• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu wilayah di bagian selatan Pulau Jawa yang didominasi oleh bentang lahan karst dengan keadaan tapak yang cukup bervariasi. Dahulunya kabupaten ini merupakan kawasan hutan yang lebat dengan berbagai jenis vegetasi khas daerah tropis, namun seiring berkembangnya waktu, hutan di Gunungkidul mulai mengalami eksploitasi masif yang berujung deforestasi (Whitten, 1996). Awalnya eksploitasi

inihanya berintensitas kecil yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat. Whitten (1996) dalam bukunya The Ecology Of

Java,mengemukakan bahwa tindakan eksploitasi dan konversi lahan menjadi

perkebunan yang dilakukan, terutama pada jaman Belanda pada sekitar 1800an mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul mengalami degradasi lahan yang tinggi sehingga berubah menjadi lahan kritis. Dampak yang dapat dirasakan sampai saat ini adalah bentang lahan yang tandus dan kritis sehingga sulit untuk ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman.

Pada masa penjajahan Jepang, proses deforestasi menjadi semakin parah. Saat itu kayu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan perang. Tidak hanya itu konversi lahan yang dilakukan tentara Jepang dari tahun 1942 - Agustus 1945 ke tanaman jarak gagal karena tidak memahami kondisi biofisik di Gunungkidul yang didominasi karst (Nibbering, 1991). Sehingga sejak saat itulah Gunungkidul menjadi tandus, gersang dan kering, bahkan terkenal

(2)

2 dengan kemiskinannya diantara tahun 1940 -1950-an (Sunkar, 2008).

Menurut Simon (2010) Gunungkidul dikenal miskin bahkan sampai sekitar akhir tahun 1970. Kemiskinan adalah keadaan yang dimana terjadi ketidakmampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar dalam kehidupan, diantaranya seperti: sandang, pangan, dan papan (Khomsan, 2015). Keadaan ini banyak ditemui di Kabupaten Gunungkidul pada dekade tersebut. Pada saat itu banyak ditemukan masyarakat di Kabupaten Gunungkidul mempunyai keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka (Pusat Kajian Hutan Rakyat, 2006). Pada hasil kajian dari Pusat Kajian Hutan Rakyat Fakultas Kehutanan, UGM juga menyatakan bahwa banyak diantara mereka yang menggantungkan kehidupan pada lahan tandus yang pada saat itu hanya dapat ditanam tanaman singkong yang menjadi makanan pokok saat itu.

Pada tahun 1960 pemerintah melakukan berbagai usaha perbaikan lingkungan melalui beberapa program penghijauan. Bupati Gunungkidul yang saat itu dijabat oleh oleh Ir. Dharmokun Darmokusumo, melakukan program penghijauan seperti penanaman pohon di lahan yang sudah rusak sebagai akibat dari eksploitasi dan konversi pada saat itu (Simon, 2010). Proses tersebut telah membawa perubahan, terbukti bahwa saat ini di Gunungkidul penuh pepohonan dan hijau. Hal tersebut bisa terlihat pada luas penutupan lahan di Kabupaten Gunungkidul yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penutupan lahan ini salah satunya berasal dari tutupan tajuk hutan rakyat.

(3)

3 yang terjadi di Kabupaten Gunungkidul yang mengakibatkan berubahnya tutupan lahan di wilayah ini disebut dengan proses transisi lahan. Studi

mengenai kembalinya tutupan hutan (forest transition) telah banyak dilakukan

oleh beberapa ahli, seperti oleh Mather (1992); Walker (1993); Grainger (1995) dan Hosonuma (2012). Hosonuma (2012) mengemukakan proses transisi menuju kembalinya tutupan hutan dapat dilakukan melalui proses intervensi yaitu rehabilitasi dengan berbagai terminologi aplikasinya seperti reboisasi, reforestasi, penghijauan, dan lain-lain. Mereka juga melakukan studi di beberapa negara dan secara umum menemukan fakta bahwa proses transisi hutan berlangsung dalam beberapa fase transisi dimana terdapat 4 fase transisi yaitu pretransisi, awal transisi, akhir transisi, dan pascatransisi.

Pada jangka waktu sepuluh tahun terakhir ini penanaman pohon oleh masyarakat desa sekitar hutan sangat giat dilakukan khususnya di desa-desa Pulau Jawa, hal ini karena adanya dorongan menanam dari pihak pemerintah dan dari pihak masyarakat sendiri. Masyarakat pedesaan di Jawa sangat menyadari pentingnya keberadaan hutan untuk dimanfaatkan, karena itu masyarakat yang sadar akan hal tersebut melakukan tindakan dengan menanam pohon kayu dan pohon buah-buahan di areal lahan pekarangan dan tegalan dengan tujuan agar dapat menjaga keseimbangan lingkungan dan juga dapat membantu meningkatkan pendapatan.

Upaya selanjutnya yang dapat menunjang keseimbangan ekosistem alam dan kebutuhan ekonomi adalah pengembangan hutan rakyat. Hutan rakyat merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang berdasarkan

(4)

4 inisiatif masyarakat di lahan milik. Hutan rakyat biasanya ditanam jenis-jenis jati, mahoni, buah-buahan, nangka, kelapa, dan sengon (Awang, 2002).

Salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki hutan rakyat adalah Kabupaten Gunungkidul yang sudah terkenal dengan kesuksesannya dalam mengembangkan hutan rakyat, dimana sebagian besar didominasi oleh tegakan jati. Dari total luas wilayah Kabupaten Gunungkidul sebesar 148.536 hektar, saat ini hutan rakyat menempati areal seluas 16.119 hektar, dengan luas lahan potensial untuk pengembangan hutan rakyat seluas 50.144 hektar (Arupa, 2013).

Hutan rakyat di Desa Nglanggeran merupakan salah satu hutan rakyat yang berada di Kabupaten Gunungkidul yang mengalami perkembangan pesat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data monografi tahun 2015 luas hutan rakyat Desa Nglanggeran mencapai 345,70 hektar atau 45% dari total luas desa dengan jenis penggunaan lahan berupa kebun rakyat, tanah hutan/alas dan pekarangan yang tanamannya didominasi oleh tanaman keras. Beberapa jenis tanaman kehutanan yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat yaitu jati, mahoni, akasia dan sonokeling.

Pengelolaan sumberdaya alam terutama hutan oleh masyarakat di Desa Nglanggeran memiliki karakteristik yang unik dimana hutan rakyat dikelola

dengan sistem agroforestry, untuk digunakan sebagai salah satu sumber

penghasilan penduduk, mengingat wilayah ini dulunya merupakan lahan kritis. Dengan keberadaan hutan rakyat dapat menjadi alternatif harapan baru bagi masyarakat untuk menambah penghasilan. Besarnya keinginan masyarakat

(5)

5 dalam mengelola hutan rakyat untuk mencapai tujuan yang diinginkan merupakan faktor yang mendasari untuk dilakukannya penelitian tentang faktor pendorong apa saja yang membuat masyarakat melakukan usaha hutan rakyat di Desa Nglanggeran.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian

1. Apakah faktor internal yang mendorong masyarakat dalam melakukan

pengelolaan hutan rakyat di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul?

2. Apakah faktor eksternal yang mendorong masyarakat dalam melakukan

pengelolaan hutan rakyat di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui faktor internal yang mendorong masyarakat dalam usaha

hutan rakyat di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul.

2. Mengetahui faktor ekternal yang mendorong masyarakat dalam usaha

hutan rakyat di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul.

(6)

6 1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini berguna sebagai suatu proses belajar bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan pengelolaan hutan rakyat di Desa Nglanggeran. Selain itu, dapat pula dijadikan sebagai salah satu sumber informasi bagi penelitian lanjutan dan memperkaya khasanah penelitian di bidang sosial.

Referensi

Dokumen terkait

Dari segi proses, pabrik teh-seledri instan aman bagi lingkungan di mana limbah yang dihasilkan dari proses produksi hanyalah ampas daun teh dan seledri.. Limbah tersebut

Hasil survey juga menunjukkan ada 11,2% rumah yang pemenuhannya terhadap persyaratan ketahanan gempa di bawah 60 % untuk daerah Jawa Tengah; dan terdapat 5,2% rumah yang

Orang yang bahagia juga memiliki ciri sifat altruisme yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak bahagia; lebih sedikit berfokus pada diri, menyukai orang lain lebih banyak,

(1) Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a adalah pegawai yang berasal dari instansi pemerintah terkait maupun masyarakat umum yang

• Jika pada tahap tertentu penarikan contoh, banyaknya item/unit yang cacat sama dengan atau lebih dari bilangan penolakan maka lot ditolak. • Prosedur ini bekerja paling banyak

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan pembelajaran dengan metode index card match yang menggunakan collaborative teaching tipe station dan pembelajaran

Seharusnya faktor etika ini ditempatkan diatas hukum dan peraturan perundangan yang ada. Realitasnya, banyak pemimpin yang sudah jelas-jelas bersalah, namun selalu

1 KEMUNING KOTA MALANG KEDUNG KANDANG BUMIAYU Jl. Puri