Analisa Multi Hydrograf Satuan Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu
Menggunakan Peta Isokhorn dan Mekanisme Runoff Routing
Ariani Budi Safarina
ABSTRAK
Distribusi hujan yang seragam sepanjang daerah aliran sungai adalah asumsi yang digunakan untuk hydrograf satuan. Hydrograf satuan merupakan ciri khas dari suatu daerah aliran sungai, sehingga setiap daerah aliran sungai memiliki satu jenis hydrograf satuan.
Pada penelitian ini dianalisa multi hydrograf satuan pada daerah aliran sungai Citarum Hulu (1700 km2), berdasarkan lima kejadian hujan yang berbeda. Hydrograf satuan dihitung dengan metoda konvolusi dan untuk mendapatkan peta isokhorn digunakan peta hydrologi berbasis Sistem Informasi geografis (SIG). Berdasarkan topografi daerah aliran sungai dan letak stasiun pencatat hujan, dibuat peta pengaliran air pada daerah aliran sungai
Hasil penelitian menunjukkan terjadinya multi hydrograf satuan yaitu, hydrograf pertama dengan debit puncak 47.11 m3/s dan waktu dasar 21 jam, sedangkan yang kedua debit puncak 21.6 m3/s dan waktu dasar 45 jam, adalah karena sifat runoff routing yang berbeda pada kejadian hujan yang digunakan. Hal ini dapat diketahui dari peta isokhorn. Hydrograf satuan yang mempunyai debit puncak tinggi, menggunakan kejadian hujan dengan distribusi curah hujan spasial dominan pada daerah pengaliran yang lebih dekat dengan outlet, sehingga debit puncak tinggi karena curah hujan tidak sampai ke daerah pengaliran terjauh. Hydrograf satuan dengan debit puncak rendah, menggunakan curah hujan dengan distribusi spasial dominan di daerah pengaliran yang jauh dari outlet, dan debit puncak terjadi setelah curah hujan terdistribusi di seluruh daerah aliran sungai.
Kata kunci : Disdtribusi hujan Spasial, Peta Isokhorn, Runoff Routing
1.
PENDAHULUANAnalisa hydrograf digunakan untuk estimasi debit banjir berdasarkan asumsi bahwa distribusi hujan spasial merata di sepanjang daerah aliran sungai. Kondisi ideal ini jarang terjadi, bahkan secara umum menunjukkan variasi spasial, terutama untuk daerah aliran sungai dengan kondisi topografi tertentu.
Distribusi curah hujan yang seragam secara spasial adalah kedalaman hujan effektif yang sama di setiap titik dalam daerah aliran sungai (DAS). Estimasi debit sungai dengan analisa hydrograf, mengasumsikan bahwa distribusi curah hujan di dalam DAS adalah seragam spasial. Pada kondisi real, hal ini merupakan keadaan ideal yang jarang terjadi. Distribusi curah hujan secara umum menunjukkan adanya variasi, sesuai dengan kondisi topografis dan kelembaban tanah untuk abstraksi yang dipengaruhi musim. Beberapa DAS menunjukkan debit puncak yang berbeda secara ekstrim untuk musim basah dan musim kering. Perbedaan itupun terjadi untuk beberapa DAS besar dengan luas lebih dari 1000 km2 dan juga pada DAS dengan
kondisi topografi tertentu (Safarina AB, 2011).
Kondisi curah hujan seragam di sepanjang DAS seringkali tidak diperhatikan dalam aplikasi hydrograf satuan. Pengguna lebih fokus kepada faktor faktor hydrologis seperti data curah hujan dan data muka air di outlet DAS. Data topografi yang ditinjau umumnya hanya luas dan panjang sungai utama. Untuk mengetahui keseragaman distribusi hujan di sepanjang DAS, kondisi topografi yang lain perlu ditinjau seperti kontur dan jarak stasiun hujan terhadap outlet. Selain itu, batas keberlakuan luas DAS juga perlu ditinjau mengingat pada DAS besar, akan sulit dicapai distribusi curah hujan efektif yang seragam di seluruh DAS.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat peta isokhorn DAS Citarum hulu dan runoff
routing berdasarkan beberapa kejadian hujan
dengan distribusi spasialnya, kemudian menganalisa terjadinya multi hydrograf satuan pada DAS ini.
2.
Kajian LiteraturKarakteristik fisik utama dari suatu DAS adalah luas, bentuk, elevasi, kemiringan, jenis tanah, jaringan saluran, kapasitas penampungan air dan tutupan lahan. Pengaruh jenis karakteristik tersebut berbeda-beda. Jenis tanah dapat mengontrol infiltrasi, tampungan air permukaan, dan air dalam tanah. Pengaruh yang dikombinasikan dari semua faktor adalah klasifikasi untuk DAS kecil dan DAS besar. Stefan Uhlenbrook (2004) dalam papernya mendefinisikan bahwa, sesuai luasnya, DAS dibagi menjadi DAS kecil (A ≤ 1 km2), DAS sedang (10 km2 < A ≤ 1000 km2
) dan DAS besar (A > 1000 km2).
Pada DAS kecil, respon curah hujan didominasi oleh proses generasi limpasan dari hulu dan wilayah dekat sungai. DAS sedang merupakan kombinasi DAS kecil yang terintegrasi secara terpadu dengan cara yang kompleks. Pada skala ini proses air di saluran (runoff routing, interaksi antara air tanah dan air permukaan) menunjukkan semakin penting dengan meningkatnya luas DAS. DAS besar menunjukkan distribusi curah hujan spasial dan temporal, dan runoff routing yang sangat dominan (Stefan Uhlenbrook, 2004).
2.2 Runoff Routing
Studi kuantitatif dari jaringan aliran dikembangkan oleh Horton (1945), dari Chow (1988). Ia mengembangkan sistem untuk menyusun jaringan aliran dan menurunkan aturan yang berkaitan dengan nomor dan panjang aliran dari urutan yang berbeda. Sistem pengurutan aliran dari Horton, sedikit dimodifikasi oleh Strahler (1964), dari Chow (1988) sebagai berikut:
Saluran terkecil diberi nomor orde 1. Aliran di saluran ini biasanya hanya pada musim basah. Pertemuan saluran orde 1, adalah hilir saluran orde 2. Secara umum, pertemuan saluran orde ke i adalah saluran orde i+1.
Jika saluran dari orde yang lebih rendah bertemu dengan saluran dengan orde yang lebih tinggi, salurannya adalah dua orde lebih tinggi. Orde dari DAS ditandai sebagai orde dari outletnya yang merupakan orde tertinggi dalam DAS, I. Contoh gambar jaringan aliran dapat dilihat pada Gambar 1
Gambar 1 Jaringan Aliran
Pengaliran air di permukaan DAS merupakan proses yang complicated, karena bervariasi dalam tiga dimensi ruang dan waktu. Dimulai ketika air tergenang di permukaan DAS, pada kedalaman yang cukup menghasilkan gaya retensi permukaan dan mulailah terjadi aliran. Air Permukaan adalah air yang tersimpan atau mengalir di permukaan bumi. Sistem air permukaan terdiri dari proses aliran di lahan (overland flow), limpasan permukaan (surface
runoff), outflow dari aliran bawah permukaan
(subsurface) dan air tanah (groundwater) dan limpasan (runoff) ke sungai dan laut. (Chow VT,dkk,1988).
Dua jenis aliran dapat dibedakan secara mendasar yaitu aliran di lahan (overland flow) dan aliran di saluran (channel flow). Aliran lahan mempunyai lapisan tipis dengan permukaan yang luas, sedangkan aliran saluran merupakan aliran di dalam saluran yang lebih sempit dan dalam lintasan yang terbatas. Pada DAS yang natural, aliran lahan merupakan awal mekanisme pengaliran air permukaan namun hanya dapat bertahan pada jarak yang pendek (sampai dengan 100ft) sebelum ketidakseragaman permukaan DAS memusatkan aliran pada saluran yang berliku-liku. Secara bertahap, dari saluran sungai sungai kecil ini bergabung ke saluran saluran yang terakumulasi ke arah hilir dan membentuk aliran di outlet DAS.
Aliran air permukaan mengikuti prinsip prinsip kontinuitas dan momentum. Aplikasi prinsip prinsip tersebut untuk aliran unsteady tiga dimensi pada permukaan DAS memungkinkan hanya untuk kondisi yang sangat disederhanakan, sehingga asumsi yang digunakan adalah satu atau dua dimensi (Chow VT dkk, 1988).
Aliran pada dataran seragam dimana hujan jatuh dengan intensitas i dan laju infiltrasi yang terjadi adalah f. Dalam waktu ini seluruh aliran dalam kondisi steady. Ukuran dataran adalah dalam satuan lebar dan panjang Lo,
dengan sudut kemiringan terhadap horisontal, Ө, sehingga slope So = tan Ө
Persamaan kontinuitas untuk aliran steady dengan ρ konstan adalah
i=1 i=2
i=3
0 .
cs dA V (1)Aliran yang masuk ruang tilik (control
volume) dari hujan adalah iL0 cos Ө, dan yang
keluar adalah f Lo cos Ө dari infiltrasi
ditambah Vy dari aliran lahan. Kedalaman y
diukur tegak lurus terhadap dasar dan kecepatan V sejajar dasar. Persamaan kontinuitas menjadi:
cs iLo Vy fLo dA V. cos
cos
0 (2)Debit per satuan lebar,qo adalah:
qo = Vy = (i-f)Lo cos Ө (3)
Aliran laminer yang seragam pada dataran yang miring, dapat ditunjukkan (Roberson and Crowe, 1985, dari Chow, 1988), bahwa kecepatan rata rata V adalah
3
2y
gS
V
o (4)dimana g adalah percepatan gravitasi dan υ adalah viskositas kinematik aliran. Untuk aliran seragam, So =Sf = hf/L, sehingga
persamaan (4) menjadi
g
V
y
L
V
h
y f2
4
24
2
(5)Dimana dalam bentuk persamaan Darcy-Weisbach untuk aliran dengan hambatan
g
V
R
L
f
h
f2
4
2
(6)Dengan faktor gesekan f = 96/Re dimana bilangan Reynold Re adalah Re = 4VR/υ, dan jari-jari hidraulik R = y. Untuk aliran dengan satuan lebar sheet, R = luas/keliling basah = yxl/l = y. Aliran laminer bilangan Reynoldnya Re ≤ 2000.
Untuk aliran sheet laminer akibat hujan, faktor gesekan bertambah sesuai intensitas hujan. Diasumsikan bahwa f =CL/Re dimana
CL adalah koefisien hambatan, yang
berdasarkan penelitian di University of Illinois, Chow dan Yen (1976), dari Chow (1988) memberikan
CL= 96 + 108i 0.4
(7)
Dimana i adalah intensitas hujan dalam inch/jam.
Penyelesaian untuk y dari persamaan (5) dan menggunakan So= hf/L untuk aliran seragam,
didapatkan o gS fV y 8 2 (8)
Dengan mensubtitusikan qo = Vy, maka
3 / 1 2
8
o ogS
fq
y
(9)Persamaan di atas adalah untuk kedalaman aliran sheet pada dataran seragam.
2.3 Isokhorn
Waktu pengaliran suatu aliran dari suatu titik pada DAS ke titik lainnya dapat dideduksi dari jarak aliran dan kecepatan. Jika dua titik dalam sungai berjarak L dan kecepatan sepanjang lintasan itu adalah v(l), maka waktu pengaliran t adalah: dl = v(l) dt (10)
t
Ll
v
dl
dt
0 0(
)
(11)
Ll
v
dl
t
0(
)
(12)Jika kecepatan diasumsikan konstan vi pada panjang li, dimana i= 1,2,...,l, maka
l i i iv
l
t
1 (13) Karena waktu pengaliran ke outlet DAS, hanya sebagian dari DAS yang mengkontribusi aliran permukaan pada setiap waktu t. Daerah yang mengkontribusi aliran dalam DAS, dapat dilihat pada Gambar 2. Jika hujan dengan intensitas konstan i mulai jatuh dan terus berlangsung lama , maka permukaan bagian dengan garis putus-putus t1 akan mengkontribusi debit sungai dalam DAS, demikian juga setelah t2, adalah permukaan dengan garis putus-putus t2. Batas t1 dan t2 tersebut disebut isokhron. Waktu dimana seluruh DAS mulai mengkontribusi debit, disebut waktu konsentrasi Tc, ini adalah waktu pengaliran dari titik terjauh ke outlet DAS.Gambar 2 Peta Isokhorn
2.4 Hydrograf Satuan
Unit hydrograf atau hydrograf satuan adalah unit pulsa yang merupakan fungsi respon dari sistem hidrologi linier, dan pertama kali dikeluarkan oleh Sherman(1938). Hydrograf satuan dari sebuah DAS didefinisikan sebagai hydrograf limpasan langsung yang dihasilkan dari satu inch atau satu cm hujan efektif yang diturunkan secara seragam di setiap titik dalam DAS, pada kecepatan konstan dan durasi efektif.
Hydrograf satuan adalah model linier sederhana yang dapat digunakan untuk mendapatkan hydrograf yang dapat ditentukan dari setiap hujan efektif. Asumsi dasar yang digunakan dalam model linier ini adalah:
1. Hujan efektif mempunyai intensitas yang konstan selama durasi efektif. 2. Hujan efektif didistribusikan secara
seragam di setiap titik dalam DAS. 3. Basis waktu hydrograf limpasan
langsung dari suatu hujan efektif dengan durasi tertentu adalah konstan. 4. Ordinat hydrograf limpasan langsung dari sebuah aliran dasar sebanding dengan jumlah total hujan efektif untuk setiap hidrograf.
5. Untuk suatu DAS, hydrograf yang dihasilkan bagi setiap hujan efektif tertentu menggambarkan karakteristik DAS yang sama.
Gambar 3. Unit Hydrograf
Metoda Konvolusi
Respon dari sistem linier dikarakterisasikan secara unik dengan fungsi respon impuls.
Suatu impuls, baik step maupun fungsi respon pulsa, didefinisikan mempunyai domain waktu kontinu. Jika domain waktu didiskritisasi dengan interval durasi Δt, maka terdapat dua cara untuk menggambarkan fungsi waktu kontinu dalam domain waktu diskrit, yaitu sistem data pulsa dan sistem data sampel. Sistem data pulsa digunakan untuk presipitasi dan nilai dari fungsi input diskrit adalah:
t m t mdt
I
Pm
) 1 ()
(
m=1,2,3... (14) Pm adalah kedalaman presipitasi selama interval waktu (dalam inch atau centimeter). Sistem data sampel digunakan untuk aliran dan limpasan langsung, sehingga nilai dari output sistem pada waktu interval ke n (t=nΔt) adalahQn = Q(nΔt) n = 1,2,3,… (15)
Qn adalah nilai sesaat dari aliran pada akhir interval waktu ke n (dalam cfs atau m3/s). Dengan demikian variabel input dan output untuk sistem DAS dicatat dengan dimensi yang berbeda dan menggunakan representasi data diskrit yang berbeda pula. Pengaruh atas pulsa input dari durasi Δt dimulai pada waktu (m-1)Δt dan output pada waktu t=nΔt diukur dengan nilai fungsi respon unit pulsa h[t-(m-1)Δt]=h[nΔt-(m-1)Δt]=h[(n-m+1)Δt] , maka persamaan 2 menjadi
t m n t m ndl
l
u
t
t
m
n
h
) 1 ( ) ()
(
1
)
1
(
(16)Dengan mendiskritkan integral konvolusi pada t=nΔt dan mensubtitusikannya ke persamaan 16, maka didapat persamaan konvolusi dengan input Pm dalam pulsa dan output Qn sebagai fungsi data sampel dari waktu :
Qn= P1h[(nΔt)]+P2h[(n-1)Δt]+...
+Pmh[(n-m+1)Δt]+...
+PMh[(n-M+1)Δt] (17)
Fungsi respon pulsa kontinu h(t) dapat direpresentasikan kedalam domain waktu diskrit sebagai fungsi data sampel U. Dengan demikian didapatkan persamaan konvolusi diskrit untuk sistem linier:
Qp Tp Hydrograf Satuan Q(m3/s) outlet t1 t2
n m m m n mU P Qn 1 1 (18) 3. HASIL PENELITIAN3.1 Peta Hidrologi DAS Citarum Hulu
Pada Penelitian ini digunakan peta hydrologi DAS Citarum-Nanjung, DAS Cikeruh-Jatiwangi dan DAS Brantas-Sengguruh dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan peta rupa bumi dasar skala 1 : 25000 yang dioverlapkan kemudian didigitasi ulang agar setiap titik mempunyai nilai koordinat. Kemudian koordinat stasiun AWLR dan stasiun hujan ARR diplotkan ke dalam peta hydrologi DAS yang telah didigitasi. Data curah hujan dan muka air yang digunakan adalah data dari stasiun otomatis sehingga didapat data jam jaman untuk pasangan AWLR dan ARR pada waktu yang sama. Hydrograf satuan dibuat dengan metoda konvolusi berdasarkan beberapa kejadian hujan yang dipilih. Peta hydrologi DAS Citarum-Nanjung dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4 Peta Hydrologi DAS Citarum Hulu
3.2 Peta Isokhorn DAS Citarum Hulu
Peta isokhorn ditentukan berdasarkan kontur ketinggian dan posisi stasiun curah hujan yang dianalisa di DAS ini yaitu stasiun Bandung (t1), stasiun Ujung Berung (t2), stasiun
Cisondari (t3), stasiun Ciparay (t4), stasiun
Chinchona (t5), stasiun Paseh (t6) dan stasiun
Cicalengka (t7).
Gambar 5 Peta isokhorn DAS Citarum Hulu
Kondisi topografi setiap stasiun curah hujan yang digunakan dan jaraknya dari outlet DAS dapat dilihat pada tabel 1
Tabel 1 Ketinggian dan Jarak Stasiun Curah Hujan
3.3 Multi Hydrograf Satuan DAS Citarum Hulu
Hydrograf satuan DAS Citarum-Nanjung berdasarkan 5 kejadian hujan dapat dilihat pada gambar berikut ini,
Gambar 6 Hydrograf Satuan DAS Citarum Hulu
Lima event hujan yang digunakan dalam hydrograf satuan ditunjukkan pada gambar 7
Hydrologi Map of Citarum-Nanjung Watershed
No Stasiun Beda Tinggi (m) Jarak ke Outlet(km) slope (x10-2 ) Isokhorn
1 Bandung 704.99 9.32 7.5 t1 2 Cisondari 1084.56 18.42 5.9 t3 3 Chinchona 1462.87 25.68 5.7 t5 4 Ujung Berung 677.08 17.46 3.9 t2 5 Ciparay 690.02 21.52 3.21 t4 6 Paseh 869.63 30.01 2.9 t6 7 Cicalengka 669.17 30.89 2.2. t7
Hydrologi Map of Citarum
Perbandingan Hydrograf Satuan S.Citarum-Nanjung Untuk Berbagai Kejadian Hujan
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 0 10 20 30 40 50 Waktu(Jam ) D e b it (m 3 /s .m m ) 24/1-02(U1) 25/11-01(U2) 2/4/2002(U3) 5/3/2002(U4) 19/1-02(U5)
Gambar 7 Lima Kejadian Hujan yang Dianalisa
Parameter hydrograf masing masing hydrograf disajikan pada tabel 2. Dari ke lima hydrograf tersebut diklasifikasikan menjadi dua tipe hydrograf yaitu tipe 1 dengan debit puncak tinggi dan tipe 2 dengan debit puncak rendah.
Tabel 2 Parameter Hydrograf Satuan
Faktor yang mempengaruhi ke lima hydrograf satuan di atas adalah daerah genangan banjir di hulu outlet dan distribusi hujan spasial, karena faktor yang lainnya tidak signifikan yaitu distribusi hujan temporal sama, dan tidak ada waduk di hulu outlet. Hydrograf satuan U1 dan U2 pada gambar 6
menunjukkan adanya lengkung penurunan yang tidak halus yaitu aliran tidak berubah untuk beberapa jam, hal ini menunjukkan tertahannya aliran karena adanya genangan di hulu outlet yaitu di cekungan Bandung yang merupakan daerah genangan banjir. Untuk mengantisipasi hal ini, maka hydrograf satuan yang diambil sebagai pembanding hydrograf satuan sintetik (dalam modifikasi) adalah hydrograf satuan musim kering(U3). Jika
dalam desain diperlukan hydrograf aliran musim basah, maka hydrograf ini dapat ditransformasi dengan matriks Kernel sehingga didapatkan hydrograf aliran musim basah yang dapat digunakan untuk
menentukan debit desain. Dengan demikian untuk DAS Citarum-Nanjung hydrograf satuan observasi yang digunakan dalam modifikasi adalah U3 dari kejadian musim
kering (2/4-2002), namun dalam klusterisasi tetap digunakan hydrograf satuan musim basah. Hydrograf satuan U4 menunjukkan
waktu puncak yang pendek, hal ini terjadi karena hujan yang dominan adalah di stasiun Bandung dan Ujung Berung saja. Hydrograf satuan U5 menunjukkan bentuk yang serupa dengan hydrograf satuan acuan U3, dengan
distribusi hujan merata. Kurva yang mendatar pada bagian lengkung turun menunjukkan adanya hambatan air akibat intensitas hujan tinggi atau adanya daerah genangan.
Distribusi hujan spasial dapat dijelaskan dengan prinsip isokhron, yaitu daerah pengaliran dalam DAS yang mengakibatkan aliran sungai sesaat setelah terjadinya hujan. Daerah pengaliran t1 adalah yang terlebih dahulu mengkontribusi aliran diikuti oleh t2, t3
dan seterusnya. Penentuan t1, t2, dstnya ini
berdasarkan kondisi fisik DAS yaitu ketinggian, jarak dan jaringan aliran sungai dari orde kecil sampai besar. Sungai orde i adalah anak sungai yang mengalir ke sungai orde i+1 dstnya.
Hydrograf satuan dengan Qp tinggi dan Tb
kecil adalah U1, U2 dan U4. Hujan yang
menyebabkan hydrograf satuan ini adalah berturut turut R1, R2 dan R4 dengan distribusi
spasialnya terlihat pada gambar V.3. Pada U1,U2 dan U4, intensitas hujan tinggi pada
daerah pengaliran t1, t2, dan t3 sehingga debit
cepat naik karena air limpasan permukaan cepat menambah debit di outlet. Selain itu, pada kejadian hujan ini intensitas hujan kecil bahkan nol untuk daerah pengaliran lainnya, sehingga air limpasan permukaan tidak mencapai titik terjauh.
Hydrograf dengan Qp rendah dan Tb besar
yaitu U3 dan U5, dengan distribusi hujan
spasial R3 dan R5, menunjukkan bahwa air
limpasan permukaan tidak mengkontribusi aliran sungai seperti pada U1, U2 dan U4. Pada
distribusi spasial R3, intensitas hujan besar
pada daerah pengaliran t3, sedangkan pada R5
intensitas hujan sedang mulai daerah t1,t2
kemudian membesar pada t3 dan t4 dan
kembali sedang pada daerah t5 dan t6. Dapat
disimpulkan bahwa distribusi hujan spasial yang menyebabkan hydrograf satuan dengan Qp rendah dan Tb tinggi ini adalah, hujan
Karakteristik Hujan DAS Citarum Nanjung untuk Beberapa Kejadian Hujan 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Waktu(jam ) C u ra h H u ja n (m m ) Hujan 24/1-02(R1) Hujan 25/11-01(R2) Hujan 2/4-02(R3) Hujan 5/3-02(R4) Hujan 19/1-02(R5)
Event Hujan Qp (m3/s) Tp (jam) Tb (Jam) Tipe Hydrograf
R1 47.11 7 17 1
R2 41.20 8 21 1
R3 21.62 14 45 2
R4 54.70 6 17 1
dengan air limpasan permukaan sampai pada titik terjauh yaitu daerah pengaliran t6 dan t7,
keadaan ini yang menyebabkan Tb besar.
Adapun Qp rendah menunjukkan air limpasan
permukaan yang tidak begitu besar, yang kemungkinannya adalah karena kondisi kelembaban tanah yang kering sebelum hujan, karena musim kemarau (hujan 2/4-02).
4. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Pola distribusi curah hujan spasial pada suatu daerah aliran sungai dengan kualifikasi DAS besar, dipengaruhi oleh kondisi pengaliran air melalui isokhorn pada DAS tersebut.
Sifat pengaliran air hujan melalui isokhorn menentukan sifat runoffrouting pada DAS tersebut
.
5.2 Saran
Penelitian yang bisa dikembangkan dari hasil penelitian ini adalah range kevalidan analisa hydrograf terhadap kondisi topografi dan mekanisme
runoff routing suatu DAS
Daftar Pustaka
Chow VT, Maidment, 1988, Mays Larry W., Applied Hidrologi, McGraw-Hill International Edition
Das Ghanshyam,2002, Hydrology and Soil Conservation Engineering,, Prentice-Hall of India, New Delhi
De Smelt Fdkk, 2000, CA Brebbia (ed), Risk Analysis II, WIT press Southampton, Boston: 295-304
Gupta Ram S, 1989, Hydrology and Hydraulic System, Prentice Hall New Jersey Gray, D.M., 1961 : Interrelationships of
watershed characteristics, J. Geophys. Res.66.
Safarina A B (2010) : Model Analisa Metoda Hydrograf Satuan Sintetik Untuk Berbagai Karakteristik Daerah Aliran Sungai, Dissertasion, Institut Teknologi Bandung, Bandung
Uhlenbrook Stefan, Stefan Roser, Nils Tilch.(2003) : Hydrological Process Representation at the Meso-scale:the
Potential of a Distributed, Conceptual Catchment Model, Journal of Hydrology, Institut of Hydraulic Engineering, University of Stuttgart, Germany