makalah bahasa arab muftadah wal khabar
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUANLatar Belakang
BAB II PEMBAHASAN Mubtada (أدتبملا) dan Khabar (ربخ) A. Mubtada (أدتبملا)
Macam-macam Mubtada B. Khabar (ربخلا)
BAB III PENUTUP Kesimpulan dan Perhatian DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hubungan antara hukum Islam dengan pengetahuan bahasa Arab merupakan hubungan yang sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Alasannya sangat jelas, karena sumber pokok dari hukum Islam itu adalah Al-Qur’an dan Hadits yang memakai atau menggunakan bahasa Arab standar sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab .
Bahasa Arab adalah Bahasa Al-Qur’an. Setiap orang muslim yang bermaksud menyelami ajaran Islam yang sebenarnya dan lebih mendalam, tiada jalan lain kecuali harus mampu menggali dari sumber asalnya, yaitu Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.
Di dalam bahasa Arab , keberadaan nominal menjadi sangat mutlak karena keberadaan bahasa arab, kita senantiasa menggunakannya. Adapun contoh dari nominal yang seringkali di gunakan adalah mubtada dan khabar. Akan tetapi dalam perjalanan dewasa ini, kita senantiasa di buat bingung oleh pengertian-pengertian dari bahasa arab , apa itu mubtada’ dan bagaimanakah khabar itu.
Sebelum berbicara mengenai Mubtada dan Khabar , sebaiknya mengetahui terlebih dahulu bahwa kalimat , baik kalimat sempurna maupun tidak dalam bahasa arab terbagi menjadi dua, yaitu Jumlah Ismiyah adalah kalimat yang di dahului oleh isim yang berada di awal kalimat tersebut dinamakan Mubtada dan bagian yang melengkapinya di namakan Khabar yang mana hukum nya dalam I’rab harus mengikuti kepada Mubtada. Dan Jumlah Fi’liyah, yaitu kalimat yang di dahului oleh fi’il.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Mubtada (أدتبملا)
Mubtada adalah setiap isim yang dimulai pada awal kalimat baik didahului oleh nafyu maupun istifham, contoh (ُسزجِ ذّحِ =Muhammad tersenyum), contoh didahului oleh nafyu (فٍضٌا َدبل بِ =tamu itu tidak datang) dan contoh isim yang didahului oleh kata Tanya ( ًٍُّع حجبٔ أ=apakah yang lulus adalah Ali). Dan hukum isim yang dimulai pada awal kalimat tersebut (أذزجٌّا) adalah Marfu’ (dibaca akhir katanya dengan harakah dhamma), kecuali apabila isim tersebut didahului oleh huruf Jarr tambahan atau yang menyerupainya maka hukumnya secara Lafadznya adalah Majrur namun kedudukannya dalam kalimat tetaplah Marfu’. Contohnya firman Allah SWT : الله لاإ ٌٗإ ِٓ بِٚ kata Ilah pada ayat tersebut secara lafadznya adalah majrur namun kedudukannya tetaplah Rafa’. Dan Mubtada terbagi menjadi dua, yaitu Mubtada Sharih (حٌشط أذزجِ) yang mencakup semua isim dhahir seperti pada contoh di atas, dan juga terdiri dari Dhamir, contohnya (ذٙزجِ ٛ٘ =dia bersungguh-sungguh) atau (ضٍخِ ذٔأ =kamu ikhlas), yang Kedua adalah Mubtada Muawwal (يٚؤِ) dari An (ْأ) dan fi’ilnya, contohnya firman Allah SWT ( ْأٚ ُىٌ شٍخ اِٛٛظر) dan (ُوٚذعٌ ت٘سأ اٚذحزر ْأ) mubtada pada contoh ini adalah An dan Fi’ilnya dita’wilkan menjadi isim mashdar sebagai mubtada, atau dengan kata lain An dan fi’ilnya dijadikan mashdar sebagai mubtada sehingga An Tashumu menjadi Shiyamukum dan An Tattahidu menjadi itthidadukum karena mashdar dari kata Shama-Yashumu=berpuasa adalah Shiyam dan Ittahada-yattahidu=bersatu mashdarnya adalah ittihad,( اِٛٛظر ْأٚ= اٚذحزر ْأ( ,)ُىٌ شٍخ ُىِبٍطٚ ُوٚذعٌ ت٘سأ ُودبحرا=). Mubtada boleh terdiri dari banyak kata sedangkan khabarnya hanyalah satu, contohnya ( ا ىفشٌ ْأ بٙمٍمحر ٗزٍِٕأ ٖذٌاٚ همٌذطٕٗث ).
Macam-macam Mubtada
Apabila dilihat dari Khabarnya maka Mubtada terbagi menjadi dua, yaitu Mubtada yang mempunyai khabar, contohnya (ُسزجِ ذّحِ) dan Mubtada yang tidak memiliki Khabar, akan tetapi mempunyai isim marfu’yang menempati posisi dari pada khabar, contohnya (ًفطٌا ُئبٔأ =apakah bayi telah tidur) Naim adalah mubtada sedangkan Thifl adalah Fa’il yang menempati posisi khabar, contoh lain ( دّٛحِ بِ ًخجٌا =tidaklah terpuji orang kikir), mahmud=terpuji adalah mubtada dan bukhli adalah Naib Fa’il yang menempati tempatnya khabar. Mubtada yang memiliki khabar haruslah terdiri dari isim sharih atau dhahir ataupun yang telah dita’wilkan menjadi mashdar yang sharih, sedangkan mubtada yang tidak memiliki khabar tidak boleh menta’wilkannya dan penggunaanya haruslah selalu disertai dengan Nafyu atau istifham.
Adapun Isim marfu’yang terletak setelah mubtada yang tidak memiliki khabar yang dibarengi oleh Nafyu atau istifham maka kedudukannya dalam I’rab kalimat adalah sebagai berikut:
1. Apabila menunjukkan kepada sifat yang tunggal dan setelahnya adalah isim yang tunggal contohnya (ًجشٌا شفبسِ أ) atau (يٛسىٌا ةٛجحِ بِ) maka I’rabnya ada dua kemungkinan, Pertama: sifat yang pertama setelah istifham (musafir) adalah mubtada dan setelahnya adalah Fa’il karena letaknya setelah Isim Fa’il, atau Naib Fa’il apabila terletak setelah isim maf’ul, keduanya marfu’menempati kedudukan khabar. Kedua: Sifat yang pertama (musafir) adalah khabar yang didahulukan (khabar muqaddam) sedangkan kata (rajul) adalah mubtada yang diakhirkan (mubtada muakkhar).
2. Apabila sifat yang pertama menunjukkan pada isim tunggal kemudian setelahnya adalah Mutsanna (yang menunjukkan bentuk dua) atau Jamak, maka sifat yang pertama adalah mubtada dan isim setelahnya tersebut adalah Fa’il atau naib fa’il yang menempati posisi khabar, contoh (ْبجٌبطٌا ًِّٙ بِ) dan ( ةٛجحِ بِ ْٚشظمٌّا) kata Muhmil adalah mubtada sedangkan thalibani adalah Fa’il karena terletak setelah isim Fa’il, dan kata Mahbub adalah mubtada sedangkan Muqshirun adalah Naíb Fa’il karena terletak setelah Isim Maf’ul.
3. Apabila sifat yang pertama berbentu dua (mutsanna) atau Jamak dan setelahnya adalah mutsanna atau jamak maka isim yang pertama adalah khabar yang didahulukan (khabar muqaddam) dan isim yang setelahnya adalah mubtada yang diakhirkan (mubtada muakkhar), contohnya (ْبفٍضٌا ْاشفبسِ أ) dan ( ْٚشظمِ بِ ْٚذٙزجٌّا), kata musafirani dan muqshirun adalah khabar muqaddam sedangkan dhaifani dan mujtahidun adalah Mubtada muakkhar.
Asal dari Mubtada adalah Ma’rifah atau mubtada haruslah isim yang ma’rifah sebagaimana pada contoh-contoh di atas, kecuali apabila didahului oleh nafyu atau istifham maka boleh mubtada itu nakirah dengan catatan kenakirahannya tidaklah mengurangi dan mempengaruhi makna yang dapat diperincikan sebagai berikut:
a. Nakirah tersebut menunjukkan kekhususan baik dengan menyebutkan sifat atau tidak, ataupun nakirah tersebut secara lafadznya bersandar pada ma’rifat, contohnya (بٔذٕع ًٍجس) dan contoh yang idhaf (دبجعٌا ىٍع الله ٓٙجزو داٍٛط سّخ).
b. Nakirah yang menunjukkan pada sesuatu yang umum, baik mubtadanya adalah bentuk yang umum, contohnya (ٗعِ ُلأ ُمٌ ِٓ), kata man di sini adalah bentuk nakirah yang umum. Maupun mubtada yang nakirah tersebut terletak dalam kalimat yang didahului oleh nafyu atau istifham, contohnya (ساذٌا ًف ًجس بِ) dan (َدبل ذحأ ً٘).
c. Mubtada yang nakirah haruslah didahului oleh kalimat yang terdiri dari jar majrurr atau dharf, contohnya (ْٚشئاص خسسذٌّا ًف), mubtada di sini adalah nakirah karena di dahului oleh jar majrur, dan (سبجشأ شئجٌا يٛح), kata asyjar adalah nakirah karena didahului oleh dzharf.
d. Nakirah harus Athaf (mengikuti) pada ma’rifah atau diikutkan pada ma’rifah, contohnya (بٔذٕع ًجسٚ ذّحِ) kata rajul di sini nakirah karena ikut pada Muhammad. dan (يضٌّٕا ًف فسٌٛٚ ًجس) kata rajul diikutkan pada yusuf.
e. Mubtada yang nakirah merupakan jawaban atas pertanyaan, contohnya, ada yang bertanya (نذٕع ِٓ) maka jawabannya (كٌذط) dengan menggunakan nakirah, takdirnya adalah (يذٕع كٌذط).
f. Terletak setelah Laula (لاٌٛ), contoh (نٛخأ هٌٍٙ ًجس لاٌٛ).
g. Jika khabarnya adalah sesuatu yang aneh yang keluar dari kebiasaan, contohnya (دذجس حشجش =pohon bersujud).
Apabila kita melihat dari contoh-contoh di atas dapat dilihat perbedaan kedudukan mubtada yang kadang didahulukan (mubtada muqaddam) dan kadang diakhirkan (mubtada muakkhar), kesemuanya itu mempunyai aturan yang wajib didahulukan maupun boleh didahulukan.
Wajib Mendahulukan Mubtada
Mubtada itu wajib didahulukan apabila:
1. Isim yang mempunyai kedudukan sebagai pendahuluan di dalam kalimat, seperti isim syarat, atau istifham atau Ma yang menunjukkan ketakjuban, contohnya (خٌٛغٌٍا ٗرٚشث ٌُٕ شعشٌا أشمٌ ِٓ =barangsiapa yang membaca syair maka akan bertambah kekayaannya dengan bahasa), kata Man di sini adalah mubtada yang harus di dahulukan karena posisinya dalam kalimat sebagai pembukaan dan pendahuluan, contoh lain ( اذغ شفبسِ ِٓ=siapakah yang akan bepergian besok), kata man di sini adalah kata Tanya yang harus selalu didahulukan dan ia adalah mubtada, contoh lain (عٍثشٌا ًّجأ بِ =alangkah indahnya musim semi) Kata Ma disini adalah Ma takjub yang mana harus dan wajib didahulukan.
2. Mubtada yang menyerupai isim syarat, contohnya (حضئبج ٍٗف ُصٛفٌ يزٌا =yang menang maka baginya piala), kata allazi dalam kalimat ini menyerupai isim syarat.
3. Isim tersebut haruslah disandarkan kepada isim yang menempati posisi dan kedudukan kata pendahuluan, contohnya (هججعأ ِٓ ًّع) kata ‘amal disandarkan pada Man yang kedudukannya sebagai pendahuluan.
4. Apabila khabarnya adalah jumlah fi’liyah dan fa’ilnya adalah dhamir yang tersembunyi yang kembali kepada mubtada, contohnya (حشىٌا تعٌٍ ذّحِ =Muhammad bermain bola) kata yal’ab adalah khabar jumlah fi’liyah dan fa’ilnya dhamir tersembunyi kembali ke Muhammad.
5. Isim tersebut haruslah disertai dengan huruf Lam untuk memulai atau Lam tauwkid, contoh (ْٛمزٌ ٌٓزٌٍ شٍخ حشخَا ساذٌٍٚ) kata addar dimasuki oleh lam ibtida, dan (شجوأ الله شوزٌٚ) dimasuki lam tawkid.
6. Mubtada dan khabarnya adalah Ma’rifat atau kedua-duanya nakirah dan tidak adanya kata yang menjelaskannya, contohnya (ذّحِ نٛثأ) jika ingin memberitahukan tentang bapaknya maka wajib didahulukannya, dan (نٛثأ ذّحِ) jika ingin memberitahukan tentang Muhammad.
7. Mubtada teringkas khabarnya oleh Illa atau Innama, contohnya ( لاإ قذظٌا بِ خٍٍضف) dan (ةزِٙ ذٔأ بّٔإ).
Selain dari tujuh masalah di atas, maka boleh mendahulukan atau mengakhirkan mubtada.
Wajib Menghilangkan Mubtada
Mubtada wajib dihilangkan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Apabila mubtada ikut kepada Sifat yang marfu’ dengan tujuan memuji atau menghina atau sebagai rasa iba dan saying, contohnya ( ٌُُشىٌا ٍذٌضث دسشِ) mubtadanya dihilangkan karena disifati oleh sifat yang rafa’, asalnya adalah ( ٛ٘ ٌُشىٌا). Contoh lain ( ثٍجخٌا ٍُئٌٍا ٓع ذعزثا=jauhilah dari orang jahat yang jelek sifatnya), asalnya adalah (ثٍجخٌا ٛ٘) mubtada nya wajib dihilangkan karena disifati oleh sifat yang marfu”.
2. Jika menunjukkan jawaban terhadap sumpah, contohnya (قذظٌا ٌٓٛللأ ًزِر ًف) asalnya adalah (ذٙع ًزِر ًف) dengan menghilangkan mubtadanya yaitu ‘ahd.
3. Jika khabarnya adalah mashdar yang mengganti fi’ilnya, contohnya (ًٍّج شجط) asalnya adalah (ًّج شجط يشجط) maka wajib menghilangkan mubtadanya.
4. Jika khabarnya dikhususkan pada pujian atau cercaan setelah kata Ni’ma (ُعٔ) dan Bi’sa (سئث) dan terletak diakhir, contohnya (ذّحِ تٌبطٌا ُعٔ =alangkah baiknya pelajar yaitu Muhammad) dan ( يٛسىٌا تٌبطٌا سئث=alangkah buruknya pelajar yang pemalas), muhammad dan kusul pada contoh di atas adalah khabar dari mubtada yang dihilangkan, asalny adalah (ذّحِ ٛ٘) dan (يٛسىٌا ٛ٘).
Selain dari empat masalah ini, mubtada juga kebanyakan dihilangkan jika terletak setelah kata qaul (berkata), contohnya (خعبط ٌْٛٛمٌٚ) mubtadanya dihilangkan, asalnya adalah (خعبط بٔشِأ), contoh lain, (َلاحأ دبغضأ اٌٛبل) dan (ٍُمع صٛجع ذٌبلٚ) asalnya adalah (دبغضأ ً٘) dan (صٛجع بٔأ). Atau mubtadanya terletak setelah Fa sebagai jawban dari syarat, contohnya (ُىٔاٛخئف ُ٘ٛطٌبخٌ ْإٚ) asalnya adalah ( ُٙف ُىٔاٛخإ).
Boleh Menghilangkan Mubtada
Mubtada boleh dihilangkan dan dihapus sebagai jawaban atas pertanyaan orang yang bertanya (ذّحِ فٍو)?, dan jawabnya (شٍخث) aslinya adalah (شٍخث ٛ٘), atau Mubtada itu boleh dihilangkan apabila ada kalimat atau kata yang menunjukkan tentangnya, contohnya firman Allah SWT (بٍٍٙعف ءبسأ ِٓٚ ٗسفٍٕف بحٌبط ًّع ِٓ) kata Falinafsihi kedudukannya rafa’ khabar dan dhamir Ha majrur bil idhafah sedangkan mubtadanya mahzuf (dihilangkan) begitu juga pada wa man asaa fa’alaiha, asalnya adalah (ٗسفٌٕ ٍّٗعف بحٌبط ًّع ِٓ) dan (بٍٍٙع ٗرءبسئف ءبسأ ِٓٚ).
Dan boleh juga menghilangkan Mubtada dan khabarnya apabila ada dalil yang menunjukkan kepadanya, contohnya ( اّٛ٘بس ٌٓزٌاٚ ، ضئاٛج ٌُٙ ءبمٌلإا خمثبسِ ًف اٚصبف ٌٓزٌا بضٌأ) yang dihapus dari kalimat tersebut adalah mubtada dan khabarnya yaitu ( ٌُٙ ضئاٛج) aslinya haruslah (ضئاٛج ٌُٙ بضٌأ اّٛ٘بس ٌٓزٌاٚ) dihapus karena telah dijelaskan
pada kalimat sebelumnya.
2.2 Khabar (ربخلا)
Sebagaimana telah dijelaskan di atas mengenai Jumlah Ismiah (خٍّسلاا خٍّجٌا) yang terdiri dari dua bagian yang memberikan petunjuk serta pemahaman kepada pendengar agar diterima. Para pakar Nahwu menyebut bagian pertama dari jumlah ismiah ini dengan Mubtada karena ia adalah bagian yang dimulai dalam pembicaraan, sedangkan bagian keduanya dinamakan Khabar karena ia memberitahukan keadaan yang ada pada mubtada, dan bisa saja terdiri dari segala
bentuk sifat baik ia isim fa’il, atau maf’ul ataupun tafdhil, contohnya, (ًضبف ذّحِ) dan (ةٛجحِ ًٍع).
Hukum Khabar
Para ahli nahwu menyebutkan hukum dari pada khabar adalah sebagai berikut: 1. Wajib merafa’ (memberi harakah dhamma) khabar, penyebab khabar itu marfu’adalah mubtada , contohnya (ٌُشو ذٔأ) Karim adalah khabar marfu’disebabkan oleh mubtada. Contoh lain (شٍخ حٍظٌاٚ) Khair khabar mubtada marfu’.
2. Khabar pada dasarnya haruslah nakirah, contohnya (ًضبف ذّحِ) fadhil adalah nakirah dan ia khabar mubtada.
3. Khabar haruslah disesuaikan atau ikut kepada mubtada dari segi tunggalnya atau tasniyah (bentuk duanya) ataupun jamak, contoh (ْبلٛفزِ ْبجٌبطٌا( ,)قٛفزِ تٌبطٌا), dan (ْٛلٛفزِ ةلاطٌا).
4. Boleh menghilangkan khabarnya apabila ada dalil yang menunjukkan kepadanya, dan masalah ini nanti akan dibahas pada pembahasannya.
5. Wajib menghilangkan khabarnya, masalh ini pun akan dibahas nanti pada pembahasannya.
6. Khabar boleh banyak dan beragam sedangkan mubtadanya hanya satu, contohnya (ٓطف ًور ذّحِ) zakiyun dan fithn adalah khabar mubtada, contoh lain (تربو تٍطخ شعبش ذّحأ).
7. Boleh dan wajib didahulukan khabar dari pada mubtada, dan pembahasan ini pun akan di bahas pada pembahasannya.
Macam-macam Khabar
Khabar terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Khabar Mufrad (دشفٌّا) yaitu khabar yang bukan berbentuk kalimat atau yang menyerupai kalimat, akan tetapi terdiri dari satu kata baik menunjukkan pada
tunggal atau mutsanna (bentuk dua) ataupun jamak, dan harus disesuaikan dengan Mubtada dalam pentazkiran (berbentuk muzakkarf=lk) atau ta’nis juga dalam bentuk tunggal, mutsanna dan jamak. Contoh (شٍِٕ شّمٌا =bulan bersinar), ( خجٌبطٌا خثدؤِ =pelajar pr itu sopan).
2. Khabar Jumlah (خٍّج), yaitu khabar yang berbentuk kalimat baik jumlah ismiah (خٍّسا) maupun fi’liyah (ٍٍٗعف). Contoh khabar jumlah ismiah (ءاشضخ ب٘سبجشأ خمٌذحٌا =taman itu pepohonannya berwarna hijau) atau (عطبٔ ٌٗٔٛ ةٛثٌا =pakaian itu warnanya bersih), Atsaub =adalah mubtada pertama, Lawn=Mubtada kedua dan mudhaf, dhamir Hu=mudhaf ilaih, Nashi’=khabar mubtada kedua, Jumlah dari mubtada kedua dan khabarnya menempati posisi rafa’ yaitu khabar dari mubtada pertama. Adapaun contoh khabar mubtada dari jumlah fi’liyah, ( ًف ْٛجعٌٍ يبفطلأا
ٌذحٌا
خم =anak-anak bermain di taman) yal’abun adalah fi’il mudhari’marfu’karena khabar mubtada yang berbentuk jumlah fi’liyah. Khabar jumlah baik ismiah maupun fi’liyah haruslah berhubungan dengan mubtada.
3. Khabar syibhu jumlah (خٍّجٌا ٗجش) yaitu khabar yang bukan mufrad atau jumlah akan tetapi menyerupai jumlah, terdiri dari Jarr wal majrur (سٚشجِٚ سبج) dan dharf =kata keterangan,(فشظ). Contoh khabar dari jar wal majrur (خجٍمحٌا ًف ةبزىٌا =buku di dalam tas), ( كٌشثلإا ًف ءبٌّا=air di dalam teko). Contoh khabar dari dharf makan (keterangan tempat), (دبِٙلأا َاذلأ ذحر خٕجٌا =surga dibawah telapak kaki ibu), ( شئبطٌا حشجشٌا قٛف =burung di atas pohon), contoh dharf zaman (keterangan waktu), ( خٍحشٌا سٍّخٌا ٌََٛ =bepergian pada hari kamis), (عٛجسأ ذعث شفسٌا =akan bepergian setelah seminggu).
Wajib mendahulukan Khabar
Khabar wajib di dahulukan dari mubtada dalam keadaan sebagai berikut:
1. Apabila mubtada nya adalah isim nakirah yang semata-mata tidak untuk memberitahukan dan khabarnya adalah jar wal majrur atau dharf, contohnya ( ًف ٍّْٛعِ خسسذٌّا =di sekolah ada para guru), (فٍض بٔذٕع =ada tamu). Jika mubtadanya nakirah dengan maksud untuk memberitahukan maka hukumnya boleh didahulukan atau pada tempatnya semula, contohnya (بٔذٕع ٌُذل كٌذط).
2. Jika khabarnya adalah istifham (kata Tanya) atau disandarkan pada kata Tanya, contohnya (هٌبح فٍو =bagaimana kabarmu), (از٘ ِٓ ٓثا =anak siapa ini) atau ( يأ شفسٌا خعبس =jam berapa perginya).
3. Apabila ada dhamir yang berhubungan atau bergandengan dengan mubtada sedangkan kembalinya dhamir tersebut kepada khabarnya atau sebagian dari khabarnya, contohnya, (بٙثلاط خسسذٌّا ًف =di sekolah ada murid-murid-nya), ( ًف بٌٙبفطأ خمٌذحٌا =di tama nada anak-anak-nya), dhamir yang ada pada mubtada kembali kepada khabarnya.
4. Meringkas khabar mubtada dengan Illa (لاإ) atau Innama (بّٔإ), contohnya, ( بِ ذّحِ لاإ ضئبف =tiada yang menang kecuali Muhammad), (ذّحِ ضئبف بّٔإ =yang menang adalah Muhammad), dalam contoh ini kata faiz diringkas atau dipendekkan sebagai sifat dari Muhammad.
Boleh mendahulukan atau mengakhirkan khabar apabila khabarnya sebagai pengkhususan setelah kata Ni’ (ُعٔ) ma dan Bi’sa (سئث), contohnya (ذّحِ ًجشٌا ُعٔ =alangkah baiknya lelaki itu muhammad), ( خٔبٍخٌا ًّعٌا سئث=alangkah buruknya perbuatan khianat), Muhammad di sini bisa saja mubtada muakkhar dan jumlah fi’liyah sebelumnya adalah khabar muqaddam, dan bisa saja mubtadanya dihilangkan dan Muhammad di sini adalah khabarnya, karena apabila pengkhususan setelah ni’ ma dan bi’ sa didahulukan atas fi’ilnya maka ia adalah mubtada dan jumlah fi’liyahnya adalah khabar muakhhar oleh sebab itu boleh didahulukan atau diakhirkan.
Boleh menghilangkan Khabar
Khabar boleh dihilangkan apabila terletak setelah Iza al fajaiyah (tiba-tiba), contohnya (ذسلأا ارئف ذجشخ =saya keluar tiba tiba ada harimau), (شطٌّا ارئف ذٍطٚ =saya sampai tiba-tiba hujan), khabarnya dihilangkan, asli dari kalimat tersebut adalah (شضبح ذسلأا ارإ) dan (شِّٕٙ شطٌّا ارئف). Apabila ada dalil yang menjelaskannya maka khabar pun boleh dihilangkan, yang dapat ditemukan pada jawaban dari pertanyaan, misalanya ada yang bertanya (تئبغ ِٓ =siapa yang alpa?), jawabannya ( ًٍع) dengan menghapus khabarnya yaitu (تئبغ ًٍع) karena telah dijelaskan pada
pertanyaannya. Dan apabila jumlah ismiah mengikuti (athf) pada jumlah ismiah yang tidak dihilangkan khabarnya, maka boleh menghilangkan khabar pada jumlah ismiah yang ma’thuf, contohnya (ذّحأٚ ذٙزجِ ذّحِ =muhammad rajin dan ahmad juga), asal dari kalimat di atas (ذٙزجِ ذّحأٚ), dihilangkan khabar jumlah ismiah yang ma’tuf karena telah dijelaskanpadasebelumnya.
Wajib menghilangkan Khabar
Adapun tempat-tempat dimana khabar itu wajib dihilangkan adalah sebagai berikut:
1. apabila mubtadanya adalah isim yang sharih yang menunjukkan pada sumpah, contohnya (كحٌا ْذٙشلأ نشّعٌ =demi hidupmu saya bersaksi dengan kebenaran), khabarnya wajib dihilangkan, asalnya adalah (ًّسل نشّعٌ).
2. Khabarnya menunjukkan pada sifat yang mutlak artinya sifat tersebut menunjukkan akan keberadaan dari sesuatu, dan hal itu terdapat pada kata yang bergandengan dengan jar majrur atau dharf, contohnya (كٌشثلإا ًف ءبٌّا =air berada di dalam teko), (تزىٌّا قٛف ةبزىٌا =buku berada di atas meja), yang menunjukkan khabarnya telah dihilangkan yaitu (دٛجِٛ). Dan apabila mubtadanya terletak setelah Lau la (لاٌٛ) maka khabarnya yang berarti keberadaan pun wajib dihilangkan, contohnya (ًفطٌا حسبٍسٌا ذِذظٌ الله لاٌٛ =jika tidak ada Allah, maka mobil akan menabrak anak itu), khabar yang dihilangkan adalah kata (دٛجِٛ) pada contoh ini.
3. Jika mubtadanya adalah mashdar atau isim tafdhil yang disandarkan pada mashdar dan setelahnya bukanlah khabar melainkan hal yang menduduki tempatnya khabar, contohnya (بلٛفزِ تٌبطٌا ًعٍجشر =saya mendukung pelajar yang berprestasi), (: بعشبخ ذجعٌا حلاط ًضفأ =sebaik-baik shalatnya sorang hamba dalam keadaan khusu’) asalnya adalah (ٗعٛشخ ذٕع ذجعٌا حلاط ًضفأ).
4. Khabarnya terletak setelah huruf Wau (ٚاٚ) yang berarti dengan/bersama (عِ), contohnya, (ٍٍِٗصٚ تٌبط ًو =semua pelajar bersama kawanya), wau di sini berarti bersama sehingga khabarnya dihilangkan, dan khabar yang dihilangkan adalah
BAB III PENUTUP
Kesimpulan dan Perhatian
1. Asal dari pada mubtada adalah ma’rifah sedangkan khabar adalah Nakirah, contohnya (ْٛلٛفزِ ةلاطٌا), namun kadang ada mubtada datang dalam bentuk ma’rifat dan khabarnya pun ma’rifat, contohnya (بٕثس الله) dan (بٍٕجٔ ذّحِ) mubtadanya ma’rifah dan khabarnya pun ma’rifah karena idhafah. Contoh lain (ْٛمثبسٌا ْٛمثبسٌاٚ) assabiqun yang pertama adalah mubtada dan yang kedua adalah khabarnya, sama dengan (ذٔأ ذٔأ), terdiri dari mubtada dan khabar, tapi bisa juga assabiqun dan anta yang kedua adalah taukid (menegaskan) pada yang pertama. 2. Jika mubtadanya adalah mashdar marfu’, maka mubtadanya boleh didahulukan, contohnya (ُىٍٍع َلاس).
3. Asal dari khabar mubtada adalah satu, namun boleh saja khabar terhadap mubtada menjadi banyak, contohnya (صبل تربو شعبش ذّحِ) kata penyair, penulis dan penulis kisah semuanya adalah khabar dari mubtada yang menunjukkan bolehnya ta’addud khabar terhadap mubtada.
4. Haruslah memperhatikan pnyesuaian antara khabar dan mubtada, sebagaimana yang telah disebutkan pada hukum-hukum khabar di atas, akan tetapi ada sebagian ayat-ayat Al Quran yang membingungkan dan menimbulkan kesan bertentangan dengan hukum penyesuaian tersebut, padahal jika dilihat dengan seksama ternyata semua itu ada kesesuaian antar keduanya.
5. Khabar yang terdiri dari jarr dan majrur atau dharf pada dasarnya bukanlah khabar, melainkan ia berhubungan dengan kata yang dihilangkan, dan kata yang dihilangkan tersebutlah yang marfu’ yang menunjukkan ia adalah khabar, contohnya, (كٌشثلإا ًف ءبٌّا) jarr majrur di sini hanyalah berhubungan dengan kata yang dihilangkan yaitu khabar mubtada, takdirnya adalah (ٓئبو) atau (دٛجِٛ). 6. Khabar mufrad boleh diikutkan (athaf) kepada khabar jarr majrur, contohnya (حٛسل ذشا ٚأ حسبجحٌبو ًٙف) aysaddu qaswah khabar yang diathafkan pada jar majrur yaitu kal hijarah.
7. Boleh memisahkan antara mubtada dan khabar, contohnya (ْٕٛلٌٛ ُ٘ حشخَبث ُ٘ٚ), kata hum adalah mubtada, dan yuqinun adalah khabarnya, dipisahkan oleh jar majrur yang berkaitan dengan khabarnya yaitu yuqinun.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar , K . H . Moch. Ilmu Nahwu Terjemahan Matan Al-Ajrumiyah dan ‘Imrithy. Bandung: Sinar Baru Algesindo , 2007.
Djuha , Drs. Djawahir . Tata Bahasa Arab (Ilmu Nahwu) Terjemahan Matan Al-Ajrumiyah. Bandung : Sinar Baru Algesindo , 2007
