Kesejahteraan rakyat mulai dipikirkan dalam gagasan kolonial baru yang notabene lebih humanis. Golongan agama menitikberatkan pada kewajiban moral orang Belanda untuk mengangkat derajat penduduk Bumiputra, atau lebih tepatnya berupa gerakan

penyebaran agama dan misi pengadaban. Sementara itu, golongan sosialis

menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan, perkembangan moral Bumiputra, evolusi ekonomi, yang bukan eksploitatif melainkan atas dasar moralitas. Di luar kedua golongan itu muncul gerakan perbaikan oleh golongan yang disebut kaum Etis, nama yang dipakai untuk menyebut politik kolonial baru, yaitu Politik Etis. Mereka menuntut agar negeri induk membayar ‘hutang kehormatan’ kepada Hindia Belanda,

sebagaimana gagasan Van Deventer. Irigasi, Edukasi dan Emigrasi merupakan tiga sila yang dikampanyekan.1 Karena itulah untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang berbasis pada Politik Etis terlebih dahulu harus dimuluskan dengan Pasifikasi atau ‘pengamanan’ Aceh. Bahkan hutang pemerintah kolonial yang mencapai 40 juta gulden

(2)

diambil alih oleh pemerintah Belanda, sehingga Batavia dapat meningkatkan

pengeluaran untuk pembangunan tanpa harus dibebani hutang lagi. Maka berjalanlah apa yang dimaksud Politik Etis tersebut. Sejak itu, menjelang abad ke-20, politik kolonial meninggalkan prinsip liberalisme yang dianggap sudah usang itu dan beralih ke prinsip-prinsip Etis. Sementara itu tokoh-tokoh pendukung ekonomi kapitalisme telah menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.2 Di Hindia Belanda, periode awal abad ke-20 ditandai sebagai era dimulainya sebuah dunia kolonial baru, yang mana ekonomi berkembang dengan pesat, perluasan daerah ke luar Jawa dan perluasan jabatan-jabatan di pemerintahan kolonial terjadi secara besar-besaran.

Upaya pasifikasi3 di Aceh merupakan yang paling alot dan melelahkan sepanjang sejarah kolonial. Perang di Aceh mengajarkan Belanda bahwa penaklukan suatu daerah tidak semata-mata bisa dicapai dengan kebijakan represif, meskipun memang aksi militer mampu menekan intensitas perlawanan dan mempercepat konsolidasi politik seperti yang dilakukan Van Heutsz, panglima yang disanjung sebagai sang penakluk Aceh, demikian pula para pendahulunya. Namun rekayasa sosial adalah cara lain yang menjadikan peluang penaklukan Aceh menjadi lebih besar, seperti kontribusi Snouck Hurgronje4 yang mengupas orang Aceh secara agama dan kultural untuk memberikan advis kepada pemerintah yang sebelumnya begitu ‘buta’ terhadap informasi mengenai karakter orang Aceh.

Aceh merupakan wilayah kunci untuk mewujudkan pax-Neerlandica itu. Bagi pemerintah kolonial, Pasifikasi Aceh harus dilalui dengan susah payah, bahkan melewati puluhan tahun yang sangat melelahkan. Kerugian material, fisik dan mental dari kedua pihak pada akhirnya dipertimbangkan agar diakhiri secepatnya. Pada awal abad ke-20,

2Politik Etis berakar pada masalah kemanusiaan maupun pada keuntungan ekonomi. Sebelumnya pada era liberal (1870-1900), kapitalisme swasta memainkan pengaruh yang sangat menentukan terhadap kebijakan penjajahan. Industri Belanda mulai melihat Hindia Belanda sebagai pasar yang potensial yang strandar hidupnya perlu ditingkatkan. Modal Belanda maupun internasional mencari peluang-peluang baru bagi investasi dan eksploitasi bahan-bahan mentah dan kebutuhan tenaga kerja, khususnya di Daerah Luar Jawa (Buitengewesten). Oleh karena itulah kepentingan perusahaan-perusahaan asing mendukung keterlibatan pemerintah yang semakin intensif untuk mencapai ketenteraman, keadilan, modernitas dan kesejahteraan. Kalangan Etis membenarkan pandangan para pengusaha tersebut sebagai gagasan yang menguntungkan untuk terus dikampanyekan. Lihat M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terjemahan Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), 227-228.

3Pasifikasi (mengamankan) di Daerah Luar Jawa dipandang sebagai bagian dari usaha untuk menambah daerah jajahan, hanya saja ekspansionisme Belanda hanya terbatas di kepulauan Nusantara.

Neomerkantilisme mempengaruhi politik kolonial Belanda, meskipun pemerintah Belanda hampir menjalankan politik pintu terbuka demi posisinya di dalam kancah politik internasional. Politik kemakmuran yang dijalankan oleh Belanda dipandang sebagai usaha untuk mendapatkan pasaran bagi hasil-hasil industrinya. Di samping itu, kaum kapitalis yang menguasai ekonomi kolonial lebih mengutamakan upah rendah dan tanah yang murah untuk diterapkan di daerah jajahan Hindia Belanda. Ibid., hlm. 43-44.

(3)

pemerintah Hindia Belanda untuk kesekian kalinya mengubah kebijakan dalam mengamankan Aceh. Karena hingga saat itu Aceh belum berhasil ditaklukkan

sepenuhnya. Kemudian pemerintah mencoba melaksanakan suatu kebijakan baru yang disebut sebagai ‘Politik Pasifikasi’ sebagai lanjutan dari gagasan Snouck Hurgronje, yaitu perlunya sebuah pendekatan yang menunjukkan sikap lunak kepada masyarakat Aceh. Dengan demikian, tindakan-tindakan yang mengandalkan kekerasan dan

kekuatan militer mulai ditinggalkan demi upaya-upaya damai dan kooperatif yang diharapkan akan menimbulkan simpati, meredam kebencian dan menyuburkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Untuk itulah pasifikasi melalui pendekatan-pendekatan baru dilaksanakan secara intensif ketika memasuki abad ke-20.5 Perlu dijelaskan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial untuk mengamankan Aceh secara garis besar terdiri dari beberapa segmen, yaitu: (1) penegakan kedaulatan; (2) kontrol terhadap ulèëbalang; (3) penciptaan situasi

keamanan dan politik yang kondusif-kooperatif; (4) pembangunan prasarana fisik; (5) pembangunan perekonomian; (6) pembangunan pendidikan rakyat; dan (7) perbaikan kualitas kesehatan rakyat. Anggapannya adalah bahwa jika perekonomian maju, maka penghidupan rakyat akan menjadi lebih baik dan lebih makmur, sehingga ketentraman dan ketertiban daerah akan lebih terjamin. Dengan demikian diharapkan rakyat Aceh menyerah secara definitif kepada Belanda dan rakyat dengan segera bisa melupakan penderitaan yang dialami akibat perang berkepanjangan.

Penaklukan kenegerian-kenegerian di Aceh dicapai secara berangsur-angsur selama periode 40 tahun Perang Aceh. Meskipun ibukota kesultanan berhasil direbut dalam waktu singkat (1874), namun perang yang dihadapi oleh Belanda tidaklah semudah seperti yang diperkirakan sebelumnya, dengan kata lain, jatuhnya kekuasaan sultan atau negara ke tangan Belanda tidak serta-merta menjadikan seluruh wilayah Aceh telah ditaklukkan, sebagian kekuatan rakyat masih mengobarkan perang hingga beberapa dekade ke depan. Di samping itu, Kesultanan Aceh pada dasarnya merupakan federasi dari kenegerian-kenegerian merdeka di seluruh Aceh yang dikuasai oleh raja-raja otonom, yaitu para ulèëbalang yang secara formal dan federatif tunduk di bawah kedaulatan sultan. Oleh karena itu, tugas Belanda adalah mendapatkan loyalitas dan pengakuan kedaulatan dari para ulèëbalang di seluruh Aceh, baik secara diplomatis maupun represif. Kemudian lahir Perang di Jalan Allah, yaitu perang rakyat yang telah

5Upaya tersebut sebenarnya telah diusulkan oleh Snouck Hurgronje sejak tahun 1892, namun baru dijalakan pada awal abad ke-20 ketika kampanye pasifikasi semakin gencar dilakukan oleh pemerintah. Dia menginginan dikerahkannya pasukan yang cukup besar untuk menundukkan perlawanan melalui operasi militer besar-besaran (baru direalisasikan pada tahun 1898 di bawah pimpinan Van Heutsz), sehingga penduduk mendapat kesempatan meningkatkan kemakmurannya setelah keamanan lebih terjamin. Dia juga menyarankan berbagai instruksi untuk dijalakan oleh pemerintah, di samping pandangannya terhadap kedudukan sultan, strategi menghadapi para ulama, serta usul agar memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan di Aceh. Demikian pula hingga tahun 1904, dia terus mengusulkan pentingnya meningkatkan perekonomian rakyat selain juga mengusulkan agar investor swasta asing agar segera mungkin masuk ke Aceh. Lihat M. Gade Ismail,

(4)

disusupi ideologi jihad atau perang sabil oleh golongan ulama menambah beban Belanda untuk merumuskan solusi dan kebijakan atas orang-orang Aceh.6

Elit di Aceh terdiri dari tiga golongan, yaitu: sultan, ulèëbalang dan ulama. Setelah kesultanan direbut, jabatan sultan pun dilenyapkan, yang menandakan bahwa Aceh sebagai suatu negara merdeka telah tiada.7 Di samping itu, jabatan ulèëbalang justru dipertahankan oleh pemerintah kolonial sebagai elit Bumiputra yang legal, sedangkan posisi ulama yang populis dan berkaitan langsung dengan keagamaan, cenderung diberi ruang bergerak yang luas, kecuali mereka yang memimpin kelompok perlawanan rakyat secara militan, maka segera diberangus oleh kekuatan militer Belanda. Memelihara ulèëbalang sebagai elit dan pejabat resmi Bumiputra dipandang memberikan banyak keuntungan bagi Belanda, seperti halnya terhadap pejabat bupati di Jawa.8 Respons rakyat pada mulanya bervariasi. Para pemimpin adat atau kelompok ulèëbalang terbelah, ada yang kooperatif dan ada juga yang masih terus melakukan perlawanan. Begitu pula dengan para pemimpin agama atau pihak ulama, ada yang bersikap netral, ada yang kooperatif dan ada yang terus membakar semangat jihad rakyat. Sementara itu, di pihak rakyat pun demikian, mereka mengikuti sikap di bawah pimpinan adat maupun pemimpin agamanya. Para ulèëbalang yang telah tunduk, dilibatkan dalam struktur birokrasi ciptaan Belanda mewakili elit Bumiputra disertai sokongan gaji tetap dan berbagai keistimewaan lainnya, sehingga semakin menciptakan citra mereka di mata rakyat sangat eksklusif dan prestisius.

Setelah melenyapkan kedudukan sultan dan ulama yang anti-Belanda dan menjamin eksistensi ulèëbalang dalam pemerintahan, maka persoalan keamanan dan

6T. Ibrahim Alfian membagi Perang Aceh menjadi tiga tahap, yaitu: pertama, perang antara dua negara (Kesultanan Aceh dan Belanda); kedua, perang antara para ulèëbalang di daerah-daerah dengan Belanda; ketiga, perang antara rakyat dengan Belanda. Dua tahap perang paling awal berlangsung singkat, hanya beberapa tahun saja, namun perang tahap ketiga adalah yang paling lama, perang disakralkan dan dipersuci dengan ideologi

jihad fi sabilillah yang dipimpin oleh para ulama. Mengenai Perang Aceh lihat T. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).

7Upaya Belanda untuk melenyapkan posisi sultan sudah dirintis sejak mangkatnya Sultan Mahmud Syah II. Suksesornya, Daud Syah dinobatkan sebagai sultan oleh pembesar istana. Setelah turun dari gerilya dan menyerahkan diri kepada pemerintah Hindia Belanda, dia menolak menandatangani surat penyerahan

kedaulatan, seandainya dia bersedia, pemerintah akan tetap mempertahankan statusnya sebagai sultan secara simbolik. Aktivitas politik perlawanannya terus dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang mengakibatkan dia dibuang ke Ambon dan selanjutnya ke Batavia, di mana dia mangkat pada tahun 1939 sebagai sultan terakhir. Hal itu mengakibatkan posisi sultan dihapus secara permanen oleh pemerintah kolonial. Lihat M. Mansyur Amin, “Sultan, Ulèëbalang dan Ulama Masa Pemerintahan Hindia Belanda” dalam M. Mansyur Amin, dkk.,

(5)

ketertiban menjadi perhatian, baik dipandang untuk kepentingan politik dalam negeri maupun kepentingan ekonomi yang akan dibangun di Aceh kala itu. Penciptaan situasi keamanan dan politik yang kondusif-kooperatif antara penjajah dan terjajah sangat diharapkan bisa diwujudkan segera mungkin melalui berbagai kebijakan kolonial, tentunya kebijakan yang telah melalui pertimbangan-pertimbangan politik khas Aceh (Atjeh-politiek) sebagai solusi untuk memecahkan masalah Aceh (Atjeh-probleem) yang sangat rumit. Penumpasan sisa-sisa perlawanan rakyat yang anti-Belanda secara kekerasan tetap dipandang urgen, terlebih orang Belanda selama berkuasa di Aceh tetap diselimuti rasa khawatir dan terancam dengan serangan-serangan kelompok jihad, yang sewaktu-waktu bisa mengancam hidup mereka dengan cara pembunuhan,

penikaman, penyerangan, sabotase dan lainnya, walaupun secara umum kehidupan yang baru dengan semangat moralitas semakin terarah pada kemakmuran dan kesejahteraan yang dicita-citakan. Selanjutnya, pemerintah merawat dengan serius hubungan yang berbasis pada kolaborasi dengan para ulèëbalang dan ulama yang lebih moderat, karena merekalah yang bersentuhan langsung dengan rakyat Bumiputra. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang dimaksudkan untuk meringankan beban penderitaan rakyat juga semakin diperhatikan, misalnya yang paling dibenci rakyat adalah beban kerja wajib. Aparat kepolisian dan peradilan modern juga ditingkatan peranannya sebagai pengawal hukum yang baru di perkotaan.

Pembangunan prasarana fisik di Aceh dimulai setelah Belanda sukses

mengamankan Kutaraja. Daerah-daerah lainnya, terutama di sepanjang pantai timur menyusul kemudian, terlebih karena memiliki potensi lebih banyak untuk kepentingan ekonomi Belanda. Jalur trem, jalan raya dan pelabuhan merupakan alat untuk

memuluskan Pasifikasi Aceh. Pembangunan jalur Trem Aceh merupakan yang paling awal, yaitu jalur Ulèë Lheuë – Kutaraja sejak tahun 1874. Setelah lima dasawarsa yang panjang dan melalui ratusan proyek-proyek pembangunan rel dan jembatan yang sangat melelahkan, akhirnya jalur Trem Aceh telah mencapai kota terakhir yang berbatasan dengan Keresidenan Sumatera Timur, yaitu Kuala Simpang pada tahun 1912 hingga selanjutnya terhubung dengan jaringan kereta api Deli (DSM) beberapa tahun kemudian. Jalan-jalan raya lintas pantai timur juga diburu pengerjaannya, terutama membangun kembali jalan-jalan lama yang sebelumnya telah ada sejak era kesultanan. Selain itu juga dibangun jalan-jalan patroli dan jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah di pedalaman dengan daerah-daerah di pesisir. Pembangunan pelabuhan-pelabuhan laut yang baru dipandang sangat vital, bahkan pelabuhan-pelabuhan tradisional yang telah eksis pada era kesultanan tetap dipertahankan dan diteruskan pembangunannya hingga layak digunakan untuk mendukung aktivitas pelayaran kawasan Selat Malaka.

(6)

Pemerintah Gubernemen Aceh memandang bahwa pengakuan kedaulatan Hindia Belanda oleh para ulèëbalang saja belumlah cukup untuk memastikan Aceh telah sepenuhnya ditundukkan. Pasifikasi Aceh tidak hanya sebatas soal kekuasaan, melainkan juga terdapat upaya untuk menciptakan situasi keamanan dan membuat penduduk bersikap kooperatif tanpa melakukan pemberontakan terhadap pemerintah. Salah satu caranya adalah menghentikan sikap kebencian rakyat melalui perbaikan perekonomian yang hancur akibat perang berkepanjangan. Pembangunan

perekonomian di Aceh terdiri dari banyak bidang, yang semuanya terkait upaya

perbaikan dan peningkatan perekonomian rakyat pasca perang, antara lain: Penyediaan tanah untuk pengembangan pertanian rakyat; peningkatan usaha pertanian rakyat seperti padi, lada, pinang dan kelapa; pembangunan irigasi; penyuluhan pertanian modern, pengenalan bibit-bibit unggul; pendirian bank-bank kecil untuk memberi suntikan kredit modal usaha pertanian rakyat yang bebas bunga; membuka pintu seluas-luasnya kepada investor asing di bidang perkebunan dan pertambangan,

khususnya di Aceh Timur yang tujuan lainnya juga penyerapan tenaga kerja lokal; serta penciptaan berbagai lapangan pekerjaan dan mendorong arus emigrasi tenaga kerja dari luar (kuli kontrak).9

Perintisan ke arah perbaikan ekonomi dalam rangka politik pasifikasi di Aceh, sebenarnya sudah dimulai pada era Van Heutsz (1898-1904), berbarengan dengan politik ‘keras’ yang dilaksanakannya. Dia berusaha agar investasi modal asing bisa memberikan pengaruh langsung kepada perbaikan perekonomian rakyat, meskipun keinginannya tidak sepenuhnya terlaksana. Akan tetapi, Pasifikasi Aceh secara lebih intensif baru dilaksanakan pada era Swart (1908-1918) yang berhasil meletakkan dasar bagi pengembangan perekonomian Aceh. Politik keras yang dianut oleh para

pendahulunya (Van Heutsz, Van der Wijk dan Van Daalen) mulai disingkirkan. Dia berusaha untuk mendekati rakyat dengan memperlihatkan sikap damai dan bijaksana, terutama berhasil merawat hubungan dengan para ulèëbalang yang sering mendapat bentuk-bentuk apresiasi dan kehormatan selama era pemerintahannya, sehingga dia berhasil meyakinkan dan mengikutsertakan mereka untuk bekerjasama dalam

membangun ekonomi Aceh.10 Selama era Swart, upaya-upaya perbaikan kualitas hidup

9J. Langhout, Economische Staatkunde in Atjeh (Den Haag: W.P. van Stockum & Zoon, 1923), hlm. 84. Berdasarkan gagasan untuk memajukan perekonomian rakyat, investasi modal asing di Aceh secara tidak langsung tetap berkontribusi terhadap upaya pasifikasi, meskipun tidak langsung berkontribusi terhadap kemakmuran rakyat, namun terbukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya pasca penetrasi modal asing sesungguhnya diprioritaskan untuk rakyat setempat serta tersedianya pasar untuk penjualan produksi penduduk. Ternyata emigrasi juga dipandang sebagai salah satu upaya menciptakan masyarakat yang multietnik agar mereduksi sifat-sifat perlawanan. Lihat juga M. Gade Ismail (1991), op.cit., hlm. 149.

(7)

rakyat Aceh yang telah dilakukan antara lain: peningkatan pertanian rakyat, pendidikan rakyat, kesehatan rakyat, serta pembangunan jalan-jalan. Ia juga pelan-pelan

menghapus beban kerja wajib terhadap rakyat dengan sistem kerja upahan,

peningkatan fungsi kepolisian, gerakan vaksinasi cacar, serta menggerakkan minat rakyat untuk membudidayakan karet.

Di bidang pendidikan, pasifikasi diutamakan menyentuh segmen pendidikan rakyat Bumiputra yang telah digagas dalam Politik Etis. Pembangunan-pembangunan Sekolah Rakyat atau Volkschool adalah yang paling banyak dilakukan pemerintah.11 Sementara itu, usaha yang telah dirintis oleh Van Daalen untuk mendirikan sekolah-sekolah desa sejak 1907 diteruskan. Di Aceh, pada mulanya pendidikan Barat diterima oleh sebagian kalangan ulèëbalang, tetapi pada umumnya belum diterima oleh kalangan ulama dan rakyat. Sejak tahun 1901, putera-putera ulèëbalang mulai disekolahkan ke Kutaraja dan sejak tahun 1904 ada yang dikirim ke Bukittinggi untuk memasuki sekolah semi-profesional, yaitu Sekolah Raja (Kweekschool).12 Selain itu juga mendukung pendidikan untuk anak-anak Eropa dan Timur Asing seperti pembangunan sekolah-sekolah HIS, ELS, HCS, MULO dan sekolah-sekolah-sekolah-sekolah keterampilan di seluruh Aceh. Untuk menggenjot program percepatan pemerataan pendidikan, pemerintah juga melibatkan peran pihak swasta, yaitu organisasi-organisasi besar yang peduli pada pendidikan Bumiputra seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa.13 Namun pemerintah melakukan intervensi terhadap sistem pendidikan tradisional rakyat Aceh (meunasah dan dayah), yang condong bercorak Islami dan banyak dari para ulama yang disangka radikal diberantas. Di mata Belanda, semua pendidikan tradisional yang berbasis Islam yang diberikan oleh kaum ulama hanya mengajari orang-orang Aceh “rasa benci dan cemoohan untuk orang kafir” dan kemampuan “untuk mendengungkan isi Al-Quran yang tak bisa dimengerti”. Oleh karena itu, suatu usaha keras dilakukan untuk

11Untuk rakyat biasa, sejak tahun 1907 dibangun volkschool yang merupakan sekolah tiga tahun dengan tujuan mengajar membaca dan menulis dalam bahasa Melayu dengan aksara Latin. Sekolah ini kurang mendapat sambutan pada 10 tahun pertama, karena dianggap sebagai pendidikan untuk menjadi orang kafir. Meskipun awalnya terlihat tidak menjanjikan, namun pada awal tahun 1935 jumlah siswa volkschool yang bersekolah dengan suka rela telah mencapai lebih dari 33.000 orang. Perubahan sikap terhadap pendidikan modern ini sejalan dengan sikap positif terhadap modernisasi yang pada saat itu dipelopori oleh generasi baru di gelanggang politik Bumiputra, seperti Sarekat Islam dan inisiasi organisasi-organisasi pro pendidikan seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa. Lihat J. Kreemer, Atjeh: Algemeen Samenvattend Overzicht van Land en Volk van Atjeh en Onderhoorigheden, II (Leiden: E.J. Brill, 1923), hlm. 159-169. Lihat juga J. Jongejans, Land en Volk van Atjeh: Vroeger en Nu (Den Haag: Hollandia Drukkerij NV. Baarn, 1939), hlm. 249-250. Periksa Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, terjemahan Tom Anwar (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 32-33.

12M.H. Du Croo, Generaal Swart: Pacificator van Atjeh (Maastricht: NV. Leiter-Nypels, 1943), hlm. 133-135. Lihat juga T. Ibrahim Alfian (1987), op.cit., hlm. 204. Bandingkan dengan Rusdi Sufi, “Pengaruh Pendidikan Barat terhadap Kedudukan Ekonomi Ulèëbalang di Aceh”, peper pada Seminar Sejarah Nasional ke-III di Jakarta, 10-15 November 1981 (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1982), hlm. 40-48.

13Masing-masing masuk ke Aceh sejak tahun 1928 dan 1932. Pada tahun 1938, keduanya telah menjalankan tujuh HIS swasta di berbagai kota di Aceh, hampir sama banyaknya dengan HIS yang dijalankan oleh pemerintah. Selain itu, mereka juga menjalankan sekolah-sekolah Taman Kanak-Kanak, sekolah

‘penghubung’ atau Vervolgschool dari sekolah sekolah menengah Melayu dan sekolah pendidikan guru atau

(8)

mengganti pendidikan tradisional ini dengan sistem sekolah modern yang dipakemkan oleh pemerintah, bukan sekadar karena idealisme atau keinginan untuk mencetak pegawai-pegawai yang terpelajar, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari strategi pasifikasi untuk penertiban Aceh. Pasifikasi terutama berarti mendidik putera-putera ulèëbalang, calon penguasa masa depan, mengenai bahasa, pandangan hidup dan praktik-praktik birokrasi dari kekuatan yang sedang berkuasa.14 Perlakukan istimewa diperoleh putera-putera bangsawan Aceh, memberikan kesempatan untuk duduk di bangku sekolah-sekolah modern dari tingkat pendidikan dasar hingga tinggi yang semuanya difasilitasi penuh oleh pemerintah.

Perbaikan kualitas kesehatan rakyat tidak begitu menonjol dibandingkan fokus pemerintah terhadap perekonomian dan pembangunan prasarana fisik. Akan tetapi pemerintah tetap melaksanakan pembangunan berbagai rumah sakit umum maupun rumah sakit jiwa. Di samping itu, dinas lain juga ikut membantu terpenuhinya

penyediaan sarana air bersih untuk masyarakat umum. Program-program penyuluhan kesehatan dan vaksinasi juga tidak luput dari perhatian pemerintah untuk mendukung terwujudnya Pasifikasi Aceh.

Usaha-usaha yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan Pasifikasi Aceh bisa dikatakan cukup berhasil. Keadaan perekonomian dan politik pasca perang semakin meningkat, di samping rakyat kian percaya terhadap

kebijakan-kebijakan pemerintah. Aceh pada abad ke-20 diklaim oleh banyak pengamat telah sejajar dengan daerah-daerah lain di Hindia Belanda. Masyarakat Aceh telah banyak mengalami perubahan, walaupun sebenarnya diakui bahwa pembangunan Aceh lebih ditekankan pada kepentingan politik di atas kepentingan ekonomi. Meskipun pasifikasi dianggap berhasil, fakta sejarah justru membuktikan bahwa Belanda tidak pernah mengalami masa damai yang sesungguhnya di Aceh hingga kekuasaan mereka berakhir.

Referensi

Dokumen terkait

mengenai ketrampilan manajerial kepala madrasah dalam.. peningkatan mutu belajar santri, bagi penulis dan bagi yang. berkepentingan dengan penelitian ini. 2) Sebagai

merupakan salah satu jenis ikan kakap yang banyak dicari oleh konsumen. sebagai bahan konsumsi masyarakat yaitu sebagai lauk-pauk harian

V bliţini stadiona se je povsem naključno navijačem navijaške skupine Viole pribliţala skupina okoli 60 navijačev Green dragons, ki je prav tako hodila proti stadionu, zaradi česar

Mangdeska (2012: 132) mengemukakan Pendapatan menunjukan jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu. Pendapatan

Tetapi bagi seseorang yang yang diangkat sebagai Wa rga Kehormatan (seperti misalnya Bapak Abdul Gafur), maka belum tentu dan tidak harus memiliki kemampuan bermain pencak silat

Analisis ujung depan dilakukan dengan mendiagnosis permasalahan dasar yang dialami oleh siswa SMK Sultan Trenggono jurusan Rekayasa Perangkat Lunak dalam proses

To him, being here meant he was trying to show he belonged, even in front of somebody like Jimmy Dolan, who’d said, “Wait a second—the brain is going to try out for football ?”