• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agama Asli dan Pengaruh Agama Modern pad

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Agama Asli dan Pengaruh Agama Modern pad"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Agama Asli dan Pengaruh Agama Modern

pada Suku Ekagi

I. Keseharian Suku Ekagi

1

Berbeda dengan suku Marind-Anim Yah’ray dan Asmat yang berbudaya peramu, orang Ekagi telah mengenal cocok tanam. Pada 1988, populasi masyarakat peladang di sekitar Danau Paniai, Danau Tage dan Danau Tigi, juga di Dataran Kamu dan daerah Mapia ini sekitar seratus ribu. Perawakan mereka kecil (pygmoid), tinggal di rumah-rumah sederhana 3,5 kali 3,5 meter dengan atap dedaunan, ranting atau kulit kayu dan lantai dari batang kayu.

Kebutuhan pangan (“jalan-atas”) dipenuhi dengan hasil kebun (kuantitatif) dan daging (kualitatif). Pembagian kerja: perempuan melakukan “kerja tangan” seperti mengurus kebun dan beternak babi; kaum pria “kerja rohani” yaitu mengurus ekonomi eksternal seperti menjual babi, mencari kayu bakar, mengatur urusan politik dan hukum di lingkungannya.

Orang Ekagi bekerja sebagai pelaku tunggal, tidak terbiasa bekerja untuk dan bersama orang lain, tidak mengenal konsep upah/imbalan. Hukum permintaan dan penawaran timbul alami untuk memenuhi kepentingan tiap keluarga/klen, tanpa kesepakatan imbalan. Pola hubungan sosial berputar di sekitar masalah pembagian makanan/harta, apa yang diterima atau tidak diterima individu/keluarga tertentu, serta peneguhan atau pengingkaran hubungan timbal balik. Orang Ekagi seperti anak kecil yang pusat perhatiannya ada pada diri sendiri.

“Jalan-bawah” berhubungan dengan kebutuhan seksual. Hawa nafsu dibangkitkan roh-roh yang merupakan manifestasi kekuatan-kekuatan misterius. Orang Ekagi bersikap ambivalen terhadap hubungan seksual dan perkawinan: di satu pihak penting untuk status sosial, keturunan (anak akan membantu ekonomi), namun baik suami maupun istri masing-masing diliputi perasaan-perasaan negatif mengenai (lembaga) perkawinan dan hubungan seksual itu sendiri.

Perkawinan biasanya diatur keluarga, bukan kesalingtertarikan antara sepasang muda-mudi. Motivasi untuk menikah berlainan dari pihak pemuda, gadis, dan orangtua mereka. Seorang pemuda menikah berarti kehilangan ketergantungannya pada ibu atau saudarinya dalam hal makanan, namun penting bagi gengsi dan pemenuhan kebutuhan seksual—menghindarkannya dari perzinahan. Maka siapa calon istri tidaklah penting, ibunyalah yang mengatur perkawinan. Si gadis yang di rumah kurang dihargai, akan menduduki tempat terhormat sebagai isteri dan ibu. Harapannya terletak pada anak lelakinya kelak, maka siapa/bagaimana watak sang calon suami tidak diperhatikan, sebab perempuan tahu cara menyelamatkan diri dan mendesakkan

keinginannya pada suami manapun juga. Orang tua pemuda ingin menjauhkan putra mereka dari perzinahan—yang berakibat hukuman mati. Selain itu dengan adanya rumah tangga baru,

kesejahteraan dan kekuatan klen meningkat. Orang tua gadis memikirkan mas kawin setinggi mungkin. Pengakuan resmi perkawinan ditandai pembayaran mas kawin, maka sebelumnya terjadi tawar-menawar antar kedua keluarga. Mas kawin akan memperoleh imbalan dalam diri anak.

Terjadinya anak dimulai dari sperma yang mengalir dari otak karena kekuatan matahari, mengalir melalui sumsum tulang belakang dan melalui penis masuk vagina. Dalam rahim ibu, darah yang mendidih bangkit menari-nari, pertemuan darah dan sperma menghasilkan jantung

Ringkasan buku J.Boelaars, Manusia Irian, Jakarta (Gramedia), 1988. Hal. 85-107 (deskripsi Suku Ekagi),

hal.160-174 (Pengaruh Luar), hal.175-206 (Usaha Mempertahankan Diri) dan hal. 222-228 (Masa Depan: aspek perkembangan rohani). Dibuat sebagai tugas terstruktur untuk mata kuliah Agama-Agama Asli di Indonesia.

1 Boelaars (1988) menyebut suku di sekitar Danau Paniai ini suku Ekagi. Namun Koentjaraningrat (Irian Jaya:

(2)

anak. Mulai bulan kelima anak sudah terbentuk, hubungan seksual dilarang. Anak kembar mengkhianati roh Utiya, yaitu pasangan pria dan dari Madou (roh air di bawah tanah). Abortus dianggap akibat roh ini, hubungan seksual sesudah bulan kelima atau ibu yang tidak menikah.

Kelahiran di atas tanah dan rumah ayah. Ayah mempercepat dengan meloncat dari ketinggian. Jika tidak berhasil berarti istrinya pernah berzinah. Dalam proses kelahiran, ibu menutup dubur supaya anak tidak lahir melalui jalan itu. Pemotongan tali pusat membebaskan anak dari dunia roh. Daun-daun bekas persalinan disimpan agar roh-roh seperti Teege tidak merugikan anak.

Sepertiga keluarga di Danau Tage menganut sistem perkawinan poligami. Mereka percaya, pria punya satuan sperma dalam otak sebanyak wanita yang dibutuhkannya. Semakin banyak istri, banyak kebun, babi, anak pria untuk memperkuat klen atau anak wanita untuk memperluas

hubungan dengan klen-klen lain. Istri pertama harus berusaha sebagai pemimpin para saingan. Jika bercerai, emas kawin tidak perlu dikembalikan jika sudah memberikan anak.

Masalah atau kesulitan yang biasa muncul dalam keseharian mereka: perselisihan dengan tetangga soal kebun dan babi; pembagian makanan; kenakalan anak dan remaja (mencuri dari tetangga, dll); penyakit dan kematian; perzinahan (diancam hukuman mati); kematian

mencurigakan (dianggap akibat zinah atau magi hitam).

Pendidikan anak melalui peristiwa sehari-hari. Seorang Ekagi dianggap berhasil jika bisa mencapai status “tonowi” (pemuka). Kematian dianggap perbuatan roh jahat dan praktek magi hitam. Penyembuhan bukan dengan pertobatan tapi dengan mengusir roh atau menangkal magi hitam. Setelah kematian, seorang Ekagi tetap terikat—menguntungkan maupun merugikan—pada kerabatnya sebagai realitas tidak kelihatan.

II. Pengaruh Luar

1. Kontak-kontak pertama

Zending Kristen (Protestan) masuk daerah pantai (Fakfak, Manokwari, Teluk Cenderawasih) tahun 1855. Tokoh pendatang yang berperan besar dalam masa itu adalah para guru dan isteri mereka. Kehadiran guru membantu pembentukan desa; mengolah kebun sekolah jadi produktif; membangun rumah-rumah dengan lebih baik; mengenalkan kebersihan; membacakan,

menjelaskan dan menjaga pelaksanaan instruksi-instruksi pemerintah; memimpin kebaktian Minggu; mengajar agama (katekisasi) untuk orang dewasa; dan membereskan perkelahian-perkelahian. Sementara isterinya membantu mengajarkan pemeliharaan ibu dan anak.

Pemerintah, zending (Protestan), dan misi (Katolik) masuk daerah pegunungan sekitar Danau Paniai tidak lama sebelum Perang Dunia II, namun saat perang, Jepang menghancurkan karya-karya mereka. Akibatnya perkembangan daerah yang mayoritas didiami suku Ekagi ini baru mulai sekitar tahun 1950.

2. Perubahan besar pertama

(3)

perempuan yang semula ditangani pemuka adat kini diserahkan pemerintah/kehakiman. Ungkapan-ungkapan religi tradisional seperti mengayau dan pertukaran pasangan ditentang.

Perkembangan yang lebih tinggi terjadi dengan perbaikan sekolah-sekolah desa, didirikannya Universitas Cenderawasi (1962), sekolah-sekolah lanjutan dengan asrama, dan akademi-akademi (pemerintah sipil, polisi, kesehatan, pendidikan dan keagamaan).

3. Urbanisasi

Tumbuhnya instansi-instansi pemerintah, usaha/bisnis swasta, maupun lembaga-lembaga agama di kota-kota menarik masyarakat desa ke kota. Timbullah urbanisasi di kota-kota seperti Fakfak, Teminabuan, Manokwari di daerah Kepala Burung; Nabire dan Enarotali di Teluk

Cenderawasih dan Paniai; Wamena di Lembah Baliem; dan Agats untuk daerah Asmat. Namun urbanisasi penduduk asli di Irian pada awalnya tidaklah untuk mencari pekerjaan seperti di Pulau Jawa. Masyarakat desa yang datang ke kota karena tertarik kekayaan penduduk kota mengalami

culture shock setelah mengalami bahwa kekayaan harus diperjuangkan (sistem kerja-upah).

III. Usaha Mempertahankan Diri

1. Reaksi terhadap kontak-kontak pertama a. Kerusuhan Obano

Pada 4 November 1956 terjadi pembunuhan seorang guru Protestan, istri dan kedua anaknya, juga seorang guru Katolik dan istrinya, teman mereka serta seorang bayi dan seorang polisi di desa Obano, Paniai. Kerusuhan berawal dari seorang narapidana di Enarotali yang dipenjarakan karena menyuruh orang membunuh perempuan yang berzinah. Napi ini melarikan diri, lalu merasa mendapat penampakan dan memimpin pemberontakan melawan semua orang yang memakai pakaian. Memang Lembah Obano-Muye sejak awal menolak kontak dengan orang-orang kulit putih. Beberapa kemungkinan penyebab sikap ini: rasa takut terhadap “roh-roh” kulit putih; dengki terhadap lembah-lembah lain yang lebih dulu dikunjungi sehingga lebih pesat perkembangannya; atau kasus tanah yang belum dibayar lunas oleh zending untuk mendirikan asrama di Obano.

Pandangan negatif lain: kehadiran “orang-orang berpakaian” dalam jangka pendek tidak membawa kemakmuran; orang-orang asing ternyata hanya unggul sedikit terhadap penyakit dan kematian; tingkah laku generasi muda Kristen tidak lebih baik dari generasi tua yang tidak Kristen; orang-orang tua jengkel terhadap kebebasan dan hak-hak baru kaum muda dengan pengetahuan bahasa Indonesia mereka; sanksi-sanksi sipil maupun gereja tidak disesuaikan dengan tingkat perkembangan/pandangan terhadap kehidupan penduduk.

b. Cargo cultus dan gerakan mesianistis

Reaksi penduduk asli di seluruh Irian Jaya terhadap munculnya para pendatang sering disebut

(4)

c. Gerakan Zakheus

Di kalangan orang Ekagi muncul gerakan yang akhirnya menjadi sinkretis antara agama asli dengan Kristen. Dimulai seorang putra Ekagi yang pernah belajar di Australia dan belajar teologi di Makassar. Zakheus Pakage, kakaknya Yordan Pakage dan para pengikutnya menentang sistem uang siput (uang yang diperoleh dari penjualan babi hasil ternak para istri, dipergunakan untuk mas kawin dan memperoleh lebih banyak istri). Secara mitologis uang siput dikaitkan dengan dewi di kebun, maka para pengikut Zakheus menghancurkan pagar-pagar kebun. Akibatnya mereka disebut Wegee-bage (=kaum perusak).

Kaum Wegee-bage membangun rumah-rumah semi modern, memperhatikan higiene, berkebun jenis-jenis tanaman yang berbeda, panen memasak dan makan dengan cara berbeda (makan bersama didahului doa, dengan piring di tangan kanan dan cawan di kiri membuat isyarat serupa salib). Pemimpin tinggal di lereng tinggi, dipercaya punya bungkusan rahasia berisi

pengetahuan istimewa tentang masa depan dan cerita-cerita tentang mereka yang sudah meninggal. Kalangan wegee-bage mencampuradukkan mite-mite rakyat dengan cerita Alkitab di mana Yesus disamakan dengan Koyeidaba, tokoh legenda Ekagi.

d. Mite Mansren

Di pantai utara dan pulau-pulau di Teluk Cendrewasih, timbul mite yang merupakan sinkretis antara unsur agama asli (dewaraja, teofani) dengan unsur Kristiani (mesias). Konon hidup seorang tua yang jelek bernama Manamakari, ia mendapat kekuatan magis dari bintang kejora,

melontarkan suatu benda ke seorang gadis yang sedang menari hingga gadis itu hamil dan melahirkan anak laki-laki bernama Konoor. Manamakari menjadi muda kembali dengan berganti kulit, ia berganti nama menjadi Mansren Manggundi. Karena pemberontakan, Mansren lari ke barat yang jauh. Namun setelah tujuh generasi ia akan kembali, saat itu akan terjadi zaman emas (=Koreri) di mana tiap orang mati hidup kembali, yang hidup menjadi muda kembali, sehat,

sejahtera, tidak ada lagi pajak dan tidak perlu bekerja.

2. Identitas Sendiri Orang Irian

Walau ke-252 suku di Irian punya nilai-nilai, cara pandang terhadap lingkungan, sesama dan dunia rohani yang beragam, namun ada sesuatu yang mengikat mereka sebagai orang Irian dan membatasi dengan yang bukan orang Irian. Dalam pergaulan dengan alam, orang Irian bersikap pragmatis (melihat, menimbang, kalau ada gunanya: tangkap), hidup dari hari ke hari, dan efisien (seminim mungkin usaha semaksimal mungkin hasil).

Dalam pergaulan dengan sesama, mereka independen, individualis dan tanpa basa-basi. Walau yakin akan kemampuannya, orang Irian juga sadar keterbatasannya, maka ia punya humor sejati: dapat menertawakan dirinya. Namun ia tidak bisa berpikir dan berbuat untuk jangka

panjang, merupakan pengembara yang konsumtif, juga tidak suka pembatasan/ikatan. Maka struktur masyarakat Irian “longgar”, walau ada sistem kerabat/klen, namun lebih kuat ikatan persahabatan pribadi dan emosional. Mereka bisa sangat baik satu sama lain namun jika konflik, balas dendam mudah terjadi. Wewenang berlaku sejauh langsung bermanfaat. Sistem perkawinan

polygyny dianggap mempertinggi kegunaan kerjasama. Budaya mereka berlawanan dengan kaum petani imigran yang menunggu panen, bekerja sama dan punya struktur pemimpin turun-temurun. Orang Irian tidak mengenal feodalisme, menghadapi seseorang apa adanya, tidak berbelit.

(5)

3. Identitas Sendiri dan Pengalaman Beragama

Pengaruh inkulturasi Kristen (84% penduduk Irian pada 1988): menghilangnya perkelahian, balas dendam dan pengayauan; tempat tinggal terpisah untuk suami-istri ditentang; animisme dan dinamisme ditentang. Perkembangan positif misi dan zending menyangkut pendidikan dan

pengajaran, perawatan kesehatan, dan penyuluhan pertanian. Melalui pendidikan, iklim Kristen mulai diinternalisasi dalam keseharian sejak kelahiran sampai kematian melalui doa, bacaan, pemberkatan, dan lambang-lambang seperti gereja, salib, lagu-lagu rohani, gambar para kudus. Kegiatan dan pengabdian para misionaris menimbulkan kepercayaan pada apa yang dibayangkan sebagai kehidupan yang lebih indah dan lebih baik.

Namun kontak dengan umat Kristen yang muda ini lama-kelamaan menimbulkan pertanyaan dan perlunya penyelidikan lebih mendalam tentang pengalaman dan penghayatan religius.

Misalkan tentang perkawinan levirat, sebagai tindakan penampungan para janda. Pertanyaan lain mengenai “pengalaman religius” mencapai puncak atau mendekati rahasia kehidupan seperti “dalam orgasme menikam musuh dan hubungan homoseksual”, “mengalami hidup dalam bentuk tertinggi setelah mengayau (tanda kehormatan derajat)”, “kekayaan yang membuat seseorang dapat sesuka hati membantu sahabat atau menyuruh membunuh musuh”. Selain pengalaman-pengalaman ekstase tersebut, tampaknya mereka menghayati makna kebebasan/penentuan sendiri hidupnya sebagai kepuasan tertinggi. Pertanyaan besarnya bukanlah apa yang membantu mereka berpindah ke agama Kristen, melainkan bagaimana pengalaman ‘Allah’ mereka yang nyata itu bisa berdampingan dengan pengalaman Allah orang Kristen sehingga saling membantu dan bersama melangkah lebih jauh mencari pengalaman yang semakin kaya.

IV. Masa Depan – Aspek Perkembangan Rohani

Orang Irian berpandangan dunia kosmologis. Alam semesta mengandung segala kekuatan yang dikenal dan tidak; makhluk-makhluk saling mempengaruhi secara profan atau sakral. Suku petani/peladang Irian memandang alam (Pemberi) seperti ibu. Hubungan dengan yang illahi bagi mereka dapat secara langsung, sementara petani non-Irian/pendatang meyakini hubungan dengan yang illahi melalui perantaraan kata-kata, sikap, dan lambang-lambang. Jika petani pendatang mempersalahkan orang lain dalam suatu kegagalan, orang Irian sadar menggunakan teknik keliru dalam pergaulan dengan kekuatan-kekuatan yang dikenal maupun yang gaib. Mereka bisa mengakui kesalahan dan mengemukakan kebodohan sendiri di muka umum. Pandangan Kristen bahwa nilai-nilai yang merupakan kodrat manusia masih ditambah lagi dengan wahyu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, secara historis berhasil menyapa orang Irian. Maka masuknya Islam jika dipaksakan membuat orang Irian merasa terancam dalam kehidupan agamannya.

Hal lebih penting adalah kebutuhan akan pengakuan dan pertahanan diri yang terancam dengan adanya transmigrasi. Mereka bertanya-tanya dengan cemas, “Haruskan kita tenggelam selamanya dalam arus zaman baru? Haruskah kita biarkan segala sesuatu datang atas kita entah untuk dibinasakan karena pemberontakan kita, entah untuk dimatikan karena apati kita?”. Memang ada perubahan-perubahan besar, dan penduduk asli harus menyesuaikan diri demi integrasi dalam dunia baru. Tetapi penyesuaian ini boleh dan bisa mereka lakukan sendiri dengan mempertahankan nilai-nilai terbaik identitas mereka sendiri. Bhinneka Tunggal Ika merupakan keyakinan pemerintah (jangan hanya jadi slogan).

(6)

kemampuan ilmiah dan teknisnya, dia tidak perlu menyerahkan keyakinannya, bahwa dunia yang tidak kelihatan itu demikian pentingnya bila menyangkut urusan mencapai keselamatan bagi dirinya dan sekalian orang yang dikasihinya.

V. Tanggapan

Pada teks Boelaars maupun berita-berita di media massa2 tampak bahwa budaya (sekaligus

seluruh keberadaan/identitas orang Irian) sedang terancam. Pendatang (pemerintah Indonesia) yang memandang manusia Irian terbelakang dan ‘tidak berbudaya’ tanpa lebih dahulu mempelajari nilai-nilai budaya asli Papua langsung menerapkan kebijakan-kebijakan yang bukannya

memajukan tapi malah semakin meminggirkan penduduk asli. Manusia Papua seperti orang Indian Amerika yang terdesak bangsa kulit putih di rumah sendiri.

Pendekatan Boelaars yang tak hanya antropologis tapi juga sedikit menyiratkan refleksi iman (Kristiani), memandang manusia Irian sebagai subyek—sesama makhluk Tuhan yang harus didengarkan, dimengerti dan dihargai keasliannya. "Pertanyaan besarnya bukanlah apa yang membantu mereka berpindah ke agama Kristen, melainkan bagaimana pengalaman 'Allah' mereka yang nyata itu bisa berdampingan dengan pengalaman Allah orang Kristen sehingga saling

membantu dan bersama melangkah lebih jauh mencari pengalaman yang semakin kaya3."

Pernyataan ini harusnya menjadi pegangan para pendatang (misionaris, pemerintah, guru) yang hendak membawa kemajuan (meminjam istilahnya Orde Baru: “pembangunan”). Pendekatan yang memaksakan kacamata kita (kacamata Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jawa, atau Kristen) dan dengan demikian mengobyekkan penduduk asli harus ditinggalkan.

Gaya misionaris abad ke-19 (zaman Gold, Glory & God) yang tidak disesuaikan dengan tingkat perkembangan/pandangan terhadap kehidupan penduduk kerap terbukti tidak efektif, bahkan berakibat buruk seperti kerusuhan Obano 1956. Bahkan pandangan Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II, “dengan usaha-usahanya menyebabkan segala kebaikan yang tertaburkan dalam hati serta budi orang-orang atau dalam upacara-upacara kdan kebudyaan para bangsa sendiri, bukan saja tidak hilang, melainkan disehatkan, diangkat dan disempurnakan demi kemuliaan Allah, demi tersipu-sipunya setan dan kebahagiaan manusia4.”

Lebih jauh, menyangkut integrasi Papua dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kini kembali dipertanyakan dengan alternatif merdeka atau otonomi khusus, perlulah didengar dan dihargai sang Manusia Papua. Protes anggota Komisi II DPR menyangkut 80% pendapatan daerah dikembalikan ke Papua5 sangat tidak masuk akal dan menunjukkan dengan jelas

ketamakan manusia kota yang selama ini telah diuntungkan dengan eksploitasi sumber daya alam maupun manusia Papua. Undang-Undang Otonomi Khusus Papua haruslah mencerminkan pendapat dan kepentingan rakyat daerah tersebut.

Satu hal penting yang pemerintah Indonesia hingga kini tidak mampu: mendengarkan dan menghargai mereka yang berbeda. Walau mungkin terdengar naif, penulis berharap mempelajari mata kuliah seperti Agama-Agama Asli di Indonesia ini bisa menggantikan ketidakmampuan mendengar dengan dialog yang sejati berdasarkan penghargaan terhadap sesama manusia.

* * *

2 Misalkan pada artikel “Pengembangan Masyarakat Irian Jaya – Penghapusan Koteka hingga Pendampingan Usaha

Kecil” (Kompas, 28 Agustus 2001, hal.20), juga pada kajian “(e)Mas, Mesiu & Misi – Hibriditas (Identitas) Papua” (buletin Lembaga Studi Realino No.25/Thn.VII/Desember 2000)

3 Boelaars, Manusia Irian, hal.206

4 Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium, Bab II butir 17 “Sifat misioner Gereja”

(7)

Peta: desa-desa di Kabupaten Paniai tempat kediaman suku Ekagi

Referensi

Dokumen terkait

terjadi perubahan warna dari yang awalnya bening menjadi biru muda.Selain itu bisa juga saat kita memanaskan lempeng tembaga yang berwarna merah dengan serbuk belerang yang

Sistem Informasi yang menggunakan komputer dan teknologi komunikasi untuk melakukan tugas-tugas yang diinginkan.... Pengenalan Teknologi Informasi

Penelitian ini akan mengambil sampel kelas XI jurusan Agama dan alasan penulis mengambil kelas XI karena mereka telah mengalami pendidikan dan pengalaman belajar

Sambodo,priyo (2010) Jurnal kesehatan lingkungan faktor-faktor berhubungan dengan penggunaan helm standar nasional (SNI) oleh pengendara sepeda motor sebagai alat pelindung

Selain itu, penelitian Kurniawan (2009) dalam melakukan analisis perhitungan CreditRisk + untuk kredit bisnis mikro pada Bank Rakyat Indonesia menunjukkan hasil

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menafsirkan ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU 30/2014 sehingga harus dibaca sebagai berikut: “Apabila dalam batas waktu

Kelompok control diberi minuman air minum standard sebanyak 3 ml memakai sonde setiap hari pada pagi hari pada jam yang sama kemudian diberi makanan dan minuman standard selama

Para Pihak akan melepaskan setiap tuntutan dari pihak ketiga atas pemilikan dan keabsahan penggunaan yang berkaitan dengan hak-hak atas kekayaan intelektual yang dibawa