• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA GERAKAN ISLAM RADIKAL KONTEMPORER DI INDONESIA. Rijal Mumazziq Z IAI Al-Falah As-sunniyyah Kencong Jember ABSTRACT ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PETA GERAKAN ISLAM RADIKAL KONTEMPORER DI INDONESIA. Rijal Mumazziq Z IAI Al-Falah As-sunniyyah Kencong Jember ABSTRACT ABSTRAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Peta Gerakan Islam Radikal Kontemporer Di Indonesia

Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020 | 35 PETA GERAKAN ISLAM RADIKAL KONTEMPORER DI INDONESIA

Rijal Mumazziq Z

IAI Al-Falah As-sunniyyah Kencong Jember

rijalmz@gmail.com

ABSTRACT

In the last two decades, the radical Islamic movement in Indonesia has flourished. Starting from solidarity with the slumped Islamic world, returning to the teachings of the Koran and hadith, rejection of Western domination of a Muslim state, to inflating the spirit of jihad, and efforts to realize an "Islamic" system through the Islamic State and the Khilafah. This action has parallel with global movements, both in the form of ideology and interconnected international networks. This article attempts to map the network for the growth of the extremist movement in Indonesia and the nature of its movement.

ABSTRAK

Dalam dua dasawarsa terakhir, gerakan Islam radikal di Indonesia tumbuh subur. Diawali dari solidaritas atas dunia Islam yang terpuruk, kembali kepada ajaran al-Qur‟an dan hadits, penolakan terhadap dominasi Barat atas negara muslim, hingga menggelorakan semangat jihad, dan upaya mewujudkan sistem ”Islami” melalui Negara Islam dan Khilafah. Aksi ini memiliki pararelitas dengan gerakan global, baik berupa ideologi maupun jejaring internasional yang saling terhubung. Artikel ini berusaha memetakan jejaring pertumbuhan gerakan ekstremis di Indonesia dan corak gerakannya.

Keywords: Ekstremisme, Jihad, Terorisme, Neo-Khawarij

Peristiwa 9/11 mengarahkan perhatian dunia terhadap masyarakat Muslim. Aksi-aksi kekerasan “dituduhkan” kepada organisasi al-Qaidah, yang dianggap sebagai representasi Islam. Berbagai tindakan dilakukan untuk memberantas maupun membendung pengaruh aksi-aksi ekstrem ini. AS bersama sekutunya kemudian melakukan proses “stabilisasi kawasan” melalui penjajahan di Irak dan Afganistan. Penjajahan ini justru melahirkan dampak serius, yakni bangkitnya fenomena International Islamic Front for Jihad against Jews and Crusaders. Kosakataa Jews tentu saja bermuara pada Israel, sedangkan Crusaders ditujukan kepada AS.

Merebaknya aksi „jihad‟ global ini kemudian juga berpengaruh kepada konstelasi Islam Indonesia. Munculnya wacana „penegakan Syariat Islam‟, Negara Islam Indonesia (corak baru),1 serta „Perda-isasi Syariat Islam‟, merupakan pengaruh dari pergolakan yang terjadi di Barat maupun di Timur Tengah. Khusus untuk kawasan terakhir ini memang memiliki pengaruh signifikan bagi kehidupan Islam di Indonesia. Gagasan, pemikiran, dan gerakan yang berkembang di Timur Tengah mudah dikembangkan dan dipraktikkan di Indonesia.2

1

Mengenai polarisasi di tubuh NII dan metamorfosisnya dalam gerakan terbaru, Nur Khalik Ridwan mengupasnya melalui “Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia” (Jakarta: Erlangga, 2008), termasuk mengupas pula jejak intelijen dalam persoalan NII “gaya baru” dan varian serupa.

2 Latarbelakang berdirinya Muhammadiyah, NU, PKS, serta Hizbut Tahrir Indonesia, juga memiliki

keterkaitan historis dengan perkembangan politik-ideologis di Timur Tengah. Genealogi keilmuan Islam di Tanah Air, khususnya pesantren, juga memiliki keterkaitan erat dengan jaringan ulama Timur Tengah. Selengkapnya lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII

(2)

36 | Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020

Demikian juga dengan gerakan revivalisme Islam kontemporer di Timur Tengah. Lalu mengapa pengaruh kebangkitan Islam di Timur Tengah memiliki pengaruh kuat bagi Islam di kawasan lain? Kenyataan bahwa Islam dilahirkan di kawasan Arab menyebabkan wilayah ini memiliki keistimewaan daripada dunia Islam yang lain. Timur Tengah menjadi sentral dunia Islam, sementara yang lain menjadi pheriferal (pinggiran). Timur Tengah juga memiliki posisi penting dalam sistem spiritual Islam, gerakan dakwah, peradaban, ilmu pengetahuan, dan pengaruh politik.3

Tak heran jika kemudian Islam yang berada di Timur Tengah terkesan bebas dari sinkretisme dan (dianggap) lebih murni. Efeknya, manifestasi Islam Arab ini dianggap sebagai tradisi Islam yang tinggi (high tradition) yang “harus” menjadi acuan bagi Islam di wilayah pinggiran (Afrika, Asia Selatan & Tenggara) yang terkesan low tradition.

Oleh karena itu, ekspresi Islam yang berkembang di Timur Tengah dengan mudah menyebar ke kawasan lain dan mengglobal. Sebagaimana Barat mempengaruhi dan membentuk budaya belahan dunia lain, Islam Timur Tengah juga mempengaruhi dan mengkonstruk keberagamaan umat Islam di wilayah-wilayah lain. Inilah yang menandai munculnya “Islam Global” yang memiliki karakter Timur Tengah.

Dalam aspek globalisasi “Islam global” ini terdapat aktivitas Islam Politik yang oleh Oliver Roy disebut sebagai “Islamisme”, yakni sebuah gerakan kontemporer yang memandang Islam sebagi ideologi politik.4 Islam Politik ini pun terbagi dalam kutub besar: Revolutif dan Reformis. Bagi gerbong revolutif, Islamisasi masyarakat mesti dilakukan melalui kekuasaan negara dengan merebut kekuasaan terlebih dulu. Bagi kelompok ini, pendekatan yang dilakukan adalah non-koperatif dengan penguasa dan menolak sistem demokrasi yang dianggap bertentangan dengan Islam. Sementara kutub reformis tampak lebih moderat.

Tindakan politis dan sosial mereka bertujuan reIslamisasi masyarakat dari bawah ke atas (bottom up), yang dengan sendirinya akan mewujudkan Negara Islam. Perbedaan kedua kutub ini bukan terletak pada hakikat perlunya Negara Islam. Mereka sepakat pada kemestian

iqamat al-dawlah al-Islamiyyah (pendirian Negara Islam). Perbedaannya terletak pada cara

pencapaiannya dan sikap penerapannya berkaitan dengan kekuasaan yang ada. Apakah menggunakan cara penghancuran, oposisi, kolaborasi, atau ketidakpedulian (apatisme politik).

Jika dipetakan secara sederhana, konstelasi gerakan Islam bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

Pertama, kelompok “jihadis” yang menyerukan perlawanan dalam skala global terhadap

Barat (AS dan sekutunya). Dalam hal ini diwakili oleh al-Qaidah dan jaringannya; Jamaah Islamiyyah di Asia Tenggara,5 Abu Sayyaf di Filipina, Taliban di Afganistan, Lashkar e-Tayyiba di Pakistan, AQAP di kawasan Teluk, As-Syabab dan Boko Haram di wilayah Afrika (Somalia & Nigeria). Kelompok ini, sungguhpun kontroversial, memiliki jaringan bawah tanah yang rapi,

dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia (Jakarta: kencana, 2005); Abdurrahman Mas’ud, Dari Haromain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana, 2006)

3 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke

Indonesia (Jakarta: Erlangga Press, 2005), 81-82.

4

Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik (Jakarta: Serambi, 1996), 29.

5

Sekadar tinjauan, buku karya Solahuddin, Dari NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), dengan cerdas memetakan polarisasi yang terjadi dalam kelompok salafi-jihadi berikut konfrontasi di antara masing-masing faksi serta tokoh-tokoh utama yang terlibat di dalamnya. Sedangkan Nasir Abbas, mantan kombatan Jamaah Islamiyah membeberkan pola perekrutan, sistem organisasi, serta jerohan Jamaah Islamiyah melalui Membongkar Jamaah Islamiyah: pengakuan Mantan Ketua JI (Jakarta: Grafindo, 2005).

(3)

Peta Gerakan Islam Radikal Kontemporer di Indonesia

Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020 | 37 hierarki dengan sistem sel-terputus, dan mendapat simpati dari sedikit kaum muslimin. Meskipun Usamah bin Ladin telah dibunuh oleh tentara AS, namun gerakan ini masih merepotkan AS dan sekutunya. Di bawah komando Ayman Azzawahiri yang kurang memiliki kharisma kuat seperti Usamah, al-Qaidah masih tetap berbahaya. Serangan-serangan yang dilancarkan, sebagaimana biasa, sporadis dan membabi buta.6

Dalam konstelasi politik terbaru, kekacauan dan instabiltas politik di Irak dan Suriah kemudian membuat al-Qaidah beranak-pinak dan, bahkan, menyempal. Organ gerakan Jabhat An-Nushrah, yang pada awal perlawanan terhadap rezim Bashar Asad masih “bersatu” dengan Free Syirian Army (FSA) yang sekuler, hingga kini masih loyal pada Ayman Azzawahiri dan jaringan Al-Qaidah. Di sisi lain, bekas kombatan Al-Qaidah yang lebih militan memilih bersatu dan berbaiat dengan ISIS di bawah kendali Abu Bakar Al-Baghdadi. Dalam perkembangannya, Jabhat An-Nushrah kalah pamor dibandingkan ISIS. Hal ini “pantas” dimaklumi, sebab gerakan ISIS lebih massif, sadis, memiliki alat propaganda lebih canggih dibandingkan dengan organ lain, dukungan logistik tak terbatas (dari donatur, aksi perampokan, penjualan minyak ilegal serta penjualan berbagai benda purbakala di pasar gelap).

Lagi pula, ISIS lebih “bergaya” global daripada Boko Haram, Abu Sayyaf, Jamaah Islamiyah dan lain sebagainya yang tampak corak lokalnya.7 Jangkauan global ISIS juga tampak manakala melihat efensifitas kombatan dan simpatisan dari berbagai negara yang memilih bergabung dengan mereka. Di sisi lain, ISIS juga menyadari bahwa mereka juga menjadi musuh bersama, baik kekuatan tradisional di Timur Tengah: Suriah, Irak, Mesir, Yordania, Saudi Arabia, Iran dan Lebanon; negara-negara Barat dengan pasukan koalisinya, maupun paramiliter lokal seperti Pashmerga (Kurdi), milisi Syiah yang disokong kekuatan Iran dan Hizbullah-Lebanon, hingga mayoritas umat Islam.

Kedua, kutub revolusioner lokal-regional. At-Takfir wal Hijrah (Jamaah al-Muslimin) di

Mesir, Hizb al-Da‟wah al-Islamiyyah di Irak, Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina, dan Hizbut Tahrir di Yordania (yang kemudian mengglobal). Ciri khas kelompok ini: militan, indoktrinasi bahwa penguasa adalah taghut, serta penggunaan cara-cara kekerasan jika dipandang perlu. Di sayap Syiah, ada Mujahidin el-Khalq di Iran, Hizbullah di Lebanon dan Barisan Syiah Ghaoutsi di Yaman yang mengkudeta pemerintahan yang sah. Kelompok ini mengklaim sedang berusaha membebaskan kaum muslimin dari dominasi Barat. Adapun varian kecil seperti Jihad Islam dan Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah (HAMAS) di Palestina bergerak pada aspek kemerdekaan, serta Pashmerga, laskar khusus etnis Kurdistan yang lebih nasionalis.

Ketiga, kelompok revivalis-evolutif. Kelompok ini tumbuh subur di negara-negara Arab

maupun negeri muslim. Kegagalan rezim di masing-masing negara dalam mewujudkan

6 Buku Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (Jakarta: LP3ES, 2014),

karya As’ad Said Ali bagus membedah jeroan organisasi ini. Lagipula, sebagai tokoh intelijen Indonesia, pengalaman Pak As’ad membantu lebih jernih memahami kondisi lapangan dalam hal ihwal penanganan kasus terorisme, baik skala global maupun lokal.

7 Di kemudian hari, mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Abu Bakar Baasyir, yang kemudian

mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), diajak oleh Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansharud Daulah (JAD), untuk berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi, yang diklaim sebagai Amirul Mukminin organisasi ISIS (Islamic State in Iraq and Syam/Suriah). Proses baiat ini dilakukan ketika keduanya dipenjara di Nusakambangan. Foto-foto prosesi baiat beredar luas di internet, dengan pose bersama para tahanan lain yang membawa bendera ISIS. Prosesi ikrar setia ini dianggap bisa mempersatukan JAT dan JAD yang selama ini berseteru. Anggota JAT dan JAD dalam kurun satu dasawarsa terakhir banyak terlibat kasus terorisme di tanah air.

(4)

38 | Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020

kejayaan dan kemakmuran dituding akibat ideologi dan sistem sekularisme, demokrasi, sosialisme, yang bertentangan dengan Islam. Maka mereka mengajak kepada rakyat dan pemerintah agar kembali menjalankan sistem Islam(i).8 Islam ditempatkan sebagai ideologi alternatif bernegara. Adapun para ideolog gerakan revivalisme Islam antara lain: Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Said Hawwa, Abu al-A‟la al-Maududi, Imam Khomeini, Muhammad Baqir Sadr, Abdussalam Farq, dan Juhaiman al-Utaibi. Meski dalam beberapa aspek terjadi perbedaan pemikiran gerakan Islam, namun ada benang merah yang membuat pemikiran mereka sejalan, antara lain: al-din wa al-dawlah (integralistik), fondasi Islam adalah al-Qur‟an dan Assunnah, puritanisme Islam dan keadilan sosial, kedaulatan hukum Allah berdasarkan syariat, serta jihad sebagai pilar menuju terlaksananya syariat Islam. Jihad ini musti dilakukan dengan komprehensif, jika perlu dengan cara kekerasan.9

Dalam perkembangannya, gerakan ini memilih cara evolutif-massif, khususnya dalam berpolitik melalui partai dan menggunakan masjid sebagai basis gerakan. Kaderisasi dilakukan secara khusus setiap minggu sekali dengan ditunjang indoktrinasi yang menggunakan buku-buku ideologis yang kebanyakan ditulis oleh para ideolognya. Karena evolutif, jaringan gerakan ini memilih bergiat menjadi demokratis di berbagai negara. Untuk poros gerakan, Ikhwanul Muslimin menjadi “teladan” bagi organisasi serupa di berbagai negara. Misalnya, FIS di Aljazair, Partai Annahdlah di Tunisia, AKP di Turki, PAS di Malaysia, hingga PKS di Indonesia. Karena sudah “bergiat menjadi demokrat”, maka dalam perkembangannya mereka ini mendeklarasikan “inisiatif-reformasi” dan komitmennya terhadap sistem politik yang “….demokratis, konstitusional, parlementer, dan presidensial.”10

Dalam perkembangannya, gerakan politik Islam demokrat seperti beberapa partai di atas juga mendapatkan pertentangan dari kubu “jihadis” yang lebih ekstrem. Mereka menolak dan mencerca keterlibatan beberapa partai Islam ini dalam parlemen. Sebab, bagi mereka keterlibatan dalam sistem demokrasi adalah kufur. Di beberapa forum diskusi di internet, tokoh-tokoh PKS di Indonesia banyak yang dikafirkan oleh beberapa eksponen Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang lebih ekstrem dan selama ini bergerak melalui aksi terorisme di tanah air. Dalam kubu lain, ada eksponen Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sering mengkampanyekan khilafah dan menuduh sistem demokrasi sebagai taghut dan sistem kufur. Fenomena saling mengkafirkan antar beberapa gerakan Islam ini memang merupakan corak klasik yang tidak jarang diakhiri dengan kekerasan berdarah, sebagaimana di Timur Tengah.

Fenomena Neo-Khawarij Indonesia

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, sayap radikal-revolusioner tidak benar-benar mampu mewujudkan cita-cita idealnya. Mereka selalu terbentur dengan represi yang dilakukan

8

Dalam Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam di Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), M. Imdadun Rahmat lebih menyoroti transmisi gerakan revivalisme Islam pasca reformasi beserta watak keagamaan gerakan revivalis di tanah air. Tak jauh berbeda, Greg Fealy dan Anthony Bubalo membeber pengaruh transmisi radikalisme di kawasan konflik di Timur Tengah terhadap pemahaman keagamaan di Indonesia melalui Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia (Bandung: Mizan, 2007).

9 Shireen T. Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan (Yogyakarta: Tiara

wacana, 2001), 14-15.

10

M. Imdadun Rahmat dengan bagus mengupas jeroan PKS dalam Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (Yogyakarta: LKiS, 2011).

(5)

Peta Gerakan Islam Radikal Kontemporer di Indonesia

Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020 | 39 oleh pihak penguasa di satu sisi, dan tidak memperoleh dukungan signifikan dari rakyat karena melegalkan cara-cara kekerasan. Hingga akhirnya terjadi semacam clash internal di tubuh gerakan Islam Politik ini. Di satu pihak ada yang tetap berjuang dengan menggunakan kekerasan, di pihak lain terdapat kesadaran agar meninggalkan cara-cara kekerasan dan beralih ke metode yang lebih elegan: yakni lebih ke arah pendidikan dan sosial, serta mulai menjauhi politik. Hal ini tampak tatkala Saudi Arabia, yang phobia terhadap gerakan radikal yang mengancam stabilitas negaranya, menyeponsori gerakan dakwah melalui program bantuan beasiswa pendidikan, sosial, serta penyebaran buku-buku madzhab bertema “kembali ke al-Qur‟an dan Assunnah”. Proyek ini dilakukan oleh Saudi Arabia sejak tahun 1980-an. Mereka tentu saja khawatir jika revolusi Islam ala Iran terjadi di negaranya. Akhirnya, proyek ideologi revolusioner dalam merombak tatanan keummatan melalui aspek “top down” (mengubah sistem dan ideologi negara melalui jalur politik) digantikan dengan target “bottom up”, yakni dengan cara mengubah moralitas dan nalar ummat melalui sosial, ekonomi dan pendidikan.11

Reformasi 1998 yang membuka kran demokratisasi, juga memiliki implikasi lebih luas, yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok eksklusif yang memperkeruh ukhuwah

Islamiyah dengan melakukan aksi pembusukan kaum muslimin dari dalam. Baik dilakukan

dengan tindakan ekstrem (bunuh diri, misalnya), maupun hanya sebatas “dakwah dengan cara radikal-militan”. Dakwah secara radikal-militan inilah yang seringkali salah ditafsirkan serampangan dengan cara memusyrikkan dan mengkafirkan saudara-saudara seiman yang tak sepaham dengan mereka.

Sungguhpun kelompok radikal ini memiliki beragam varian organisasi, namun ada empat ciri khas yang melekat pada kelompok ini. Pertama, fanatik terhadap pendapat sendiri dan menolak pendapat orang lain. Pola pikir yang keras di antara mereka tak jarang berujung pada pemaksaan pemahamannya sehingga berujung pada kekerasan pula. Kedua, memahami teks agama secara harfiyah, misalnya, dalam memahami ayat-ayat perang tanpa mengindahkan tujuan dan sebab turunnya ayat tersebut. Ketiga, mereka biasanya berlebih-lebihan dalam pengharaman. Dalam perspektif mereka, segala sesuatu yang tidak berlandaskan syariah adalah haram. Keempat, mereka sangat mudah sekali mengkafirkan orang lain atau pemerintah. Nah, faktor terakhir inilah yang membahayakan, sebab poin ini dijadikan alasan dan legitimasi pengeboman yang terjadi di Indonesia. Jika seseorang telah (dianggap) kafir, maka kekerasan atau pertumpahan darah, adalah “diperbolehkan”.12

11 Sebagai negara monarki tradisional yang menjadi sekutu utama AS, wajar jika Arab Saudi khawatir

dengan gerakan demokratisasi yang terjadi di kawasan Teluk maupun Afrika semenjak 2011. Gelombang Arab Spring yang melanda Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, hingga Suriah, cukup membuat Arab Saudi pening. Namun dukungan AS dan sekutunya terhadap eksistensi Arab Saudi menjadi jaminan bahwa negara ini tak akan dilanda gelombang musim semi Arab sebagaimana negara tetangganya. Konstelasi politik Timur Tengah yang sangat rumit ini disikapi oleh Arab Saudi dengan melakukan proteksi; menghapus Israel dari musuh utama, memberi pasokan persenjataan kepada gerilyawan Suriah, membeli peralatan tempur mutakhir kepada AS, dan terus menjaga hubungan baik dengan AS. Pasca wafatnya Raja Abdullah beberapa saat silam, penguasa baru Arab Saudi, Raja Salman tetap menghendaki jalur politik yang telah ditempuh oleh para pendahulunya. Ketika Pangeran Muhammad bin Salman, putra mahkota, berhasil menyingkirkan para pesaingnya dari trah Ibnu Sa’ud, dan Donald Trump berhasil menjadi ornag nomor satu di AS, kebijaksanaan militer tetap mengacu pada hubungan erat antara Arab Saudi dengan AS, khususnya pada belanja peralatan tempur mutakhir.

12 Buku Aku Melawan Teroris (Solo: Jazeera, 2004) karya Imam Samudera secara gamblang dan

memberikan alasan-alasan mengerikan mengenai perlunya memerangi taghut. Demikian pula dengan catatan trio bomber Bali dari balik penjara yang terbit pada 2009; Ali Ghufron (Mukhlas) dengan Mimpi Suci Di Balik Jeruji Besi, Imam Samudera dengan Sekuntum Rosela Pelipur Lara, dan Amrozi dengan Senyum

(6)

40 | Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020

Poin-poin di atas, secara sekilas bisa mengingatkan kita pada ekstrimis Khawarij yang hidup beberapa abad silam. Secara organ gerakan, kelompok ini telah punah, tetapi secara pemikiran dan ideologi, Neo-Khawarij dengan pola gerakan yang lebih canggih telah menjadi orok yang membahayakan Islam sendiri.

Dan, berdasarkan pola pergerakannya, pemahaman kelompok-kelompok eksklusif ini bermuara pada Muhammad Ibn Abdil Wahab. Sosok kunci yang menjadi arsitek revolusi pemahaman keagamaan masyarakat (yang berdarah-darah) di Tanah Hijaz, yang efeknya diekspor ke luar negeri melalui berbagai cara dengan dukungan dana melimpah dari kerajaan Arab Saudi pada era sekarang. Dalam konteks internasional, dukungan dana yang melimpah ini membuat dakwah Wahabi kian militan, sistematis, dan dogmatis.

Proses ekspor paham ini memang lebih dahsyat setelah terjadinya booming efek emas hitam (baca: minyak) sejak tahun 1970-an. Di Indonesia, gejala ini bisa ditangkap pasca reformasi 1998, dimana terdapat masjid atau pesantren “tiban” (tiba-tiba ada). Masjid atau pesantren yang dibangun oleh orang luar (bukan penduduk desa), cepat berdiri karena dukungan dana melimpah, serta mengajarkan Islam yang berbeda dengan paham keIslaman masyarakat sekitarnya. Santri penghuninya pun “drop-dropan” dari luar daerah. Mereka cenderung eksklusif dan menutup diri dari pergaulan dengan masyarakat sekitar. Kasus yang terjadi pada 2013 silam, “pesantren” Umar Ibn Khattab di Lombok, terbukti mengajarkan “kekerasan” kepada segelintir santrinya. Sebagai “garis keras”, pesantren seperti ini juga mengharamkan hormat kepada bendera, haram memakai (sebagian) hukum Indonesia karena dinilai hukum kufur, serta tak wajib taat kepada pemerntah RI yang dinilai sebagai thaghut (setan), pencangkokan ajaran Islam yang tanpa dikontekstualisasikan dengan realitas sosial, serta seringkali terjebak pada “alienasi” kebenaran (kelompok ini merasa terasing karena dirinya “benar”).

Pemahaman seperti ini akhirnya tak melahirkan apa yang kita sebut sebagai tanwir

al-„uqul (pencerahan akal) dan tanwir al-qulub (pencerahan hati), dua pemahaman yang

komprehensif, sublim, dan subtil untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama. Pemahaman keagamaan seperti di atas hanya akan melahirkan sikap ekslusif, mengklaim kebenaran sendiri, dan sering menyalahkan mereka yang tak sepaham dengan dirinya.

Dari Radikalisme ke Terorisme

Setiap muslim selayaknya berIslam, beriman, dan berihsan secara fundamental. Maksud saya, jika hal ini dimaksud dengan makna “fundamental” yang dalam KBBI diartikan sebagai “bersifat dasar (pokok), atau mendasar”. Namun lain halnya jika fundamental ini kemudian dinisbatkan pada gerakan atau paham, sehingga fundamentalis akan menjadi sebuah “isme” yang kerapkali membuat orang bersikap “marah”, bukan “ramah” terhadap orang lain. Sikap ini akan melahirkan radikalisme, dan radikalisme membidani sikap teror(isme) dalam berbagai wujudnya, baik psikis maupun fisik.

Dunia terorisme di Indonesia, jika diamati, sulit diberantas karena dua faktor; pemahaman dan interpretasi teks suci yang dilakukan secara serampangan, yang didukung

Terakhir Sang Mujahid. Ketiga buku ini diterbitkan oleh Arrahmah Media, Jakarta, pada 2009. Demikian pula buku tipis yang ditulis oleh Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, tersangka kasus terorisme, Ya, Mereka Memang Taghut (Surabaya: Kafilah Syuhada’, 2012). Membaca beberapa tulisan ini, (nyaris saja) saya menganggap mereka ini adalah psikopat yang berlindung di balik jubah agama. Untuk mengimbanginya, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi, 2006) bisa menjadi teropong kritis mendalami hakikat kaum puritan. Dalam kacamata yang lebih dramatik-manusiawi, Noor Huda Ismail menulis Temanku Teroris? Saat Dua santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda (Jakarta: Hikmah, 2010).

(7)

Peta Gerakan Islam Radikal Kontemporer di Indonesia

Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020 | 41 kondisi ekonomi, sosial, politik di Indonesia yang masih labil. Faktor lainnya adalah pihak aparat masih menerapkan pendekatan kekerasan dalam memberantas aksi terorisme berkedok agama. Sungguhpun metode ini berhasil, namun efek yang dihasilkan tak kalah mengerikan. Bibit-bibit teroris muncul bak jamur di musim hujan, mereka ditempa di organisasi bawah tanah yang menggunakan metode penggemblengan melalui brainwashing, perekrutan terbatas, penggunaan sistem sel, yang didukung logistik memadai. Ironisnya, para perekrut gerakan ini di antaranya, adalah bekas-bekas narapidana tindak terorisme. Terbukti, jika penjara tak membuat mereka jera, tapi malah membuat mereka lebih canggih (karena selnya pun ditempatkan bersama-sama dengan terpidana terorisme lainnya). Ini belum lagi dengan situs “islami” yang dikuasai oleh jaringan-jaringan ekstremis ini. dalam hal dukung mendukung, situs Arrahmah.com tampak mendukung Jabhat An-Nushrah dalam konflik di Suriah, sedangkan voa-islam.com tampaknya lebih simpatik dengan ISIS. Lalu bagaimana dengan situs “islami” lainnya? Silahkan dicermati secara kritis. Untungya, sejak 2014, Kemeninfo memberantas dan memblokir situs-situs yang mengajarkan kekerasan atas nama agama.

Ada beberapa hal yang menarik bagaimana kelompok ini “mengembangkan sayapnya” melalui proses “marketing” yang bombastis. Pertama, penggunaan istilah-istilah yang “wah” untuk memompa ghirah kaum muslimin. Istilah Jihad, Ijtihad, Syahid, Penegakan Syariat Islam, dll, penuli setujui, asal dipergunakan sesuai dengan konteks masing-masing, dan dipergunakan secara proporsional. Jika tidak, penggunaan istilah-istilah mulia ini malah mereduksi dan menjadi antiklimaks dengan tujuan sebenarnya. Potongan Surat al-Maidah ayat 44, “waman lam

yahkum bimaa anzala Allaahu faulaa-ika humu alkaafiruun” Barangsiapa yang tidak memutuskan

menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maidah : 44), seringkali dipakai untuk menjustifikasi kebenaran versi mereka untuk mengkafirkan orang lain.

Padahal ayat inilah yang dulunya menjadi slogan Khawarij, yang setelah dimodifikasi menjadi berbunyi La Hukma Illa Lillah. Menurut al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal, yang pertama kali mengucapakan semboyan itu adalah seorang laki-laki dari Bani Sa‟ad bin Manat bin Tamim, dari kalangan Bani Tamim yang bernama al-Hajjaj bin Ubaidullah yang dikenal dengan julukan al-Barq.13 Abdullah Ibn Umar, ikut mensifati kelompok Khawarij dengan meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw. yang berbunyi: “Mereka yang menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir, lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman.”

Lebih lanjut penulis ingat dengan komentar Sayyidina Ali kr., “Kalimat benar tapi disalahgunakan (kalimatu haqqin urida biha bathilun)”, saat menantu Baginda Rasulullah ini melihat kelompok Khawarij membuat semboyan La Hukma Illa Lillah (tidak ada hukum selain dari Allah). Sebuah slogan yang sangat menarik dan memikat namun dipakai untuk menghalalkan darah mereka yang tidak sepaham dengan paham kelompok ekstremisme tertentu di Indonesia.

Kedua, melalui proses “labelisasi” dan mistifikasi. Labelisasi di sini terjadi saat

kelompok-kelompok ini menisbatkan amaliah mereka kepada generasi salaf, yang kemudian dipakai simbol sekte ini menyebut diri sendiri, yang secara tak langsung menjustifikasi bahwa kelompok di luar mereka bukan bagian dari pengamal ajaran Rasulullah dan salafus shalih. Sedangkan mistifikasi terjadi tatkala mereka mengagungkan Muhammad Ibn Abdil Wahab sebagai mujaddid, pemberantas kemusyrikan, penegak kalimat tauhid, dll. Yang mengherankan,

13

Abu Fath Muhammad bin Abd Karim ibn Abi Bakar Ahmad Syahrastani, Milal wa al-Nihal, Juz I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt), 117.

(8)

42 | Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020

meskipun mengklaim diri sebagai pengikut salafus shalih, namun kelompok ini malah jarang mengutip pendapat salafus shalih dan mengikuti akhlak generasi terbaik ini.

Dengan paparan singkat di atas, ada catatan akhir yang hendak saya sampaikan, bahwa fenomena militansi gerakan Islam disinyalir karena terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, pendidikan, dan politik atas kelompok Islam, di samping euforia politik otonomi yang tengah melanda negeri ini. Oleh sebab itu, saya kira masa depan umat Islam Indonesia memang tergantung pada gerakan Islam moderat agar lebih santun dalam berwacana dan beretorika pada publik, dengan mengedepankan masalah-masalah yang riil dihadapi masyarakat Islam Indonesia ketimbang menghadirkan masalah-masalah yang tampak abstrak dan tidak terjangkau. Sebab di situlah umat Islam masih menghendaki Islam yang mampu menjawab masalah riil di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Ketua JI. Jakarta: Grafindo, 2005. Abdurrahman, Abu Sulaiman, Aman. Ya, Mereka Memang Taghut. Surabaya: Kafilah Syuhada‟,

2012.

Ali, As‟ad Said. Al-Qaeda: Tinjauan Sosial-Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya. Jakarta: LP3ES, 2014.

Amrozi. Senyum Terakhir Sang Mujahid. Jakarta: Arrahmah Media, 2009.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:

Akar Pembaharuan Islam Indonesia. Jakarta: kencana, 2005.

Fealy, Greg dan Anthony Bubalo. Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia Bandung: Mizan, 2007.

Ghufron, Ali. Mimpi Suci Di Balik Jeruji Besi. Jakarta: Arrahmah Media, 2009.

Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan. Yogyakarta: Tiara wacana, 2001

Ismail, Noor Huda. Temanku Teroris? Saat Dua santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda. Jakarta: Hikmah, 2010.

Mas‟ud, Abdurrahman. Dari Haromain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana, 2006.

Rahmat, M. Imdadun. Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke

Indonesia. Jakarta: Erlangga Press, 2005

(9)

Peta Gerakan Islam Radikal Kontemporer di Indonesia

Falasifa, Vol. 11 Nomor 2 September 2020 | 43 Ridwan, Nur Khalik. Regenerasi NII: Membedah Jaringan Islam Jihadi di Indonesia. Jakarta: Erlangga,

2008.

Roy, Oliver. Gagalnya Islam Politik. Jakarta: Serambi, 1996. Samudera, Imam. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazeera, 2004.

________. Sekuntum Rosela Pelipur Lara. Jakarta: Arrahmah Media, 2009.

Solahuddin. Dari NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011. Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim ibn Abi Bakar Ahmad al-. al-Milal wa

Referensi

Dokumen terkait

Important changes include the conversion to a rating form in metric units, the use of a height adjustment for endomorphy which is now standard procedure, and the use of equations,

Course work includes basic apparel construction, pattern drafting, draping, textiles, historic and current fashion trends, hand and computer illustration, and

8 (1) Untuk terlaksananya syariat Islam di bidang akidah, ibadah dan syiar Islam, pemerintah provinsi kabupaten/ kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang melakukan pengawasan

Peserta OGN tahun 2017 adalah guru SMA/SMK Mata Pelajaran Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Sejarah, Bahasa Indonesia, Bahasa

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa dukungan pasangan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan pemilihan jenis

Hasil pengujian data dengan kedua metode didapat bahwa metode Backpropagation memiliki standar deviasi yang rendah dibanding metode Monte Carlo, sehingga metode

Perhitungan yang dilakukan terhadap hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa tingkat kekayaan jenis pada kawasan Pulau MenjanganTaman Nasional Bali Barat sebesar

Target khusus dalam penelitian ini adalah memberikan informasi khusus bagi guru pendidikan jasmani “bagaimana tingkat Kemampuan Motorik Kasar Siswa Sekolah Dasar