PERMASALAHAN REHABILITASI DAN
REKONSTRUKSI PASCAGEMPA 27 MEI 2006 DI
YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH
Yoyong Arfiadi1, Wiryawan Sarjono1, Lucida2
1Staf Pengajar Program Studi Teknik Sipil, Universitas Atma Jaya Yogyakarta 2Staf Pengajar Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Kristen Duta Wacana
ABSTRAK
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi 27 Mei 2006 telah dilakukan pada rumah-rumah penduduk yang rusak berat dan roboh. Jumlah rumah yang rusak berat dan roboh sebanyak 263882 rumah. Untuk mengetahui sejauh mana rumah yang dibangun telah memenuhi persyaratan rumah tahan gempa dilakukan survey pada 42056 rumah yang dibangun dengan beaya pemerintah. Survey dilakukan sesuai dengan daftar isian yang telah disepakati antara konsultan dan Tim Teknis Nasional dan mengacu pada standar yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum. Sebelum dilaksanakan, daftar isian diujicobakan untuk melihat seberapa jauh daftar isian dapat difahami baik oleh surveyor maupun pemberi data. Sample rumah diambil berdasarkan banyaknya kelompok masyarakat (PokMas) di mana pada setiap PokMas diambil dua buah rumah. Walaupun pada saat survey sebagian besar rumah sudah selesai dikerjakan, sample dipilih sedapat mungkin pada rumah yang sedang dikerjakan dan ditentukan secara
random dengan teknik tertentu. Pemilihan rumah yang dipilih apakah rumah yang
dibangun dengan pendampingan atau tidak dengan pendampingan ditentukan secara random pula. Hasil survey menunjukkan bahwa rumah hasil rehabilitasi dan rekonstruksi relatif cukup baik. Dari hasil survey diperoleh 27,9 % rumah di Jawa Tengah memenuhi 90%-100% persyaratan ketahanan gempa, sedangkan 37,1% rumah di Daerah Istimewa Yogyakarta memenuhi 90%-100% persyaratan ketahanan gempa. Hasil survey juga menunjukkan ada 11,2% rumah yang pemenuhannya terhadap persyaratan ketahanan gempa di bawah 60 % untuk daerah Jawa Tengah; dan terdapat 5,2% rumah yang pemenuhannya terhadap persyaratan ketahanan gempa di bawah 60% untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kata kunci: rehabilitasi, rekonstruksi, pascagempa, gempa, Yogyakarta, ketahanan
gempa
A. PENDAHULUAN
Pada tanggal 27 Mei 2006 terjadi gempa bumi dengan pusat gempa berjarak 15 km di sebelah selatan kabupaten Bantul (lihat Gambar 1) dengan magnitude 5,9 skala Richter, M 6,3 (USGS) dengan kedalaman 10 km. Gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006 telah menyebabkan kerugian harta benda dan jiwa. Setelah kejadian gempa banyak bantuan datang baik dari pemerintah melalui APBN maupun donor. Untuk rumah yang rusak berat di Daerah Istimewa Yogyajarta pemerintah memberikan bantuan sebesar Rp. 15.000.000,- sedangkan untuk Jawa Tengah sebesar Rp. 20.000.000,-. Proses pembangunan rumah dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat yang dikoordinasikan melalui kelompok masyarakat (PokMas) atau Kelompok Swadaya Masyarakat Perumahan (KSMP).
Untuk mencapai hasil pembangunan rumah yang baik maka beberapa hal perlu diperhatikan. Kesadaran untuk biasa membangun sesuai dengan peraturan yang berlaku, tingkat kompetensi tukang dan ketersediaan pedoman yang cukup dapat mengurangi pengaruh buruk gempa terhadap rumah yang dibangun (Boen 2008 [1]). Untuk mengetahui hasil pembangunan rumah yang dilakukan oleh masyarakat, telah dilakukan survey terhadap 42.056 rumah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah Survey dilaksanakan antara bulan Juli – November 2007 (P.T. Multi Area Conindo, 2007 [3]).
Gambar 1. Lokasi epicentrum (sumber: USGS)
B. LOKASI KEGIATAN DAN DATA SURVEY
Kegiatan survey dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah yaitu meliputi daerah seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Wilayah sebaran rumah yang disurvey Cluster Lokasi Wilayah Tim Pelaksana Wilayah Kerja KMW Cacah Rumah Rusak Berat Cacah PokMas/KSMP
A Provinsi DIY Yogyakarta 6.915 590
Bantul-1 22.785 1.998 Bantul-2 23.251 1.864 Bantul-3 18.324 1.516 Bantul-4 24.291 1.865 Bantul-5 17.375 1.450 Kulonprogo 2.647 206 Gunungkidul 5.143 400 Sleman 20.960 1.657 Subtotal 141.691 11.546
B Provinsi Jawa Tengah Klaten-1 29.076 2.649
Klaten-2 32.756 2.734 Klaten-3 30.680 2.618 Boyolali 764 81 Sukoharjo 1.530 111 Karanganyar 141 12 Wonogiri 160 17 Magelang 772 72 Purworejo 376 33 Temanggung 85 7 Kebumen 3 1 Subtotal 96.343 8.335
C Pokmas/ KSMP Susulan DIY dan
Jateng 1.145
Total 21.026 Dalam setiap PokMas diambil dua rumah, sehingga jumlah rumah yang disurvey
sebanyak 42056 rumah.
C. PERSIAPAN
Sebelum surveyor diterjunkan dilakukan persiapan dulu agar pelaksanaan dapat berjalan lancar. Beberapa pekerjaan persiapan yang dilakukan adalah sebagai berikut ini.
1. Mobilisasi tim dan koordinasi internal
Koordinasi internal terutama berkenaan dengan pembagian kerja untuk tiap-tiap tenaga ahli termasuk pembagian tugas dan kewenangan terkait dengan tugas koordinator wilayah dan sub koordinator wilayah.
2. Inventarisasi Data
Data yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan antara lain adalah data yang berkaitan dengan kondisi eksisting, termasuk laporan kegiatan fisik rehabilitasi dan
4. Instrumen survey
Instrumen survey teknis disusun setelah dilakukan diskusi antara fihak yang berkepentingan. Survey teknis dimaksud untuk memotret hasil rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah dilakukan penduduk. Sesuai kesepakatan yang ada dihasilkan instrumen untuk survey teknis seperti terlihat pada Gambar 2. Perlu dicatat bahwa sebagian anggota tim berpendapat bahwa beberapa bagian dari instrumen survey tidak perlu dimasukkan untuk menghitung score. Bagian yang dipandang tidak perlu diberi nilai adalah mengenai apakah pembangunan rumah menggunakan gambar rencana. Selain itu beberapa anggota tim berpendapat penggunaan tulangan diamater 10 mm dianggap sudah cukup memenuhi untuk digunakan pada rumah tinggal. Namun karena dalam diskusi dengan anggota Tim Teknis Nasional persyaratan tulangan dengan ukuran diameter 12 mm yang harus digunakan, maka selanjutnya dalam instrumen survey ukuran ini yang dipakai sebagai salah satu kriteria yang digunakan.
D. PEREKRUTAN SURVEYOR
Surveyor merupakan bagian yang penting agar tujuan kegiatan dapat tercapai dengan baik. Surveyor yang berkualitas diharapkan dapat memberikan hasil yang baik. Surveyor yang diperlukan adalah surveyor bidang teknis dan surveyor bidang sosial. Dalam setiap tim terdiri dari dua surveyor yaitu surveyor teknik dan sosial.
Perekrutan surveyor dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan dan kesiapan data rumah yang akan diperiksa. Jumlah surveyor secara bertahap ditambah menurut kesiapan data.
E. PELATIHAN SURVEYOR
Agar dapat dicapai hasil sesuai yang diharapkan maka surveyor perlu dibekali dengan pelatihan yang memadai. Bahan pelatihan berupa pelatihan umum mengenai bangunan tahan gempa dan teknis pengisian instrument survey. Pelatihan dimaksudkan agar instrumen survey berupa survey teknis dan sosial dapat dipahami oleh surveyor. Pelatihan dilakukan secara bertahap agar dapat diperoleh hasil yang optimum.
F. PENGAMBILAN SAMPLE
Mengingat pada saat survey dilakukan setelah lebih kurang satu tahun, pengambilan sample diusahakan agar rumah yang sedang dalam tahap pembangunan dapat diambil. Sample diambil secara acak dengan teknik tertentu agar rumah yang sedang dalam tahap pembangnan dapat terambil dan mewakili rumah dengan dan tanpa pendampingan fasilitator teknik.
hasil survey juga diperoleh 27,9 % rumah di Jawa Tengah memenuhi 90%-100% persyaratan ketahanan gempa dan 37,1% rumah di Daerah Istimewa Yogyakarta memenuhi 90%-100% persyaratan ketahanan gempa. Di samping itu terdapat 11,2% rumah yang pemenuhannya terhadap persyaratan ketahanan gempa di bawah 60 % untuk daerah Jawa Tengah; dan terdapat 5,2% rumah yang pemenuhannya terhadap persyaratan ketahanan gempa di bawah 60% untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari Gambar 3 terlihat, baik untuk Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Jawa Tengah, kurva condong ke arah kanan yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah mempunyai persyaratan yang relatif cukup baik.
Gambar 3. Persentase pemenuhan terhadap formulir pengamatan
Gambar 4. Diagram kesesuaian kualitas per komponen
Sesuai dengan formulir pengamatan, selain hasil per komponen pada Gambar 4, setiap komponen mempunyai sub komponen yang harus diamati. Beberapa hal dibahas di sini.
Untuk bentuk denah (lihat Gambar 5) sebagian besar rumah yang dibangun mempunyai denah simetrik (berturut-turut 91% dan 82,2 % rumah di Yogyakarta dan Jawa Tengah mempunyai denah simetrik). Selain itu 92,5% dan 91% rumah berturut-turut di Yogyakarta dan Jawa Tengah mempunyai tonjolan kurang dari 25 %.
(a). Daerah Istimewa Yogyakarta (b). Jawa Tengah
Gambar 5. Diagram kesesuaian untuk bentuk denah
Untuk komponen fondasi hasil survey untuk lima sub komponen pengamatan dapat dilihat pada Ganbar 6.
Gambar 6. Diagram kesesuaian untuk fondasi
Untuk komponen sloof, hasil pengamatan ditunjukkan pada Gambar 7
(a). Daerah Istimewa Yogyakarta (b). Jawa Tengah
(a). Daerah Istimewa Yogyakarta (b). Jawa Tengah
Untuk elemen kolom dan balok ring hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9.
Gambar 8. Diagram kesesuaian untuk kolom
Gambar 9. Diagram kesesuaian untuk balok ring
Perlu dicatat bahwa penggunaan tulangan yang disyaratkan dalam survey ini adalah menggunakan diamater 12 mm. Hasil menunjukkan bahwa pencapaian terhadap syarat ini tidak begitu tinggi (Gambar 7 - 9). Masih belum jelas apakah hasil pencapaian ini disebabkan karena besi tulangan diameter 12 mm sulit ditemukan di pasaran atau karena dirasa besi ukuran 12 mm menyulitkan dalam pelaksanaan.
Ada pendapat yang berbeda mengenai ukuran diameter tulangan yang digunakan baik untuk kolom, balok ring maupun sloof. Sebagian berpendapat bahwa penggunaan ukuran tulangan cukup digunakan diamater 10 mm dengan pertimbangan kemudahan dalam pemasangan mengingat ukuran elemen struktur yang ada, karena jika digunakan ukuran 12 mm akan menyulitkan dalam pencoran. Dalam suatu pengamatan lain, Suarjana dan Sengara (2008) [4] mengusulkan untuk digunakan tulangan deformasian 10 mm mengingat tulangan deformasian mempunyai lekatan yang cukup baik dibandingkan dengan tulangan polos. Demikian juga Boen (2008) [2] berpendapat bahwa diameter tulangan 10 mm cukup memenuhi syarat untuk digunakan pada rumah non-engineered, tetapi mengusulkan tetap digunakan tulangan polos. Boen (2008) [2] berpendapat bahwa jika digunakan tulangan deformasian menjadi kurang cocok mengingat umumnya mutu beton yang ada tidak telalu tinggi,
(a). Daerah Istimewa Yogyakarta (b). Jawa Tengah
sedangkan tulangan deformasian umumnya mempunyai kuat luluh yang lebih tinggi dibandingkan dengan tulangan polos. Kombinasi mutu beton yang relatif rendah dengan mutu baja yang tinggi akan menghasilkan struktur yang kurang daktail (Boen, 2008) [2]. Dalam diskusi beberapa anggota tim ahli dalam survey ini berpendapat bahwa besi tulangan diameter 10 mm cukup memenuhi syarat, tetapi karena sesuatu hal kemudian diputuskan besi diameter 12 mm yang dipakai sebagai dasar acuan. Hasil lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah mengenai ikatan silang, baik antar kuda-kuda maupun gunungan. Agar struktur kuat menahan beban lateral akibat gempa maka setiap elemen struktur harus saling terikat dengan baik. Dari pengamatan pada hasil Gambar 10 dan 11, tampak bahwa sebagian besar gunungan dan kuda-kuda tidak terikat dengan ikatan silang. Belum begitu jelas apakah hal ini karena dana masyarakat yang terbatas sehingga masyarakat cenderung menyelesaikan rumahnya tanpa memperhatikan syarat-syarat yang telah ditetapkan ataukah ada alasan lain. Hal ini dapat menyebabkan rumah rentan terhadap beban horisontal dalam arah tegak lurus kuda-kuda.
Gambar 10. Diagram kesesuaian untuk gunungan
(a). Daerah Istimewa Yogyakarta (b). Jawa Tengah
H. PENUTUP
Berdasarkan pengamatan terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa 27 Mei 2006 beberapa hal dapat disimpulkan sebagai berikut ini.
(a) Hasil pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah pasagempa 27 Mei 2006 di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah secara umum relatif cukup baik, walaupun masih ada beberapa komponen struktur yang belum memenuhi syarat. Dari diagram pemenuhan yang ada terlihat baik untuk Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Jawa Tengah kurva condong ke arah kanan yang menunjukkan bahwa sebagian besar rumah mempunyai persyaratan yang relatif cukup baik.
(b) Hasil survey menunjukkan persentase rumah yang memenuhi 100 % persyaratan ketahanan gempa untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah berturut-turut sebesar 6,4% dan 6,8 %. Dari hasil survey juga diperoleh 27,9 % rumah di Jawa Tengah memenuhi 90%-100% persyaratan ketahanan gempa dan 37,1% rumah di Daerah Istimewa Yogyakarta memenuhi 90%-100% persyaratan ketahanan gempa. Di samping itu terdapat 11,2% rumah yang pemenuhannya terhadap persyaratan ketahanan gempa di bawah 60 % untuk daerah Jawa Tengah; dan terdapat 5,2% rumah yang pemenuhannya terhadap persyaratan ketahanan gempa di bawah 60% untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
(c) Bagi rumah yang belum memenuhi persyaratan perlu mendapat perhatian untuk diperkuat (retrofitting).
(d) Perlu penelitian lebih lanjut mengenai ukuran diameter minimum besi tulangan untuk rumah non-engineered, yang berkaitan dengan kemudahan pelaksanaan dan kekuatan struktur.
(e) Perlu diterbitkan pedoman teknis mengenai rumah tahan gempa dari instansi terkait dengan jumlah yang cukup memadai untuk disosialisaikan ke tukang dan masyarakat yang memerlukan.
(f) Perlu pelatihan bagi tukang-tukang karena tukang memegang peranan yang sangat penting terhadap rumah yang dibangun.
I. DAFTAR PUSTAKA
1) Boen, T. (2008a), Indonesia Earthquake Prolem, International Conferene on Earthquake Engineering and Disaster Mitigation. Jakarta, April 14-15, pp. 105-110
2) Boen, T. (2008b), Reconstruction of Houses in Aceh, Three Years after the
December 26, 2004 Tsunami, International Conferene on Earthquake Engineering
and Disaster Mitigation. Jakarta, April 14-15, pp. 468-482
3) P.T. Multi Area Conindo (2007), Quality Assurance dan Quality Control Pelaksanaan Rehabilitasi/Rekonstruksi Pascagempa Bumi Di D.I. Yogyakarta Dan Jawa Tengah, Laporan Akhir.
4) Suarjana, M. and Sengara, I.W. (2008), Structural Assessment and Redesign of
Housing for Reconstruction after Yogya Earthquake, International Conference on
Earthquake Engineering and Disaster Mitigation. Jakarta, April 14-15, pp. 453-460