• Tidak ada hasil yang ditemukan

Psikologi Sosial Interaksi Antar Perokok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Psikologi Sosial Interaksi Antar Perokok"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Psikologi Sosial

Interaksi Antar Perokok dan Non-Perokok di Lingkungan Kampus Atma

Jaya

Disusun oleh:

Alisha Aprilia 2013-070-003

Seksi A

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA JAKARTA SELATAN

(2)

Daftar Isi

Pendahuluan...3

A. Latar Belakang...3

B. Permasalahan...3

LANDASAN TEORI...4

1.1. Pengertian Konformitas...4

1.2. Informational Social Influence...4

1.3. Normative Social Influence...5

1.4. Konsekuensi Melawan Normative Social Influence...6

1.5. Situasi Penentu Seseorang Memberikan Konformitas...7

1.6. Injunctive dan Descriptive Norms...7

PEMBAHASAN...8

A. Merokok Sebagai Konformitas?...8

B. Bagaimana Perokok dan Non-Perokok Berinteraksi?...8

Kesimpulan...10

(3)

Pendahuluan

A.Latar Belakang

Merokok merupakan suatu aktivitas yang kerap dilakukan banyak mahasiswa-mahsiswi Atma Jaya di sekitar kampus. Hal ini sering terlihat ketika para mahasiswa sedang menunggu waktu jeda antar kelas atau seusai kelas perkuliahan. Banyak sekali anggapan-anggapan tidak mengenakkan, baik dari pihak mahasiswa non-perokok maupun warga di luar lingkungan Atma Jaya.

Seperti yang telah kita ketahui, merokok membawa dampak buruk terhadap kesehatan yang mengakibatkan kematian (Chowdhury and Rayford, 2001). Dampak buruk yang terlihat secara langsung ialah kesulitan bernapas, batuk , dan asma. Sementara dampak jangka panjang antara lain penyakit kanker, disfungsi ereksi, dan gangguan kehamilan. Di samping masalah kesehatan, masalah berikutnya ialah lingkungan yang terkotori punting-puntung dan abu rokok. Tindakan tidak bertanggung jawab seperti ini memberi pandangan tidak baik terhadap perokok dan status kemahasiswaan Atma Jaya.

Selain bermasalah bagi perokok, dampak buruk juga terjadi pada non-perokok. Dampak buruk terjadi jika asap rokok yang dihembuskan oleh perokok terhirup oleh non-perokok. Kurang atau lebih, masalah kesehatan yang menimpa perokok aktif juga menimpa non-perokok, bahkan tiga kali lebih parah. Dikatakan lebih parah karena racun dalam rokok yang masuk ke tubuh perokok sekitar 25% sementara 75% racun lainnya terhempas bebas ke udara yang kemudian beresiko terhirup oleh non-perokok. Karena itu, non-perokok seperti ini disebut sebagai perokok pasif (VivaNews, 2009).

Di samping masalah kesehatan dari pihak perokok maupun non-perokok, adakah hal lain yang menjadi masalah di antara kedua pihak? Uraian berikut berusaha menguraikan masalah sosial antar perokok maupun non-perokok, disamping bahaya yang ditimbulkan dan pandangan non-perokok mengenai dampak-dampak tersebut.

B.Permasalahan

Merokok tidak akan menjadi masalah jika perokok dan non-perokok tidak saling bertemu sama sekali di dalam satu lingkungan atau keduanya saling menghindar dari sebuah interaksi. Akan tetapi, hal-hal tersebut tampaknya cukup muskil untuk terjadi. Mengapa demikian?

(4)

bisa membungkam pendapatnya karena perilaku tersebut dianggap tidak sopan. Perilaku non-perokok seperti ini hanya terlihat ketika ia sedang berinteraksi dengan perokok (Erb & Bohner, 2002).

Lalu, bagaimana perokok dan non-perokok melakukan interaksi di antara ketidaksukaan yang disembunyikan?

Pertanyaan akan penulis kaji melalui pendekatan Conformity dan Normative Social Norms pada bahasan berikut ini.

LANDASAN TEORI

1.1.Pengertian Konformitas

Konformitasialah mengubah suatu perilaku karena contoh nyata atau dipengaruhi dari apa yang dibayangkan orang lain (Kiesler & Kiesler, 1969; Aarts & Dijksterhuits, 2003). Hal ini memiliki

konsekuensi yang beragam, mulai dari sesuatu yang berguna dan membawa kebaikan hingga menjadi pencetus tragedi dan histeria. Ada banyak alasan dibalik munculnya konformitas di dalam diri seseorang. Mungkin ada beberapa orang yang melakukan konformitasketika situasinya ambigu dan membingungkan sehingga ia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Lalu, ia melihat sekumpulan manusia yang berada disekitarnya, dan memperhatikan perilaku mereka. Akhirnya, orang-orang ini sengaja meniru perilaku manusia sekitarnya agar tingkah laku mereka mirip antar satu dan lainnya. Bagi sebagian orang lain, konformitasmuncul agar ia tidak tampak konyol, menghindari hukuman, atau dilihat berbeda dari yang lainnya. Mereka memilih untuk berperilaku demikian agar ia bertingkah laku sebagaimana yang orang lain harapkan dan tidak dianggap remeh oleh orang-orang sekitar. Seseorang yang mudah memberikan konformitas pada suatu perilaku biasanya memiliki self-esteem yang tidak setinggi orang-orang yang tidak mudah memberikan konformitas. Sebagai tambahan, self-esteem adalah tinggi atau rendahnya penilaian terhadap diri. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada, sedangkan yang dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dengan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998).

Di dalam pembahasan berikutnya, akan dijelaskan lebih lanjut mengapa perilaku orang lain sangat berpengaruh bagi kita.

1.2.Informational Social Influence

(5)

situasi ini – perilaku orang lain. Dengan bertanya atau melihat perilaku orang lain, kita mampu mendefinisikan suatu situasi (Kelley, 1955; Thomas, 1928).

Akan tetapi, meniru atau mengayomi pemikiran orang lain tidak mengindikasikan bahwa diri kita lemah. Kita melihat orang lain sebagai sumber informasi yang lebih akurat dibandingkan dengan

pemikiran kita sendiri sehingga kita mampu menentukan perilaku yang pantas untuk kita lakukan. Hal ini dinamakan informational social influence (Cialdini, 2000; Cialdini & Goldstein, 2004; Deutsch & Gerard, 1955).

Setelah melakukan beberapa kali percobaan dengan mencocokkan informasi yang kita peroleh, kita akan mendapatkan suatu kesepakatan yang disetujui oleh diri kita maupun orang lain. Hasil ini menentukan bahwa kita saling memberikan informasi terhadap sesama untuk mencapai kesepakatan akan sebuah perilaku yang dianggap benar. Hal ini membawa seseorang memiliki private acceptance – kondisi ketika seseorang memberikan konformitas terhadap sebuah perilaku yang dilakukan orang lain karena secara umum perilaku tersebut dipercaya sebagai sesuatu yang benar. Menurut Baron dan para kolega, semakin ambigu situasi yang dihadapkan kepada seseorang, maka semakin besar rasa mengandalkan diri ke orang lain.

Biasanya, tidak semua orang mampu menyetujui apa yang dianggap benar oleh orang-orang sekitar. Namun, untuk terhindar dari anggapan tidak mengenakkan dari orang lain, maka kita biasanya mengayomi saja kesepakatan itu. Pemikiran seperti ini disebut public compliance – memberikan konformitas tanpa perlu mempercayai apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain.

1.3.Normative Social Influence

Pada tahun 1990 di Rio de Janeiro, remaja putra dan putri setempat memiliki hobi terhadap permainan yang sangat berbahaya: “berselancar” di atas gerbong kereta, berdiri dengan lengan terentang lebar, bersamaan dengan laju kereta yang begitu cepat. Di samping fakta bahwa sekitar 150 remaja meninggal setiap tahunnya dikarenakan aktivitas ini, 400 lebih mengalami kecelakaan dikarenakan jatuh dari atas gerbong, dan 3000 di antaranya tersengat aliran listrik dari kabel di atas kereta, permainan ini tetap berlanjut (Arnett, 1995). Mengapa hal ini dapat terjadi?

Kita memberikan konformitas terhadap suatu perilaku tanpa berpikir lebih jauh mengenai perilaku tersebut karena kita ingin dianggap tidak berbeda dari yang lain. Kita sama saja memberikan konformitas kepada social norms di dalam sebuah kelompok. Social norms diartikan secara implisit (terkadang eksplisit) mengenai aturan akan hal yang dianggap pantas, nilai-nilai, serta kepercayaan (Deutsch & Gerard, 1955; Kelley, 1955; Miller & Prentice, 1996). Sebuah kelompok memiliki ekspektasi tersendiri tentang bagaimana seorang anggota kelompok harus berperilaku dan anggota lainnya

(6)

Jika perilaku dari orang lain memberikan konformitas yang baik bagi kita, seperti disukai dan diterima, maka kita terlibat di dalam jenis konformitas normative social influence. Jenis konformitas ini mengarahkan kita kepada public compliance dengan kepercayaan dan perilaku sesama anggota kelompok, tetapi tidak lebih kepada private acceptance (Cialdini, Kallgren, & Reno, 1991; Deutsch & Gerard, 1955; Levine, 1999; Nail, McDonald, & Levy, 2000).

Ada kala ketika kita melakukan suatu hal yang disetujui oleh orang lain, namun di dalam hati kita tidak merasa setuju atau suka terhadap perilaku tersebut. Namun, demi tidak terlihat berbeda dan konyol dari yang lain, maka kita tetap melakukan kegiatan itu. Perihal tersebut disebut juga public compliance without private acceptance – seseorang masih terikat di dalam satu kelompok padahal mereka tidak mempercayai apa yang mereka lakukan dan berpikir bahwa perilakunya salah.

Sejatinya kita pun mampu melakukan normative social norms terhadap orang lain. Cara terbaik untuk menjadi pengaruh bagi orang lain adalah dengan mencari teman yang memiliki alur berpikir yang sama. Jika cara ini tidak cukup berhasil, maka ada istilah idiosyncrasy credits yaitu semacam “poin” yang seseorang raih setiap kali ia menyetujui pendapat anggota kelompok. Jikalau persetujuannya terhadap keputusan kelompok dianggap banyak, maka ia memiliki “tabungan” yang cukup untuk menarik perhatian kelompok agar dirinya dapat sesekali tampil berbeda tanpa takut mendapat penolakan dari kelompok.

1.4.Konsekuensi Melawan Normative Social Influence

Apa yang akan terjadi jika kita melawan normative social influence? Akankah kita mampu melawan norma-norma yang secara implisit atau eksplisit dikemukakan oleh teman kelompok, meskipun hal tersebut mengarah kepada hal yang negatif?

(7)

1.5.Situasi Penentu Seseorang Memberikan Konformitas

Tidak selamanya seseorang memberikan konformitas berdasarkan paksaan dari orang lain. Meskipun konformitas sudah mennjadi hal yang lumrah, namun kita tidak selalu mengikuti apa yang orang lain lakukan. Seperti pandangan kita yang tidak selalu setuju terhadap perilaku aborsi atau pernikahan sesama jenis. Kapan persisnya kita memberikan konformitas terhadap suatu perilaku?

Bibb Latane (1981) memberikan jawabannya dengan social impact theory. Menurut beliau, ada tiga aspek yang menjadi penyebab Anda memberikan konformitas:

1. Strength: Seberapa penting peran kelompok bagi Anda?

2. Immediacy: Seberapa dekat waktu dan ruang ketika Anda dipaksa untuk memberikan konformitas? 3. Number: Berapa orang yang terdapat di dalam kelompok?

Social impact theory memberikan prediksi bahwa semakin meningkatnya strength dan

immediacy, maka semakin besar pula kemungkinan seseorang memberikan konformitas. Peran kelompok yang penting bagi seseorang jelas memberikan pengaruh terhadap diri orang tersebut, di mana mereka harus mengikuti norma-norma yang terdapat di dalamnya.

Jelas bahwa number ikut berpengaruh terhadap besar atau tidaknya pengaruh konformitas. Namun, number memberikan pengaruh dengan cara yang cukup berbeda. Semakin bertambahnya anggota kelompok, semakin berkurang pengaruh kelompok di dalam menentukan konformitas. Latane membentuk suatu perhitungan matematika yang mampu menggambarkan efek dari strength, immediacy, dan numbers, yang sudah berkali-kali diaplikasikan ke berbagai fenomena konformitas. Sebagian besar hasil

perhitungan mampu menggambarkan fenomena tersebut secara tepat berdasarkan angka (Bourgeois & Bowen, 2001; Latane & Bourgeois, 2001; Latane & L’Herrou, 1996).

1.5.Injunctive dan Descriptive Norms

Dua buah aspek penentu seseorang melakukan sebuah perilaku ialah injunctive dan descriptive norms. Injunctive norms dapat diartikan sebagai persepsi orang lain mengenai suatu perilaku yang dapat diterima atau tidak, sementara descriptive norms ialah persepsi orang lain mengenai suatu perilaku, tanpa mempedulikan persetujuan akan perilaku tersebut.

Manakah yang lebih baik di antara keduanya? Menurut penelitian yang diadakan oleh Reno dan para kolega (1993) di dalam penelitian membuang sampah, seseorang akan lebih patuh terhadap

membuang sampah pada tempatnya ketika seseorang komunikasi jenis injunctive norms dikarenakan hal tersebut jelas kesepakatan dan tidaknya.

PEMBAHASAN

(8)

Apakah tindakan merokok adalah bentuk dari konformitas? Berdasarkan pengertian konformitas, sudah selayaknya perilaku merokok tergolong di dalam konformitas. Apa alasannya?

Menelisik kembali pada pengertian konformitas yang merujuk pada perubahan perilaku karena ada contoh nyata atau pengaruh dari apa yang dibayangkan oleh orang lain, maka perilaku merokok dapat dikategorikan sebagai konformitas. Perilaku merokok tentu dipengaruhi dari contoh-contoh yang dilihat oleh perokok dan paksaan dari teman-teman kelompok untuk ikut merokok juga.

Seperti contoh peneitian yang dilakukan oleh Arnett (1995) terhadap remaja peselancar gerbong kereta api, perilaku tersebut dianggap sebagai suatu hal yang berbahaya dan tidak pantas untuk dilakukan. Akan tetapi karena seluruh anggota kelompok di dalam pertemanan remaja itu memberikan konformitas terhadap perilaku berselancar di atas gerbong kereta api, maka anggota lainnya menganggap perilaku tersebut memang pantas untuk dilakukan. Perihal ini sama dengan perilaku merokok yang sudah jelas membawa dampak berbahaya bagi kesehatan. Dikarenakan pengaruh normative social influence di dalam anggota kelompok yang biasanya sebagian besar adalah perokok, maka seseorang akan memberikan konformitas pula terhadap perilaku merokok. Bagi perokok, teman-temannya yang perokok merupakan informational social influence yang dianggap lumrah di kelompoknya.

Seseorang tidak akan memberikan konformitas tanpa adanya tiga aspek yang ada di dalam social impact theory (Strength, Immediacy, Numbers). Seseorang merokok dikarenakan kuatnya hubungan pertemanan sesama perokok (strength) di dalam jarak dan waktu yang berdekatan satu sama lain (immediacy). Jumlah anggota kelompok pun biasanya berjumlah tidak banyak (numbers).

B.Bagaimana Perokok dan Non-Perokok Berinteraksi?

Agar dapat melesap masuk di dalam kelompok, seseorang tentu akan mengikut social norms yang terdapat di dalamnya. Di era yang semakin modern, perilaku merokok di berbagai kalangan sudah

menjadi hal yang dianggap lumrah. Merunut dari tahun 1995, jumlah perokok di Indonesia mencapai 27 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Sedangkan tahun 2011, jumlah perokok meningkat menjadi 36 persen. Untuk penduduk pria, jumlah perokok mencapai 50 persen pada 1995. Tahun 2011 meningkat menjadi 67 persen. Ini berarti setiap dua dari tiga penduduk pria di Indonesia merokok. Untuk penduduk wanita, jumlah perokok mencapai satu persen pada 1995. Jumlah ini menjadi empat persen pada 2011. Ini berarti ada peningkatan 400 persen jumlah perokok wanita selama 16 tahun itu (Republika.co.id).

Di lihat dari hasil survei tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok yang notabene negatif sudah diberikan konformitas oleh masyarakat bahwa merokok yang tadinya “apa-apa” menjadi “tidak apa-apa”.

(9)

menjadi pertanyaan; mengapa non-perokok tidak terpengaruh dengan para perokok ketika sedang berinteraksi? Jawaban terletak pada figure perokok di mata non-perokok.

Non-perokok melihat teman perokoknya sebagai figure yang kurang ia jadikan panutan atau contoh dalam menentukan perilakunya. Biasanya non-perokok memiliki kelompok pertemanan yang di dalamnya tidak banyak atau tidak ada sama sekali yang merokok.

Faktor lain yang menyebabkan mereka tidak memberikan konformitas terhadap perilaku merokok dikarenakan para non-perokok memiliki self-esteem yang cukup tinggi, sehingga mereka kebal dari perilaku merokok.

Pertanyaan yang tentunya tidak dapat lepas dari lekat tanya; bagaimana para non-perokok masih berinteraksi dengan perokok, meskipun faktor kesehatan bagi dirinya cukup terancam?

Hal pertama yang dapat penulis kaji ialah pandangan dari kedua belah pihak mengenai tindakan merokok di era modern. Hasil penelitian yang menunjukkan angka perokok yang semakin signifikan membuat para non-perokok tidak dapat memungkiri bahwa tindakan tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan oleh orang lain. Begitu pula dengan perokok yang juga menganggap bahwa merokok

merupakan kegiatan yang juga biasa saja. Kedua belah pihak mendapatkan informational social influence yang tidak ada bedanya mengenai tindakan merokok. Perbedaan hanya terletak pada “aktif”dan “pasif” – apakah mereka ikut merokok atau memilih untuk tidak merokok.

Kedua, non-perokok memiliki descriptive norms bahwa dirinya harus berperilaku baik terhadap perokok, di luar perilaku merokok si perokok yang sebenarnya mengganggu kesehatan. Akan tetapi, injunctive norms di masyarakat era modern menganggap perilaku merokok adalah hal yang biasa saja dan jika ada individu yang melarangnya merokok, maka perilaku non-perokok dianggap tidak sopan.

Konsekuensi yang akan di dapat oleh non-perokok jika ia melarang perokok untuk merokok ialah sikap permusuhan dari para perokok. Akhirnya, para non-perokok melakukan apa yang disebut public compliance yang hanya mampu diutarakan di dalam hati agar interaksi antar mereka tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Aspek terakhir yang penulis mampu kaji ialah memiliki para perokok memiliki idiosyncracy credits yang cukup dari teman-teman non-perokok. Misalnya ketika mereka sedang berada di dalam satu kewajiban untuk mengkaji tugas secara kelompok, anggota yang merokok sering kali setuju dengan pendapat yang dilontarkan non-perokok. Non-perokok pun memberi simpati lebih terhadap perokok, sehingga non-perokok tidak lagi melihat perilaku merokok temannya sebagai perilaku yang mengganggu.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa merokok merupakan tindakan yang kian hari dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja, tidak lagi menjadi “dosa” bagi masyarakat yang melakukannya. Begitu pula hal ini terjadi di lingkungan Atma Jaya, antar mahasiswa. Mereka tetap berinteraksi satu sama lain dikarenakan

(10)
(11)

Daftar Pustaka

Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2010). Social Psychology (7th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.

Ichsan, A. (2014, Maret 11). MUI Desak Pemerintah Ratifikasi Fatwa Soal Rokok | Republika Online. Republika Online. Diunggah pada Mei 11, 2014, dari

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/03/11/n2a460-mui-desak-pemerintah-ratifikasi-fatwa-soal-rokok

Referensi

Dokumen terkait

Kelemahan uji banding berdasarkan pasangan perlakuan adalah dalam besar resiko jenis I yang sebenarnya, untuk pembandingan 2 perlakuan maka nilai α = ε , tetapi

Tabel 4 menunjukkan Lokasi penyinaran paling banyak adalah lokasi penyinaran lokal (79,2%) Modalitas pengobatan kanker yang diterima Responden sebelum menjalani

Adapun saran untuk peneliti selanjutnya berdasarkan hasil simulasi dan analisa Tugas Akhir ini yaitu, bagi penelitian lebih lanjutnya perlu dipikirkan lebih lanjut

 Siswa memperagakan percakapan yang sudah dibuatnya, bergantian dengan teman sebangkunya. Guru dapat mengamati kemampuan siswa dalam menyebutkan ungkapan.

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa melalui penerapan model pembelajaran example non example berbantuan media pictorial

Berdasarkan perhitungan uji Anava diperoleh F hitung sebesar 0,813 dengan nilai signifikansi sebesar 0,372 > 0,05 sehingga dapat diputuskan bahwa H0B diterima dan H1B

Kemudian seseorang anak akan makin merasa tidak dicintai karena adanya disiplin- disiplin negatif, karena anak akan memaknai bahwa “wah papa jahat, mama jahat, katanya sayang

diperoleh dalam penelitian ini adalah: (1) data angket siswa, pengamatan peneliti terhadap hasil pembelajaran matematika, (2) Dari hasil catatan perilaku siswa